• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahasiswa Psikologi Universitas “X” angkatan 2009 memiliki usia yang berkisar antara 18-21 tahun. Pada usia tersebut mahasiswa mulai memasuki periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru (Hurlock, 1994). Pola kehidupan baru yang harus dihadapi mahasiswa adalah menyelesaikan studinya di Universitas dengan baik.

Tuntutan Universitas Fakultas Psikologi di Indonesia terhadap mahasiswanya adalah agar lebih mandiri dan efektif dalam merencanakan dan mengatur kegiatan belajar mereka. Jadi untuk menyelesaikan studinya dengan baik dan tepat waktu di universitas mahasiswa harus mampu merencanakan dan mengatur kegiatan belajarnya. Namun tidak semua mahasiswa mampu merencanakan dan mengatur kegiatan belajarnya, mereka hanya menjalankan apa yang diberikan atau ditugaskan tanpa ada perencanaan dan pengaturan. Kegiatan perencanaan dan pengaturan ini disebut Self-regulated learning.

Self-regulated learning menurut Pintrich (dalam Boekaerts, 2005) adalah suatu proses yang aktif dan berkembang dimana seorang mahasiswa menetapkan

9

Universitas Kristen Maranatha tujuan untuk pembelajaran mereka dan berusaha untuk memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang diarahkan dan terikat oleh tujuan-tujuan mereka dan ciri-ciri konteks di lingkungan. Pintrich menyebutkan definisi ini serupa dengan model-model lain self regulated learning.

Menurut Pintrich (dalam Boekaerts, 2005) dalam proses Self-Regulated learning terdapat 4 fase yang dapat membantu mahasiswa untuk lebih terfokus pada masa pembelajarannya di universitas. Keempat fase tersebut yaitu : Pertama fase forethought, planning, dan activation yaitu menyangkut penetapan tujuan dan perencanaan sebagai penggerak dari persepsi-persepsi dan pengetahuan mahasiswa tentang tugas-tugas dan lingkungan tempat mereka belajar dalam kaitannya dengan proses belajar mereka. Kedua Fase monitoring yaitu proses pemantauan yang menampilkan kesadaran metacognitive akan aspek-aspek dalam diri mahasiswa terhadap tugas-tugas dan keadaan lingkungan tempat mereka belajar. Ketiga fase control yaitu menyangkut masalah usaha mahasiswa untuk mengendalikan, mengarahkan, area-area yang ada dalam diri untuk mengerjakan tugas-tugas dan beradaptasi dengan lingkungan tempat mahasiswa belajar. Keempat fase reaction and reflection, menampilkan berbagai macam reaksi dan refleksi dalam diri mahasiswa terhadap tugas-tugas yang telah dilakukan dan usaha untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat mahasiswa belajar.

Menurut Pintrich (dalam Boekaerts, 2005) keempat fase ini memang memperlihatkan tahapan suatu proses yang akan dilewati oleh seseorang ketika mereka mengerjakan tugasnya, tetapi tidak ada asumsi yang kuat bahwa fase-fase ini selalu melewati tahap awal terlebih dahulu sebelum masuk ke tahap

10

Universitas Kristen Maranatha selanjutnya. Jadi proses Self-Regulated Learning mahasiswa bisa dimulai dari fase manapun, tidak selalu harus dimulai dari fase forethought.

Melalui proses keempat fase tersebut terdapat empat area dari mahasiswa yang dapat diregulasi. Tiga area pertama yaitu kognisi, motivasi/perasaan, dan tingkah laku. Ketiga area tersebut menunjukkan aspek-aspek yang ada dalam diri mahasiswa yang dapat di regulasi. Kemudian area yang keempat yaitu context, menggambarkan berbagai macam aspek task environment, general classroom, atau cultural, dimana proses belajar mahasiswa berlangsung. (Pintrich, 2005)

Gambaran proses keempat fase dan keempat area yang diregulasi dapat terbagi menjadi beberapa komponen dan proses yang berbeda-beda. Pertama regulasi dari cognition terdiri dari cognitive planning dan activation, cognitive monitoring, cognitive control dan regulation, cognitive reaction dan reflection. (Pintrich, 2005)

Terdapat tiga jenis umum dari cognitive planning atau activation yaitu target goal setting, activation of relevant prior content knowledge dan activation of metacognitive knowledge (Pintrich, 2005: 457). Pertama target goal setting adalah penetapan goal dari mata kuliah yang diambil mahasiswa. Penetapan goal ini dapat terjadi kapan pun selama mahasiswa melaksanakan proses belajarnya. Mahasiswa yang melakukan target goal setting, mereka menyiapkan target nilai yang harus mereka capai terlebih dahulu pada awal mereka mengambil suatu mata kuliah sedangkan mahasiswa yang tidak melakukan target goal setting, mereka mengambil mata kuliah tanpa ada target nilai yang ingin mereka raih.

11

Universitas Kristen Maranatha Kedua activation of relevant prior content knowledge adalah proses ketika mahasiswa secara sadar dan terencana mencari pengetahuan, strategi-strategi yang berhubungan dengan mata kuliah yang sedang diambilnya semester tersebut sebelum mahasiswa mulai mengerjakan tugas-tugas mata kuliah tersebut. Mahasiswa yang telah menyiapkan target-target mata kuliah tertentu yang akan diambil, mereka juga dapat mulai memikirkan apa saja yang harus dipelajari untuk mata kuliah tersebut, yang berhubungan dengan mata kuliah yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sedangkan untuk mahasiswa yang tidak melakukan activation of relevant prior content knowledge, mereka hanya mengambil mata kuliah dan mempelajari mata kuliah tersebut tanpa mengingat-ingat mata kuliah yang berhubungan dengan mata kuliah tersebut.

Ketiga activation of metacognitive knowledge terbagi atas 3 bagian, pertama pengaktifan declarative knowledge of cognition meliputi pengaktifan pengetahuan tentang kognisi dan juga termasuk strategi-strategi kognisi (contohnya: pengulangan, elaborasi) apa saja yang dibutuhkan mahasiswa untuk belajar. Kedua procedural knowledge meliputi pengetahuan tentang bagaimana cara untuk melaksanakan dan menggunakan berbagai macam strategi kognisi sebelum melaksanakan tugas. Ketiga conditional knowledge meliputi pengetahuan tentang kapan dan mengapa mahasiswa menggunakan berbagai macam strategi kognisi. Mahasiswa yang melakukan pengaktifan metacognitive knowledge-nya contohnya adalah mahasiswa yang mencoba mencari tahu persiapan apa saja yang dibutuhkan untuk mengambil suatu mata kuliah, mungkin dengan meminjam buku. Mahasiswa yang tidak melakukan pengaktifan metacognitive

knowledge-12

Universitas Kristen Maranatha nya contohnya adalah mahasiswa yang mengambil suatu mata kuliah tanpa persiapan apapun, hanya menunggu apa yang akan dibutuhkan.

Cognitive monitoring terdiri dari judgement of learning dan feeling of knowing (Pintrich, 2005: 458). Pertama Judgement of learning merupakan penilaian yang dilakukan mahasiswa secara sadar terhadap kemampuan dirinya sendiri. Penilaian ini dapat terlihat dari berbagai aktivitas, contohnya ketika mahasiswa akan menghadapi ujian, mereka akan dapat menyadari bahwa mereka belum sepenuhnya menguasai bahan ujian. Mahasiswa yang mampu melakukan judgement of learning contohnya adalah mahasiswa akan mencoba untuk menentukan apakah ia telah menguasai bahan ujiannya. Kemudian untuk mahasiswa yang kurang mampu melakukan judgement of learning contohnya adalah mahasiswa yang tidak mampu mengetahui apakah ia sudah menguasai bahan ujian atau belum.

Sedangkan yang kedua feeling of knowing merupakan peristiwa ketika seorang mahasiswa tidak mampu mengingat suatu materi kuliahnya tetapi mahasiswa tersebut yakin bahwa bahwa dirinya mengetahui materi tersebut. Fenomena ini sering disebut fenomena ”tip of the tongue”. Mahasiswa yang memiliki kemampuan feeling of knowing contohnya adalah mahasiswa yang bila tidak dapat mengerjakan suatu soal ujian namun yakin bahwa ia pernah membaca. Mahasiswa yang kurang mampu dalam melakukan feeling of knowing contohnya adalah mahasiswa yang ketika tidak mampu mengerjakan suatu persoalan ujian dan tidak mengingat sama sekali cara mengerjakannya.

13

Universitas Kristen Maranatha Cognitive control hanya memiliki satu aspek yaitu saat mahasiswa memilih dan menggunakan berbagai macam strategi kognitif untuk mengingat, belajar, menalar, memecahkan masalah dan berpikir (Pintrich, 2005: 459). Contoh-contoh strategi kognitif yaitu parafrasing, meringkas, menggaris bawahi, membuat catatan. Terkadang mahasiswa menggaris bawahi kalimat atau kata-kata penting di handout-nya agar mereka dapat lebih mudah untuk menangkap inti dari pelajaran tersebut. Mahasiswa yang mampu melakukan cognitive control adalah mahasiswa yang mampu memilih strategi belajar yang tepat untuk suatu bahan ujian atau suatu jenis persoalan ujian sedangkan mahasiswa yang kurang mampu melakukan cognitive control tidak dapat memilih strategi yang tepat.

Cognitive reaction dan reflection memiliki 2 aspek yaitu self evaluation dan attributions (Pintrich, 2005: 460). Aspek pertama Self evaluation mengacu pada evaluasi yang dilakukan mahasiswa terhadap hasil kerja dan atribusi mereka. Mahasiswa yang dikatakan melakukan self regulator yang baik adalah mereka yang menyadari pentingnya evaluasi dan melakukan evaluasi terhadap hasil kerjanya. Mahasiswa sering kali mengeluh akan hasil tesnya, kemudian mahasiswa tersebut mulai mencari kesalahan yang ia buat ketika mengerjakan persoalan, saat keadaan tersebut terjadi mahasiswa melakukan evaluasi. Mahasiswa yang tidak mencari kesalahannya, atau tidak mencari tahu mengapa ia mendapatkan nilai yang rendah, tidak melakukan self evaluation.

Kemudian mahasiswa yang mampu melakukan reaksi yang baik adalah mahasiswa membuat adaptive attributions untuk pekerjaan mereka (Zimmermann, 1998). Adaptive attribution secara umum contohnya dilihat ketika

14

Universitas Kristen Maranatha mahasiswa membuat penjelasan terhadap diri sendiri mengenai kegagalan atau keberhasilan mereka berdasarkan tingkat usaha atau kemampuan mahasiswa untuk menggunakan strategi belajar. Sedangkan attribution yang tidak adaptif contohnya adalah ketika mahasiswa menjelaskan kegagalan atau keberhasilan mereka dikarenakan kelebihan atau kekurangan intelegensi mereka.

Area yang kedua motivasi dan perasaan, terdiri dari motivational planning dan activation, motivational monitoring, motivational control dan regulation, motivational reaction dan reflection.

Motivational planning dan activation meliputi goal orientation adoption, efficacy judgements, ease of learning judgements (EOLs); perception of task difficulty, Task value orientation, dan interest activation (Pintrich, 2005: 462). Goal orientation yaitu berupa kemampuan seorang mahasiswa untuk mengetahui tujuan dari tugas atau ujian yang diberikan dosen. Dalam suatu kelas ada mahasiswa yang dapat mengerti tujuan ia harus mengerjakan suatu tugas, namun ada juga mahasiswa yang mengerjakan hanya karena diminta oleh dosennya.

Efficacy judgements adalah penilaian mahasiswa akan kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas atau ujian mereka. Dalam proses ini mahasiswa menilai apakah mereka akan mampu melaksanakan tugas atau ujian yang akan diberikan. Mahasiswa yang memiliki efficacy judgement yang tinggi adalah mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan akan merasa mampu.

Ease of learning judgement (EOL) adalah penilaian mahasiswa terhadap tugas yang mereka kerjakan, apakah tugas tersebut sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki atau tidak. Mahasiswa yang memiliki kemampuan Ease of

15

Universitas Kristen Maranatha learning judgement adalah mahasiswa yang tidak memandang suatu tugas terlalu sulit untuk ia kerjakan.

Mahasiswa juga memiliki Task value orientation yang meliputi pandangan siswa terhadap relevansi, kegunaan dan pentingnya suatu tugas. Jika seorang mahasiswa percaya bahwa suatu tugas tersebut relevan dan penting untuk tujuan kedepan mereka atau berguna untuk mereka, maka mereka akan lebih serius untuk mengerjakan tugas tersebut.

Disamping pentingnya suatu tugas mahasiswa juga memilliki persepsi terhadap personal interest mereka terhadap suatu bidang atau tugas seperti mahasiswa lebih menyukai psikologi klinis, perkembangan, atau industri dan organisasi. Mahasiswa yang mampu melakukan self-regulated learning akan mencoba untuk menyukai mata kuliah yang ia ambil walau ia tidak suka dengan mata kuliah tersebut.

Motivational monitoring, hanya memiliki satu aspek yaitu awareness and monitoring of their motivation and affect yang mengacu kepada bagaimana seorang mahasiswa menjadi sadar akan motivasi dan perasaan mereka (Pintrich, 2005: 463). Kesadaran akan motivasi dan perasaan ini penting karena menjadi permulaan bagi seorang mahasiswa untuk berusaha mengontrol dan meregulasi motivasi dan perasaan mereka. Contohnya mahasiswa yang menyadari bahwa dirinya sedang malas mengerjakan tugas praktikum.

Motivational control memiliki satu aspek yaitu pemilihan dan adaptasi terhadap strategi yang ditujukan untuk mengontrol dan mengendalikan motivasi dan perasaan (Pintrich, 2005: 464). Strategi untuk mengendalikan perasaan dan

16

Universitas Kristen Maranatha perasaan ada berbagai macam beberapa diantaranya yaitu positive self-talk contohnya mengatakan dalam hati, ”saya pasti bisa” ; self affirmation contohnya seorang mahasiswa yang mendapat nilai tes rendah berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa tes tersebut tidak terlalu penting, UAS lebih penting; defensive pessimism contohnya mahasiswa yang secara sengaja untuk memikirkan jika ia gagal UAS agar ia menjadi cemas dan akhirnya berusaha dan belajar lebih baik (Pintrich, 2005: 464).

Motivational reaction dan reflection memiliki dua aspek yaitu affective reaction dan attribution (Pintrich, 2005: 465). Setelah seorang mahasiswa selesai mengerjakan tugas mereka mungkin akan memiliki suatu reaksi emosi terhadap hasil dari tugas tersebut. Mahasiswa yang mampu melakukan self-regulated learning akan menampilkan reaksi emosi dan atribusi yang adaptif. Mahasiswa yang mampu melakukan self-regulated learning contohnya mahasiswa gembira karena mendapat nilai 8 pada mata pelajaran yang ia anggap sulit. Mahasiswa juga akan merasa kecewa karena ia tidak belajar sungguh-sungguh saat ujian. Sedangkan mahasiswa yang kurang mampu juga menampilkan reaksi emosi mereka namun kurang adaptif, terhadap attributions untuk hasil tugasnya.

Ketiga area tingkah laku, terdiri dari behavioral forethought, planning, dan activation; behavioral monitoring dan awareness; behavioral control; behavioral reaction dan reflection. Behavioral forethought, planning, dan activation terdiri dari dua aspek yaitu perencanaan atau pengaturan waktu dan usaha (Pintrich, 2005: 466). Pengaturan waktu melibatkan pembuatan jadwal untuk belajar dan membagi waktu untuk berbagai aktivitas. Kemudian yang kedua

17

Universitas Kristen Maranatha yaitu perencanaan untuk mengobservasi perilaku diri mahasiswa sendiri. Disini mahasiswa merencanakan akan memperhatikan apakah jadwal untuk yang ia buat akan berlangsung dengan baik atau tidak.

Behavioral monitoring dan awareness meliputi aktivitas mahasiswa untuk memonitor pengaturan waktu dan usaha mereka kemudian berusaha untuk menyesuaikan usaha mereka dengan tugas yang ada (Pintrich, 2005: 467). mahasiswa berusaha mengamati apakah benar waktu 2 jam yang ia luangkan untuk belajar sudah cukup, karena pada kenyataanya saat waktu belajar ia menghabiskan 1 jam menit untuk bermain.

Behavioral control meliputi aktivitas siswa untuk mengontrol kesehatan fisik, kesehatan mental, pertilaku-perilaku kerja, dan relasi sosial dengan orang lain, dan juga mengontrol aktivitas untuk kegiatan akademik (Pintrich, 2005: 468). Behavior control ini terdiri dari tiga aspek yaitu increase or decrease effort, Persist or give up, dan help seeking behavior. Pada aspek increase or decrease effort mahasiswa harus memilih antara meningkatkan usahanya atau menurunkan usahanya. Contohnya adalah setelah mahasiswa berusaha untuk merencanakan dan memonitor waktu dan usaha yang mereka luangkan untuk belajar, mereka dapat berusaha untuk merubah dan mengadaptasi usaha dan waktu mereka, misalkan ketika belajar untuk quiz yang bahannnya lebih sulit maka mahasiswa akan meluangkan waktu lebih dari 2 jam untuk belajar.

Persist or give up merupakan aktivitas mahasiswa untuk tetap mempertahankan usaha yang ada atau menyerah, mahasiswa dapat mempertahankan kegigihan mereka dengan berbagai cara yaitu dengan self-talk,

18

Universitas Kristen Maranatha defensive pesimism dan self-handicapping. Mahasiswa yang berusaha meregulasi dirinya, akan terus mencoba mempertahankan usahanya hingga tugas-tugas mereka selesai.

Kemudian yang terakhir help seeking behavior, dalam aktivitas ini mahasiswa berusaha untuk mencari bantuan dari orang lain. Aktivitas mencari bantuan yang adaptive adalah ketika mahasiswa telah merasa benar-benar tidak mampu untuk mengerjakan suatu tugas barulah ia akan berusaha untuk mencari bantuan, dan juga mahasiswa harus mengetahui kepada siapa ia harus meminta bantuan.

Berhavioral reaction dan reflection mencakup aktivitas membuat penilaian terhadap perilaku diri mereka sendiri, dan yang menjadi reaksi adalah tingkah laku mahasiswa ketika memilih (Pintrich, 2005: 467). Setelah mahasiswa berusaha mengontrol waktu dan usaha yang ia butuhkan, dan hasil dari usaha mereka telah terlihat, setelah itu mereka dapat memilih apa yang harus mereka lakukan berdasarkan hasil yang mereka dapat. Apakah mereka harus belajar lebih banyak, ataukah mereka memilih untuk tetap mempertahankan cara belajar yang sama. Jadi mahasiswa yang mampu melakukan self-regulated learning akan mencoba menentukan pilihan-pilihan tindakan selanjutnya dari suatu hasil kerja mereka.

Terakhir area konteks terdiri dari contextual forethought, planning, dan activation; contextual monitoring; contextual control, contextual reaction dan reflection. Pintrich (2005: 469) mengatakan contextual forethought, planning, dan activation melibatkan persepsi tentang tugas dan persepsi mahasiswa dari

19

Universitas Kristen Maranatha berbagai situasi, dalam penelitian ini dalam situasi kelas. Persepsi tentang tugas disini dapat berupa norma-norma dikelas untuk mengerjakan suatu tugas. Sedangkan persepsi terhadap situasi kelas lebih mengacu pada persepsi pada norma-norma yang ada di kelas dan juga suasana yang ada dikelas seperti semangat dan kehangatan dosen. Jadi mahasiswa yang mampu melakukan self regulated learning adalah mahasiswa yang mampu menyamakan persepsi mereka dengan aturan-aturan yang ada dalam suatu mata kuliah, dan juga aturan-aturan dari tugas yang diberikan dosen.

Pintrich (2005, 470) menyebutkan, Contextual monitoring meliputi aktivitas mahasiswa untuk memperhatikan dan memahami tugas dan kekhasan dari keadaan lingkungan kelas. Setelah pada proses sebelumnya mahasiswa berusaha untuk menyamakan persepsi tentang aturan-aturan dari tugas-tugas yang diberikan dan aturan-aturan yang ada di kelas, pada tahap ini mahasiswa berusaha untuk memahami tugas yang dimaksudkan disini. Mahasiswa harus secara sadar mahasiswa memperhatikan berbagai kriteria dari tugas, mengapa kriteria tersebut perlu di dipenuhi. Contohnya saat mahasiswa dihadapkan pada tugas untuk pengambilan data, mahasiswa diharuskan untuk mengenakan pakaian formal. Mahasiswa yang mampu melakukan monitoring contextual adalah mahasiswa yang mengerti mengapa mereka diwajibkan untuk memakai pakaian formal.

Kemudian mahasiswa juga dapat memperhatikan dan memahami kekhasan dari keadaan kelas, jadi mahasiswa dapat secara sadar memperhatikan keadaan kelas seperti contohnya aturan-aturan yang ada dikelas, tidak semua

20

Universitas Kristen Maranatha dosen memperbolehkan mahasiswa yang diajarnya untuk terlambat, dan mahasiswa harus memahami hal tersebut.

Contextual control berhubungan dengan usaha siswa untuk mengontrol dan mengendalikan tugas-tugas dan keadaan kelas (Pintrich, 2005: 470). mahasiswa dapat berusaha untuk mengubah atau menegosiasikan aturan-aturan dari tugas yang diberikan oleh dosennya, kemudian mahasiswa juga dapat mengubah atau meninggalkan situasi belajar yang menurut mereka tidak sesuai dengan mereka. Mahasiswa yang mampu melakukan contextual control adalah mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan aturan-aturan yang diberikan.

Contextual reaction dan reflection, Pintrich (2005: 472) mengatakan dalam proses ini mahasiswa dapat berusaha untuk membuat evaluasi umum dari tugas dan lingkungan kelas yang berdasarkan kesenangan dan kenyamanan mereka sendiri. Pada bagian ini mahasiswa akan mencoba untuk mengevaluasi apa saja hal-hal dari lingkungan yang membuat mereka tidak nyaman untuk belajar. Kemudian hal-hal apa yang ada dilingkungan yang membuat mereka nyaman untuk belajar. Misalnya ketika mahasiswa merasa tidak nyaman karena kelasnya terlalu ribut, mahasiswa akan berusaha mengevaluasi seharusnya tindakan apa yang harus dilakukan agar tidak terlalu terganggu dengan keadaan tersebut.

Menurut pintrich (2005: 453) self-regulated learning adalah suatu proses yang aktif, membangun dengan cara mahasiswa menetapkan tujuan-tujuan untuk pembelajaran mereka dan berusaha untuk mengamati, mengatur dan mengendalikan kognisi, motivasi, dan tingkah laku, dipandu dan dibatasi oleh

21

Universitas Kristen Maranatha tujuan-tujuan dan ciri-ciri kontekstual dalam lingkungan. Walaupun self regulated learning disebutkan sebagai proses, namun kita tetap dapat mengukur self regulated learning sebagai sebuah kemampuan, karena self regulated learning memiliki sifat sebagai sebuah bakat dan sebuah kejadian. (Winne, 1997; Winne & Stokley, 1998). Jadi mahasiswa yang dapat dikatakan mampu melakukan self-regulated learning adalah mahasiswa yang mampu melakukan setiap fase-fase yang ada dalam self-regulated learning, Sedangkan mahasiswa yang cenderung mampu melakukan self regulated learning adalah mahasiswa yang dapat melakukan tiga fase yang ada dalam self-regulated learning. Mahasiswa yang cenderung kurang mampu melakukan self regulated learning adalah mahasiswa yang dapat melakukan dua fase yang ada dalam self-regulated learning. Kemudian mahasiswa yang dianggap kurang mampu melakukan self regulated learning adalah mahasiswa yang hanya dapat melakukan satu fase saja dalam self-regulated learning atau tidak melakukan satu fase pun yang ada dalam self-regulated learning.

Faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan self regulated learning ada dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pintrich (2005: 472) menyebutkan bahwa pada semua model regulasi terdapat goal, standard, criterion, atau reference value yang berfungsi sebagai pendorong yang mengukur operasi dari sistem dan membimbing proses regulasi. Sehingga dapat kita katakan yang mendororong mahasiswa agar melakukan self regulated learning dalam proses belajarnya adalah goal orientation.

22

Universitas Kristen Maranatha Pintrich (2005) mengatakan bahwa goal orientation yang difokuskan pada self regulated learning adalah mastery dan performance goals sedangkan bentuknya approach dan avoidance. Jadi bila dijabarkan terdapat empat macam goals yang akan mempengaruhi self regulated learning seseorang. Goal orientation yang pertama adalah mastery approach, pada goal ini fokus mahasiswa adalah untuk menjadi mahir dalam pemahaman teori-teori ilmu psikologi, mahir dalam praktek-praktek ilmu psikologi. Standar penilaian mahasiswa adalah kedalaman dari pemahaman mahasiswa akan ilmu psikologi yang dipelajari. Mampu memahami fungsi-fungsi dari tugas yang diberikan oleh dosen.

Goal yang kedua adalah performance approach, pada goal ini fokus mahasiswa adalah untuk menjadi lebih baik dibanding mahasiswa lain. Mahasiswa ingin menjadi yang terpintar dalam ilmu psikologi. Standar penilaian mahasiswa adalah IPK yang tinggi mengalahkan mahasiswa yang lain. Mampu mendapatkan nilai yang tinggi dari tugas-tugas yang diberikan dosen.

Dokumen terkait