Skema alur pemikiran pada Gambar 8 menunjukan analisis pengaruh pergerakan harga minyak dunia dan variabel makroekonomi terhadap pergerakan indeks harga saham. Namun ada beberapa variabel yang tidak dimasukkan dalam lingkup penelitian yakni jumlah produksi dan konsumsi minyak mentah, investasi pada instrumen obligasi, pengeluaran konsumen, biaya produksi perusahaan, output perusahaan dan arus kas perusahaan serta harga saham perusahaan. Selain itu, penelitian ini memasukkan variabel dummy untuk menjelaskan periode
21
sebelum dan selama krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat yang berawal pada bulan Juli 2007. Berdasarkan beberapa literatur teori dan penelitian terdahulu maka diduga terdapat pengaruh pergerakan harga minyak dunia dan variabel makroekonomi terhadap indeks harga saham, khususnya di negara-negara Asia Tenggara, Asia Timur, Eropa, dan Amerika.
Inti permasalahan pada penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh pergerakan harga minyak dunia terhadap aktivitas perekonomian dunia, yang ditunjukan oleh pergerakan pasar saham. Alasan pasar saham dijadikan indikator aktivitas perekonomian di suatu negara pada penelitian ini ialah karena pasar keuangan ini merupakan tempat atau sarana bagi aliran modal dari luar negeri maupun dari domestik yang dipandang memiliki keterkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Dana berlimpah yang dimiliki masyarakat atau perusahaan, khususnya kalangan investor, akan membuat arus modal semakin aktif mengalir di pasar saham dan indeks harga saham akan menunjukan tren positif sehingga aktivitas perekonomian negara tersebut bisa dikatakan baik.
Secara umum, penelitian ini ingin melihat apakah ada pengaruh pergerakan harga minyak dunia terhadap pergerakan pasar saham di masing- masing negara yang akan diuji. Secara khusus, peneliti akan melihat bagaimana respon indeks harga saham di setiap negara eksportir dan importir minyak yang sekaligus merupakan negara maju dan negara berkembang terhadap pergerakan harga minyak dunia.
Minyak dunia menjadi komoditas penting bagi setiap negara khususnya bagi negara-negara yang sedang mengembangkan sektor industrinya. Sehingga pergerakan harga komoditas ini menjadi perhatian khusus bagi pemegang kebijakan ekonomi di setiap negara. Pengaruh kenaikan harga minyak dunia sebenarnya tidak sama bagi setiap negara. Secara umum, bagi negara yang memiliki sumber minyak yang berlimpah, kenaikan harga minyak dunia merupakan berkah karena pendapatan negara meningkat dan berujung pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Sebaliknya bagi negara yang lebih besar konsumsi daripada produksi minyaknya, kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan pengeluaran negara pada sektor energi.
Bagi negara eksportir minyak, kenaikan harga minyak dunia akan membuat nilai tukar mata uang lokal mereka terapresiasi. Nilai mata uang lokal yang meningkat dibandingkan nilai mata uang asing akan membuat industri sebagai pengguna bahan bakar minyak dalam kegiatan produksinya akan lebih leluasa mengendalikan biaya produksinya. Biaya produksi yang stabil akan berimbas pada harga jual produk yang stabil pula. Sehingga tingkat inflasi dapat dikendalikan oleh bank sentral melalui kebijakan moneter yakni suku bunga diturunkan atau tetap.
Keadaan ini sebenarnya dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi pemerintah dan perusahaan (dalam hal ini adalah produsen dan pengguna bahan bakar minyak) dan sisi masyarakat sebagai pemegang dana (investor). Bagi pemerintah, tambahan penerimaan dari sektor energi merupakan peluang untuk meningkatkan perekonomian. Pengaruh jangka menengah ke jangka panjang, bagaimanapun, tergantung pada apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap tambahan penerimaan tersebut. Jika penerimaan tersebut digunakan belanja barang dan jasa di negara bersangkutan, kenaikan harga minyak menyebabkan aktivitas ekonomi domestik lebih tinggi. Oleh karena itu, kesejahteraan secara nasional akan meningkat begitu pula dengan permintaan yang meningkat. Potensi keuntungan dari sektor energi juga dapat menyediakan peluang investasi dan bisnis secara keseluruhan, dengan meningkatnya permintaan terhadap tenaga kerja dan modal. Bagaimanapun, aktivitas ekonomi yang tinggi dapat berakibat munculnya tekanan pada inflasi dan mata uang lokal (apresiasi).
Bagi masyarakat sebagai pemegang dana (investor), keadaan mata uang yang terapresiasi serta penetapan suku bunga yang cenderung rendah oleh bank sentral membuat berinvestasi pada instrumen dengan pendapatan tetap (fixed
income), seperti obligasi, menjadi tidak menarik. Suku bunga rendah juga dapat
memicu meningkatnya jumlah uang beredar karena masyarakat tidak akan tertarik menyimpan dananya di deposito ataupun obligasi dan lebih memilih untuk menginvestasikannya pada instrumen investasi yang tidak tergantung pada tingkat suku bunga. Instrumen dengan likuiditas tinggi seperti saham menjadi pilihan investasi bagi sebagian kalangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan. Potensi keuntungan di instrumen obligasi yang kurang menarik membuat
23
instrumen saham menjadi alternatif pilihan bagi investor untuk berinvestasi. Hal tersebut akan meningkatkan indeks harga saham.
Gambar 8 Kerangka Pemikiran
Jika kenaikan harga minyak dunia merupakan keuntungan bagi negara eksportir minyak maka sebaliknya bagi negara importir minyak. Pada saat terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia maka negara importir minyak membutuhkan lebih banyak US Dollar untuk mengimpor minyak sehingga nilai tukar mata uang
Biaya Produksi
Arus Kas Perusahaan
Output
Indeks Harga Saham
Inflasi Suku Bunga
Nilai Tukar
Pengeluaran Konsumen Negara-negara Asia Tenggara, Asia Timur, Eropa, dan Amerika
Jumlah Produksi dan Konsumsi Minyak Pergerakan Harga Minyak Dunia
Vector Autoregression
Pengaruh Harga Minyak Dunia dan Variabel Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham Harga Saham
Perusahaan
Investasi Obligasi Krisis subprime mortgage
Keterangan :
lokal negara importir terdepresiasi. Dimitrova (2005) mengungkapkan bahwa jika terjadi depresiasi maka ekspektasi inflasi akan meningkat karena ada kekhawatiran bahwa harga akan naik setelah terjadinya kenaikan harga minyak dunia. Bank sentral sebagai otoritas moneter dapat mengendalikan ekspektasi inflasi melalui penetapan suku bunga nominal, sesuai dengan persamaan Fisher bahwa salah satu faktor yang menentukan tingkat suku bunga nominal, selain suku bunga riil, adalah tingkat ekspektasi inflasi (Mankiw 2007). Jika tingkat ekspektasi inflasi tinggi maka bank sentral perlu menaikkan suku bunga nominal, dengan kata lain bahwa bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraktif. Menurut mekanisme transmisi suku bunga yang diungkapkan oleh Miskhin (2001), kebijakan moneter kontraktif, yakni menaikkan suku bunga nominal akan mempengaruhi tingkat bunga di instrumen obligasi. Hal ini akan mempengaruhi harga saham (turun) karena instrumen obligasi jauh lebih menarik dan beresiko rendah karena tingkat return-nya ditentukan oleh tingkat suku bunga.