• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.3 METODE PENELITIAN

3.3.1 Kerangka Pendekatan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan mengikuti kerangka pendekatan seperti disajikan pada Gambar 4. Tahap awal penelitian adalah survey dan studi lapangan dengan tujuan untuk mengetahui lokasi sebelum dilakukan pengukuran dan pengambilan data. Pengukuran dan pengambilan data terdiri dari data sekunder dan data primer.

Tahap selanjutnya adalah identifikasi dan analisis kondisi dan lingkungan airtanah ditinjau dari kualitas airtanah dan pemanfaatan airtanah berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah, kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2010, Surfer 9 dan Arcview GIS 3.2 untuk mengetahui kontur muka airtanah, kontur DHL, kontur TDS, sebaran kualitas airtanah dan sebaran penurunan muka airtanah.

Pengumpulan data yang dibutuhkan dalam mendeskripsikan permasalah untuk memprediksi pola penyebaran intrusi air laut di akuifer dalam dan dangkal terdiri dari analisa airtanah dan peta RDTR Kabupaten Tangerang 2008 (data jarak dari pantai di setiap titik pengukuran). Tahap selanjutnya adalah adalah menganalisis hubungan antara daya hantar listrik dan padatan terlarut total terhadap jarak dari pantai dengan menggunakan metode regresi. Analisis data dengan metode regresi menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2010. Kemudian memprediksi pola penyebaran intrusi air laut pada akuifer dangkal dan akuifer dalam. Tahap yang terakhir, yaitu penyajian hasil yang terdiri dari peta kondisi dan lingkungan

airtanah berdasarkan kualitas airtanah dangkal dan dalam (TDS dan DHL), peta kondisi dan lingkungan airtanah berdasarkan pemanfaatan airtanah (penurunan muka airtanah) dan kurva prediksi intrusi air laut.

Gambar 4. Kerangka pendekatan penelitian Mulai

Survey dan Studi Lapangan

Pengumpulan data : 1. Data primer 2. Data sekunder

1. Identifikasi dan analasis kualitas airtanah 2. Identifikasi dan analisis penurunan muka airtanah

Pengolahan Data :

1. Kontur muka airtanah dangkal dan dalam 2. Kontur DHL dan TDS

3. Zonasi kualitas airtanah 4. Zonasi penurunan muka airtanah

Analisa hubungan antara DHL dan TDS berdasarkan jarak dari garis pantai dengan metode regresi

Identifikasi pola penyebaran intrusi air laut pada akuifer dangkal dan akuifer dalam

Penyajian Hasil : 1. Peta zonasi 2. Kurva prediksi intrusi

3.3.2 Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Data-data sekunder yang diperoleh antara lain :

1) Rencana Detail Tata Ruang Kota Tangerang Selatan/ RDTR Tangerang Selatan tahun 2008.

2) Hasil-hasil studi yang terdahulu. 3) Peta administrasi wilayah. 4) Peta topografi wilayah.

5) Peta tataguna lahan/tutupan lahan. 6) Peta geologi wilayah.

7) Peta hidrogeologi wilayah. 8) Citra satelit, dsb.

Data primer yang dikumpulkan adalah data kualitas airtanah (DHL dan TDS) yang digunakan sebagai parameter terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah dan data yang berhubungan dengan studi intrusi air laut di Kota Tangerang Selatan. Adapun data tersebut, yaitu :

1) Tinggi muka airtanah dangkal dan dalam. 2) Kualitas airtanah (DHL dan TDS).

3) Data jarak dari garis pantai yang dianalisis dari Peta RDTR Kabupaten Tangerang Tahun 2008.

Pengambilan data kualitas airtanah merujuk kepada SNI 6989 tahun 2008 tentang air dan air limbah, bagian 58 tentang metode pengambilan contoh airtanah. Lokasi pengambilan data tinggi muka airtanah dan kualitas airtanah dangkal dan dalam disajikan pada Lampiran 2.

3.3.3 Metode Analisis dan Pengolahan Data

a. Identifikasi dan analisis kualitas airtanah

Dalam mengidentifikasi dan menganalisis data ini dilakukan analisis tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah berdasarkan pertimbangan penurunan kualitas airtanah (DHL dan TDS) tertekan maupun tidak tertekan, yaitu dengan menggunakan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah yang disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan kriteria tersebut dapat diketahui kawasan yang kondisi dan lingkungan airtanahnya sudah rusak atau belum rusak yang dibedakan menjadi empat tingkatan, yaitu zona aman, zona rawan, zona kritis dan zona rusak.

b. Identifikasi dan analisis penurunan muka airtanah

Dalam mengidentifikasi dan menganalisis data ini dilakukan analisis tingkat kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah berdasarkan pertimbangan penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan airtanah tertekan maupun tidak tertekan, yaitu dengan menggunakan Kepmen ESDM Nomor 1451.K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pemerintah di Bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah yang disajikan pada Lampiran 7. Berdasarkan kriteria tersebut dapat diketahui kawasan yang dikategorikan zona aman, zona rawan, zona kritis dan zona rusak.

c. Pengolahan data airtanah

Pengolahan data ini menggunakan data primer, yaitu data kualitas airtanah (DHL dan TDS) dan data muka airtanah (dalam dan dangkal). Data diolah menggunakan perangkat lunak

Surfer 9 untuk mendapatkan gambaran kontur dan sebaran kualitas airtanah. Data yang dimasukkan dalam perangkat lunak ini terdiri dari data koordinat titik sampel, DHL, TDS, muka airtanah dan peta admnistrasi Kota Tangerang Selatan. Peta yang dimasukkan pada perangkat lunak ini harus dalam bentuk *.shp dan data yang lain harus berupa data grid agar dapat dilakukan pengolahan data selanjutnya untuk mendapatkan kontur secara dua dimensi maupun tiga dimensi. Tahap selanjutnya adalah pembuatan peta zonasi kualitas airtanah dengan perangkat lunak Arcview GIS 3.2.

Data muka airtanah tertekan maupun tidak tertekan digunakan juga untuk menganalisis terjadinya penurunan airtanah akibat pemanfaatan airtanah. Penurunan muka airtanah dapat dianalisis dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kondisi dan jenis tanah/batuan untuk mengetahui ketebalan akuifer. Kondisi dan jenis batuan disajikan pada Lampiran 11 dan Lampiran 12. Setelah itu dilakukan pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 9 dan Arcview 3.2. Metode sebaran TDS, DHL dan penurunan muka airtanah pada Surfer 9 menggunakan Metode Kriging karena metode tersebut fleksibel, dapat digunakan dalam sebagian data. Kriging merupakan metode default pada perangkat lunak Surfer 9.

d. Analisa regresi

Analisis regersi digunakan untuk menganalisis kondisi lingkungan pada wilayah airtanah dangkal maupun dalam yang terintrusi air laut. Analisa regresi digunakan untuk mengetahui pola hubungan DHL dan TDS terhadap jarak dari garis pantai. Kadar DHL dan TDS diperoleh dari data analisis kualitas air, sedangkan jarak diperoleh dari titik-titik lokasi pengukuran terhadap jarak dari tepi pantai.

Persamaan regresi yang digunakan dalam menganalisis pada penelitian ini terdiri dari beberapa metode regresi, yaitu regresi linear, regresi kuadratik, regresi eksponensial dan regresi polynomial. Dari persamaan regresi yang telah diperoleh dari masing-masing metode regresi tersebut, akan diidentifikasi dan dianalisis kembali, sehingga dipilih metode regresi yang sesuai dengan penelitian ini. Metode regresi yang sesuai digambarkan dengan regresi yang memperoleh nilai koefisien determinan (R2) terbesar yang mendekati 1(satu).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1.1 Kondisi Geografis dan Wilayah Administrasi

Kota Tangerang Selatan merupakan Daerah Otonom Baru (DOB) yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang No. 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten. Tujuan pembentukan wilayah yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang ini adalah meningkatkan pelayanan secara optimal kepada masyarakat dalam semua bidang, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing daerah dalam upaya pemanfaatan potensi daerah.

Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten, yaitu pada titik koordinat 106˚38’-106˚47’ Bujur Timur dan 06˚13’30”-06˚22’30” Lintang Selatan. Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 49 (empat puluh sembilan) kelurahan dan 5 (lima) desa dengan luas wilayah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan adalah seluas 147.19 km2 atau 14,719 hektar. Namun berdasarkan hasil digitasi atas peta rupa bumi bakosurtanal, luas wilayah adalah 16,506.80 hektar.

Batas administrasi wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut :

 Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang.

 Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Depok.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

 Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

Wilayah Kota Tangerang Selatan dilintasi oleh Kali Angke, Kali Pasanggrahan dan Sungai Cisadane sebagai batas administrasi kota di sebelah barat. Letak geografis Kota Tangerang Selatan yang berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta pada sebelah utara dan timur memberikan peluang pada Kota Tangerang Selatan sebagai salah satu daerah penyangga Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, wilayah ini juga menjadi daerah perlintasan yang menghubungkan Provinsi Banten dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat.

Kota Tangerang Selatan terdiri dari 7 kecamatan yang dahulunya bagian dari Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari :

1) Kecamatan Setu. 2) Kecamatan Serpong. 3) Kecamatan Serpong Utara. 4) Kecamatan Pondok Aren. 5) Kecamatan Pamulang. 6) Kecamatan Ciputat. 7) Kecamatan Ciputat Timur.

Kecamatan dengan wilayah paling besar di Kota Tangerang Selatan terdapat di Kecamatan Pondok Aren dengan luas 2,993 hektar atau 20.30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Kecamatan Setu dengan luas 1,696.90 hektar atau 10.06% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah masing-masing kecamatan di Kota Tangerang Selatan secara lengkap disajikan pada Tabel 2 dan untuk kondisi wilayah administrasi Kota Tangerang Selatan disajikan pada Gambar 5.

Tabel 2. Luas wilayah Kota Tangerang Selatan No Kecamatan Luas Wilayah (hektar) (UU 51/2008) Luas Daerah (hektar) (Digitasi Peta RTRW) Deviasi Luas (hektar) Deviasi Luas (%) 1. Serpong 2,404 2,836.90 432.90 15.30 2. Serpong Utara 1,784 2,228.60 444.60 19.90 3. Ciputat 1,838 2,106.00 268.00 12.70 4. Ciputat Timur 1,543 1,775.80 232.80 13.10 5. Pamulang 2,682 2,869.10 187.10 6.50 6. Pondok Aren 2,988 2,993.50 5.50 0.20 7. Setu 1,480 1,696.90 216.90 12.80 Jumlah 14,719 16,506.80 1,787.80 10.80

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2010

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 5. Peta administrasi Kota Tangerang Selatan

4.1.2 Topografi Wilayah

Berdasarkan peta topografi wilayah Kota Tangerang Selatan yang disajikan pada Gambar 6, rata-rata topografi wilayah berada pada ketinggian 10 meter hingga 60 meter di atas permukaan laut dan berbentuk dataran rendah. Hampir semua jenis tanaman bisa tumbuh di daerah ini. Wilayah selatan umumnya mempunyai elevasi diatas 35 mdpl dan menurun ke wilayah utara Kota Tangerang Selatan. Kecamatan yang mempunyai elevasi tersebut antara

lain Kecamatan Pamulang, Kecamatan Ciputat, dan Kecamatan Serpong, sedangkan bagian utara relatif lebih landai, yaitu Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Serpong Utara.

Kemiringan tanah di wilayah Kota Tangerang Selatan relatif datar dengan rata-rata kemiringan 0% hingga 3% menurun ke utara, kondisi topografi selengkapnya disajikam pada Gambar 6. Kemiringan wilayah secara garis besar terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu :

1) Kemiringan antara 0% hingga 3% meliputi Kecamatan Ciputat, Kecamatan Ciputat Timur, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Serpong dan Kecamatan Serpong Utara.

2) Kemiringan antara 3% hingga 8% meliputi Kecamatan Pondok Aren dan Kecamatan Setu.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

Gambar 6. Peta topografi Kota Tangerang Selatan

4.1.3 Geomorfologi Wilayah

Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 maka Kota Tangerang Selatan termasuk satuan morfologi dataran pantai dan kipas gunung api Bogor. Dataran pantai yang dicirikan oleh permukaannya yang nisbi datar dengan ketinggian antara 0 m hingga 15 m di atas permukaan laut. Dataran ini termasuk dataran rendah Jakarta, sedangkan kipas gunung api Bogor yang menyebar dari selatan ke utara dengan Bogor sebagai puncaknya. Satuan ini ditempati oleh rempah-rempah gunung api berupa tuf, konglomerat dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat dan berwarna merah kecoklatan.

4.1.4 Geologi Wilayah

Berdasarkan Peta Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu Nomor 1209 tahun 1992 yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Departemen Pertambangan dan Energi, kondisi geologi Kota Tangerang Selatan pada umumnya terbentuk oleh dua formasi batuan, yaitu batuan aluvium dan batuan gunung api muda yang secara jelas dijelaskan sebagai berikut :

1) Batuan Aluvium (Qa) yang terdiri dari aluvial sungai dan rawa yang berbentuk pasir, lempung, lanau, kerikil, kerakal dan sisa tumbuhan. Jenis tanah ini pada dasarnya merupakan lapisan yang subur bagi tanaman pertanian.

2) Batuan Gunung Api yang berupa material lepas yang terdiri dari lava andesit, desit, breksi tuf dan tuf. Secara fisik lava andesit berwarna kelabu hitam dengan ukuran sangat halus, afanitik dan menunjukkan struktur aliran serta breksi tuf dan tuf yang pada umumnya telah lapuk, mengandung komponen andesit dan desit. Pada umumnya tanah jenis ini digunakan sebagai kebun campuran, permukiman dan tegalan.

Berdasarkan Peta Geologi Kota Tangerang Selatan, kondisi geologi Kota Tangerang Selatan tersusun atas 6 (enam) formasi geologi, yaitu :

1.Qa = Aluvium : lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah (23.23%).

2.Qav = Kipas aluvium : tuf halus berlapis, tuf pasiran bersilingan dengan tuf konglomerat (61.36%).

3.Qv = Batuan gunung api muda : breksi, lahar, tuf breksi, tuf batu apung (0.20%). 4.QTvb = Tuf Banten : tuf, tuf batu apung, batu pasir tufan (12.10%).

5.Tmb = Formasi Bojongmanik : perselingan batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping (1.09%).

6.Tpss = Formasi Serpong : perselingan konglomerat, batu pasir, batu lanau, batu lempung dengan sisa tanaman, konglomerat batu apung dan tuf batu apung (1.51%). Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan umumnya adalah batuan aluvium, yang terdiri dari batuan lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Berdasarkan klasifikasi dari United Soil Classification System, batuan ini mempunyai workability yang baik hingga sedang dan mempunyai unsur ketahanan terhadap erosi cukup baik oleh karena itu, wilayah Kota Tangerang Selatan masih cukup layak untuk kegiatan perkotaan. Kondisi geologi Kota Tangerang Selatan secara lengkap disajikan pada Gambar 7.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

4.1.5 Hidrogeologi Wilayah

Berdasarkan peta hidrogeologi yang disajikan pada Gambar 8, Kota Tangerang Selatan mempunyai jenis akuifer dengan aliran ruang antar butir, setempat melalui rekahan, umumnya terdapat batuan sedimen kuarter terdiri dari beberapa akuifer batu pasir dengan ketebalan 3 m hingga 18 m, keterusan 125 m2/hari hingga 260 m2/hari, kapasitas jenis 0.50 liter/det/m hingga 1.50 liter/det/m dan muka airtanah statis 3 m hingga 21 m.

Jenis aliran dan produktifitas akuifer di Kota Tangerang Selatan terdiri dari : 1. Akuifer produktif, penyebaran luas.

2. Akuifer produktif sedang, penyebaran luas. 3. Akuifer setempat, produktif sedang. 4. Daerah airtanah langka.

Muka airtanah bebas di Kota Tangerang Selatan terdiri dari :

1. kedalaman 0.5 m-4 m bawah permukaan dengan luas 3,952.79 ha. 2. kedalaman 2 m-5 m bawah permukaan dengan luas 171.59 ha. 3. kedalaman >5 m bawah permukaan dengan luas 8,222.19 ha. 4. kedalaman >5 m bawah permukaan dengan luas 3,552.49 ha. 5. kedalaman >5 m bawah permukaan dengan luas 421.74 ha.

Tipologi akuifer di wilayah studi merupakan sistem akuifer endapan aluvial atau endapan permukaan dan endapan sedimen dengan sistem aliran air tanah pada akuifer ini adalah melalui ruang antar butir, aliran air tanah dangkal mengikuti bentuk umum topografi, yaitu mengalir ke arah utara. Sistem akuifer endapan permukaan didasarkan pada telaah penyebaran aluvial sungai, kipas aluvial dan ketebalan endapan permukaan yang diperoleh dari pengamatan pada sumur gali dengan kedalaman mencapai sekitar 15 m. Pada umumnya sistem akuifer endapan permukaan dijumpai pada endapan kuarter dan di beberapa bagian dijumpai di daerah pelapukan batuan tersier.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

4.1.6 Jenis Tanah

Secara umum penyebaran dan sifat-sifat tanah berkaitan erat dengan keadaan landform. Hal ini terjadi karena hubungannya dengan proses genetis dan sifat batuan atau bahan induk serta pengaruh sifat fisik lingkungan. Landform sebagai komponen lahan dan tanah sebagai elemennya sangat tergantung pada faktor-faktor tersebut.

Dilihat dari data jenis tanah berdasarkan keadaan geologi wilayah, Kota Tangerang Selatan sebagian besar terdiri dari batuan endapan hasil gunung api muda dengan jenis batuan kipas aluvium dan aluvium/aluvial, sedangkan dilihat dari sebaran jenis tanah, pada umumnya di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan di wilayah tersebut cocok untuk pertanian atau perkebunan.

Jenis tanah yang sangat sesuai dengan kegiatan pertanian tersebut semakin lama semakin berubah penggunaannya seperti kegiatan yang lain yang bersifat non-pertanian, sedangkan untuk sebagian wilayah seperti di Kecamatan Serpong dan Kecamatan Setu, jenis tanahnya mengandung pasir khususnya untuk daerah yang dekat dengan Sungai Cisadane.

4.1.7 Tata Guna Lahan

Berdasarkan peta penggunaan lahan, Kota Tangerang Selatan terdiri dari 8 (delapan) tipe penggunaan lahan, yaitu gedung, pemukiman, sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun atau perkebunan, rumput atau tanah kering, tegalan atau ladang dan belukar atau semak. Dilihat dari penggunaan lahan tersebut, Kota Tangerang Selatan didominasi oleh pemukiman penduduk hampir di semua kecamatan. Kecamatan yang didominasi oleh pemukiman terdapat di Kecamatan Ciputat dan Kecamatan Ciputat Timur. Tata guna lahan Kota Tangerang Selatan disajikan pada Gambar 9.

Sumber : BLH Kota Tangerang Selatan

4.1.8 Penduduk Kota Tangerang Selatan

1. Jumlah penduduk

Berdasarkan data hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010 berjumlah 1,303,509 jiwa dengan komposisi 658,701 laki-laki dan 644,868 perempuan dengan rasio penduduk mencapai 102.15. Penduduk paling banyak berada di Kecamatan Pondok Aren sebesar 307,104 jiwa dengan rasio 103.08, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Setu dengan jumlah penduduk 64,985 jiwa dan rasio sebesar 104.84. Jumlah penduduk Kota Tangerang selatan secara jelas disajikan pada Tabel 3. Dilihat dari tren yang ada, maka angka pertumbuhan penduduk mencapai 4.60% pertahun. Angka pertumbuhan pada tiap kecamatan disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Pertumbuhan penduduk Kota Tangerang Selatan

2. Kepadatan penduduk

Dengan wilayah seluas 147.19 km2, kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2010 mencapai 8,856 orang/km2. Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Ciputat Timur (11,881 orang/km2) dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Setu (4,391 orang/km2). Kepadatan penduduk Kota Tangerang Selatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kota Tangerang Selatan 2010 No Kecamatan Jumlah Penduduk

(orang) Luas Wilayah (km2) Kepadatan (orang/km2) 1. Serpong 137,398 24.04 5,715 2. Serpong Utara 126,291 17.84 7,079 3. Ciputat 195,900 18.38 10,658 4. Ciputat Timur 183,330 15.43 11,881 5. Pamulang 288,511 26.82 10,757 6. Pondok Aren 307,154 29.88 10,280 7. Setu 64,985 14.80 4,391 Jumlah 1,303,569 147.19 8,856

Sumber : Sensus Penduduk Kota Tangerang Selatan Tahun 2010

8.7% 6.2% 4.1% 4.8% 3.6% 4.8% 6.6% 4.6% 0.0% 1.0% 2.0% 3.0% 4.0% 5.0% 6.0% 7.0% 8.0% 9.0% 10.0% A n g k a Pe r tu m b u h a n ( % ) Kecamatan

4.2

DATA HASIL PENGUKURAN DAN ANALISIS

Data yang dihasilkan dari pengukuran dan analisis terdiri dari data muka airtanah sumur dangkal, muka airtanah sumur dalam, Daya Hantar Listrik sumur dangkal, Daya Hantar Listrik sumur dalam, Padatan Terlarut Total sumur dangkal, Padatan Terlarut Total sumur dalam, topografi Kota Tangerang Selatan dan penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan airtanah. Nilai H1 dan Hs didapatkan dari hasil pengukuran menggunakan multimeter sedangkan nilai H diperoleh dari hasil pengurangan nilai H1 dengan Hs dan untuk ketinggian wilayah atau topografi diperoleh dari hasil analisis pada peta topografi Kota Tangerang Selatan. Nilai Z atau jarak muka airtanah dari topografi wilayah diperoleh dari hasil pengurangan nilai topografi masing-masing wilayah dengan nilai H. Hasil pengukuran dan analisis lebih jelas disajikan pada Lampiran 3 hingga Lampiran 6.

4.3

IDENTIFIKASI DAN EVALUASI KUALITAS AIRTANAH

Kualitas air secara umum tergantung pada banyaknya konsentrasi endapan, unsur-unsur kimia dan mikroba yang terdapat di dalamnya (Djijono, 2002). Evaluasi mengenai kualitas air ini sangat penting bagi peruntukannya. Kualitas airtanah dapat dijadikan parameter terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah berdasarkan kualitas airtanah dan pemanfaatan airtanah tersebut.

Perubahan kualitas airtanah dapat terjadi akibat proses alami dan akibat kegiatan manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam secara intensif dan produksi limbah yang cenderung meningkat, menyebabkan menurunnya mutu airtanah. Disamping itu kegiatan pengambilan airtanah secara besar- besaran akan menyebabkan turunnya permukaan airtanah secara drastis. Hal ini terutama berlangsung di daerah pantai yang cenderung menyebabkan terjadinya penyusupan air laut.

Kriteria terjadi kerusakan kondisi dan lingkungan airtanah dapat dilihat dari tingkat kegaraman airtanah berdasarkan Daya Hantar Listrik (DHL) dan Padatan Terlarut Total (TDS) airtanah serta dari fenomena penurunan muka airtanah akibat adanya pemanfaatan airtanah. Daya Hantar Listrik (DHL) menunjukan kemampuan air untuk menghantarkan aliran listrik. Konduktivitas air tergantung dari konsentrasi ion dan suhu air, oleh karena itu kenaikan Padatan Terlarut Total (TDS) akan mempengaruhi kenaikan DHL. Dari data sampel pada Lampiran 4 dan Lampiran 6 yang diukur dan dianalisis dapat dilihat bahwa kualitas airtanah pada sumur dangkal maupun sumur dalam di Kota Tangerang Selatan beragam tergantung pada lokasi dan lingkungan setempat.

Sumur dangkal atau akuifer bebas di Kecamatan Setu mempunyai nilai DHL berkisar antara 125 mhos/cm-155 mhos/cm dan TDS 60 mg/l-74 mg/l, Kecamatan Serpong nilai DHL berkisar antara 111 mhos/cm-309 mhos/cm dan TDS 52 mg/l-148 mg/l, Kecamatan Serpong Utara nilai DHL berkisar antara 74 mhos/cm-207 mhos/cm dan TDS 34 mg/l-100 mg/l, Kecamatan Pamulang nilai DHL berkisar antara 45 mhos/cm-260 mhos/cm dan TDS 22 mg/l-124 mg/l, Kecamatan Ciputat Timur nilai DHL berkisar antara 115 mhos/cm-363 mhos/cm dan TDS 54 mg/l-174 mg/l, Kecamatan Pondok Aren nilai DHL berkisar antara 166 mhos/cm-228 mhos/cm danTDS 78 mg/l- 110 mg/l dan Kecamatan Ciputat nilai DHL berkisar antara 44 mhos/cm-530 mhos/cm dan TDS 20mg/l-256 mg/l.

Sumur dalam atau akuifer terkekang di Kecamatan Setu mempunyai nilai DHL sebesar 159

mhos/cm dan TDS 76 mg/l, Kecamatan Serpong nilai DHL berkisar antara 123 mhos/cm-187

mhos/cm dan TDS 58 mg/l-90 mg/l, Kecamatan Serpong Utara nilai DHL berkisar antara 229

mhos/cm-809 mhos/cm dan TDS 110 mg/l-396 mg/l, Kecamatan Pamulang nilai DHL berkisar antara 436 mhos/cm-450 mhos/cm dan TDS 210 mg/l-218 mg/l, Kecamatan Ciputat Timur nilai DHL sebesar 229 mhos/cm dan TDS 110 mg/l, Kecamatan Pondok Aren nilai DHL berkisar antara

Dokumen terkait