• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memprodukasi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak,1992). Menurut Kadariah dkk (1978), efisiensi tidaknya produksi suatu komoditi yang bersifat treadable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinnya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber- sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (Border price).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usahatani Sapi perah dengan produk susu sebagai komoditi komersial, dimana keunggulan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganaslisis efisiensi dari sisi finansial.

Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu

konsep ini juga dapat digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti propinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif ( the law of comparative advantage ) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi, jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditi inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif ( Salvator, 1994 ).

Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satu- satunnya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditi sama dengan atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi komoditi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan kelemahan dari model Ricardian, karena (1) tenaga kerja bukan merupakan satu- satunnya faktor produksi, juga tidak digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan (2) tenaga kerja tidak homogen.

Model selanjutnya mengenai keunggulan komparatif didasarkan pada pengaruh secara timbal balik perbedaan sumberdaya antar negara-negara atau daerah daerah. Melalui model ini perdagangan internasional atau daerah

dipengaruhi oleh perbedaan sumberdaya antar negara. Teori ini dikenal dengan teori Heckster-Ohlin (H-O). Teori H-O menganggap bahwa tiap negara akan mengekspor komoditi yang secara relatif mempunyai faktor produksi berlimpah dan murah, serta mengimpor komoditi faktor produksinnya relatif jarang(langka) dan mahal. Penggunaan dari teori Ricardian dan H-O biasannya didasarkan pada model yang sederhana dengan asumsi (1) dua negara, dua komoditi, dan menggunakan satu atau dua faktor produksi, (2)tidak ada mobilitas faktor produksi, (3) penawaran faktor tetap, (4) keseimbangan dalam pembayaran (balance of payment), (5) tidak ada barang antara dan barang yang tidak diperdagangkan (Salvator, 1994).

Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu :

1. Perubahan dalam sumberdaya alam 2. Perubahan faktor-faktor biologi 3. Perubahan harga input

4. Perubahan Teknologi

5. Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.

Melihat faktor- faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif diatas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal serta dari segi pengolahannya (Nuryartono,1992).

Keunggulan Kompetitif ( Competitive Advantage ) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adannya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan didunia nyata, dan keunggulan komparatif suatu aktivitas ekonomi dari susut pandang atau individu yang berkentingan langsung (Rosalita,1996)

Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh poter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut porter, keunggulan perdagangan antar negara didalam perdagangan internasional sebenarnya tidak ada. Pada kenyataanya yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri disatu negara dengan negara la innya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara (Warr dalam Suryana dkk,1995)

Dalam Simatupang (1995) disebutkan, secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik dipasar domestik maupun di pasar onternasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (Opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Simatupang (1995), menyebutkan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha

produksi komoditi pertanian pada saat ini harus lebih diorientasi pada konsumen atau lebih berwawasan menjual.

Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai oleh dengan keinginan konsumen (Simatupang, 1995). Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing dipasaran internasional jika negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditi dengan asumsi adannya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah.

Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnnya melalui jaminan harga, kemudahan perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dkk,1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnnya saling melengkapi.

3.2. Teori Perdagangan Internasional

Kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adannya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut akan diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang menyebabkan negara- negara melakukan perdagangan internasional adalah :1) adannya perbedaan dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya, sehingga negara-negara akan memperolah keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumberdaya tersebut, 2) negara- negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi, artinya suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis jenis barang.

Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan internasional bertitik tolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah, dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa ekspor suatu komoditi tarjadi karena adannya penawaran domestik yang berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu komoditi karena adannya

permintaan domestik yang berlebih (excess supply) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi tertentu.

Hal ini menyebabkan penawaran akan beralih kepasar internasional yang berbentu ekspor apabila harga yang lebih tinggi terjadi pada negara lain. Secara grafis dapat ditunjukkan dalam Gambar 1

Py Px Py Px Py Px S Dx A Sx P3 P2 B Ekspor E B* E* X D X P1 Sx A Dx E* Impor

Panel A Panel B Panel C

Pasar Negara 1 Perdagangan Internasional Pasar Negara2 Komoditi X Komoditi X

Gambar 2, Perdagangan Internasional Sumber : Salvator, 1994

P1 = Harga keseimbangan komoditi x di negara 1 ( Pengekspor ) P2 = Harga keseimbangan di pasar internasional

P3 = Harga keseimbangan komoditi x di negara 2 ( Pengimpor )

Diman P1, P2, dan P3 adalah harga relatif komoditi x terhadap komoditi y atau Px/Py.

Gambar 2, menunjukkan analisis keseimbangan perdagangan internasional secara parsial. Artinya harga satu komoditi yang dianalisis yaitu komoditi x.

Harga yang dipakai bukan harga mutlak Px, tetapi merupakan harga relatif x terhadap harga komoditi lain yang diproduksi dinegara-negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut, di mana dalam kasus ini yang pakai komoditi y. Berdasarkan Gambar 2 diatas terlihat bahwa sebelum terjadi perdagangan internasional, harga keseimbangan komoditi x terhadap komoditi y dipasar negara 1 adalah Px/Py = P1, di mana pada kondisi tersebut terjadi keseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi x di negara1. Pada Px/Py lebih besar dari P1, terjadi kelebihan penawaran komoditi x di pasar negara 1. Kelebihan penawar komoditi x di negara 1 dalam panel A menyebabkan munculnya kurva penawaran ekspor komoditi x (S) negara 1 dalam panel B. Dipihak lain, pada Px/Py lebih kecil dari P3, terjadi kelebihan permintaan komoditi x dipasar negara 2. Kelebihan permintaan untuk komoditi x dinegara 2 dalam panel C menyebabkan timbulnya kurva permintaan impor komoditi x (D) negara 2 dalam panel B. Panel B menunjukan bahwa hanya pada P2 jumlah impor komoditi x yang diminta negara 2 sama dengan jumlah ekspor yang ditawarkan negara 1. Jadi P2 adalah keseimbangan Px/Py dengan perdagangan. Pada Px/Py > P2, akan terjadi kelebihan penawaran ekspor komoditi x dan ini akan menggerakan Px/Py turun ke P2. Pada Px/Py <2 akan ada kelebihan permintaan untuk impor x dan ini akan menyebabkan Px/Py naik P2.

Keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar internasional bisa berubah karena adannya pergeseran kurva permintaan dan kurva penawaran. Pergeseran kurva penawaran ke kanan bisa disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya luas areal tanam dan produktivitas tanaman yang meningkat. Pergeseran kurva permintaan ke kanan bisa disebabkan oleh meningkatnya pendapatan

perkapita dengan asumsi komoditi x dianggap barang normal serta meningkatannya selera terhadap komoditi x.

3.3. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk dari luar negeri. Kebijakan tersebut biasannya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinnya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan quota.

Menurut ( Salvator, 1994 ), Subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi, yang berupa pajak dan kuota dengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (treadable) dan untuk menciptakan perbedaan harga dipasar internasional dengan harga dipasar domestik. Kebijakan perdagangan ada dua, yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk

melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia., yaitu dengan pengenaan pajak ekspor baik perunit barang yang diekspor maupun secara keseluruhan. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri melalui penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah dari harga pasar dunia, sehingga kebijakan dilakukan berupa pengenaan tarif impor atau kuota impor.

3.3.1. Kebijakan Output

Kebijakan terhadap output baik berupa pajak maupun subsidi, dapat diterapkan pada produsen barang impor dan barang ekspor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (OT) dan Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) serta Nominal Protection Rate on Output (NPRO). Dampak dari subsidi negatif terhadap produsen untuk barang ekspor dapat dilihat pada Gambar 3.

P G A R D F H S Pw E K D Q1 Q2 Q4 Q3

Pada situasi perdagangan bebas, harga yang diterima oleh produsen output dan konsumen dalam negeri sama dengan harga dunia yaitu sebesar Pw dengan

tingkat output yang dihasilkan sebesar Q1, sehingga terjadi ekses supply didalam

negeri sebesar BHJ. Terjadinnya ekses supply membuat output yang dihasilkan harus diekspor keluar negeri sebesar Q3-Q1. Besarnya surplus konsumen adalah

ABPw sedangkan surplus produsennya sebesar PwHK.

Dengan adanya subsidi negatif pada produsen output (NPCO negatif), menyebabkan perubahan harga dalam negeri yaitu harga yang diterima produsen dan konsumen (harga finansial) menjadi lebih rendah dari harga pada pasar dunia (PD < PW ). Dengan tingkat harga sebesar ini, mengakibatkan konsumsi dalam

negeri dari Q1- Q3 menjadi Q2 – Q4. Terjadi perubahan surplus produsen yaitu

sebesar PWHGPD dan besarnya transfer output (OT) atau transfer pajak kepada

pemerintah sebesar DFGE. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen untuk memperoleh keuntungan dan juga tidak ditransfer baik kepada konsumen maupun produsen.

3.3.2. Kebijakan Input

Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input tradable dan input non tradable. Pada input yang tidak diperdagangkan ( non tradable), intervensi pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak.

1. Kebijakan Input Tradable

Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukan pada Gambar 4. Gambar ini menunjukan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Dengan adannya pajak menyebabkan biaya produksi meningkat

sehingga pada tingkat harga output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke

Q2 dan kurva supply bergeser keatas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah ABC,

merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CAQ2 dengan biaya

produksi output Q2BCQ1. P S* S P S S* C A C Pw B D Pw A B D Q Q a) Q2 Q1 b) Q1 Q2

Gambar 4. Subsidi dan pajak pada input Tradable Sumber : Monke and Pearson (1989 )

Ket : Pw : Harga di pasar Internasional

Gambar 4.b, memperlihatkan dampak subsidi input Tradable menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser kebawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi

ekonomi yang hilang dari produksi adalah ABC, yang merupakan pengaruh perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q1ABQ2.

2. kebijakan Input Non Tradable

Pada input non tradable, kebijakan pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah pajak dan subsidi

P S P S C C Pc A Pp A Pd B Pd B P’p E D Pc E D Q Q Q1 Q2 Q3 Q1 Q2 a ) S – N b) S + N

Gambar 5. Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Non Tradable Sumber : Monke and Pearson (1989 )

Ket : Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi

Pc : Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pd : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi

Pada Gambar 5.a, terlihat bahwa sebelum diberlakukan pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari pemerintah dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya pajak sebesar Pc – Pd menyebabkan

produksi yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun

menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi

yang hilang dari produsen sebesar BEA dan dari konsumen BCA.

Pada Gambar 5.b menjelaskan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Harga yang diterima produsen menjadi

rendah yaitu Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari

konsumen sebesar ABE.

3.4 Metode Penentuan Harga Bayangan

Analisis keunggulan komparatif dalam konsep daya saing, harga yang digunakan adalah harga bayangan dan menggunakan harga pasar untuk mengetahui keunggulan kompetitif. Dalam Gittinger (1986), harga bayangan adalah suatu harga yang lebih dekat mengambarkan biaya imbangan terhadap masyarakat. Langkah- langkah yang dikemukakan untuk mengubah atau menyesuaikan harga pasar (harga fina nsial) menjadi harga bayangan (nilai ekonomi), yaitu :

1. Penyesuaian pembayaran transfer langsung

Pembayaran transfer langsung adalah pembayaran yang bukan penggunaan sumberdaya nyata tetapi hanya transfer dari klaim pada sumber nyata seseorang dan transaksi kredit yang mencakup pinjaman, penerimaan, pembayaran kembali modal dan bunga. Dua transakasi kredit yang mungkin luput dari pengawasan adalah jumlah-jumlah yang dapat dibayar dan dapat diterima. Semua pembukuan ini harus dikeluarkan sebelum neraca finansial disesuaikan untuk menggambarkan nilai ekonomi.

2. Penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang yang tidak diperdagangkan

Barang yang diperdagangkan adalah barang yang apabila diekspor harga f.o.b lebih besar dari biaya produksi domestik atau barang-barang yang boleh diekspor melalui campur tangan pemerintah dengan menggunakan subsidi ekspor

dan sebagainnya, dan apabila impor, biaya produksi domestik lebih besar dari harga c.i.f Pertama kali, penilaian dilakukan dengan menetapkan harga batas, yaitu harga c.i.f untuk barang impor dan harga f.o.b untuk barang ekspor. Harga batas kemudian disesuaikan untuk memperhitungkan biaya pengangkutan dalam negeri dan biaya pemasaran antara pelabuhan impor atau ekspor ke lokasi proyek. 3. Penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang-barang yang tidak

diperdagangkan

Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang–barang harga yang harga c.i.f nya lebih besar dari biaya produksi domestik dan lebih besar dari harga f.o.b. Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah berupa barang– barang yang memakan tempat dan lekas rusak.

Kadariah, et al (1978) menyatakan bahwa harga bayangan dapat dianggap semacam penyesuaian yang dibuat oleh peneliti proyek terhadap harga pasar dari beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu, hal ini disebabkan karena harga dari unsur-unsur atau hasil produksi tersebut. Penyimpangan- penyimpangan harga pasar dari biaya imbangan sosial terutama disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah berupa pajak tidak langsung, subsidi maupun pengaturan harga.

Squire dan Van der Tak (1982) mengemukakan dua hal yang penting dalam penggunaan harga bayangan. Pertama, harga bayangan bukan harga-harga keseimbangan yang akan terjadi dalam perekonomian dimana tidak terdapat gangguan- gangguan. Perkiraan dari harga bayangan ini akan memberikan informasi penting yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang kebijakan yang dapat menghilangkan gangguan-gangguan. kedua, perlunnya

pendefinisian yang jelas terhadap tujuan-tujuan sosial ekonomi dari kebijakan pembangunan sosial.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan harga bayangan pada analisis kebijakan berdasarkan pada alasan : (1) harga yang berlaku dipasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut; (2) harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainnya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktifitas tertentu, tetapi tidak digunakan dalam aktifitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat.

3.4.1. Harga Bayangan Nilai Tukar

Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar dollar. Untuk menentukan harga bayangan nilai tukar digunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire dan Van Der Tak dalam Gittinger (1986) yaitu SER = OER

SCF Dimana

SER : Nilai tukar bayangan ( Rp/US $ ) OER: Nilai tukar Resmi ( Rp/US $ ) SCF : Faktor konversi standar

Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut, Nilai SCF diperoleh dari ( Rosergrant dalam Rosalita, 1996 ).

Dimana : SCF = Xt + Mt

( Xt - Txt ) + ( Mt + Tmt )

Dimana :

SCFt = Faktor Konversi standar untuk tahun ke-t

Mt = Nilai Impor Indonesia untuk tahun ke-t ( Rupiah )

Xt = Nilai Ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rupiah )

Tmt = Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t ( Rupiah )

Txt = Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t ( Rupiah )

Nilai tukar resmi yang digunakan adalah nilai tukar rata-rata pada bulan Maret 2006 yaitu sebesar Rp 9.170 per dollar Amerika Serikat, sedangkan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor adalah sebesar Rp 317,9 miliar serta penerimaan pemerintah dari pajak impor adalah sebesar Rp 14.920,7 miliar didapatkan dari laporan realisasi APBN tahun 2005. Sementara nilai ekspor Indonesia pada kurun waktu tersebut adalah sebesar Rp 785.501 miliar dan nilai impor pada kurun waktu tersebut adalah sebesar Rp 529.117,1 miliar. Dari hasil perhitungan akan diperoleh nilai SCF sebesar 0,98901 sehingga nilai SER yang digunakan adalah Rp 9.271, 89

3.4.2. Harga Bayangan Output

Penentuan harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga border price atau harga perbatasan untuk output yang diimpor, setelah adannya biaya tataniaga dari produksi dikeluarkan terlebih dahulu. Output dalam penelitian ini adala h susu segar dan kotoran sapi basah. Harga bayangan

yang digunakan oleh output berupa susu ini diperoleh dari harga atas c.i.f karena merupakan komoditi yang masih di impor. Maka dengan mengalikan harga c.i.f susu sebesar US $ 1,043 per kg dengan nilai SER lalu ditambah dengan biaya tataniaga ke lokasi penelitian sebesar Rp 1.200 per kg maka akan diperoleh harga bayangan sebesar Rp 10.870,54 per kg. Sementara harga kotoran sapi basah dinilai sama dengan harga aktualnya karena tidak termasuk komoditi yang diperdagangkan.

3.4.3. Harga Bayangan Input 1. Harga Bayangan Pakan Ternak

Dokumen terkait