• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI PENGGUNAAN MAHAR BELIS DALAM TRADISI PERKAWINAN ADAT SUKU LAMAHOLOT MASYARAKAT LABALA KABUPATEN LEMBATA SKRIPSI OLEH ASALUDIN SYARIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EKSISTENSI PENGGUNAAN MAHAR BELIS DALAM TRADISI PERKAWINAN ADAT SUKU LAMAHOLOT MASYARAKAT LABALA KABUPATEN LEMBATA SKRIPSI OLEH ASALUDIN SYARIF"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikanpada Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

OLEH

ASALUDIN SYARIF NIM 105430013615

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN

KEWARGANEGARAAN

2019

(2)
(3)
(4)

IV

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : YUDISTIRA RAHMADANI

Nim : 105430017515

Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Judul Skripsi : Fenomena Kemenangan Kolom Kosong dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2018 di Kota Makassar (Sebuah Tinjauan Yuridis).

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji adalah hasil karya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau dibuatkan oleh siapapun. Demikian pernyataan ini saya buat dan bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar,30 September 2019 Yang Membuat Pernyataan

YUDISTIRA RAHMADANI NIM: 105430017515

(5)

v

SURAT PERJANJIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : YUDISTIRA RAHMDANI

Nim : 105430017515

Jurusan : Pendididkan Pancasila dan Kewarganegaraan

Judul Skripsi : Fenomena Kemenangan Kolom Kosong dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2018 di Kota Makassar (Sebuah Tinjauan Yuridis).

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesainya skripsi ini. Saya menyusun sendiri dan tidak dibuatkan oleh siapapun.

2. Dalam penyusunan skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Fakultas.

3. Saya tidak melakukan penciplakan (plagiat) dalam penyusunan skripsi saya.

4. Apabila saya melanggar perjanjian saya pada poin 1, 2, dan 3 maka saya bersedia menerima sanksi sesuai aturan yang berlaku.

Demikian perjanjian ini saya buat, dengan penuh kesadaran.

Makassar,30 September 2019 Yang Membuat perjanjian

YUDISTIRA RAHMADANI NIM: 105430017515

(6)

iv MOTO:

ADAT TITE NULU TITE (ADAT KITA PETUNJUK KITA)

PERSEMBAHAN:

KARYA KECIL INI SAYA PERSEMBAHKAN UNTUK ORANG-ORANG

TERCINTA TERKHUSUS ORANG TUA, SAUDARA DAN KELUARGA

(7)

v

Dibimbing oleh: Nasrun Hasan dan Aulia Andika Rakman.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis eksistensi penggunaan mahar belis dalam tradisi perkawinan adat suku Lamaholot masyarakat Labala Kabupaten Lembata. Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik penentuan informan yang digunakan adalah Purposive Sampling atau judgmental sampling, yaitu penarikan informan yang dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan criteria spesifik yang ditetapkan oleh peneliti yakni tokoh adat, tokoh masyarakat dan masyarakat. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif, yaitu menguraikan dan menginterpretasikan data-data yang diperoleh dengan cara mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan belis/gading gajah sebagai mahar seorang gadis Lamaholot masih eksis dan dilestarikan oleh masyarakat adat Lamaholot Labala hinggah saat ini meskipun sudah ada beberapa masyarakt yang mulai meninggalkan adat ini, belis dianggap sebagai simbol pemersatu antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki serta sebagai bentuk penghormatan seorang laki-laki terhadap perempuan Lamaholot. Ada dua faktor yang menyebabkan penggunaan mahar belis/gading gajah masih tetap eksis dalam tradisi adat perkawinan adat Lamaholot Labala yaitu: faktor tradisi/adat Lamaholot yang masih kental dan faktor harga diri/gengsi baik dari keluarga perempuan maupun keluarga laki-laki. Secara umum ada 3 proses/tahapan pelaksanaan belis yang harus dilalui dalam tradisi perkawinan adat masyarakat Lamaholot terkhusus di Labala yaitu: persiapan sebelum lamaran, proses lamaran, dan pembayaran belis.

Kata Kunci: Mahar Belis/Gading Gajah, Perkawinan Adat

(8)

vi

segala karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan henti bertahmid atas anugerah pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah, serta rasa dan rasio pada-Mu, Sang Khalik. Penelitian Skripsi ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu.

Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang dari pandangan, bagai pelangi yang terlihat indah dari kejauhan, tetapi menghilang jika didekati.

Demikin juga tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi kapasitas penulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermanfaat dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Proses penyelesaian skripsi ini, merupakan suatu perjuangan yang panjang bagi penulis. Selama proses penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kendala yang dihadapi. Namun demikian, berkat keseriusan pembimbing mengarahkan dan membimbing penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis patut menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada; Drs. H. Nasrun Hasan, M.Pd. dan Auliah Andika Rukman, S.H., M.H. selaku pembimbing I dan pembimbing II Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada; Prof. Dr. H. Rahman Rahim MM.,

(9)

vii

seluruh dosen dan para staf pegawai dalam lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat.

Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu. Demikian pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada para keluarga, sahabat, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang tak hentinya memberikan motivasi dan dorongan dalam penulisan skripsi ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis senantiasa mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun untuk perbaikan proposal penelitian ini kedepan. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Aamiin.

Makassar, Desember 2019 Tertanda

Penulis

(10)

viii

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Definisi Operasional ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eksistensi ... 9

B. Tinjauan Tradisi Perkawinan Adat ... 10

1. Tradisi ... 10

2. Perkawinan ... 11

(11)

ix

C. Mahar Belis ... 22

D. Teori yang Relevan ... 26

E. Penelitian yang Relevan ... 31

F. Kerangka Pikir ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 35

B. Lokasi Penelitian ... 35

C. Informan Penelitian ... 35

D. Fokus Peneltian ... 36

E. Instrumen Penelitian ... 37

F. Sumber Data Penelitian ... 37

G. Teknik Pengumpulan Data ... 38

H. Teknik Analisis Data ... 39

I. Teknik Keabsahan Data ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 43

B. Hasil Penelitian ... 51

C. Pembahasan ... 65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

(12)

x

(13)

xi 4.1

4.2 4.3 4.4

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Desa Kecamatan Wulandoni Tahun 2017

Fasilitas Pendidikan yang Tersedia di Kecamatan Wulandoni Banyaknya Sarana Kesehatan Menurut Desa Tahun 2017

Banyaknya Umat Menurut Desa dan Agama yang Dianut Tahun 2017

47

48 49 50

(14)

xii

2.1 Kerangka Pikir 34

4.1 Prasasti Kayu Gambar Masjid Al-Muqarrabin Pertama Berdiri di Kerajaan Labala

43

4.2 Peta Lokasi Penelitian 47

4.3 Gading Gajah/Belis 52

4.4 Gadis Lamaholot (Bala Mori) 53

4.5 Pengantaran bala mate ke rumah mempelai perempuan 58

4.6 Potret Belis/Gading Gajah Zaman Dulu 62

(15)

xiii

1 Pedoman Wawancara 79

2 Matriks Analisis Data 81

3 Dokumentasi Penelitian 91

4 Persuratan 93

5 Daftar Riwayat Hidup 95

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, suku, ras, bahasa dan adat-istiadat yang masing-masing berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain mulai dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote. Ragam budaya dan adat istiadat tersebut merupakan ciri dan karakter dari suatu bangsa yang harus dijaga dan dilestarikan karena dapat menjadi suatu kekuatan dalam mengembangkan dan memajukan peradaban suatu bangsa.

Dalam upaya memajukan, menghormati dan memelihara kebudayaan masyarakat, telah diatur oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 32 ayat 1 dan 2 yakni: (1) Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.

(2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia tentang perkawinan, mengenai ketentuan, tata cara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum Adat

1

(17)

masing-masing. Menurut hukum Adat, perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara Adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat (Wignjodipoere dalam Sardari, 2018).

Menurut pandangan Sudiyat (2010) bahwa perkawinan adat merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan dan martabat bisa juga merupakan urusan pribadi bergantung kepada tata susunan mayarakat yang bersangkutan.

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga tetapi juga berarti hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerbat dari pihak istri maupun pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai (Kusuma, 1990) .

Dengan adanya perkawinan maka diharapkan dapat melanjutkan keturunan yang akan menjadi penerus orang tua, dari ayah maupun ibu. Silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan barometer dari asal-usul yang baik dan teratur. Dari segi kebudayaan masyarakat Lamaholot, suatu perkawinan merupakan prilaku manusia yang berhubungan dengan kehidupan seksualnya. Dengan demikian, fungsi perkawinan adat adalah suatu lembaga social yang mengatur manusia dalam bidang seks, suatu sarana untuk memenuhi manusia dalam kebutuhan hidup sebagai kawan (pendamping)

(18)

hidup, lembaga yang berisikan hak-hak dan kewajiban mengenai hubungan suami istri dan anak-anak.

Disamping sebagai sarana untuk mendapatkan fungsi di atas, perkawinan adat juga berfungsi memungkinkan perubahan tertib teratur dari peguyuban hidup kelompok kebangsaan ke dalam generasi-generasi baru, anak-anak yang dilahirkan dari dan di dalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kebangsaan. Perkawinan itu juga mempertahankan persekutuan setempat atau masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku tata susunan masyarakat rakyat.

Setiap daerah di Indonesia ketika melangsungkan proses perkawinan selalu dipenuhi dengan suasana yang sangat sakral dan kental. Hal ini disebabkan oleh kekuatan adat yang secara turun-temurun dipercayai oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu hal yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat (Sardari, 2018). Hal tersebut juga berlaku di daerah Kabupaten Lembata terkhusus di masyarakat Labala dimana adat sangat mendominasi dalam sebuah proses perkawinan, salah satunya dalam hal pemberian mahar dalam bentuk belis (gading gajah) kepada seorang gadis Lamaholot. Dalam kehidupan keseharian pelapisan sosial memandang wanita sebagai sentral kehidupan masyarakat dan tinggi nilainya. Karena itu, meski masyarakat menilai seorang wanita tidak secara material, mereka tetap mencari materi pembanding dalam bentuk belis. Semakin tinggi status sosial seorang gadis maka semakin mahal atau semakin banyak belis (gading) yang dipasang oleh keluarga perempuan.

Meski penduduk wilayah Labala ini secara khusus dan Nusa Tenggara Timur secara umum tidak memelihara gajah dan mata pencaharian mereka

(19)

kebanyakan petani dan nelayan, gading gajah sudah menjadi mahar sejak ratusan tahun lalu yang diwariskan oleh leluhur. Menurut Sardari (2018) Pada zaman prasejarah, kawasan Flores pernah digunakan sebagai tempat tinggal gajah purba.

Gading yang ada kemungkinan berasal dari fosil-fosil yang ditemukan. Selain dari fosil, gading yang ada di sana juga konon di bawah oleh raja Sikka pada abad ke- 17, dia pergi ke Malaka yang masih dikuasai oleh Portugal dimana saat pulang, dia membawa banyak gading gajah yang akhirnya banyak diberikan kepada tuan tanah dan bangsawan. Pada saat itu, gading gajah sangat berharga dan bernilai tinggi sehingga para leluhur menggunakan sebagai mahar atau penghormatan terhadap gadis-gadis Lamaholot.

Dewasa ini, belis selalu menimbulkan masalah yang rumit antara pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Penentuan atau kesepakat berapa gading yang harus diserahkan pihak laki-laki harus melalui musyawarah adat yang akan mempertemukan kedua keluarga. Status sosial menjadi ukuran menentukan jumlah dan ukuran gading. Jika calon istri berasal dari keluarga dengan status sosial yang tinggi, jumlah gading jauh lebih banyak dan lebih panjang begitupun sebaliknya jika anak gadis berasal dari keluarga sederhana, jumlah dan ukuran gading bisa dikompromikan. Jumlah gading untuk meminag seorang perempuan berkisar antara 3 dan 7 batang. Jumlah 7 batang biasanya berlaku dikalangan bangsawan atau orang terpandang. Masyarakat biasa umumnya 3 batang dimana harga gading gajah cukup bervariasi yaitu antara 13 juta sampai dengan 100 juta perbatang tergantung ukurannya.

(20)

Diterapkannya belis gading sebagai mahar melamar gadis suku Lamaholot tentu bukanlah sesuatu yang tanpa alasan,. karena pasti terdapat makna, hikmah, dan nilai-nilai yang bisa diambil dan diterapkan dalam kehidupan dari mahar gading tersebut. Menurut Sardari (2018), Gading gajah merupakan simbol yang tepat dan benda yang istimewa yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain karena sangat sulit untuk didapatkan. Gading gajah dianggap seperti marwah kebarek lamaholot (perempuan lamaholot) yang sangat dihormati dan diistimewakan.

Gading gajah juga dianggap sebagai simbol bahwa gadis lamaholot tidak mudah untuk didapatkan dan dinikahi begitu saja.

Sardari (2018) menjelaskan bahwa pemberian belis/gading dalam perkawinan adat masyarakat Lamaholot memberikan banyak manfaat yaitu: (1) Martabat keluarga laki-laki dan perempuan menjadi terhormat; (2) Menghargai harkat dan martabat perempuan lamaholot; (3) Pihak keluarga perempuan akan merasa dihargai; (4) Menciptakan hubungan timbal balik antar kedua keluarga mempelai; (5) Meningkatkan rasa solidaritas secara internal antar masing-masing keluarga kedua mempelai; dan (6) Memupuk semangat gotong royong antar keluarga kedua mempelai.

Meskipun bertujuan mulia untuk mengangkat harkat martabat seorang perempuan Lamaholot, namun gading/belis juga dapat menjadi sumber persoalan dalam rumah tangga yang pada akhirnya melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi bila tuntutan belis yang terlampau tinggi dan tidak menjangkau kemampuan finansial seorang laki-laki dan keluarganya. Belis yang mahal akan berdampak pada psikologis laki-laki untuk kawin sehingga banyak

(21)

yang memilih untuk menikah dengan perempuan di luar suku Lamaholot atau memilih untuk menikah di perantauan agar terhindar dari adat Lamaholot. Selain itu, mahalnya gading juga berpengaruh buruk terhadap para pasangan pria dan wanita yang lebih memilih untuk hamil diluar nikah atau kawin lari ke luar daerah Lamaholot untuk mempermudah proses adat.

Gading gajah merupakan salah satu benda dari hewan langkah dan satwa yang sangat dilindungi di Indonesia dimana dilarang untuk memburu, membunuh, maupun memperjualbelikan gading gajah. Hal ini membuat banyak masyarakat Lamaholot yang kesulitan mendapatkan gading bahkan tidak lagi memiliki gading gajah untuk melamar gadis Lamaholot. Namun demikian, masyarakat tetap mempertahankan substansi dari mahar belis gading tersebut dengan mengkonversikan nilai dari gading tersebut ke dalam bentuk hewan-hewan lain atau dalam bentuk uang. Misalnya seorang gadis bermahar satu gading seharga 40 juta rupiah bisa diganti dalam bentuk 4 ekor sapi, 5 ekor babi, atau uang tunai 40 juta rupiah dan seterusnya mengikuti kelipatan harga dan nilai dari belis yang dipasang keluarga perempuan.

Penggunaan mahar belis dalam adat masyarakat Lamaholot yang banyak mendiami pulau Flores, Solor, Adonara, Alor, Lembata dan sekitarnya terkhusus di Kampung Labala masih tetap eksis dan lestari hinggah saat ini. Meskipun berbeda cara namun substansi dari mahar belis tetap dijaga. Berdasarkan uraian diatas maka penulis termotifasi untuk meneliti secara mendalam tentang

“Eksistensi Penggunaan Mahar Belis dalam Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot Masyarakat Labala Kabupaten Lembata”

(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana eksistensi penggunaan mahar belis dalam tradisi perkawinan adat suku Lamaholot masyarakat Labala Kabupaten Lembata?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka maka tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis eksistensi penggunaan mahar belis dalam tradisi perkawinan adat suku Lamaholot masyarakat Labala Kabupaten Lembata.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat atau kegunaan penelitian adalah deskripsi tentang pentingnya penelitian terutma perkembangan ilmu pengetahuan atau pembangunan dalam arti luas, dalam arti lain, uraian dalam bab-bab kegunaan penelitian berisi tentang kelayakan atas masalah yang diteliti. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, menambah wawasan pemikiran pembaca pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa yang berkecimpung di bidang pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, tentang tradisi perkawinan adat di suku Lamaholot.

(23)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang penggunaan mahar belis dalam tradisi perkawinan ada suku Lamaholot, kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Dan juga sebagai bahan atau referensi dalam menyikapi hal-hal di masyarakat terhadap realitas kultur.

E. Defenisi Operasional

Definisi operasional digunakan untuk memudahkan pembaca dalam memahami kosa kata atau istilah-istilah asing yang ada dalam judul proposal.

Istilah tersebut antara lain:

1. “Belis” atau mahar gading gajah merupakan pemberian wajib pria kepada calon istri atau gadis suku Lamaholot sebagai tanda ketulusan cinta dan tanda kehormatan serta martabat gadis Lamaholot.

2. “Tradisi” ialah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama oleh leluhur dan diwariskan kepada anak cucu untuk dijadikan bagian dan pedoman dalam kehidupan suatu kelompok suku, masyarakat, bangsa atau negara.

3. Lamaholot adalah suatu suku atau komunitas masyarakat yang banyak berada di jajaran kepulauan Flores, Solor, Adonara, Lembata dan Alor yang dimana termasuk di dalamnya Labala.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Eksistensi

Menurut Satoto (2004), sampai saat ini belum ada satupun tulisan ilmiah, baik berupa buku, jurnal, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang membahas secara khusus pengertian eksistensi. Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga tertentu.

Secara bahasa, kata eksistensi berasal dari bahasa Latin yaitu Exsistere, dimana ex yang berarti keluar, dan sitere yang berarti membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa yang dialami. Hal ini kemudian melahirkan empat penjelasan baru tentang eksistensi yaitu: Eksistensi adalah apa yang ada; Eksistensi adalah apa yang memiliki; Eksistensi adalah segala sesuatu yang dialami dengan penekanan bahwa sesuatu itu ada; dan Eksistensi adalah kesempurnaan. Dalam konsep eksistensi, satu-satunya faktor yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Setiap hal yang ada itu mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten (Andriani & Ali, 2013).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Dalam Buku Kamus Ilmiah, arti kata eksistensi adalah keberadaan wujud yang tampak. Sedangkan menurur Abidin (Dalam Kompasiana, 2012) Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu “menjadi‟ atau “mengada‟. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari “melampaui‟ atau

9

(25)

“mengatasi‟. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya.

Eksistensi juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang akan mendapat maknanya jika adanya kontinuitas atau keberlanjutan, dan keberlanjutan tersebut akan mendapat maknanya jika ada aktivitas. Sehingga eksistensi juga dapat diartikan sebagai keberlanjutan dari suatu aktivitas (Andriani, 2013).

B. Tradisi Perkawinan Adat 1. Tradisi

Tradisi (bahasa latin traditio “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu dan agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain. Misalnya dalam acara tertentu masyarakat sangat menggemari kesenian rabab.

Tradisi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang di dalam bentuk yang sama. Tradisi merupakan suatu kebiasaan dalam adat istiadat yang dipelihara turun-temurun oleh nenek moyang kepada penerusnya. Tradisi adalah segala sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan

(26)

sebagainya) yang turun temurun dari nenek moyang (Soekanto, 1990 : 181).

Sedangkan menurut Badudu tradisi adalah adat kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun dan masih terus dilaksanakan pada masyrakat yang ada (Badudu, 2003; 394). Tradisi adalah sesuatu yang mempunyai nilai dan diakui kegunaannya akan dipertahankan berlakunya, apalagi tradisi tadi merupakan pranata- pranata kemasyarakatan. Berbagai bentuk upacara itu diakui sebagai kegiatan yang berguna dan dapat menyegarkan jiwa, sehingga perlu diupayakan kelestariannya serta mendapat pembinaan secara terus menerus.

Oleh karena itu, telah mengakar menjadi tradisi, maka upacara yang dilaksanaksan pada waktu-waktu tertentu dan tidak untuk kegiatan sehari-hari (Soejipto, 1982; 6).

Tradisi merupakan gambaran sikap dan prilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.

2. Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Peristiwa ini bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi orang tua, saudara-saudara, dan keluarga-keluarganya. Sehingga seringkali kita dengar, bahwa secara umum perkawinan dalam masyarakat indonesia yang kawin sesungguhnya keluarga dengan keluarga.

(27)

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di nyatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Menurut pandangan Iman Sudiat bahwa perkawinan adat bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan dan martabat bisa juga merupakan urusan pribadi tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.

Sedangkan menurut Hilman Hadi kusuma menyatakan bahwa perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata suatu ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri maupun pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk saling membantu dan menjunjung hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Perkawinan adat merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkup kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara, bahkan keluarga meraka masing-masing. Dalam adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang berarti serta yang sepenuhnya yang dapat perhatian dan diikuti arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

(28)

3. Tujuan Perkawinan

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Menyatakana bahwa yang menjadi tujuan perkawinan suami istri adalah untuk membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Sebagaimana penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagian suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat pariental (ke-orangtua-an).

Tujuan perkawinan menurut hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan, keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan (Hadikesuma, 2007).

Menurut Muhammad (2000) Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Sedangkan

(29)

menurut UUP tujuan perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, tujuan perkawinan menurut hukum adat bukan hanya semata untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia yang merupakan tujuan pribadi antara laki-laki dan, akan tetapi untuk kebahagian dua keluarga besar dan bahkan tetangga serta untuk mempertahankan hukum adat keluarga.

Oleh karena itu, tujuan perkawinan adat sangatlah kompleks karena tidak hanya mengedepankan kebahagiaan saja, akan tetapi untuk mempertahankan ukum adat dalam keluarga

4. Adat

Pengertian adat dalam buku pengantar Hukum adat Indonesia adalah segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara satu sama lain (Roelof Van Djik, 1979 : 5).

Pengertian lain adat dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah aturan yang lazim di turut sejak dahulu dan berlaku turun- temurun (Ali, 1998 : 2).

Adat istiadat merupakan komponen awal adanya tertib sosial di tengah- tengah masyarakat. Adat merupakan salah satu wujud kebudayaan masyarakat.

Kebudayaan adalah segala perbuatan tingkah laku, dan tata kelakuan aturan-aturan yang merupakan kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan sampai sekarang masih dilaksanakan (Koentjaraningrat, 1980).

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian adat adalah tatacara yang telah ditetapkan dalam suatu masyarakat yang berasal

(30)

dari warisan nenek moyang yang di turunkan hingga ke anak cucunya.

Dengan demikian tidak akan terjadi pertentangan antara satu sama lain di dalam anggota masyarakat yang menyangkut sistem adat tertentu.

5. Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot

Setiap daerah di Indonesia ketika melangsungkan proses perkawinan selalu dipenuhi dengan suasana yang sangat sakral dan kental. Hal ini disebabkan oleh kekuatan adat yang secara turun-temurun dipercayai oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu hal yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat. Hal tersebut juga berlaku di daerah Labala, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Adat sangat mendominasi dalam sebuah proses perkawinan, salah satunya dalam hal pemberian belis masyarakat Lamaholot di Lembata.

Dalam kehidupan keseharian pelapisan sosial yang memandang wanita sebagai sentral kehidupan masyarakat dan tinggi nilainya. Karena itu, meski masyarakat menilai seorang wanita tidak secara material, mereka tetap mencari materi pembanding dalam bentuk belis.

Sardari (2018) mengemukakan bahwa Belis/gading gajah muncul ketika pasukan-pasukan Portugis datang mencoba untuk menjajah Nusantara. Ketika mereka datang untuk mengeksploitasi pulau Flores dan sekitarnya, di dalam perahu-perahu mereka terdapat banyak gading gajah yang sangat asing menurut warga Flores, karena disana memang tidak terdapat hewan gajah. Karena keasingan gading tersebut masyarakt Lamaholot menganggap gading sebagai sesuatu yang berharga. Lambat laun, ketika seorang pria ingin meminang seorang

(31)

perempuan, gading gajah pun menjadi sesuatu yang sakral untuk diberikan kepada keluarga perempuan dambaannya sebagai sesuatu yang sakral yang wajib diberikan kepada keluarga perempuan sebagai pengganti karena sang lelaki akan menikahi anak perempuan yang telah dibesarkan dari kecil oleh orang tuanya yang akan berpindah suku dan tanggung jawab dari pihak orang tua kepada calon suaminya setelah menikah nantinya.

Gading gajah dinilai sebagai simbol yang tepat karena merupakan benda yang istimewa yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain dan sangat sulit untuk didapatkan. Gading gajah dianggap seperti marwah kebarek lamaholot (perempuan lamaholot) yang sangat dihormati dan diistimewakan. Gading gajah juga dianggap sebagai symbol bahwa kebarek lamaholot tidak mudah untuk didapatkan dan dinikahi begitu saja. Gading gajah juga dianggap sebagai pelindung kehormatan kebarek lamaholot sehingga tidak mudah untuk dipermainkan begitu saja oleh para lelaki. Gading gajah dipandang sebagai unsur penting dalam pernikahan lamaholot karena memiliki nilainilai luhur serta sebagai symbol pemersatu laki-laki dan perempuan (Sardari, 2018).

Gading gajah tidak hanya sebagai pengikat hubungan perkawinan antara suami istri, atau antara keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat lamaholot di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis. Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, keramahan yang dimiliki oleh perempuan lamaholot.

(32)

Menunaikan belis, selain untuk menggugurkan tanggung jawab adat yang telah dibebankan kepada kita ketika ingin menikahi perempuan lamaholot, menunaikannya juga turut mengangkat derajat orang tua dan mertua kita dihadapan adat dan masyarakat luas. Mengangkat derajat suku kita, baik kepada suku keluarga perempuan, juga suku-suku lain yang turut menerapkan adat lamaholot. Menyepelekan ketentuan ini juga akan berdampak sebaliknya. Orang tua, mertua, suku kita akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas dan dihadapan adat, oleh karena itu, beban itu akan terasa jika seorang laki-laki yang menikahi perempuan lamaholot belum menunaikan kewajiban adat ini (Sardari, 2018).

Belis selain memiliki manfaat yang bisa dirasakan dari luar yakni dari masyarakat, penerapan belis ini juga akan memberikan mamfaat yang berasal dari dalam/internal keluaarga, yakni mempererat ikatan kekeluargaan antara keluarga kedua belah pihak mempelai yang tersatukan melalui ikatan perkawinan. Karena otomatis keluarga kedua mempelai akan mempunyai ikatan kekeluargaan antar keduabelah pihak. Melalui pemberian belis ini, akan menciptakan hubungan yang harmonis antara keluarga keduabelah pihak.

Menurut Sardari (2018) terdapat 3 proses pelaksanaan belis yang harus dilalui dalam adat perkawinan adat Lamaholot yaitu: persiapan sebelum lamaran, proses lamaran dan pembayaran belis. Pertama, persiapan sebelum lamaran.

Terdapat 4 hal pokok yang harus diperhatikan yaitu menyiapkan bala (gading), memperhatikan status sosial perempuan di masyarakat, menyiapkan hewan-

(33)

hewan tambahan sebagai pelengkap belis, dan musyawarah antar suku untuk menentukan kesepakatan.

Kemudian kedua adalah proses lamaran. Proses lamaran dalam adat lamaholot merupakan proses yang menentukan apakah pihak laki-laki diterima atau diizinkan untuk menikahi perempuan dari pihak perempuan ini. Proses lamaran dalam adat lamaholot selain sebagai bentuk pernyataan keinginan untuk menikahi, juga merupakan proses pembicaraan adat dalam menetukan hari perkawinan dan juga menunjukan belis dalam bentuk gading dan tambahan hewan ternaknya yang sudah disiapkan oleh pihak laki-laki ke keluarga pihak perempuan sebagai syarat mutlak dalam perkawinan masyarakat lamaholot. Diperoses lamaran ini juga akan diketahui apakah belis dari pihak laki-laki akan diterima oleh pihak perempuan ataukah tidak, beserta dengan tawaran belis yang seharusnya dari pihak perempuan jika belis yang disiapkan oleh pihak laki-laki itu tidak sesuai. Mulai dari jenis dan ukuran balanya beserta dengan jumlah tambahan hewan ternaknya. Dalam proses ini, terjadi pembicaraan adat mengenai belis perempuan ini.

Apabila semua persyaratannya sudah sesuai, atau jika ada penyanggupan dari pihak laki-laki, maka pembicaraan adatnya akan lancar-lancar saja tanpa ada perdebatan yang alot dan lamarannya akan diterima. Namun jika belisnya tidak sesuai, maka akan terjadi tawar menawar belis serta perdebatan yang alot untuk mencari jalan keluar dan untuk mempertemukan argumen dari kedua belah pihak.

Jika tidak ada kesepakatan, bisa jadi lamaran itu tidak diterima, dan perkawinan pun terancam batal.

(34)

Proses ketiga adalah pembayaran belis. Terdapat beberapa cara untuk pembayarn belis (Sardari, 2018) yaitu sebagai berikut:

a. Secara tunai

Kesanggupan dari pihak keluarga laki-laki dalam membayaran, menunaian, menyerahkan belis kepada keluarga perempuan secara langsung karena telah mencapai kesepakatan pada penawaran belis ketika keluarga kedua belah pihak bertemu dan membicarakan tentang belis pada proses lamaran, sedangkan dari pihak keluarga perempuan pun telah tersediah balasan dari belis tersebut berupa kain sutra, lipa (sarung), kwatek (kain tenun), pakaian, gelang, kalung dan emas yang diisi penuh dalam lemari.

b. Utang

Keberadaan belis di daratan lamaholot makin lama mengalami kelangkahan. Selain susah untuk didapatkan, jika ada harga yang ditawarkan pun sangat mahal. Karena hal-hal ini, sehingga pembayaran belis pun bisa dilakukan dengan utang. Cara seperti ini lebih banyak ditempuh oleh para kebarak (pemuda) lamaholot karena situasi tersebut.

Dan belis ini juga ada kemungkinan akan habis dari hasil perkawinan antar suku yang sama oleh generasi setelahnya, mengingat perempuan merupakan harta milik suku, jadi kemungkinan ini bisa terjadi.

Pertimbangang lainnya ialah, umur terus berlanjut, kehidupan harus terus berlanjut, jika menunggu sampai belis tersebut mampu ditunaikan, maka akan menghambat niat suci untuk menanggungjawabi

(35)

perempuan idamannya, menyempurnakan agama, dan mengarungi bahtra kehidupan secara bersama.

Pengakuan dari pihak laki-laki yang diperlukan sebagai bentuk kepastian dan keputusan bahwa belisnya akan ditunaikan, meskipun bentuk fisiknya belum bisa ditunjukkan bahkan diberikan kepada keluarga pihak perempuan. Bentuk pengakuannya bahwa sang lelaki harus menyatakan kesediaannya untuk memberikan belis tersebut kelak.

Biasanya sang lak-laki menjanjikan waktu dalam menunaikan belis tersebut untuk meyakinkan pihak keluarga perempuan tentang kesungguhan hatinya, atau menyatakan bahwa kelak keturunannya lah yang akan membayar belis tersebut jika selama hidupnya dia mengalami kesulitan dalam menunaikannya.

Pihak laki-laki harus memperhatikan bahasa yang digunakan dalam memberikan kepastian tentang penunaian belis tersebut ke pihak keluarga perempuan. Dengan menggunakan bahasa adat yang jelas dan jujur agar proses penagihan belis nantinya akan berjalan sesuai dengan pengakuan yang telah dibuat sebelumnya. Karena jika salah, tidak jelas, bahkan tidak jujur dalam menggunakan bahasa adat, tujuan belis yang salah satunya untuk mempererat hubungan kekeluargaan diantara kedua belah pihak dalam bentuk perkawinan bisa tidak tercapai.

Kebiasaan unik yang biasa terjadi dalam pembayaran belis secara utang ini, biasanya dari pihak laki-laki membawa belis pinjaman dari kerabat lain atau dari suku lain sebagai bentuk formalitas adat agar

(36)

masyarakat luas mengetahui bahwa pasangan keluarga tersebut telah menunaikan proses adat pernikahan. Kebiasaan ini dikenal dengan dengan istilah “pana rerrong bali remma”, yang dalam bahasa lamaholotnya memiliki arti “berangkat siang pulangnya malam”.

Ketika telah sepakat tentang belisnya, dan tentu berdasarkan sepengetahuan pihak keluarga perempuan, bahwa pihak laki-laki belum memiliki bentuk fisik dari gading tersebut, maka untuk menunaikan prosesi adat agar masyarakat luas mengetahui bahwa kedua belah pihak telah melaksanakan kewajiban adatnya, biasanya keluarga laki-laki membawa belis yang dipinjam dari pihak lain ke keluarga perempuan dengan sepengetahuan dari pihak keluarga perempuan. Setelah itu, ketika pihak laki-laki selesai dengan proses adatnya, belis yang dibawah tadi oleh pihak laki-laki, dibawa pulang kembali beserta dengan perempuan tersebut karena dianggap telah sah menikah secara adat. Dibawa pulangnya kembali belis yang diberikan pihak laki-laki terhadap perempuan, bukan berarti pembayaran belisnya telah selesai ditunaikan.

Pihak laki-laki tetap harus memberikan belisnya kelak jika sudah ada.

c. Cicil

Cara pembayaran seperti ini berlaku bagi pria yang ingin menikahi perempuan yang memiliki status sosial yang tinggi dalam adat lamaholot, yang mengharuskan laki-laki membayarkan belis lebih dari satu, sedangkan pihak laki-lakinya tidak mampu untuk menyanggupi belis itu secara keseluruhan pada waktu itu. Tawaran adatnya ialah dengan

(37)

memberikan satu Belis yang disanggupi pihak lakai-laki tersebut diawal sebagai jaminan dan sebagai bentuk pengakuan bahwa mereka sanggup untuk menjalani tanggung jawab adat yang dibebankan dalam bentuk belis, dan sisa belisnya bisa ditunaikan ketika pihak laki-laki telah behasil mendapatkannya.

d. Barter

Cara pembayaran ini berlaku untuk jenis belis gading hidup. Tidak semuanya harus menggunakan gading gajah sebagai belis. Jika kita tidak mampu dewasa bisa menggantikan mamannya diposisi keluarganya.

Karena menurut adat lamaholot, belis digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan, digunakan untuk menebus anak perempuan jika ingin diambill dari keluarganya untuk dijadikan istri. Jadi, kita menggantikan belis kita berupa gading gajah itu dengan anak perempuan kita nantinya jika dia telah menjadi perempuan dewasa.

C. Mahar Belis

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakakn, mengajar, dll) (Ghozali, 2010).

(38)

Menurut Poerwadarminta (1976: 619) maskawin atau mahar adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan. Pengertian yang sama dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Depdiknas, 2002:696) maskawin atau mahar berarti pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.

Mahar dalam sebuah pernikahan dianggap penting karena selain diwajibkan oleh agama mahar juga merupakan tanda kesungguhan dan penghargaan dari pihak laki-laki sebagai calon suami kepada calon istrinya.

Namun pemberian mahar ini tidak berarti bahwa calon suami telah membeli calon istrinya dari orang tuanya. karena sebesar apapun mahar yang diberikan oleh calon suami tidak dapat disetarakan dengan harkat dan martabat seseorang.

Dalam adat masyarakat suku Lamaholot, seorang lelaki atau calon suami harus menyiapkan mahar atau maskawin berupa belis atau gading gajah jika ingin menikah dengan gadis dari suku Lamaholot. Ukuran dan jumlah belis sangat tergantung dari status sosial seseorang gadis.

Menurut Sardari (2018) bahwa masyarakat Lamaholot menilai gading gajah sebagai simbol yang tepat karena merupakan benda yang istimewa yang tidak banyak dimiliki oleh orang lain dan sangat sulit untuk didapatkan. Gading gajah dianggap seperti marwah kebarek lamaholot (perempuan lamaholot) yang sangat dihormati dan diistimewakan. Gading gajah juga dianggap sebagai simbol bahwa kebarek lamaholot tidak mudah untuk didapatkan dan dinikahi begitu saja.

(39)

Gading gajah tidak hanya sebagai pengikat hubungan perkawinan antara suami istri, atau antara keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat Lamaholot di suatu wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih sosialis. Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap seorang gadis yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, keramahan yang dimiliki oleh perempuan lamaholot (Sardari, 2018).

Meskipun tidak pernah di temui adanya gajah di wilayah keberadaan suku Lamaholot (Pulau Flores, Solor, Adonara, Alor dan Lembata) namun tradisi pemberian mahar gading gajah tersebut sudah ada sejak dahulu dan banyak ditemui gading-gading peninggalan nenek moyang terdahulu.

Menurut Sardari (2018), belis/gading gajah itu muncul ketika pasukan- pasukan Portugis datang mencoba untuk menjajah Nusantara. Ketika mereka datang untuk mengeksploitasi pulau Flores, di dalam perahu-perahu mereka terdapat banyak gading gajah yang sangat asing menurut warga Flores, karena disana memang tidak terdapat hewan gajah. Lambat laun, ketika seorang pria ingin meminang seorang perempuan, gading gajah pun menjadi sesuatu yang sakral untuk diberikan kepada keluarga perempuan dambaannya sebagai sesuatu yang sakral yang wajib diberikan kepada keluarga perempuan sebagai pengganti karena sang lelaki akan menikahi anak perempuan yang telah dibesarkan dari kecil oleh orang tuanya yang akan berpindah suku dan tanggung jawab dari pihak orang tua kepada calon suaminya setelah menikah nantinya.

Belis/gading terdiri dari tujuh jenis, (Sardari, 2018) yakni:

(40)

a. Bala wahan (gading pertama): bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa (rentangan tangan) orang dewasa batasannya sampai di kala ketekke’ (pergelangan tangan)

b. Bala ke ruheng (gading kedua): bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan)

c. Bala ke telung (gading ketiga): bala kewayane (setengah siku sampai siku) d. Bala ke pat (gading keempat): bala ina umene (setengah depa sampai

batas bahu)

e. Bala ke lema (gading kelima): bala opu lake (setengah depa, persis bela dada tangan)

f. Bala ke nem (gading keenam): bala kepalik papa (lipatan sikut sampai ke belahan dada)

g. Bala ke pito (gading ketujuh): bala waluk pao/bala lempar mangga (dari ujung jari tengah pertama sampai lipatan sikut)

Masing-masing belis tersebut memiliki fungsi pemberian. Ketika seorang laki-laki ingin menikahi perempuan lamaholot yang berasal dari keturunan yang terhormat, laki-laki tersebut harus siap memberikan belis yang lebih banyak. Jika perempuan tersebut dihargai dengan tujuh belis, maka tiga gading merupakan pemberian pokok yang harus diberikan yang terdiri dari bala kewahang, keruheng dan ketelung. Bala kepat diperuntukan untuk membalas air susu ibu yang telah diberikan kepada anak perempuannya, bala kelema untuk keluarga bapak dari perempuan tersebut, bala kenem diperuntukan kepada paman/saudara perempun dari ibu mempelai perempuan, bala kepito diperuntukkan kepada keluarga sesuku

(41)

yang telah ikut menyumbang berbagai barang untuk menyandang belis yang akan diberikan oleh pihak laki-laki.

Dewasa ini, dengan semakin langkahnya gading gajah karena gajah menjadi satwa yang dilindungi di Indonesia membuat banyak pemuda dan masyarakat suku Lamaholot kesulitan untuk memperoleh mahar belis atau gading gajah tersebut. Dengan keadaan ini banyak sekarang yang mengkonversikan nilai gading gajah dalam bentuk uang maupun benda atau hewan-hewan ternak. Namun dasar perhitungannya tetap mengacu pada nilai belis.

D. Teori yang Relevan

Berdasarkan dengan ciri-ciri obyeknya maka penelitian ini dibicarakan dengan menggunakan teori interaksi simbolik, teori Pertukaran Sosial, dan teori Perubahan Sosial.

a) Teori Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik individual adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut

(42)

bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.

Menurut George Herbert Mead dalam Sobur (2004) mendeskripsikan teori Interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial.

b) Teori Pertukaran Sosial.

Asumsi dasar dari teori pertukaran sosial adalah do ut des (saya memberi maka engkau memberi). Dalam adat perkawinan Lamaholot yang menggunakan gading gajah sebagai alat legitimasi dan simbol budaya sahnya sebuah perkawinan, maka berdasarkan kacamata teori pertukaran sosial, terjadi sebuah proses tukar-menukar barang, antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, dimana proses tukar-menukar barang terjadi lewat praktik gading gajah yang diberikan oleh pihak pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan, ketika anak perempuan mereka dipersunting sebagai istri oleh seorang laki-laki.

Dari asumsi dasar teori di atas, Bernard Raho (2007:171), menjelaskan bahwa: “Para pendukung teori ini mengemukakan bahwa ada begitu banyak pertukaran atau tingkah laku yang dipertukarkan dalam kehidupan sosial. Dengan

(43)

demikian pendukung teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia didasarkan pada pertimbangan untung dan rugi atau cost and rewards”.

Dari sisi sejarah, teori pertukaran sosial telah lahir melalui karya-karya Simmel dan Malinowski, namun orang yang mengembangkan teori ini di dalam Sosiologi kontemporer adalah George Homans dan Peter Blau (Bernard Raho, 2007:172). Raho (2007:176), mengatakan konsep Blau tentang pertukaran sosial terbatas pada tingkah laku yang mendatangkan imbalan, yaitu tingkah laku yang akan berhenti kalau dia berasumsi bahwa tidak bakal ada imbalan lagi. Raho (2007:176) juga menyatakan bahwa, orang-oarang tertarik kepada satu sama lain karena bermacam-macam alasan memungkinkan mereka membentuk asosiasi- asosiasi sosial atau organisasi-oreganisasi sosial. Begitu ikatan-ikatan awal sudah terbentuk maka imbalan yang mereka berikan kepada satu sama lain berfungsi untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan itu. Kemungkinan kebalikannyapun bisa terjadi, yakni imbalan-imbalan yang tidak seimbang akan memperlemah asosiasi atau bahkan menghancurkan asosiasi itu sendiri. Imbalan yang dipertukarkan bisa bersifat instrinsik (seperti cinta, efeksi, dan penghargaan) dan dapat pula bersifat ekstrinsik (seperti uang atau barang-barang material lainnya).

Praktik Gading gajah dalam lembaga perkawinan yang dinilai berdasarkan latar belakang pendidikan dan sosial perempuan, menimbulkan penyelewengan budaya yang berimplikasi pada proses tukar-menukar dalam prespektif “teori pertukaran sosial” sehingga memberikan pembenaran secara teoritik adanya

(44)

kapitalisasi belis dalam adat perkawinan masyarakat Lamaholot di Labala Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata yang tidak bisa dihindari.

c) Teori Perubahan Sosial

Masyarakat selalu bergerak, berkembang dan berubah. Dinamika masyarakat ini bisa karna faktor internal yang inheren dalam “diri” masyarakat itu sendiri, dan bisa juga karna faktor lingkungan eksternal. Tidak seperti prinsip evolusi sosial yang membagi perkembangan masyarakat secara dikotomis, Parson seperti halnya neoevolusi lainnya, menunjukan adanya perkembangan masyarakat tradisional. Menurut Parson, masyarakat akan berkembang melalui tiga tingkatan utama: pertama primitif, kedua intermediate dan ketiga moderen.

Parson dalam Rista (2018) meyakini bahwa perkembangan masyarakat berkaitan dengan perkembangan keempat unsur subsistem utama: kultural (pendidikan), kehakiman (integrasi), pemerintahan (pencapaian tujuan), dan ekonomi (adaptasi). Masing-masing subsistem secara otonom, subkolektif- subkolektif. Dalam konteks ini, kemampuan adaptasi terhadap lingkungan merupakan tolak ukur dari tingkat otonominya. Kian adaptif berarti kian tinggi otonominya. Konkretnya, semakin tinggi otonomi masing-masing subkolektif dalam melakukan fungsi utamanya dalam rangka fungsi interpedensi sistem secara keseluruhan-semakin besar pula kemampuanya menyesuaikan diri terhadap lingkunganya, dan ini berarti semakin maju masyarkat yang bersangkutan.

Tolak ukur yang digunakan Parson untuk mendeteksi dan sekaligus membedakan tingkatan perubahan masyarakat (ke dalam 5 tingkatan di atas) adalah artikulasi pengembangan fungsi integrasinya. Puncak perkembangan

(45)

terpenting terhadap fungsi integrasi ini adalah ditemukannya bahasa tulisan dan kunci terhadap persambungan proses evolusi sosial. Penemuan simbol komunikasi bahasa menandai fase transisi dari masyarakat primitif ke tingkat intermediate.

Sedangkan penemuan hukum formal menandai fase transisi dari intermediate ke masyarakat maju (advanced) (Rista, 2018).

Masyarakat selain dikonsepsikan sebagai sistem interaksi, juga kehidupan masyarakat ditempatkan pada dua posisi secara gradual (cybernetic level). Konsep ini mengandung konsekuensi dalam dua hal: pertama, interaksi sosial yang bersifat individual; dan kedua, interaksi sosial yang bersifat kolektif. Masyarakat tidak terlepas dari problematikanya masing-masing. Ini berarti masyarakat mempunyai realitas sendiri sebagaimana apa adanya (suigeneris) atau sebagaiman sesuatu yang ada pada dirinya sendiri yang karenanya keanggotaan tak dapat diperkecil lagi. Konsep Parson tentang perbedaan realitas individu dan sosial ini boleh dikatakan merupakan keistimewaan Parson dibandingkan ilmuan sosial lain (Rista, 2018).

Perilaku dan interaksi pada tingkat individual harus selalu dikendalikan dan diintegrasikan pada tingkat kolektif. Berkembangnya diferiansi antara lain ditandai oleh pecah dan meningkatnya peran-peran yang dimainkan pada tingkat individu dan subkolektif menunjukan adanya perkembangan masyarakat. Proses diferensi harus selalu diiringi dengan proses integrasi. Bila tidak, maka akan berkembang suatu segmentasi di mana masyarakat akan terpecah-pecah ke dalam beberapa subkolektif baru yang lebih kecil. Bila demikian, maka ada kemunduran evolusi menuju ke tingkat yang lebih rendah.

(46)

E. Penelitian yang Relevan 1) Nurma Rahman (2017)

Penelitian pertama berjudul Makna Simbolsasi Pada Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot (Studi Kasus Masyarakat Labala, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur). Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan adanya makna simbolisasi dari gading gajah itu sendiri menimbulkan suatu kesan negatif, dimana gading gajah sering disalah artikan sebagai harga atau benda yang dipertukarkan dengan seorang perempuan (bine weli).

2) Ahmad Asif Sardari (2018)

Penelitian kedua dengan judul Belis dalam Perkawinan Masyarakat Islam Lamaholot di Flores Timur Perspektif Hukum Islam. Hasil dari penelitian ini adalah 1) Belis dalam perkawinan masyarakat Lamaholot berupa gading gajah yang diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan menjadi suatu bentuk penghargaan yang luar biasa kepada perempuan lamaholot; dan 2) Terdapat aspek-aspek positif yang didapatkan dari penerapan adat ini, aspek-aspek yang sangat Islami dalam melindungi kehormatan wanita sekaligus mengangkat harkat dan martabat perempuan Lamaholot.

3) Ismail Mutalib Rongan (2018)

Penelitian ketiga berjudul Konstruksi Sosial Mahar Gading (Studi Pernikahan Masyarakat Wulandoni Kabupaten Lembata). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya konstruksi sosial dari gading gajah itu sendiri menimbulkan suatu kesan negatif, dimana gading gajah sering disalah artikan sebagai harga atau benda yang dipertukarkan dengan seorang perempuan (bine

(47)

weli). Hal ini berangkat dari permintaan gading gajah yang tinggi dalam setiap pernikahan yang didasarkan pada latar belakang sosial dan latar pendidikan seorang perempuan. praktik gading gajah ini menimbulkan persepsi yang keliru terhadap eksitensi atau kehadiran dari seorang istri dalam keluarga dengan cara melegalkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Gading gajah kemudian menjadi mandat kekuasaan yang dimiliki oleh seorang suami terhadap istrinya. Adanya makna yang keliru tersebut sehingga kaum perempuan sering mengalami berbagai tindakan tidak manusiawi yang kemudiaan dibenarkan secara adat dengan adanya legalitas gading gajah. Legalitas gading gajah membuka ruang pembenaran budaya terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istrinya baik kekerasan secara fisik maupun spikis.

F. Kerangka Pikir

Masyarakat dalam suatu sistem sosial selalu mengalami perubahan.

Perubahan dapat mencangkup aspek yang sangat sempit maupun yang luas.

Perubahan menurut Khaldum, bahwa masyarakat secara history bergerak dari masyarakat nonmodern menuju masayarakat yang tinggal ditempat tinggalnya.

Perubahan sosial yang terjadi terus menerus yang mencangkup sistem sosial (pola pikir, pola perilaku, nilai) dan struktuk sosial (lembaga sosial, kelompok dan norma) di dalam masyarakat. Modernisasi melihat tradisi masyarakat sebagai proses yang tidak pernah mundur, karena masyarakat melibatkan proses-proses yang terus menerus dalam sistem sosial yang terjadi pada suatu aspek yang lain.

(48)

Manusia hidup karena adanya kebudayaan akan terus hidup dan berkembang manakala manusia mau melestarikan kebudayaan dan bukan merusaknya. Dengan demikian manusia dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupan tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadang kala disadari atau tidak, manusia merusak kebudayaan.

Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembus sampai ke pelosok-pelosok dengan seiring perubahan jaman di Pulau Lembata, belis (maskawin) berupa Gading Gajah tidak pernah hilang dari kehidupan mereka karena orang Lembata secara keseluruhan berada dalam suasana adat yang kuat, yang mengikat. Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat labala sangatlah rukun, saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain tanpa membedakan suku, agama, maupun status sosia. Seorang wanita dihormati dan dihargai sebagai orang yang lemah, untuk itu perlu dihormati sebagai makhluk ciptaan tuhan yang mempunyai kedudukan sosial yang stera dengan kaum laki.

Oleh karena itu tuntutan adat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang sangat baik untuk dilestarikan dan dipertahankan demi penyetarakan dalam kehidupan sosial dalam budaya adat lamaholot walaupun dengan adanya perubahan jaman hingga saat ini, budaya lamaholot tetap dijaga dan pelihara dengan baik dan dapat disepakati mengikuti perubahan jaman. Dalam teradisi perkawinan tradisi meminang gadis di kalangan adat Lamaholot, belis merupakan maskawin laki-laki untuk seorang gadis yang hendak ia nikahi, tetapi keunikan

(49)

dari adat Lamaholot adalah Belis (maskawin) yang digunakan adalah Gading Gajah.

Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami istri, adat atau keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu wilayah bagi masyarakat Lamaholot nilai sakral yang amat tinggi selalu membangun rumah tangga yang sakinah, tetapi membentuk rasa silaturahmi antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.

Berikut merupakan Gambar yang menunjukkan alur dari kerangka pikir tersebut:

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penggunaan Mahar Belis (Gading Gajah)

Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot

Eksistensi Penggunaan Mahar Belis dalam Tradisi Perkawinan Adat Suku Lamaholot

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penilitian ini adalah menggunakan metode deksriptif kualitatif. Oleh sebab itu, penyusunan desain ini dirancang berdasarkan pada prinsip metode desain kualitatif. Maksudnya data itu dikumpulkan, dikelolah, dianalisis, dan diajuhkan secara objektif atau apa adannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Penilitian ini bersifat alamiah dan akurat tanpa diserta perlukan, pengukuran, dan perhitungan statistic serta tidak mencari data yang mendukung atau menolak hipotesis yang telah diajukan sebelum penilitian dimulai.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Labala Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lokasi berdasarkan hasil observasi awal bahwa daerah Labala merupakan salah satu daerah yang masih kental menerapkan tradisi perkawinan adat suku Lamaholot hinggah saat ini dimana dalam adat Lamaholot, mahar atau maskawin dari seorang gadis adalah belis/gading gajah.

C. Informan Penelitian

Informan penelitian merupakan berbagai sumber informasi yang dapat memberikan data yang diperlukan dalam penelitian, penentuan informan peneliti

(51)

harus teliti dan disesuaikan dengan jenis data atau informasi yang ingin didapatkan.

Adapun teknik penentuan informan yang digunakan adalah Purposive Sampling atau judgmental sampling yaitu penarikan informan yang dilakukan dengan memilih subjek berdasarkan criteria spesifik yang di tetapkan oleh peneliti.

Adapun informan dalam penelitian ini adalah:

1. Kepala suku adat yang mengetahui sejarah dan proses perkawinan adat serta penggunaan mahar belis pada masyarakat suku Lamaholot.

2. Tokoh masyarakat yang mengetahui eksistensi mahar belis dalam tradisi perkawinan adat Lamaholot

3. Masyarakat labala pada umumnya yang mengetahui eksistensi penggunaan belis pada perkawinan adat Lamaholot.

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian terdiri dari hal-hal yang berkaitan dengan hal inti yangg diteliti. Adapun fokus penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam proposal ini adalah sebagai berikut:

1. Sejarah penggunaan mahar belis dalam perkawinan adat suku Lamaholot 2. Makna pemberian mahar belis

3. Prosesi perkawinan adat suku Lamaholot

4. Fakto-faktorr yang menyebabkan eksistensi mahar belis dalam adat perkawinan suku Lamaholot

(52)

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah merupakan alat untuk keperluan dalam penelitian, yaitu sebagai berikut:

1. Kamera

Kamera adalah sebuah alat untuk merekam atau mengabadikan sebuah kejadian/gambar yang bisa di tuangkan dalam media cetak/digital.

2. Lembar observasi

Lembar observasi adalah sebuah kegiatan-kegiatan yang mungkin timbul dan akan diamati.

3. Angket

Angket adalah suatu alat pengumpulan data yang berupa serangkaian pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada responden untuk mendapat jawaban.

F. Sumber Data Penelitian

Pengambilan data dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Data Primer

Sumber data lapangan yang dapat berarti seorang tokoh atau masyarakat, tokoh adat, aparat pemerintahan, dan sebagaianya yang merupakan sumber data primer. Sumber informasi dokumeter merupakan sumber data primer dan dapat berupa arsip-arsip yang berkaitan dengan masalah penelitian.

(53)

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui beberapa sumber informasi, antara lain: Dokumen-dokumen, laporan, catatan, dan buku- buku ilmiah.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh atau dengan permasalahan diperlukan teknik pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Observasi

Observasi yaitu yaitu teknik penelitian dengan mendatangi lokas penelitian, mengadakan pengamatan secara lansung terhadap masalah yang akan di teliti khususnya pada objek dan subjek penelitian.Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena-fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut, bagi pelaksana observaser untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan.

(Margono, 2007:159).

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yairu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang

(54)

memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong: 2002: 135).

Wawancara diadakan dengan tujuan untuk memperoleh data yang diperlukan, untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh melalui kegiatan observasi yang dilakukan pada langkah pertama.

3. Dokumentasi

Tahap dokumentasi dilakukan untuk dapat memperkuat data hasil dari wawancara dan observasi dokumen-dokumen yang berisi data-data yang dibutuhkan meliputi buku-buku yang relevan, serta foto-foto atau gambar tentang belis adat Lamaholot.

H. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif, yaitu menguraikan dan menginterpretasikan data yang diperoleh dari lapangan dari observasi lapangan dan dari informan. Ada tiga unsur utama dalam proses analisis data penelitian kualitatif, yaitu:

1. Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek dan membuang hal-hal yang tidak penting sehingga kesimpulan penelitian dapat di laksanakan. Jadi laporan lapangan sebagian bahan disingkat dan disusun lebih sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan. Data yang di reduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan, juga mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan.

(55)

2. Sajian data adalah susunan informasi yang memungkinkan dapat ditariknya suatu kesimpulan penelitian. Penyajian data dalam bentuk gambaran, skema dan tabel mungkin akan berguna mendapatkan gambaran yang jelas serta memudahkan dalam penyusunan kesimpulan penelitian.

Pada dasarnya, sajian data dirancang untuk menggambarkan suatu informasi secara sistematis dan mudah dilihat serta dipahami dalam bentuk keseluruhan sajiannya.

3. Kesimpulan merupakan hasil akhir dari reduksi data dan penyajian data.

Kesimpulan penelitian perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

I. Teknik Keabsahan Data

Menurut Maleong (2005) mengungkapkan bahwa uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan cara perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan teman sejawat melalui diskusi, analisis kasus negatif, kecukupan referensial, pengecekan anggota, uraian rinci dan auditing. Pada penelitian ini data dilakukan dengan metode:

1. Ketekunan Pengamatan

Peneliti hendaknya melakukan pengamatan dengan teliti dan lebih rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol.

Kemudian penelitih menelaah secara rinci sampai pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu faktor yang di

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penggunaan Mahar Belis (Gading Gajah)
Gambar 4.1 Prasasti Kayu Gambar Masjid Al-Muqarrabin Pertama Berdiri di Kerajaan Labala
Gambar 4.2 Peta Lokasi Penelitian 3. Kondisi Demografis
Tabel 4.2 Fasilitas Pendidikan yang Tersedia di Kecamatan Wulandoni
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pisuke (pemberian yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan karena telah mengambil putrinya) adalah tradisi yang selalu dipertahankan agar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi sundrang merupakan pemberian pihak laki-laki terhadap pihak perempuan berupa uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh

merupakan kerabat dekat, yaitu misalnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan sebagai sepupu (anak-anak dari dua orang yang bersaudara,

Masjid, surau, (mushalah) adalah merupakan tempat tempat kegiatan keagamaan semacam majelis taklim,taman pendidikan al Quran, serta madarasah, MI, MTs, MA, yang

1) Perkawinan Bali Winih yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria yang menikahi seorang gadis yang berasal dari desa atau tanah kelahiran dari ayah pengantin pria

Akibat yang ditimbulkan dari tingginya belis (mahar) perkawinan tersebut ialah pertama membuat pihak laki-laki menjadi gemar berhutang, ketika materi yang mereka miliki

Dalam sebuah acara perkawinan adat dalam masyarakat tradisional, akan ada suatu hubungan timbal balik dari pemberian mas kawin (belis) dari pihak keluarga pria ke pihak

Seharusnya, jika pihak laki-laki tidak bisa memenuhi permintaan dari pihak perempuan untuk memberikan pasai yang telah disepakati pada tahapan po bisala harta maka