• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Rendahnya mutu produk jahe segar dengan kontinuitasnya yang tidak lancar sebagai bahan baku industri jahe di Indonesia mendorong dilakukannya berbagai upaya pengembangan bisnis jahe agar dapat memberikan manfaat (benefit) yang optimal kepada para pelaku agribisnisnya, baik yang di sektor hulu (dalam hal ini adalah petani jahe) maupun yang di sektor hilir (dalam hal ini adalah pengusaha industri pengolahan jahe).

Konsep manajemen strategi digunakan untuk merumuskan alternatif strategi yang diharapkan dapat menjadi solusi handal bagi permasalahan agribisnis jahe di

Indonesia seperti yang dikemukakan sebelumnya. Proses perumusan strategi dimulai dengan mengidentifikasi lingkungan internal bisnis jahe di Indonesia sehingga hal-hal yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari bisnis tersebut bisa diidentifikasi dan dinilai. Pengidentifikasian lingkungan eksternal bisnis jahe di Indonesia juga perlu dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang menjadi peluang sekaligus ancaman yang dihadapi oleh bisnis tersebut.

Hasil identifikasi tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam kerangka kerja perumusan strategi yang terdiri dari tiga tahapan yaitu :

1. Tahap masukan (Input Stage), yaitu tahap meringkas informasi atau input dasar yang diperlukan dalam merumuskan strategi.

2. Tahap pencocokan (Matching Stage), yaitu tahap memfokuskan dan meng-hasilkan alternatif strategi yang sesuai dengan kondisi bisnis dengan memadukan faktor-faktor internal dan eksternal.

3. Tahap pemilihan strategi (Decision Stage), yaitu tahap pemilihan strategi utama berdasarkan sejumlah alternatif strategi yang telah ditetapkan sebe-lumnya pada tahap 2. Metode yang digunakan pada tahap ini adalah metode Analisis Hirarki Proses (AHP) untuk mengetahui prioritas strategi yang paling sesuai dengan kondisi bisnis jahe di Indonesia.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan alur pemikiran seperti yang disajikan pada Gambar 3.

Potensi Ekonomi Jahe Indonesia

Kurangnya Kuantitas Penjualan Produk Jahe sebagai Obat Tradisional

Prioritas Alternatif Strategi Pengembangan Bisnis Jahe di Indonesia

Pemilihan Strategi Utama dengan AHP Formulasi Strategi Kurangnya Kualitas

Produk Jahe sebagai Obat Tradisional

Pengembangan Bisnis Jahe di Indonesia

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melihat kondisi dan prospek bisnis jahe di Indonesia secara keseluruhan. Proses penelitian dilaksanakan secara intensif sejak bulan Juni hingga bulan November 2007.

4.2Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dari wawancara dengan panduan kuesioner PHA (Proses Hirarki Analitik) dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan kegiatan budidaya, pengolahan, dan pemasaran jahe di Indonesia. Responden untuk petani dipilih di daerah Sukabumi dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu sentra produksi jahe di Jawa Barat. Taman Sringanis mewakili pihak pengolah dengan pertimbangan bahwa Taman Sringanis sudah cukup lama berkecimpung dalam bisnis obat-obatan tradisional. Responden yang lain adalah pedagang pengumpul di daerah Sukabumi, perwakilan dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Balitro), dan perwakilan dari bidang Manajemen Pemasaran dan Bisnis Institut Pertanian Bogor. Data sekunder yang merupakan pelengkap data primer diperoleh dari Badan Pusat Statistik di Jakarta, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, perpustakaan di lingkungan IPB, internet, serta berbagai literatur yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

4.3Metode Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan uraian. Data yang terkumpul diolah terlebih dahulu dengan menggunakan perangkat lunak (software) Expert Choice version 2000.

Tujuannya adalah untuk menyederhanakan seluruh data yang terkumpul dan disajikan dalam susunan yang teratur untuk kemudian dianalisis. Pengolahan data diperlukan untuk menterjemahkan angka-angka yang didapat dari hasil penelitian sekaligus untuk menjawab tujuan penelitian.

4.3.1 Metode Analisis Hirarki Proses (AHP)

Metode AHP mengenal tiga prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisa logis eksplisit, yaitu :

1. Prinsip menyusun hierarki

Melakukan identifikasi dari yang diamati, mempersepsikan gagasan dengan menggunakan seperangkat pengetahuan dan metode tertentu yang kemu-dian menjadi elemen-elemen pokok dari setiap persoalan sampai pada sub bagian yang terkecil (tersusun secara hierarki) yang berkaitan dengan realitas yang diamati (yang menjadi pokok permasalahan). Dalam metode ini biasanya hierarki-nya antara lima sampai sembilan, prinsipnya bahwa realitas yang heterogen tersebut dapat dipecahkan menjadi bagian-bagian yang sama dan bersifat homogen serta dapat dipadukan dengan sejumlah informasi kedalam struktur masalah sehingga dapat membentuk gambaran yang lengkap dari keseluruhan sistem.

2. Prinsip menentukan prioritas

Penetapan prioritas yang dimaksud adalah menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya.

3. Prinsip konsistensi logis

Prinsip ketiga dari dari pemikiran analitik adalah konsistensi logis yang artinya, pertama bahwa pemikiran atau obyek yang serupa dikelompokkan menurut homogenitas dan relevansinya. Kedua, bahwa intensitas relasi antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria tertentu, saling membenarkan secara logis. Dalam prinsip ini proses hierarki analitik memasukkan aspek kualitatif maupun kuantitatif manusia. Aspek kualitatif untuk mendefinisi-kan persoalan dan hierarkinya, sedangmendefinisi-kan aspek kuantitas untuk mengekspresimendefinisi-kan penilaian dan preferensi secara ringkas.

Proses hierarki analitik memiliki kerangka kerja yang terdiri atas delapan langkah kerja (Saaty, 1991), yaitu:

1. Mendefinisikan permasalahan

Langkah pertama menitikberatkan pada penguatan masalah secara mendalam. Permasalahan yang tidak jelas atau kurang spesifik akan menimbulkan bias dalam menentukan pemilihan tujuan, kriteria, aktivitas dan berbagai elemen atau faktor yang membentuk struktur hierarki pemecahan masalah tersebut. Selain itu, penentuan komponen juga didasarkan pada kemampuan peneliti untuk mene-mukan unsur-unsur yang dapat dilibatkan dalam struktur tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari literatur untuk memperoleh informasi yang relevan dengan masalah.

2. Tahap menyusun hierarki

Penyusunan model suatu hierarki tidak memerlukan aturan khusus karena yang menentukan adalah jenis permasalahan dan keputusan yang akan diambil. Setiap perangkat elemen atau faktor dalam hierarki menduduki satu tingkat

hierarki. Tingkat puncak hierarki hanya terdiri dari satu elemen saja, yang disebut fokus, yaitu seluruh sasaran yang ingin dicapai. Tingkat berikutnya dapat terbagi menjadi beberapa elemen atau faktor, yang terdiri dari kelompok-kelompok yang homogen (berjumlah antara lima-sembilan agar dapat dibandingkan secara efektif terhadap elemen-elemen yang berada setingkat diatasnya). Tidak ada batasan tertentu yang mengatur jumlah tingkatan struktur keputusan dan elemen-elemen pada setiap tingkat. Elemen dalam struktur hierarki dapat berupa faktor pelaku, aktivitas, tujuan, skenario, alternatif-alternatif dan sebagainya.

Penyusunan hirarki awal berdasarkan sumber teori dan studi terdahulu dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hirarki strategi pengembangan bisnis jahe di Indonesia terdiri atas lima tingkatan hirarki, tingkat satu adalah fokus, yaitu strategi pengembangan bisnis jahe di Indonesia. Tingkat dua adalah faktor-faktor yang dibutuhkan untuk membuat strategi dalam pengembangan bisnis jahe ini. Tingkat tiga adalah para aktor yang berperan dalam pengembangan bisnis jahe ini. Tingkat empat merupakan tujuan dari dilakukannya analisis strategi pengembangan bisnis jahe. Tingkatan terakhir merupakan strategi yang dapat digunakan oleh para aktor dalam rangka pengembangan bisnis jahe. Pemilihan elemen untuk tiap tingkatan hirarki dipilih berdasarkan justifikasi atau pertimbangan bahwa elemen tersebut berpengaruh terhadap perkembangan bisnis jahe di Indonesia. Justifikasi atau pertimbangan untuk tiap elemen tersebut adalah sebagai berikut :

A. Elemen Faktor

(1) Pasokan input

karena bagi industri obat tradisional kualitas produk akhir sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakunya.

(2) Informasi pasar

Informasi pasar merupakan faktor yang penting karena sangat membantu berbagai pihak yang terlibat dalam bisnis jahe agar selalu dapat mengetahui dengan cepat perkembangan bisnisnya sehingga bisa langsung direspon oleh para pelaku bisnis jahe.

(3) Kualitas

Kualitas dipilih sebagai salah satu faktor yang penting dalam hirarki karena bagi industri obat tradisional jaminan kualitas untuk suatu produk terutama untuk produk obat tradisional merupakan kunci penting dalam keberhasilan usaha. (4) Potensi Lahan

Potensi lahan turut menjadi salah satu faktor yang berpengaruh karena dapat menentukan kualitas dari hasil panen jahe.

(5) Kemajuan teknologi

Kemajuan teknologi menjadi bagian dalam hirarki karena teknologi berperan untuk meningkatkan nilai jual jahe. Teknologi diharapkan dapat digunakan dalam perancangan produk, pengawasan bahan baku, pengolahan, pengemasan, pe-nyimpanan, dan distribusi produk sampai ke konsumen, sehingga kualitas produk olahan jahe yang dihasilkan tetap terjaga.

(6) Perkembangan pasar

Perkembangan pasar penting untuk strategi pengembangan bisnis karena jika situasi pasarnya menjanjikan keuntungan maka pihak petani jahe hingga pengolah akan merespon dengan cepat kondisi tersebut.

B. Elemen Aktor

(1). Petani

Petani merupakan salah satu aktor yang digunakan dalam penyusunan hirarki karena berhubungan langsung dengan penyediaan bahan baku yang berkualitas dan berperan dalam kontinuitas pengadaan bahan baku dalam proses produksi. (2). Lembaga Penelitian

Lembaga penelitian berperan untuk membantu penyediaan bibit unggul yang terjamin mutu genetiknya, patologis, fisiologis dan fisik. Selain itu, lembaga

penelitian membantu petani untuk mendapatkan teknologi budidaya tanaman jahe yang efisien dan ramah lingkungan sehingga dapat menghasilkan produktivitas dan kualitas jahe yang sesuai standarisasi sebagai bahan baku industri obat tradisional.

(3). Pengolah

Pengolah merupakan aktor yang penting dalam tingkatan hirarki karena pengolah berperan dalam proses pengolahan tanaman jahe menjadi produk baru yang memiliki nilai tambah.

(4). Pedagang

Pedagang juga merupakan aktor yang penting dalam pengembangan bisnis jahe karena berperan sebagai perantara penyediaan bahan baku bagi konsumen terutama industri pengolah.

C. Elemen Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari proses analisis strategi pengembangan bisnis jahe ini adalah :

Peningkatan kualitas dijadikan tujuan karena selama ini masih banyak obat tradisional yang beredar di pasaran tidak terjamin keamanannya jika digunakan dalam jangka waktu yang lama. Produsen dalam hal ini pihak pengolah hanya mengandalkan uji khasiat saja tanpa mengetahui efek samping ataupun kadaluarsa penggunaan suatu produk.

(2). Meningkatkan kuantitas penjualan jahe sebagai obat tradisional

Peningkatan kuantitas penjualan jahe sebagai obat tradisional merupakan im-bas dari peningkatan kualitasnya. Konsumen akan lebih memilih menggunakan produk yang sudah jelas mutunya.

D. Elemen Strategi

Berdasarkan analisis dari faktor-faktor yang dipilih maka terdapat lima strategi yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengembangan bisnis jahe. Kelima alternatif tersebut yaitu:

(1). Penerapan teknik budidaya yang sesuai dengan Good Agricultural Practices

(GAP)

Teknik GAP dipilih menjadi salah satu alternatif strategi karena GAP

merupakan teknik budidaya yang dapat dijadikan acuan agar hasil produksi tanaman jahe kualitasnya terjamin dan sesuai dengan standarisasi bahan baku obat tradisional.

(2). Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)

GMP sangat penting untuk diterapkan pada proses produksi obat tradisional

karena merupakan salah satu prasayarat agar produk olahan jahe sebagai obat tradisional bisa juga di pasarkan untuk pasar ekspor.

Kemitraan merupakan salah satu strategi yang bisa digunakan untuk menjaga kontinuitas pasokan bahan baku agar proses produksi tidak mengalami hambatan. (4). Melakukan diversifikasi produk.

Diversifikasi produk perlu digunakan sebagai strategi untuk memanfaatkan keinginan dan kebutuhan konsumen sehingga konsumen menjadi lebih tertarik untuk membeli dan mengkonsumsinya.

3. Menyusun matriks banding berpasangan

Penyusunan matriks banding berpasangan dimulai dari puncak hierarki yang merupakan dasar untuk melakukan perbandingan berpasangan antar elemen yang terkait yang ada dibawahnya. Pembandingan berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua terhadap fokus yang ada dipuncak hierarki. Menurut perjanjian, suatu elemen yang ada disebelah kiri (F1) diperiksa perihal dominasi atas elemen yang ada disebelah kanan (F2, F3,...Fn) terhadap suatu elemen di puncak matriks. Pembandingan berpasangan kedua dilakukan pada elemen tingkat ketiga antara elemen (A1), perihal dominasi atas (A2, A3,...,An) terhadap tingkat dua. Kemudian seterusnya membandingkan elemen disetiap tingkatan mengikuti struktur hirarki.

4. Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil perbandingan berpasangan

Langkah selanjutnya adalah melakukan pembandingan berpasangan antara setiap elemen pada kolom ke-1 dengan setiap elemen kolom ke-j yang berhubungan dengan fokus tujuan. Pembandingan antar elemen dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan ” seberapa kuat elemen baris ke-1 didominasi atau dipengaruhi oleh fokus tujuan dibandingkan dengan elemen kolom-j?”. Untuk

menuliskan nilai-nilai hasil pertimbangan ke dalam matriks banding berpasangan, digunakan angka-angka yang berfungsi sebagai skala pembanding. Angka tersebut menunjukkan relatif pentingnya suatu elemen dibanding elemen lainnya sehu-bungan dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari kiri atas ke kanan bawah.

5. Memasukkan bilangan 1 – 9 sepanjang diagonal utama dan nilai-nilai kebalikannya

Angka 1 – 9 digunakan apabila Fi lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus puncak hierarki (X), dibandingkan dengan Fj, sedangkan apabila Fi kurang mendominasi sifat (X) dibanding Fj maka digunakan angka kebalikannya. Pembobotan setiap elemen diberikan berdasarkan skala dasar perbandingan pada PHA (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai Skala Dasar Perbandingan pada PHA Nilai

Skala Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempengaruhi sama kuat pada sifat itu 3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting dari yang lainnya

Pengalaman atau pertimbangan sedikit mendukung

satu elemen atas lainnya 5 Elemen yang satu jelas lebih

penting dari elemen lainnya

Pengalaman atas pertimbangan dengan kuat didukung dan dominasinya terlihat dalam praktek

7

Satu elemen sangat jelas lebih penting dibanding elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat disokong dan dominasinya terlihat dalam praktek 9

Satu elemen mutlak lebih penting dibanding elemen lainnya

Dukungan elemen yang satu atas yang lain terbukti memiliki tingkat penegasan tertinggi 2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua

pertimbangan yang berdekatan

Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan

Nilai kebalikan

Jika untuk aktivitas 1 mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan i

6. Melaksanakan langkah 3,4,5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hierarki Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen atau elemen pada setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hierarki. Ada dua macam matriks pembandingan yang dipakai dalam PHA, yaitu :

a. Matriks Pendapat Individu (MPI)

MPI adalah matriks hasil pembandingan oleh individu. Elemennya disimbolkan oleh aij, yaitu elemen matriks baris ke-I dan kolom ke-j (Tabel 7). Tabel 7. Matriks Pendapat Individu (MPI)

G A1 A2 A3 ... An A1 A11 A12 A13 ... A1n A2 A21 A22 A23 ... A2n A3 A31 A32 A33 ... A3n ... ... ... ... ... ... An An1 An2 An3 ... Ann Sumber : Saaty,1993

b. Matriks Pendapat Gabungan (MPG)

MPG merupakan matriks baru yang elemennya berasal dari rata-rata geometrik pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 0.1 atau 10%. Elemennya disimbolkan oleh gij yaitu elemen matriks baris ke-i dan kolom ke-j (Tabel 8)

Tabel 8. Matriks Pendapat Gabungan (MPG)

G G1 G 2 G 3 ... G n G 1 G 11 G 12 G 13 ... G 1n G 2 G 21 G 22 G 23 ... G 2n G 3 G 31 G 32 G 33 ... G 3n ... ... ... ... ... ... G n G n1 G n2 G n3 ... G nn Sumber: Saaty, 1993

Gij = m

( )

aij k

m

k

=1

Dimana : gij = elemen MPG baris ke-i kolom ke-j

(aij) = elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-k 7. Tahap menetapkan prioritas (pembobotan)

Struktur hierarki yang telah disusun menjadi dasar untuk pembuatan kuisioner yang diberikan kepada responden untuk mengetahui pembobotan setiap elemen pada seluruh tingkat struktur hierarki. Pembobotan vektor-vektor prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya dan seterusnya. Pengolahan matriks pendapat terdiri dari dua tahap yaitu : (1) pengolahan horizontal dan (2) pengolahan vertikal. Kedua tahap pengolahan tersebut dapat digunakan untuk MPI dan MPG. Pengolahan vertikal dilakukan setelah MPI dan MPG diolah secara horizontal, dimana MPI dan MPG harus memenuhi persyaratan rasio inkonsistensi :

a. Pengolahan horizontal

Pengolahan horizontal terdiri dari tiga bagian, yaitu penentuan vektor prioritas (vektor eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang memiliki rasio inkonsistensi tinggi.

• Perkalian baris (Z) dengan rumus : Zi = n n k aij

=1 (I,j = 1,2,3,...,n)

VPi =

∑ ∏

= = n i n n k n n k aij aij 1 1 1 VP = (Vpi), untuk I = 1,2,3,...,n

• Perhitungan nilai Eigen Maks (Maks λ), dengan rumus : VA = (aij) x VP dengan VA = (vai)

VB = VP VA dengan VB = (vbi) λMaks =

= n k i vbi n 1 untuk I = 1,2,3,...,n

• Perhitungan indeks inkonsistensi (CI) dengan rumus : CI = 1 − − n n maks λ

• Perhitungan rasio inkonsistensi (CR) adalah : CR =

RI CI

RI merupakan indeks acak yang dikeluarkan oleh Oak Ridge Laboratory (L. Saaty, 1993) dari matriks berorde 1 sampai dengan 15 yang menggunakan sampel berukuran 100.

Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan CR merupakan tolak ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty, 1993).

Pengolahan vertikal yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka :

Cvij = Σ Chij (t;i-1) x VWt (i-1) Untuk i = 1,2,3,...,n

j = 1,2,3,...,n t = 1,2,3,...,n

Dimana : Chij (t;i-1) = nilai prioritas elemen ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat diatasnya (I-1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal.

VWt (I-1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (I-t) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil perhitungan horizontal.

P = Jumlah tingkat hirarki keputusan

r = Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-1 s = Jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (I-t) 8. Evaluasi Konsistensi

Pengisian kuisioner pada tahap Matriks Banding Berpasangan adakalanya terjadi penyimpangan dalam membandingkan elemen satu dengan elemen lainnya, sehingga diperlukan suatu uji konsistensi. PHA memperbolehkan penyimpangan dengan toleransi rasio inkonsistensi dibawah 10 persen. Langkah ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks konsistensi dengan prioritas-prioritas kriteria yang bersangkutan dan menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks.

Pengolahan data dengan menggunakan program komputer Expert Choice

Version 9.0, dilakukan mulai dari langkah keenam, yaitu melaksanakan langkah

ke 3, 4, dan 5 untuk semua tingkat dalam hirarki tersebut, sampai pada langkah kedelapan yaitu evaluasi konsistensi. Rasio inkonsistensi diperoleh setelah matriks diolah secara horizontal dengan menggunakan program komputer Expert

Choice Version 2000. Jika rasio inkonsistensi mempunyai nilai yang lebih besar

dari 10 persen, maka mutu informasi harus ditinjau kembali dan diperbaiki, antara lain dengan memperbaiki cara mempergunakan pertanyaan ketika melakukan pengisian ulang kuisioner dan lebih mengarahkan responden yang mengisi kuisioner.

Latar belakang digunakannya PHA sebagai alat analisis strategi pengem-bangan bisnis jahe, karena dalam batasan tertentu pemilihan strategi harus bisa memberikan informasi yang dapat menggambarkan suatu kondisi secara jelas. Selain itu, pengambilan keputusan tidak semuanya harus secara kualitatif, namun harus dipadukan dengan unsur kuantitatif. PHA dapat mencakup semuanya, dalam PHA aspek kualitatif digunakan untuk mendefinisikan personal dan menyusun suatu hirarki, sedangkan aspek kuantitatif digunakan untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas.

Tanaman jahe sudah sejak dulu dikenal oleh masyarakat dunia, khususnya masyarakat Indonesia. Pengusahaan perkebunan jahe di Indonesia dilakukan oleh dua pihak yaitu : Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Tabel 9 menunjukkan luas areal dan produksi perkebunan jahe seluruh indonesia menurut status pengusahaan dari tahun 1989 – 2002.

Tabel 9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Jahe Seluruh Indonesia Menurut Status Pengusahaan dari Tahun 1989 – 2002

Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Tahun PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah 1989 7282 0 136 7418 63299 0 249 63548 1990 10438 0 389 10827 79140 0 751 79891 1991 10846 0 172 11018 88405 0 161 88566 1992 11291 0 10 11301 94275 0 230 94505 1993 11522 0 0 11522 88573 0 0 88573 1994 10879 0 5 10884 75936 0 55 75991 1995 12251 0 5 12256 82628 0 3 82631 1996 14032 0 5 14037 80468 0 3 80471 1997 14440 0 0 14440 77572 0 0 77572 1998 9824 0 0 9824 67951 0 0 67951 1999 23672 0 0 23672 148536 0 0 148536 2000 25626 0 0 25626 129989 0 0 129989 2001 20995 0 0 20995 113267 0 0 113267 2002 25139 0 0 25139 127257 0 0 127257 Sumber : Direktorat Jendral Bina Produksi Pertanian, 2002

Tabel tersebut menunjukkan bahwa PBS hanya mengusahakan perkebunan jahe hingga tahun 1996. Pengusahaan kebun jahe di Indonesia penyebarannya cukup merata. Selain itu dapat dilihat juga dari setiap daerah yang memiliki nama tersendiri untuk tanaman jahe, yaitu : jae (Jawa dan Bali), halia (Aceh), beeuing (Gayo), bahing (Batak Karo), sipodeh (Minangkabau), jahi (Lampung), jahe (Sunda), jhai (Madura), melito (Gorontalo), dan geraka (Ternate). Tanaman jahe

46

banyak tersebar di Pulau Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan untuk pulau Sumatera, tanaman jahe tersebar di daerah Sumatera Utara dan Aceh. Propinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo merupakan dua daerah terbesar pengusahaan kebun jahe di Pulau Sulawesi (Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2002).

Secara perlahan, tanaman jahe menjadi salah satu komoditi tanaman obat yang banyak dicari karena manfaat dan kegunaannya yang dapat mendatangkan keuntungan bagi banyak pihak. Berbagai macam faktor diantaranya sumber daya manusia dan kemajuan serta ketersediaan sarana teknologi juga turut andil dalam mengembangkan jahe menjadi salah satu komoditi bisnis baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

Salah satu sentra produksi tanaman jahe saat ini adalah Jawa Barat yaitu di Kabupaten Sukabumi, Kecamatan Nagrak, Kampung Pasir bentik. Di daerah tersebut ada beberapa kelompok petani tanaman obat yang juga membudidayakan tanaman jahe. Derah tersebut menjadikan tanaman obat khususnya jahe sebagai salah satu mata pencaharian rumah tanggga. Berikut ini pada Gambar 4 dapat kita lihat jalur tata niaga jahe di pasar domestik khususnya di Kabupaten Sukabumi.

Kelompok petani jahe kecamatanNagrak

Konsumen (Rumah tangga atau Perusahaan Obat Tradisional) Pedagang Eceran (Pasar tradisional daerah sekitar) Pedagang Besar Pedagang Pengumpul (Ibu Hj. Arifin) Pedagang antar Kecamatan

Pada gambar jelas terlihat bahwa petani lebih memilih untuk menjual hasil panen jahenya kepada pedagang pengumpul, karena walaupun harga yang diterima itu rendah namun ada jaminan hasil panennya dapat terjual habis. Konsumen (khususnya perusahaan) membeli jahe tidak langsung pada petani melainkan kepada pedagang pengumpul karena selain kapasitasnya bisa lebih besar, harga lebih besaing, jahe tersebut juga sudah disortir menurut kualitasnya.

Dokumen terkait