• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan kawasan peternakan merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan daya saing produk pertanian serta berperan dalam pelestarian sumberdaya pertanian (Saragih 2000). Kawasan produksi ternak merupakan areal terbatas dengan batas fisik dan administratif yang jelas untuk kegiatan budidaya ternak (pembibitan, pembesaran dan penggemukan), ditunjang oleh sarana produksi memadai seperti pakan, kandang, gudang, dan tempat penjaga kandang yang seluruhnya dikelola oleh manajemen yang tergabung dalam kelompok atau koperasi peternakan (Abdullah 2009).

Posisi ternak sesuai fungsi pemanfaatan dan pengembangannya dalam budidaya ada tiga, yaitu ternak sebagai sumberdaya, ternak sebagai komoditas dan ternak sebagai penghasil produk. Ternak sebagai sumberdaya harus dijaga keberadaannya karena dari kelompok ini akan dihasilkan ternak sebagai komoditas yang selanjutnya dari ternak komoditas akan menghasilkan ternak bakalan unggul atau ternak sebagai penghasil produk (Yusdja dan Ilham 2006). Ketiga fungsi ternak tersebut akan lebih efisien dan efektif bila dilaksanakan melalui keterpaduan dalam suatu kawasan peternakan. Kawasan peternakan dalam perkembangannya akan berinteraksi dengan wilayah disekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu dalam melakukan pengembangan kawasan sapi potong rakyat tidak dapat dilakukan secara parsial, juga harus dipertimbangkan interaksi dengan wilayah produksi disekitarnya. Hal tersebut terkait dengan penyebaran penyakit, konflik penggunaan lahan, keamanan, aliran sarana produksi, distribusi dan pemasaran ternak.

Perkembangan kawasan sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu dan upaya pengembangan kawasan akan dapat efektif apabila variabel penentu perkembangan kawasan tersebut dapat teridentifikasi secara baik. Sementara variabel penentu secara lebih spesifik saat ini belum terumuskan secara sistematis dan konkrit. Setiap wilayah dapat memiliki kawasan tertentu sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah setempat sehingga kawasan agribisnis peternakan di masing-masing wilayah mempunyai karakteristik dan pola yang sangat beragam (Deptan RI 2002a).

Pengembangan kawasan sapi potong dalam penelitian ini mengandung lima dimensi utama yang terdiri dari wilayah, ternak, sumberdaya manusia, teknis peternakan dan faktor eksternal. Setiap dimensi tersebut memiliki indikator dan kriteria yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi bersangkutan. Indikator wilayah dicerminkan oleh kesesuaian lahan bagi pengembangan produksi sapi potong berupa daya dukung hijauan pakan dan agrofisik wilayah. Indikator ternak dicerminkan oleh tingkat produktivitas ternak dan kontribusi usaha sapi potong. Indikator sumberdaya manusia dicerminkan oleh ketersedian keluarga petani ternak, motivasi dan partisipasi peternak terhadap usaha sapi potong. Indikator teknis peternakan dicerminkan oleh manajemen produksi, ketersedian f asilitas layanan peternakan dan kelembagaan. Indikator faktor eksternal dicerminkan oleh dukungan kebijakan pemerintah daerah, kelengkapan sarana prasarana penunjang, peluang pasar, kondisi sosial ekonomi dan interaksi dengan wilayah disekitarnya.

Penyusunan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat (Gambar 1) dimulai dengan mengidentifikasi lingkungan strategis berupa faktor internal (komponen kawasan) dan faktor eksternal dari kondisi kawasan sapi potong rakyat Blang Ubo-ubo dan Cot Seuribe di Kabupaten Aceh Besar. Analisis lingkungan strategis dilakukan melalui matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation), sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman terhadap perkembangan kawasan tersebut. Selanjutnya disusun suatu formulasi strategi menggunakan matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats). Penentuan alternatif pola pengembangan kawasan sapi potong meliputi pada empat tipe strategi yaitu strategi SO, strategi WO, strategi ST dan strategi WT. Penentuan prioritas dari alternatif yang dihasilkan ditentukan melalui Matriks Perencanaan Strategi Kuantitatif (QSPM). Pola pengembambangan kawasan sapi potong rakyat yang menjadi prioritas utama merupakan acuan konseptual untuk penetapan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat berdasarkan pertimbangan setiap faktor internal dan eksternal.

Keterangan : AHP = Analytical Hierarchy Process (Saaty 1993) SWOT = Analisis SWOT (David 2001)

QSPM = Quantitative Strategic Planning Matrix (David 2001)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penentuan pola pengembangan kawasan sapi potong rakyat di Kabupaten Aceh Besar

Komponen Kawasan

KPPTR

Potensi Pengembangan Ternak Efektif (PPE)

Agrofisik dan Potensi lahan Rumah Tangga Petani (KK), motivasi dan partisipasi peternak Kesesuaian wilayah Teknis Peternakan Manajemen produksi, fasilitas layanan peternakan dan kelembagaa SWOT

Alternatif Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat

Prioritas Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat

- Kebijakan pemerintah - Sarana prasarana - Pasar - Sosial budaya AHP Sumberdaya manusia Potensi Ternak Produktivitas ternak

Pola Pengembangan Kawasan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Aceh Besar

Tingkat Perkembangan Kawasan

QSPM

Faktor Eksternal Kondisi Kawasan Sapi Potong Blang Ubo-ubo dan

TINJAUAN PUSTAKA

Produksi Sapi Potong di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam

Pembangunan peternakan sapi potong saat ini dilakukan secara bersama oleh pemerintah, peternak rakyat dan swasta. Pemerintah menetapkan kebijakan, memfasilitasi dan mengawasi aliran dan ketersediaan produk baik jumlah maupun mutunya, agar terpenuhi halal, aman, bergizi dan sehat. Swasta dan petani ternak berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan melalui produksi, importasi, pengolahan, pemasaran dan distribusi produk sapi potong (Bamualim et al. 2008). Sebagai negara agraris perkembangan sektor peternakan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai sektor lainnya terutama pada usaha peternakan sapi potong yang sangat dipengaruhi oleh kegiatan pertanian sawah dan ladang serta penyebaran penduduk.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai saat ini memiliki tingkat kemampuan pasokan produksi daging sapi relatif rendah dibandingkan pertumbuhan permintaan yang terus meningkat. Kapasitas produksi daging sapi pada tahun 2007 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 5 277.9 ton sedangkan kebutuhannya sebesar 6 877.8 ton, sehingga 1 599.9 ton (23.26%) daging sapi belum terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu pasar daging sapi yang sangat terbuka bagi wilayah lain dan menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi pembangunan sektor peternakan daerah khususnya untuk komoditas sapi potong.

Potensi wilayah dan daya dukung lahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangat mendukung untuk pengembangan peternakan sapi potong. Pada tahun 2007 potensinya diperkirakan masih dapat menampung ternak sapi sebanyak 2.45 juta ST (Satuan Ternak) dan baru dimanfaatkan sebesar 6.14 ribu ST. Selain itu jumlah penduduk sebesar 4.22 juta jiwa merupakan konsumen yang besar dan masih tetap tumbuh sekitar 1.1% per tahun, kondisi geografis dan sumber daya alam yang mendukung usaha dan industri peternakan serta meningkatnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah; (a) masih kurangnya akses

peternak terhadap pemasaran, (b) menurunnya kualitas genetik sapi potong, (c) peternak masih memposisikan diri sebagai pemelihara dengan tenaga kerja yang berasal dari keluarga, (d) kecilnya skala kepemilikan ternak (2 – 4 ekor per keluarga) dengan lokasi yang terpencar, (e) belum intensifnya pola pengembangbiakan sapi potong sehingga penggunaan teknologi inseminasi buatan (IB) serta teknologi transfer embrio masih kurang optimal, dan (f) masih terjadinya pemotongan sapi betina produktif dalam mencukupi kebutuhan daging sapi. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat keberhasilan kebuntingan dan kualitas bibit yang dihasilkan sehingga secara keseluruhan akan menurunkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Saputra 2008).

Kondisi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan tidak terlepas dari melemahnya potensi produksi daerah sentra produksi sapi potong, dimana salah satunya adalah Kabupaten Aceh Besar. Sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Aceh Besar pertumbuhan populasi sapi potong berfluktuatif selama kurun waktu 2000 – 2009, yakni dari 4.2% (sebelum tahun 2004) menjadi 2.5% (setelah tahun 2004). Melemahnya potensi produksi sapi potong terjadi pada kurun waktu tahun 2004 – 2005, dimana terjadi penurunan populasi sebesar 22% dari sebelumnya sebesar 125 219 ekor (2004) menjadi 97 224 ekor (2005). Kondisi tersebut disebabkan hilangnya ternak sapi masyarakat yang cukup besar dampak bencana tsunami yang terjadi di Kabupaten Aceh Besar pada akhir tahun 2004 (Dinkeswannak NAD 2010).

Faktor Produksi Pengembangan Usaha Sapi Potong

Kendala dan peluang pemeliharaan sapi potong di suatu wilayah harus memperhatikan tiga faktor, yaitu faktor teknis, sosial dan ekonomis. Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian sistem reproduksi yang berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia, dan kondisi agroekologis. Pertimbangan sosial dimaksudkan eksistensi teknis ternak di suatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat. Pertimbangan ekonomis mengandung arti bahwa ternak harus menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri. Faktor lainnya secara

eksternal di antaranya; infrastruktur, keterpaduan dan terkoordinasi lintas sektoral, perkembangan penduduk serta kebijakan perkembangan wilayah atau kebijakan pusat dan daerah (Santosa 2001).

Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan kepadatan teknis ternak yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak (ST) ternak herbivora saja. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya, maka berarti kemungkinan wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak. Dari angka kepadatan teknis maka akan didapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak. Potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah bersangkutan. Kemampuan produksi hijauan makanan ternak akan bergantung kepada: (1) derajat kesuburan tanah, (2) iklim, (3) tataguna tanah, dan (4) topografi. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak saja yang diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, padang penggembalaan dan sebahagian dari kehutanan (Natasasmita dan Mudikdjo 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa, ketersediaan air juga harus diperhitungkan dalam usaha peternakan sapi potong. Sapi yang kekurangan air menyebabkan aktivitas sel-sel tubuhnya akan terganggu sehingga tubuh sakit dan pertumbuhannya akan terganggu. Kebutuhan air bagi tiap ekor sapi dewasa diperhitungkan berkisar 40 liter sehari dan di padang penggembalaan diusahakan jarak mencapai sumber air tidak lebih dari 1.6 km agar sapi tidak terlalu letih.

Subagio dan Kusmartono (1988) menyatakan aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas tampung ternak terutama berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembalaan yaitu:

1. Penaksiran kuantitas produksi hijauan, dilakukan dengan metode cuplikan dengan memakai frame berukuran bujur sangkar. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan secara acak, ditentukan dengan melihat homogenitas lahan yaitu komposisi botani, penyebaran produksi, serta topografi lahan. Hijauan yang terdapat dalam areal frame dipotong lebih kurang 5 - 10 cm diatas permukaan tanah dan ditimbang beratnya.

2. Penentuan Proper Use Factor. Konsep Proper Use Factor (PUF) besarnya tergantung pada jenis ternak yang digembalakan, spesies hijauan di padangan, tipe iklim setempat serta kondisi tanah. Untuk penggunaan padangan ringan, sedang, dan berat nilai PUF masing-masing adalah 25 – 30 %, 40 – 45 %, dan 60–70 %. Konsep ini digunakan dalam menaksir produksi hijauan karena: (a) Erodibilitas lahan. Jika lahan mudah mengalami erosi dengan hamparan vegetasi rendah, sebaiknya tidak terlalu banyak hijauan dipanen, (b) Pola pertumbuhan kembali hijauan. Bila hijauannya mempunyai pola pertumbuhan setelah panen lamban, maka sebaiknya tidak semua hijauan yang ada diperhitungkan untuk menentukan jumlah ternak yang akan dipelihara, dan (c) Jenis dan perkiraan jumlah ternak yang akan dipelihara. Semakin banyak jenis temak yang dipelihara maka injakan ternak terhadap rerumputan mengakibatkan tidak 100% hijauan yang ada dapat dikonsumsi ternak.

3. Menaksir kebutuhan luas tanah per bulan, didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan.

4. Menaksir kebutuhan luas tanah per tahun. Suatu padangan memerlukan masa agar hijauan yang telah dikonsumsi ternak tumbuh kembali dan siap untuk digembalai lagi. Masa ini disebut sebagai periode istirahat. Padang rumput tropika membutuhkan waktu 70 hari untuk istirahat setelah digembalai selama 30 hari.

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong adalah dengan menggunakan bibit sapi potong yang berkualitas, karena hal ini merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya pengembangan peternakan sapi potong secara berkelanjutan (Deptan 2006). Bibit sapi potong yang baik menurut Wiyono dan Aryogi (2007) harus memenuhi kriteria umum sebagai berikut :

a.Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, sapi PO berwarna putih, sapi Madura berwarna coklat, dan sapi Bali betina berwarna merah bata serta jantan dewasa berwarna hitam.

b.Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh ternak dengan tingkat pertambahan berat badan ternak yang tinggi pada umur tertentu. c.Ukuran tinggi punuk minimal pada calon bibit sapi potong (indukan dan

pejantan) mengacu pada standar bibit populasi lokal, regional atau nasional. d.Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat diwariskan, baik yang dominan

(terjadi pada sapi yang bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi pada sapi yang bersangkutan, tetapi pada sapi tetua atau pada sapi keturunannya). e.Untuk pejantan, testis sapi umur diatas 18 bulan harus simetris (bentuk dan

ukuran yang sama antara skrotum kanan dan kiri), menggantung dan mempunyai ukuran lingkaran terpanjangnya melebihi 32 cm (32 – 37 cm). f. Kondisi sapi sehat yang diperlihatka dengan mata yang bersinar, gerakannya

lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat ditularkan melalui aktivitas reproduksi.

Usahatani sebagai suatu sistem dalam pendekatannya ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, adalah struktur dari sistem tersebut dan kedua, fungsi dari komponen-komponen pembentuk sistem itu sendiri. Dalam fungsinya sebagai sistem usahatani, ternak akan berintegrasi dengan lahan, komoditi lain yang diusahakan dan dengan petani sebagai pengelola usaha tani. Interaksi ternak dengan petani, mencakup empat aspek penting yaitu: (a) keserasian ternak dengan tujuan petani, (b) kesenangan petani dan ketrampilannya memelihara ternak, (c) kemampuan petani dari segi waktu dan tenaga kerja pemelihara, dan (d) keadaan sosial budaya lingkungan setempat (Siregar1997).

Partisipasi merupakan kesediaan membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Partisipasi dalam pembangunan adalah peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik berupa pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukkan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, materi serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Rakhmat 2000).

Persoalan biaya memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan dari suatu usaha. Secara umum biaya produksi dimaksudkan sebagai jumlah kompensasi yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi suatu usaha. Penerimaan usahatani atau disebut juga sebagai pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu perhitungan yang biasa digunakan adalah setahun Ukuran ini juga merupakan indikator hasil perolehan seluruh sumberdaya yang digunakan dalam usaha tani (Soekartawi et al. 1986).

Pendapatan bersih usaha tani (net farm income) dibedakan menjadi dua katagori. Katagori pertama adalah pendapatan tunai usaha tani yang merupakan selisih antara penerimaan total (total cash income) dengan biaya tunai total (total cash expense), pendapatan tunai ini masih disesuaikan dengan beberapa pengeluaran non tunai seperti penyusutan dan per ubahan investasi. Sebagai katagori kedua adalah pendapatan bersih usahatani (net farm income) yang merupakan hasil penyesuaian (pengurangan) antara pendapatan tunai dengan biaya non tunai (Kay 1981).

Potensi Pengembangan Sapi Bali

Sapi potong di Indonesia diklasifikasikan menjadi beberapa rumpun berdasarkan habitat wilayahnya antara lain adalah sapi Bali, Peranakan Ongol (PO), Sumba Ongol (SO), Madura, Aceh, Pesisir dan Brahman. Hardjosubroto (1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan karena didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo (1992) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali di berbagai wilayah Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.

Peranginangin (1990) yang melakukan penelitian di Bali memperoleh kematian pedet sebesar 11.18% umumnya akibat terserang penyakit Jembrana, sedang Tanari (1999) pada lokasi yang sama memperoleh angka kematian pedet yang lebih rendah sebesar 7.26% terhadap kelahiran atau sebesar 1,84% dari populasi. Kemampuan lain yang dapat diandalkan untuk pengembangan populasi sapi Bali adalah jarak beranak (calving interval) yang cukup baik yakni bisa menghasilkan satu anak satu tahun. Djagra dan Arka (1994) memperoleh calving interval sebesar 14 – 15 bulan, sedangkan Tanari (1999) memperoleh calving interval sebesar 12.19±0.06 bulan dikarenakan manajemen reproduksi yang dilaksanakan di Bali cukup baik yakni umumnya perkawinan dilaksanakan dengan teknik inseminasi buatan ditunjang oleh biologi reproduksi sapi Bali yang cukup baik dimana fertilitasnya tinggi sekitar 83%.

Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%. Diantara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar yaitu sekitar 60% (Maryono dan Romjali 2007). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai (Andini et al. 2007). Pakan utama ternak ruminansia adalah hijauan yaitu sekitar 60-70% dan pakan yang baik adalah murah, mudah didapat, tidak beracun, disukai ternak, mudah diberikan dan tidak berdampak negatif terhadap produksi dan kesehatan ternak serta lingkungan (Maryono dan Romjali 2007).

Kemampuan reproduksi seekor ternak akan berpengaruh terhadap penampilan produksi dari ternak tersebut, terutama pada jumlah anak yang dilahirkan. Terdapat empat hal yang menjadi kendala reproduksi ternak sapi potong, yaitu : (1) lama bunting yang panjang, (2) panjangnya interval dari melahirkan sampai estrus pertama, (3) tingkat konsepsi yang rendah, dan (4) kematian anak sampai umur sapih yang tinggi. Aktivitas reproduksi dan jarak beranak sebagian besar (95%) dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Adanya perbedaan penampilan reproduksi bangsa ternak di suatu wilayah dipengaruhi oleh

keragaman lingkungan yang meliputi keragaman genetik, ketersediaan nutrisi, dan tatalaksana reproduksi (Toelihere 1983).

Melaksanakan pengembangan populasi sapi Bali, penentuan pengeluaran ternak termasuk pengendalian pemotongan ternak betina produktif perlu diperhatikan dan menghitung dengan tepat jumlah sapi Bali yang dapat dikeluarkan agar tidak mengganggu keseimbangan populasinya dari suatu wilayah (Putu et al. 1997). Out put sapi potong dari suatu wilayah tertentu agar keseimbangan populasi ternak potong tersebut tetap konstan dipengaruhi oleh natural increase, tingkat kematian ternak, kebutuhan ternak pengganti, jumlah ternak tersingkir, pemasukan ternak hidup dan besarnya proyeksi kenaikan populasi ternak di daerah tersebut (Hardjosubroto 1994).

Pola Pengembangan Usaha Sapi Potong Di Indonesia

Budidaya sapi potong merupakan suatu kegiatan pemeliharaan sapi potong secara terkontrol untuk tujuan produksi yang terdiri dari usaha pembibitan dan usaha penggemukan sapi. Pada suatu kawasan agribisnis sapi potong terdapat juga kombinasi usaha pembibitan dan penggemukan sapi. Pembibitan sapi merupakan kegiatan pemeliharaan sapi bibit baik secara intensif melalui manajemen yang terkontrol maupun ekstensif dilepas di padang penggembalaan dengan tujuan untuk menghasilkan sapi bibit pengganti (replacement stock) dan sapi bakalan. Induk sapi dan anak dalam sistem ini dipelihara bersama hingga mencapai masa penyapihan. Output yang dihasilkan dalam kegiatan ini adalah anak sapi sapihan jantan dan betina. Sedangkan penggemukan sapi bertujuan untuk menghasilkan sapi potongan yang sesuai dengan spesifikasi pasar (Deptan RI 2002a).

Basis pembibitan sapi potong di Indonesia adalah pembibitan rakyat yang cirinya tidak terstruktur, skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, dan dikembangkan dengan pola peternakan rakyat (cow-calf operation) yang umumnya terintegrasi dengan kegiatan lain. Problem yang dihadapi usaha pengembangan peternakan rakyat adalah ketepatan pengalokasian sumberdaya, termasuk pengalokasian jenis ternak kepada suatu daerah dan peternak dengan kondisi yang sangat beragam. Selama struktur produksi di

dominasi oleh usaha skala kecil yang berorientasi pada usahatani keluarga, maka program pengembangan ternak rakyat harus didasarkan pada pendekatan sistem pertanian secara menyeluruh dengan pendekatan keilmuan, terpadu dan spesifik lokasi, dimana petani hidup dan bekerja (Sabrani et al. 1981).

Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan ternak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu ; (1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, (2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang mencakup dalam “Sapta Usaha Peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi-instansi terkait, dan (3) pendekatan agribisnis dengan tujuan: mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu input produksi (lahan, pakan, plasma nutfah, dan sumberdaya manusia), proses produksi, pengolahan hasil, dan pemasaran (Gunardi 1998).

Pengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembangan pilar peternakan utama yaitu: 1) pengembangan potensi ternak dan bibit temak, 2) pengembangan pakan ternak, 3) pengembangan teknologi budidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait dengan sanitasi dan kesehatan ternak serta peningkatan industri dan pemasaran hasil peternakan, pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasan pengembangan peternakan (Sudardjat 2000). Kebijakan pembangunan peternakan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak melalui pengembangan kawasan dilakukan dengan pengelolaan sumberdaya secara optimal. Oleh karena itu, sentra peternakan yang sudah ada dan kawasan di setiap kabupaten, kotamadya, atau kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan peternakan rakyat, sudah saatnya diupayakan untuk ditingkatkan melalui sistem agribisnis (BAPPENAS 2004).

Model pembangunan peternakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani ternak serta asas industrialisasi peternakan sapi potong yaitu: (a) penyediaan bakalan; (b) pengembangan plasma nuftah; (c) pengembangan bapak angkat; (d) pengembangan pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat); (e) Pola Mitra Usaha; (f)

pengembangan pola koperasi; (g) pengembangan pola imbal beli; (h) pengembangan sistem bina renteng; (i) pengembangan pola Sumba Kontrak; (j) pengembangan dengan sistem bagi hasil; (k) pengembangan melalui pembinaan pasar (Tawaf 1993).

Usaha penggemukan sapi potong sangat tergantung pada ketersediaan sapi bakalan, pakan dan teknologi tepat guna. Model usaha sapi potong yang telah diperkenalkan dan masih relevan diterapkan adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) sapi potong (Ditjennak 1993 dalam Gurnadi 2004) dan Sistem Komoditi Agribisnis Sapi Potong (Gurnadi 2004), dijelaskan sebagai berikut : 1). PIR Penggemukan

Budidaya (penggemukan) sapi potong diselenggarakan dalam bentuk kerjasama diantara perusahaan Inti yang menyediakan sarana produksi,

Dokumen terkait