• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi

Menurut Lipsey (1995), bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat

komoditas, baik barang maupun jasa. Fungsi produksi adalah hubungan fungsi

yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input

dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002), menyatakan bahwa fungsi

produksi memperlihatkan jumlah output maksimum yang bisa diperoleh dengan

menggunakan berbagai alternatif kombinasi kapital (K) dan tenaga kerja (T).

Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam bentuk persamaan

aljabar. Secara sistematis fungsi produksi sebagai berikut:

Q = f (K, T, ...)

Dimana:

Q = output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu

K = kapital

T = tenaga kerja

f = menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output

3.1.2 Teori Nilai Tukar

Nilai tukar adalah harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam

mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Menurut Mankiw

(2003), kurs (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang

disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Kurs

adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah harga

relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat

dimana suatu negara bisa memperdagangkan barang-barangnya dari suatu negara

untuk barang-barang dari negara lain.

Kurs riil mempengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing

negara pengekspor dan pengimpor. Jika kurs riil rendah, harga barang-barang luar

negeri lebih mahal dan harga barang-barang domestik akan relatif lebih murah.

Apabila kurs riil tinggi maka barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan

barang-barang domestik relatif lebih mahal, sebagai akibatnya penduduk domestik

lebih berkeinginan untuk mengkonsumsi barang-barang impor dan orang asing

akan sedikit membeli barang kita.

3.1.3 Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang

lanjut jika dibandingkan dengan teori perdagangan internasional pada mulanya,

yaitu yang sering disebut sebagai Merkantilisme. Pada bagian di bawah ini

disampaikan perkembangan teori perdagangan internasional tersebut, uraian

perkembangan teori ini berasal dari tulisan Wild et al., (2008).

A. Merkantilisme

Teori perdagangan ini menyatakan bahwa negara-negara harus

mengumpulkan kekayaan finansial, biasanya dalam bentuk emas dengan

mendorong ekspor dan menghambat impor. Negara-negara yang menganut paham

merkantilisme antara lain Sir Josiah Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von

Hornich. Kebijakan merkantilisme berpusat pada dua ide pokok dalam bidang

perdagangan luar negeri:

1. Penumpukan logam mulia

2. Surplus perdagangan, hasrat yang besar untuk mencapai dan mempertahankan

kekuasaan nilai ekspor atas nilai impor.

Perkembangan ide tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan

usaha-usaha untuk mendirikan negara-negara nasional yang kuat di Eropa pada

waktu itu. Mereka melakukan pelayaran dan eksploitasi seperti ke Afrika, Asia,

Amerika Utara, Selatan dan Latin. Kolonisasi ini sangat menguntungkan negara-

negara kolonial, dan setiba di negara yang menjadi koloninya dieksploitasi

sumberdayanya.

Tujuan utama kebijakan merkantilisme adalah pembentukan negara

nasional yang kuat dan pemupukan kemakmuran nasional untuk mempertahankan

dan mengembangkan kekuatan negara itu. Perdagangan luar negeri adalah alat

utama untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Josiah Child,

seorang pendukung merkantilisme (1630-1699) bahwa perdagangan luar negeri

menghasilkan kekayaan, kekayaan menghasilkan kekuasaan, kekuasaan

melindungi atau mempertahankan perdagangan.

Negara mengimplementasikan merkantilisme dengan cara: pertama,

negara meningkatkan kesejahteraannya dengan memelihara surplus perdagangan,

yaitu suatu kondisi dimana nilai ekspor suatu negara lebih besar dari nilai

impornya. Karena itu setiap negara wajib berusaha untuk memperoleh suatu

Surplus perdagangan dalam merkantilisme berarti bahwa suatu negara

mendapatkan lebih banyak emas atas penjualan produk ekspornya daripada

mengeluarkannya untuk produk impor. Suatu defisit perdagangan adalah kondisi

dimana nilai impor suatu negara lebih besar dari nilai ekspornya. Defisit

perdagangan dalam merkantilisme merupakan hal yang harus dihindari pada

setiap biaya-biaya.

Kedua, pemerintah suatu negara mengintervensi perdagangan

internasional, dengan memelihara surplus perdagangan. Menurut merkantilisme

surplus perdagangan, timbunan kekayaan tergantung atas kenaikan surplus

perdagangan suatu bangsa, bukan dengan memaksa menambah nilai atau volume

perdagangan. Pemerintah merkantilis melakukan surplus perdagangan dengan

melarang impor secara resmi atau menciptakan berbagai macam pembatasan-

pembatasan impor seperti tarif atau kuota. Pada saat yang sama mereka

mensubsidi industri-industri di negaranya untuk memperluas ekspor.

Ketiga, negara-negara merkantilis akan melakukan kolonialisasi ke seluruh

dunia dengan mengeksploitasi bahan baku dan perluasan pasar sehingga harga

produk akhirnya menjadi lebih tinggi. Sumber bahan baku yang esensial meliputi

teh, gula, tembakau, karet dan katun.

Saat ini banyak negara mencoba untuk memelihara surplus perdagangan

melalui praktek neo-merkantilisme atau nasionalisme ekonomi. Jepang sering

dipandang mempraktekkan neo-merkantilisme, karena secara konsisten

memelihara surplus perdagangan yang tinggi dengan beberapa negara industri,

merkantilisme dengan mitra dagangnya mendorong team ekspor dimasa ekonomi

yang sulit di masa lalu.

Masalah utama dengan merkantilisme adalah bahwa aliran ini memandang

perdagangan internasional sebagai zero–sum game, dimana memandang sebuah

negara hanya mendapatkan keuntungan bila mengorbankan negara lain. Namun,

bila semua negara membentengi pasarnya dari impor dan memaksakan ekspornya

kepada negara lain, maka perdagangan internasional akan sangat terbatas. Juga

kebijakan kolonial membuat pasar-pasar potensial tetap miskin karena pasar-pasar

tersebut hanya menerima sedikit uang bagi bahan baku/mentah, namun dikenakan

harga yang tinggi untuk barang jadi.

Usaha untuk memupuk logam mulia melalui surplus ekspor tidak akan

berhasil. Surplus ekspor yang harus dibayar dengan logam mulia menimbulkan

kenaikan dalam jumlah uang yang beredar yang langsung akan mendorong ke

arah naiknya harga barang-barang dan jasa.

Dokumen terkait