• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Kerangka Pikir

Masyarakat dalam suatu sistem sosial selalu mengalami perubahan.

Perubahan dapat mencangkup aspek yang sangat sempit maupun yang luas.

Perubahan menurut Khaldum, bahwa masyarakat secara history bergerak dari masyarakat nonmodern menuju masayarakat yang tinggal ditempat tinggalnya.

Perubahan sosial yang terjadi terus menerus yang mencangkup sistem sosial (pola pikir, pola perilaku, nilai) dan struktuk sosial (lembaga sosial, kelompok dan norma) di dalam masyarakat. Modernisasi melihat tradisi masyarakat sebagai proses yang tidak pernah mundur, karena masyarakat melibatkan proses-proses yang terus menerus dalam sistem sosial yang terjadi pada suatu aspek yang lain.

Manusia hidup karena adanya kebudayaan akan terus hidup dan berkembang manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Dengan demikian manusia dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupan tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadang kala disadari atau tidak, manusia merusak kebudayaan.

Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembus sampai ke pelosok-pelosok dengan seiring perubahan jaman di Pulau Lembata, belis (maskawin) berupa Gading Gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka karena orang Lembata secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat. Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat labala sangatlah rukun, saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain tanpa membedakan suku, agama, maupun status sosia. Seorang wanita dihormati dan dihargai sebagai orang yang lemah, untuk itu perlu dihormati sebagai makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai kedudukan sosial yang stera dengan kaum laki.

Oleh karena itu tuntutan adat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang sangat baik untuk dilestarikan dan dipertahankan demi penyetarakan dalam kehidupan sosial dalam budaya adat lamaholot walaupun dengan adanya perubahan jaman hingga saat ini, budaya lamaholot tetap dijaga dan pelihara dengan baik dan dapat disepakati mengikuti perubahan jaman. Dalam teradisi perkawinan tradisi meminang gadis di kalangan adat Lamaholot, belis merupakan maskawin laki-laki untuk seorang gadis yang hendak ia nikahi, tetapi keunikan

dari adat Lamaholot adalah Belis (maskawin) yang digunakan adalah Gading Gajah.

Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami istri, adat atau keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah bagi masyarakat Lamaholot nilai sakral yang amat tinggi selalu membangun rumah tangga yang sakinah, tetapi membentuk rasa silaturahmi antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.

Berikut merupakan Gambar yang menunjukkan alur dari kerangka pikir tersebut:

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penggunaan Mahar Belis (Gading Gajah)

Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot

Eksistensi Penggunaan Mahar Belis dalam Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penilitian ini adalah menggunakan metode deksriptif kualitatif. Oleh sebab itu, penyusunan desain ini dirancang berdasarkan pada prinsip metode desain kualitatif. Maksudnya data itu dikumpulkan, dikelolah, dianalisis, dan diajuhkan secara objektif atau apa adannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Penilitian ini bersifat alamiah dan akurat tanpa diserta perlukan, pengukuran, dan perhitungan statistic serta tidak mencari data yang mendukung atau menolak hipotesis yang telah diajukan sebelum penilitian dimulai.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Labala Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lokasi berdasarkan hasil observasi awal bahwa daerah Labala merupakan salah satu daerah yang masih kental menerapkan tradisi perkawinan adat suku Lamaholot hinggah saat ini dimana dalam adat Lamaholot, mahar atau maskawin dari seorang gadis adalah belis/gading gajah.

C. Informan Penelitian

Informan penelitian merupakan berbagai sumber informasi yang dapat memberikan data yang diperlukan dalam penelitian, penentuan informan peneliti

harus teliti dan disesuaikan dengan jenis data atau informasi yang ingin didapatkan.

Adapun teknik penentuan informan yang digunakan adalah Purposive Sampling atau judgmental sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan criteria spesifik yang di tetapkan oleh peneliti.

Adapun informan dalam penelitian ini adalah:

1. Kepala suku adat yang mengetahui sejarah dan proses perkawinan adat serta penggunaan mahar belis pada masyarakat suku Lamaholot.

2. Tokoh masyarakat yang mengetahui eksistensi mahar belis dalam tradisi perkawinan adat Lamaholot

3. Masyarakat labala pada umumnya yang mengetahui eksistensi penggunaan belis pada perkawinan adat Lamaholot.

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian terdiri dari hal-hal yang berkaitan dengan hal inti yangg diteliti. Adapun fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam proposal ini adalah sebagai berikut:

1. Sejarah penggunaan mahar belis dalam perkawinan adat suku Lamaholot 2. Makna pemberian mahar belis

3. Prosesi perkawinan adat suku Lamaholot

4. Fakto-faktorr yang menyebabkan eksistensi mahar belis dalam adat perkawinan suku Lamaholot

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah merupakan alat untuk keperluan dalam penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Kamera

Kamera adalah sebuah alat untuk merekam atau mengabadikan sebuah kejadian/gambar yang bisa di tuangkan dalam media cetak/digital.

2. Lembar observasi

Lembar observasi adalah sebuah kegiatan-kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.

3. Angket

Angket adalah suatu alat pengumpulan data yang berupa serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada responden untuk mendapat jawaban.

F. Sumber Data Penelitian

Pengambilan data dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Data Primer

Sumber data lapangan yang dapat berarti seorang tokoh atau masyarakat, tokoh adat, aparat pemerintahan, dan sebagaianya yang merupakan sumber data primer. Sumber informasi dokumeter merupakan sumber data primer dan dapat berupa arsip-arsip yang berkaitan dengan masalah penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui beberapa sumber informasi, antara lain: Dokumen-dokumen, laporan, catatan, dan buku-buku ilmiah.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh atau dengan permasalahan diperlukan teknik pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Observasi

Observasi yaitu yaitu teknik penelitian dengan mendatangi lokas penelitian, mengadakan pengamatan secara lansung terhadap masalah yang akan di teliti khususnya pada objek dan subjek penelitian.Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena-fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana observaser untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan.

(Margono, 2007:159).

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yairu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong: 2002: 135).

Wawancara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan pada langkah pertama.

3. Dokumentasi

Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari wawancara dan observasi dokumen-dokumen yang berisi data-data yang dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar tentang belis adat Lamaholot.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif, yaitu menguraikan dan menginterpretasikan data yang diperoleh dari lapangan dari observasi lapangan dan dari informan. Ada tiga unsur utama dalam proses analisis data penelitian kualitatif, yaitu:

1. Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek dan membuang hal-hal yang tidak penting sehingga kesimpulan penelitian dapat di laksanakan. Jadi laporan lapangan sebagian bahan disingkat dan disusun lebih sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan. Data yang di reduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan, juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan.

2. Sajian data adalah susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu kesimpulan penelitian. Penyajian data dalam bentuk gambaran, skema dan tabel mungkin akan berguna mendapatkan gambaran yang jelas serta memudahkan dalam penyusunan kesimpulan penelitian.

Pada dasarnya, sajian data dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematis dan mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajiannya.

3. Kesimpulan merupakan hasil akhir dari reduksi data dan penyajian data.

Kesimpulan penelitian perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

I. Teknik Keabsahan Data

Menurut Maleong (2005) mengungkapkan bahwa uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan cara perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi, analisis kasus negatif, kecukupan referensial, pengecekan anggota, uraian rinci dan auditing. Pada penelitian ini data dilakukan dengan metode:

1. Ketekunan Pengamatan

Peneliti hendaknya melakukan pengamatan dengan teliti dan lebih rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol.

Kemudian penelitih menelaah secara rinci sampai pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu faktor yang di

telaah sudah dipahami dengan cara biasa. Hal ini menurut peneliti mampu menguraikan secara rinci bagaimana proses penemuan secara tentatif dan menelaah secara rinci dapat dilakukan.

2. Triangulasi Data

Yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Terdapat tiga bentuk pengabsahan data triangulasi, yakni:

triangulasi sumber, teknik pengmpulan data, dan waktu. Dalam penelitian ini, sebab waktu sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu pengujian dalam rangka kredibelitas data dapat dilakukan dengan cara pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya.

Tringulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam bentuk kualitatif (Moleong, 2005). Hal ini dapat dicapai dengan jalan:

a. Data hasil pengamatan dengan hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang suatu penelitian sepanjang waktu

c. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat seperti rakyat biasa, orang-orang berpendidikan menengah, orang pemerintahan

d. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Histori Lokasi Penelitian

Labala merupakan daerah atau perkampungan yang terdapat di Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur yang melingkupi tiga desa yaitu Desa Leworaja, Desa Pantai Harapan dan Desa Atakera. Nama lain dari Labala adalah Leworaja, leworaja berarti kampung raja. Labala (Leworaja) merupakan satu-satunya kerajaan yang berada di Pulau Lembata dan merupakan bagian dari Solor Watan Lema (Lima Kerajaan Islam) yang ada di wilayah kepulauan Solor, Flores, Adonara, dan Lembata. Lima kerajaan ini dahulunya bersatu di Kepulauan Lepan Batan namun karena adanya bencana wai ba (tsunami besar) sehingga para raja dan ribu ratu (rakyat) melarikan diri ke pulau-pulau bagian barat. Kerajaan Labala yang dipimpin Raja Mayeli beserta ribu ratunya melarikan dan mengamankan diri di pesisir selatan Pulau Lembata yang yang dikenal dengan Lewo Lolo (kampung atas).

Gambar 4.1 Prasasti Kayu Gambar Masjid Al-Muqarrabin Pertama Berdiri di Kerajaan Labala

43

Mula-mula penduduk Labala yang pindah dari pulau Leban dan pula Batan singgah dan menetap di kampung Lewo Lolo yang sekarang dikenal dengan tanjung Leworaja. Pada awalnya kampung Lewo Lolo saat itu hanya dihuni oleh empat suku, yakni suku Mayeli dengan Raja mayelinya, suku Lamarongan dengan Raja Sira Demo, suku Lamablawa dengan Tue Patinare, dan juga suku Labala dengan Dewa Kake dan Dewa Arinya. Dari keempat suku tersebut, tiga suku pertama (Mayeli, Lamablawa, dan Lamarongan) merupakan suku kakak beradik yang dalam pelarian mereka dari pulau Lepan Batan menggunakan satu perahu, sedangkan suku Labala merupakan suku yang sudah lebih dahulu menetap di kampung Lewo Lolo dan menjadi tuan tanah.

Setelah sekian lama menetap di kampung Lewo Lolo, datanglah beberapa suku baru yang berasal dari berbagai penjuru. Suku-suku tersebut antara lain: suku Lamalewar, Bakir, Keraf, Leak, Labao, Kahar, Mudaj, Soap, Lerek dan Lewokro.

Kedatangan suku-suku baru tersebut kemudian mereka bergabung bersama penduduk setempat dan sama-sama membangun kampung secara rukun dan damai.

Semakin banyaknya penduduk kampung Lewo Lolo dilihat oleh orang-orang gunung (Demo Nare) sebagai ancaman kekuasaan, hal ini dikarenakan pada saat itu hukum rimba masih berlaku, sehingga siapa yang lebih kuat maka dia akan bisa menguasai yang lainnya. Pada akhirnya orang-orang gunung (demo) berperang melawan penduduk Lewo Lolo (paji) yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Mayeli

Melihat intensitas peperangan yang terjadi antara penduduk Lewo Lolo dan orang-orang gunung (Demo Nare) semakin tinggi, maka Raja Mayeli bersama pembesar-pembesar kerajaan dari suku Lamarongan dan Lamablawa memutuskan untuk membeli tanah pada orang Lewokoba. Setelah tanah Lewokoba dibeli, penduduk Lewo Lolo di bawah pimpinan Raja Mayeli berpindah ke kampung Lewokoba yang kemudian diganti dengan nama Labala.

Pada awalnya penduduk Labala menganut kepercayaan lokal yakni agama Lerawulan Tanah ekan, namun pada tahun 1928 oleh anak Raja Baha Mayeli yang bernama Kiwan Mayeli meminta kepada ayahnya agar penduduk kerajaan Labala di Islamkan. Atas permintaan anaknya itu Raja Baha Mayeli Kemudian memerintahkan kepada orang-orang Labala yang masih menganut kepercayaan lokal untuk masuk Islam. Walaupun Raja Baha Mayeli sendiri sudah memeluk agama Islam, namun toleransi beragamanya sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tidak dipaksakannya penduduk Labala yang sudah memeluk agama Katolik untuk masuk Islam. Hingga saat ini orang Labala dikenal dengan Labala lewo kake atau Labala Islam (desa Leworaja dan desa pantai harapan) dan Labala Lewo Eri atau Labala Katolik (desa atakera).

Setelah Negara Republik Indonesia diproklamirkan menjadi negara yang merdeka, maka Labala dengan sendirinya masuk kedalam peta kekuasaan Negara Republik Indonesia. Labala pasca kemerdekaan menjadi dua Desa dimana Lewo Kake (Labala Islam) dengan desa gaya barunya “Leworaja” dan Lewo eri (Labala Katolik) dengan Desa gaya barunya Atakera. Adanya identitas kampung atau Desa berdasarkan agama di atas tidak bermaksud memisahkan orang-orang Labala

karena faktor keyakinan, namun identitas agama yang melekat dari dua Desa kakak beradik tersebut dikarenakan Labala Islam dengan penduduknya mayoritas beragama Islam dan Labala Katolik dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik. Selain itu, karena adanya toleransi yang memberikan kebebasan pada lewo eri dan lewo kake menetukkan keyakinannya. Walaupun kedua kampung tersebut berbeda secara keyakinana namun kerukunan antar warga masyarakat terbina dengan baik dan hidup tentram.

Masyarakat Labala juga merupakan bagian dari etnis atau suku Lamaholot.

Suku Lamaholot banyak mendiami kepulauan flores, adonara, solor dan pulau Lembata. Mereka memiliki budaya yang sama terutama dalam adat perkawinan dimana salah satu adat perkawinan yang terkenal unik adalah mahar seorang gadis adalah belis/gading gajah. Tradisi ini masih tetap bertahan dan lestari hinggah saat ini.

2. Kondisi Geografis

Berdasarkan posisi geografisnya, perkampungan Labala berbatasan dengan Desa Udak di sebelah utara, Desa Atadei di sebelah timur, Laut Sawu di sebelah selatan dan Desa Wulandoni di sebelah barat. Labala atau daerah Kecamatan Wulandoni pada umumnya beriklim tropis, dimana musim kemarau yang sangat panjang dengan rata-rata 8-9 bulan dan musim hujan yang relatif singkat dengan rata-rata 3-4 bulan. Wilayah Kecamatan Wulandoni juga didominasi oleh wilayah perbukitan dengan topografi curam dan sangat curam dengan sedikit dataran rendah pada daerah permukiman. Untuk lebih jelas terkait kondisi geografis Kecamatan Wulandoni dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut:

Gambar 4.2 Peta Lokasi Penelitian 3. Kondisi Demografis

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Desa Kecamatan Wulandoni Tahun 2017

Sumber: BPS Kabupaten Lembata (2017)

Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah

Lelata 175 226 401

Lamalera A 397 513 910

Lamalera B 439 472 911

Imulolong 290 335 625

Puor 207 272 479

Belobao 222 291 513

Wulandoni 315 380 695

Pantai Harapan 445 526 971

Atakera 266 329 595

Leworaja 337 397 734

Alap Atadei 193 186 379

Posiwatu 174 202 376

Tapobali 150 183 333

Puor B 281 303 584

Ataili 132 146 278

Jumlah 4.023 4.761 8.784

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, jumlah penduduk Kecamatan Wulandoni pada tahun 2017 adalah sebanyak 8.784 jiwa yang terdiri atas 4.023 laki-laki dan 4.61 perempuan. Luas wilayah Kecamatan Wulandoni adalah sebesar 121,43 km2 dengan kepadatan penduduknya adalah sebesar 72 jiwa/km2.

4. Kondisi Sosial Budaya

Tabel 4.2 Fasilitas Pendidikan yang Tersedia di Kecamatan Wulandoni

No Nama Desa Jumlah Sarana Pendidikan

Umum Agama

-Sumber: BPS Kabupaten Lembata (Diolah oleh peneliti)

Dari table 4.2 di atas terlihat jumlah sarana pendidikan masih didominasi oleh pendidikan tingkat SD kemudian diikuti oleh SLTP dan SMA/SMK. Dengan kurangnya sarana pendidikan terutama SMA ataupun sekolah-sekolah keagamaan membuat banyak orang tua yang mengirimkan anaknya untuk melanjutkan

pendidikan di ibukota kabupaten maupun di luar Pulau Lembata seperti ke Flores Timur, Kupang, Makassar maupun di Pulau Jawa.

Kondisi sarana kesehatan Kecamatan Wulandoni dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.3 Banyaknya Sarana Kesehatan Menurut Desa Tahun 2017

No Desa Polikli sudah memiliki sarana Poskesdes namun masih kurang adanya Puskesmas serta belum adanya sarana Rumah Sakit sehingga untuk menunjang kesehatan masyarakat belum sepenuhnya memadai sehingga banyak penanganan kesehatan yang harus dirujuk ke ibukota kabupaten maupun propinsi.

Kondisi keagamaan di Kecamatan Wulandoni dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4 Banyaknya Umat Menurut Desa dan Agama yang Dianut No Desa Islam Katolik Protestan Hindu Budha

1 Lelata - 401 - -

-2 Lamalera A - 910 - -

-3 Lamalera B 1 910 - -

-4 Imulolong - 625 - -

-5 Puor - 479 - -

-6 Belobao - 513 - -

-7 Wulandoni - 695 - -

-8 Pantai Harapan 954 17 - -

-9 Atakera 66 529 - -

-10 Leworaja 702 32 - -

-11 Alap Atadei 63 316 - -

-12 Posiwatu - 376 - -

-13 Tapobali - 333 - -

-14 Puor B - 584 - -

-15 Ataili - 278 - -

-Jumlah 1.786 6.998 - -

-Sumber: BPS Kabupaten Lembata (2017)

Berdasarkan tabel 4.4 di atas bahwasanya di Kecamatan Wulandoni hanya ada dua umat agama yaitu umat katolit dan umat islam, dimana hampir mayoritas beragama Kristen katolik (80%). Dengan kondisi keagamaan tersebut, masyarakat tetap hidup rukun dan damai serta menjunjung tinggi nilai toleransi.

B. Hasil Penelitian

Eksistensi Penggunaan Mahar Belis dalam Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot

Salah satu rukun dalam perkawinan adalah pemberian mahar terhadap mempelai perempuan. Pemberian mahar umumnya dapat berupa apa saja sesuai dengan kesepakatan kedua mempelai, namun beda halnya dengan adat yang berlaku dalam perkawinan adat pada masyarakat Suku Lamaholot dimana mahar seorang gadis berupa belis atau gading gajah yang salah satu misinya adalah mencari rempah-rempah.

Zaman dahulu masyarakat belum mengenal uang dan salah satu cara Bangsa Potugis untuk mendapatkan rempah-rempah adalah dengan menggunakan sistem barter, bangsa potugis memberikan gading-gading gajah yang banyak dibawa dalam kapal pelayaran dan raja-raja di daratan Flores Timur memberikan rempah-rempah, sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Boli Mayeli selaku tokoh adat Labala pada saat wawancara pada tanggal 3 November 2019 berikut:

“Penggunaan gading sebagai mahar sudah ada sejak zaman dahulu dan sudah jadi turun temurun, kita memang tidak punya gajah tapi kita dapatkan gading tersebut dari bangsa portugis dan pedagang-pedagang dari sumatera dan Kalimantan”

Gading gajah/belis dinilai sebagai simbol yang tepat untuk perjuangan dan kesungguhan dari seorang laki-laki untuk menikahi seorang kebare (gadis) Lamaholot karena gading merupakan benda istimewah dan sangat sulit didapatkan. Gading juga dianggap sebagai tanda kehormatan terhadap kebare Lamaholot dan simbol pemersatu antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki.

51

4.3: Gading Gajah/Belis (Sumber: Bolhybahhy, 2017)

Ukuran besar dan banyaknya jumlah gading yang harus disiapkan oleh seorang kemomu (laki-laki) sangat tergantung dari status sosial seorang kebare (gadis) Lamaholot. Kebare yang memiliki darah bangsawan atau derajat sosial yang tinggi akan memiliki mahar gading yang banyak. Selain itu, jumlah gading yang harus disipakan pihak laki-laki juga sangat tergantung dari pnue adat (musyawarah adat) yang mempertemukan keluarga laki-laki dan perempuan. Meja koto (juru bicara) dari laki-laki yang baik akan bisa meyakinkan keluarga perempuan untuk menurunkan jumlah gading/belis. Tapi yang pasti minimal gading yang wajib untuk disiapkan pihak keluarga laki-laki ada satu. Bapak Syukur Abdullah selaku tokoh adat pada saat wawancara tanggal 4 November 2019 menyatakan bahwa:

“Gading itu wajib tuk seorang perempuan lamaholot minimal satu, bisa sampai 4 atau 7 tergantung dari status sosial seorang gadis tersebut.

Biasanya banyak diminta gading dari keluarga perempuan apabila perempuan tersebut bangsawan, pendidikan tinggi, dan kawin dengan orang luar kampung”

Dalam adat masyarakat Lamaholot secara umum terdapat dua jenis bala (gading) yaitu bala mori (gading hidup) dan bala mate (gading mati). Bala Mate adalah mahar yang berbentuk gading gajah secara fisik. Mahar gading ini jumlahnya ditentukan oleh kesepakatan atau perjanjian kedua kelurga mempelai dalam musyawarah adat. Gading gajah ini nantinya akan disimpan di rumah adat faham (suku) keluarga perempuan setelah acara pernikahan selesai.

Gambar 4.4: Gadis Lamaholot (Bala Mori)

Yang kedua adalah gading gajah hidup (Bala Mori) yaitu gading dari komponen keluarga berjenis kelamin perempuan baik saudara perempuan, anak perempuan, bibi, maupun keponakan perempuan yang belum menikah, karena

Yang kedua adalah gading gajah hidup (Bala Mori) yaitu gading dari komponen keluarga berjenis kelamin perempuan baik saudara perempuan, anak perempuan, bibi, maupun keponakan perempuan yang belum menikah, karena

Dokumen terkait