• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

v ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Keterkaitan Antara Sundrang dan Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el

Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep”, merupakan penelitian yang dilakukan di desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana keterkaitan sundrang dan mahar dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep?, Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang dan mahar dalam perkawinan adat di desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep?.

Data penelitian yang digunakan penulis adalah berbasis lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dimana penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan menggunakan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi sundrang merupakan pemberian pihak laki-laki terhadap pihak perempuan berupa uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh orang tua si perempuan sebelum akad nikah. Adat ini telah dilakukan oleh masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep secara turun-temurun dan masih berlaku hingga saat ini. Tradisi sundrang memiliki keterkaitan dan berpengaruh terhadap mahar seorang perempuan. Besarnya mahar ditentukan oleh sundrang yang telah diberikan. Dengan adanya ketentuan tersebut dan seiring perkembangan waktu, sundrang membawa dampak yang kurang baik di masyarakat.

Tradisi sundrang pada dasarnya diperbolehkan dalam agama Islam. Namun, dalam pelaksanaan sundrang terdapat beberapa hal yang tidak sejalan dengan syariat Islam, contohnya penentuan mahar yang dinilai memberatkan pihak laki-laki dan mempersulit pernikahan. Tingginya mahar dan sundrang dapat mendatangkan beberapa mud}arat serta mafsadat, contohnya adalah tindakan kawin lari dan hamil di luar nikah.

(2)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN

ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN

MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN

KABUPATEN SUMENEP

SKRIPSI

Oleh

Noer Fauziyatul Alifi NIM. C91212138

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(3)

i

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN

ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN

MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN

KABUPATEN SUMENEP

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh

Noer Fauziyatul Alifi NIM. C91212138

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan batasan masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II TEORI MAHAR DALAM ISLAM ... 21

A. Pengertian Mahar dalam Islam ... 21

B. Dasar Hukum Mahar ... 24

C. Syarat-Syarat Mahar ... 27

D. Batasan Jumlah Pemberian Mahar ... 30

(9)

3. Keadaan Sosial Masyarakat ... 45

a. Kependudukan ... 45

b. Perekonomian dan mata pencaharian ... 46

c. Pendidikan ... 47

d. Keagamaan ... 48

e. Budaya ... 48

B. Tradisi Sundrang dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el ... 49

1. Ketentuan Tradisi Sundrang ... 49

2. Tata Cara Pelaksanaan Tradisi Sundrang ... 52

3. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Sundrang ... 55

4. Perbedaan Sundrang dan Mahar serta Keterkaitan Antara Keduanya ... 56

BAB VI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP ... 61

A. Tinjauan terhadap Keterkaitan antara Sundrang dan Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep ... 61

(10)

xii

BAB V PENUTUP ... 76 A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 dijelaskan pula pengertian

perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tha>qa>n

ghali>z}a>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.2

Jika dilihat dari tujuan perkawinan secara umum, maka tujuannya

adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri. Tujuan yang yang lebih

khusus dari adanya perkawinan adalah memelihara regenerasi, memelihara

gen manusia, untuk mendapatkan ketenangan jiwa, serta yang paling utama

adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dianggap keji di

hadapan Allah SWT yakni zina.3

1 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), 76.

2 Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1994), 158.

(12)

2

Pernikahan adalah salah satu sunnah Allah pada makhluk-Nya. Allah

SWT tidak menjadikan manusia sama dengan makhluk lain yang bebas

menyalurkan dorongan nafsunya. Dia meletakkan tatanan yang sesuai

dengan kemuliaannya, yang menjaga kehormatannya dan melindungi

martabatnya. Hal itu ditunaikan dengan pernikahan syar’i> yang menjadikan

hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebagai hubungan mulia yang

dilandasi dengan kerelaan.4

Pernikahan juga merupakan salah satu Sunnah para Rasul yang sangat

ditekankan, termasuk Sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Allah

SWT berfirman dalam Al-Quran Su>rah Ar-Ru>m ayat 21:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.5

Sebelum beranjak dalam tahap pernikahan ada beberapa proses atau

tahapan yang dilakukan meskipun tidak wajib dilaksanakan namun

dianjurkan. Adapun proses sebelum masuk dalam tahapan pernikahan adalah

peminangan. Peminangan ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat atau

menyeleksi atau mengetahui pasangan yang akan dipilih sebagai teman

4 Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah

Terjemahan Kitab Mukhtas}ar Al-Fiqh Al-Isla>mi>, Najib Junaidi (Surabaya: Pustaka Yassir, 2012), 905.

(13)

3

hidup agar pada saat masuk dalam tahapan pernikahan, antara kedua belah

pihak telah mantap dan yaqin atas pilihannya.

Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, “meminang”.

Meminang atau dalam kata lainnya adalah melamar dalam bahasa arab

disebut “khit}bah”. Secara bahasa, meminang atau melamar atau khit}bah

artinya meminta perempuan untuk dijadikan istri. Sedangkan menurut istilah

peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan

antara seorang pria dengan perempuan. Atau, seorang laki-laki meminta

kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang

umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.6

Setiap perkawinan yang memiliki makna dan tujuan masing-masing di

setiap daerah pasti berbeda. Model perkawinan ini sangat erat sekali dengan

adat-istiadat atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat,

dimana mereka menganggap bahwa upacara adat atau tahapan-tahapan yang

wajib dilakukan dalam proses perkawinan dinilai memiliki fungsi dan nilai

tersendiri. Hal tersebut biasanya terjadi pada masyarakat yang tingkat

kekentalannya terhadap adat sangat kuat salah satunya adalah masyarakat

Pulau Madura.

Pada deskripsi sebelumnya telah dipaparkan bahwa peminangan yang

dilakukan yakni dengan cara yang umum yang berlaku di masyarakat. Dalam

pengertian ini jelas sekali bahwa cara umum yang berlaku di masyarakat

dapat diartikan sebagai kebiasaan (adat/tradisi). Cara atau tahapan dalam

(14)

4

lamaran ini pada dasarnya terdapat kesamaan di berbagai daerah di

Indonesia, namun yang membedakan yakni terletak pada alat atau sarana

pendukung dari proses lamaran itu.7

Apabila peminangan telah diterima dengan baik oleh pihak yang

dilamar (dalam hal ini adalah perempuan), maka tidak langsung serta merta

mengakibatkan adanya perkawinan. Adanya peminangan ini diaplikasikan

dengan pertunangan dimana hal ini akan mengikat kedua belah pihak pada

saat diterimanya pemberian atau hadiah pertunangan yang merupakan alat

pengikat berupa uang/benda, yang kadang-kadang diberikan oleh pihak

laki-laki kepada pihak perempuan atau dari kedua belah pihak (Batak,

Minangkabau, kebanyakan Suku Dayak, beberapa Suku Toraja dan Suku To

Mori).8

Pertunangan dengan memberikan pemberian berupa uang/barang tidak

hanya terjadi pada beberapa daerah yang telah tersebut di atas. Hal demikian

juga terjadi pada masyarakat Pulau Sapeken desa Sase’el. Menurut

Masyarakat desa Sase’el, pelaksanaan dari peminangan dikategorikan

sebagai hal yang wajib dilakukan. Hal tersebut dikarenakan selain si pihak

laki-laki dapat mengenal atau mengetahui calon pengantin perempuannya,

dalam acara peminangan di sini nantinya akan ada sebuah tradisi yang telah

bertahun-tahun hidup di masyarakat desa Sase’el ini yakni penentuan

Sundrang.

(15)

5

Sundrang merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Pulau

Sapeken yang di dalamnya termasuk desa Sase’el, dilakukan pada saat

lamaran atau peminangan, kemudian orang tua/wali si perempuan akan

menentukan target uang yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap

pihak perempuan yang biasanya didahului dengan ungkapan-ungkapan dan

terkadang di dalamnya terjadi tawar-menawar dalam menentukan jumlah

uang yang harus diberikan oleh pihak laki-laki.9 Namun secara mayoritas

atau kebanyakan orang tua telah menentukan jumlah atau patokan harga atas

anak perempuannya dan jumlah tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi, atau

dengan kata lain patokan harga yang telah ditentukan bersifat paten dan

tidak dapat ditawar lagi.

Adapun sundrang ini diberikan atas patokan harga yang telah

ditetapkan oleh pihak perempuan yang nantinya akan dipergunakan untuk

biaya perkawinan dan kebutuhan awal rumah tangga si istri. Biasanya

patokan jumlah uang yang ditetapkan oleh orang tua/wali perempuan yang

akan dilamar berkisar 8 atau 10 juta ke atas.

Besar kecilnya jumlah sundrang yang harus diberikan tergantung dari

prestise keluarga perempuan di masyarakat. Semakin keluarga pihak

perempuan memiliki pamor yang baik di masyarakat semakin tinggi

sundrang yang harus diberikan. Selain itu tingginya sundrang juga

dipengaruhi oleh bagaimana si perempuannya. Apabila perempuan itu

berpendidikan tinggi, cantik, dan seorang santriwati (keluaran pondok

(16)

6

pesantren), maka sundrang yang diberikan juga tinggi. Sundrang dinilai

berbeda dengan mahar oleh masyrakat desa Sase’el. Sundrang di sini

merupakan uang pemberian/hadiah kepada pihak istri yang akan

dipergunakan untuk biaya pernikahan. Sedangkan mahar merupakan hak

perempuan atau istri sepenuhnya.

Hal yang menjadi bahan kajian dari tradisi sundrang ini yaitu besarnya

mahar yang akan diberikan oleh suami terhadap istri dipengaruhi besarnya

sundrang yang telah diberikan. Sundrang nantinya akan diberikan,

disebutkan dan dihitung di khalayak banyak pada sebelum hari pelaksanaan

akad nikah. Hal ini dilakukan untuk membuktikan atau memberikan

kepastian tentang jumlah sundrang yang telah ditentukan sebelumnya

jumlahnya sama ketika diberikan.

Nominal sundrang yang tinggi memiliki potensi kerugian diantaranya

membuat para pemuda dan pemudi yang saling mencintai akan melakukan

kawin lari agar terbebas dari biaya sundrang atau dapat menurunkan nominal

sundrang yang telah ditentukan dengan patokan harga yang sangat tinggi.

Selain itu, tingginya sundrang juga dijadikan cara bagi orang tua perempuan

untuk menolak lamaran dari seorang laki-laki dengan mematok sundrang

yang nominalnya sangat tinggi untuk mengelabuhi pihak laki-laki agar

kesulitan membayar sundrang dan perjodohan atau pertunangan pun tidak

akan terjadi.

Tingginya sundrang ini juga memiliki efek positif untuk masyarakat,

(17)

7

giat dalam mencari rejeki untuk kebutuhan rumah tangga yang akan

dibangun. Sundrang juga dapat membantu meringankan biaya resepsi

pernikahan yang akan diselenggarakan oleh pihak mempelai perempuan.

Jika melihat dari segi hukum Islam, mahar yang akan diberikan suami

kepada istri tidak ada batas tertinggi atau terendahnya, tidak dipengaruhi

oleh apa pun, dan diberikan atas kerelaan dari suami.

Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan posisi atau kedudukan serta

keterkaitan antara sundrang dan mahar pada perkawinan di desa Sase’el

kecamatan Sapeken kabupeten Sumenep. Berawal dari hal tersebut, maka

penulis menganggap perlu untuk melakukan penelitian atas wacana tersebut

dengan judul penelitian skripsi “Tinjauan Hukum Islam terhadap Keterkaitan

Antara Sundrang dan Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el

Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya dapat

diidentifikasi beberapa permasalahan yang timbul dari penerapan hukum

adat yang ada pada masyarakat di desa Sasse’el kecamatan Sapeken

kabupaten Sumenep diantaranya:

1. Konsep tradisi sundrang pada perkawinan di desa Sase’el kecamatan

(18)

8

2. Dampak tingginya penentuan jumlah sundrang dan mahar terhadap

perkawinan

3. Pembebanan sundrang dan mahar yang tinggi kepada pihak laki-laki

4. Tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang dan mahar

dalam perkawinan di desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten

Sumenep

Dari berbagai masalah yang telah teridentifikasi tersebut, maka untuk

memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini, penulis membatasi pada

masalah-masalah terkait berikut ini:

1. Tradisi sundrang dan keterkaitannya dengan mahar dalam perkawinan

masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep

2. Tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang dan mahar

dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken

kabupaten Sumenep

C. Rumusan Masalah

Berpijak pada latar belakang di atas serta untuk membatasi

permasalahan yang akan diteliti, maka rumusan masalah yang akan dijawab

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keterkaitan sundrang dan mahar dalam perkawinan

(19)

9

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang

dan mahar dalam perkawinan adat di desa Sase’el kecamatan Sapeken

kabupaten Sumenep?

D. Kajian Pustaka

Peminangan merupakan rangkaian proses perkawinan. Peminangan

pada dasarnya adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang

perempuan untuk dijadikan sebagai istrinya. Namun dengan adanya adat dan

tradisi yang hidup di masyarakat, bentuk dari pelaksanaan peminangan ini

cukup beragam. Kajian pustaka ini ditulis untuk memberikan gambaran

tentang keterkaitan pembahasan yang akan diteliti dengan penelitian sejenis

yang pernah dilakukan oleh peneliti lain. Dan dengan adanya penjabaran

kajian pustaka ini diharapkan tidak ada plagiasi antara penelitian yang

dilakukan penulis dengan penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan.

Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya antara lain:

1. Skripsi Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan

Adat Suku Banggai: Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan

Totiku Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah oleh

Sisnawati Ladjahiya. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tradisi

pasai telah dilakukan oleh masyarakat suku Banggai yang berbentuk

(20)

10

perempuan. Pasai pada awalnya digunakan untuk meringankan beban

biaya acara pernikahan. Seiring berjalannya waktu, nominal pasai yang

tinggi akan meningkatkan prestise orang tuanya di masyarakat. Pasai

juga dijadikan alat untuk menghalangi perkawinan pasangan yang saling

mencintai dengan meminta nominal pasai yang tinggi kepada pihak

laki-laki.10

2. Skripsi Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Mahar pada

Masyarakat Batak Karo di Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka

Kabupaten Karo Sumatera Utara oleh Jejen. Penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa pemberian mahar kepada keluarga atau kerabat

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengantin perempuan.

Masyarakat Karo mengasumsikan mahar sebagai alat tukar anak

perempuan karena setelah perkawinan anak perempuan tersebut akan

ikut keluarga laki-laki. Dalam perspektif hukum Islam, mahar

merupakan hak mutlak perempuan dan tidak ada kewajiban untuk

memberikan mahar kepada siapa pun.11

3. Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyerahan Perabot Rumah

Tangga dari Mempelai Pria Kepada Mempelai Perempuan Sebagai

Syarat Syahnya Perkawinan Menurut Adat (Studi Kasus di Desa

Burujulkulon Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka) oleh Asep

10 Sisnawati Ladjahiya, Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan Adat Suku Banggai: Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totiku Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015), v.

(21)

11

Muhamad Afandi. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam

masyarakat Desa Burujulkulon setiap pernikahan identik dengan barang

bawaan yang diserahkan oleh mempelai pria kepada mempelai

perempuan berupa perabot rumah tangga. Bawaan ini di luar maskawin

namun disebutkan secara terang-terangan saat akad nikah berlangsung di

hadapan penghulu. Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah

keharusan dalam perkawinan meskipun mempelai pria adalah golongan

keluarga kurang mampu. Tidak jarang para pria yang ingin menikah rela

mencari uang demi membeli barang bawaan itu sehingga pernikahannya

ditunda beberapa tahun sampai dia mampu membeli barang-barang

tersebut.12

4. Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Seserahan dalam

Perkawinan Adat Jawa (studi Kasus di Desa Tasikrejo; Kecamatan

Ulujami; Kabupaten Pemalang) oleh Khusnul Marom. Dalam penelitian

tersebut menyimpulkan bahwa seserahan merupakan tradisi yang ada

sejak zaman nenek moyang sebagai sebuah wujud rasa tanggungjawab

seorang suami terhadap istri atas nafkah lahir dan juga untuk

mendukung suksesnya acara perkawinan. Hukum seserahan adalah

boleh, bahkan dianjurkan bagi calon suami yang mampu.13

12Asep Muhamad Afandi, ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyerahan Perabot Rumah Tangga dari Mempelai Pria Kepada Mempelai Perempuan Sebagai Syarat Syahnya Perkawinan Menurut Adat (Studi Kasus di Desa Burujulkulon Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka)”, dalam

http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/repository/ASEP%20MUHAMAD%20AFANDI_58310081__ OK.pdf, diakses pada 29 September 2015.

13 Khusnul Marom, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Seserahan dalam Perkawinan Adat Jawa (studi Kasus di Desa Tasikrejo; Kecamatan Ulujami; Kabupaten Pemalang)”, dalam

(22)

12

Dalam pembahasan yang akan diteliti oleh penulis di sini yakni lebih

terhadap tradisi sundrang yang jumlahnya ditentukan oleh pihak perempuan

dengan target tertentu yang mempertimbangkan prestise keluarga di

masyarakat dan kualitas si perempuan. Dan besarnya sundrang ini nantinya

akan mempengaruhi kadar atau besarnya mahar yang harus diberikan oleh

suami terhadap istri.

E. Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan

sebagai berikut:

1. Mengetahui keterkaitan antara sundrang dan mahar dalam perkawinan

masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.

2. Memahami pandangan hukum Islam terhadap keterkaitan antara

sundrang dan mahar dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el

kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat

atau kegunaan baik secara teoritis maupun praktis:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk

perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan intelektual khususnya

(23)

13

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu dan

dijadikan bahan pertimbangan masyarakat dalam penetapan jumlah

pemberian harta atau uang yang diberikan oleh pihak laki-laki terhadap

pihak perempuan.

G. Definisi Operasional

Untuk mempertegas dan memperjelas arah pembahasan masalah yang

diangkat. Agar dapat mengurangi kesalahpahaman atau multi-interpretasi

dalam memahami pembahasan penelitian ini, maka penulis perlu

memberikan definisi dari pengertian judul, yakni dengan menguraikan

sebagai berikut:

Hukum Islam: ialah kaidah, asas, prinsip, atau aturan yang

digunakan untuk mengatur kehidupan

masyarakat atau umat Islam, baik berupa

ayat Al-Quran, hadist Rasulullah Saw, dan

lain sebagainya terutama yang berkaitan

dengan pernikahan. Hukum Islam di sini

lebih dispesifikkan kepada hukum Islam

Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Mahar: pemberian calon mempelai pria kepada calon

(24)

14

uang, atau jasa yang tidak bertentangan

dengan hukum Islam.14

Sundrang: pemberian sejumlah uang oleh pihak

laki-laki terhadap pihak perempuan yang

besarnya ditentukan oleh orangtua/wali

pihak perempuan dengan target tertentu

yang ditetapkan pada saat peminangan atau

lamaran.15

Berdasarkan beberapa hal yang telah dijabarkan dalam definisi

operasional tersebut, kiranya dapat menjadi satu kesatuan pokok bahan

kajian penelitian oleh penulis yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan

perspektif hukum Islam.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan yang datanya

diambil dari data-data lapangan sebagai objek penelitian lapangan sebagai

objek penelitian untuk memperoleh data yang valid, maka tekhnik

pengumpulan data menjadi suatu hal yang sangat penting. Adapun metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(25)

15

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan konsep permasalahan di atas, maka data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:

a. Data tentang tradisi sundrang dalam perkawinan adat masyarakat

desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.

b. Data tentang tinjauan hukum Islam terhadap tradisi sundrang yang

dapat mempengaruhi jumlah atau besarnya mahar yang harus

diberikan oleh suami terhadap istri dalam perkawinan adat

masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.

2. Sumber data

Sumber data merupakan subjek dari mana asal data penelitian itu

diperoleh.16 Adapun sumber data dalam penelitian ini meliputi sebagai

berikut:17

a. Sumber data primer yakni data yang bersumber dari pihak yang

terkait secara langsung yang diperoleh dari lapangan. Data primer

tersebut meliputi: Tetuah adat desa Sase’el, Kepala Desa Sase’el

kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep, KUA Kecamatan Sapeken,

dan pihak lain yang juga terkait langsung.

b. Sumber data sekunder yakni data yang bersifat membantu,

menunjang, melengkapi, atau memperkuat data, biasanya berupa

surat-surat pribadi, dokumen resmi, buku, kitab, dan lain-lain.

Adapun data sekunder yang dipakai adalah:

(26)

16

1) Mahar & Walimah, oleh Darmawan

2) Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, & Rumah Tangga, oleh M.

Sayyid Ahmad Al-Musayyar

3) Kado Perkawinan, oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli

4) Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, oleh Mardani

5) Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, oleh Wahbah Az-Zuhaili

yang diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani

6) Ushul Fiqh, oleh Firdaus

7) Kupinang Engkau dengan Hamdalah, oleh Muhammad Fauzil

Adhim

3. Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian

ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa:

a. Wawancara (interview)

Metode interview (wawancara) yakni bentuk komunikasi antara dua

orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari

seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.18

dalam penelitian ini wawancara dilakukan antara dua orang yang

berhadapan dalam fisik dan melalui wawancara tidak langsung

melalui media telekomunikasi. Wawancara ini dilakukan untuk

mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada responden khususnya kepada pihak

(27)

17

yang mengerti tentang tradisi sundrang dalam perkawinan di desa

Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.

b. Observasi

Observasi merupakan suatu pengamatan dan pencatatan secara

sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam gejala-gejala

pada obyek penelitian.19 Bentuk observasi yang dilakukan oleh

peneliti yakni observasi tidak terstruktur yakni pengamatan yang

dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti

mengembangkan pengamatan berdasarkan perkembangan tradisi

sundrang yang terjadi di lapangan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu metode pengumpulan data dengan

melihat atau menganilisis dokumen-dokumen, biasanya berupa

dokumen pribadi, dokumen resmi, atau bahkan berupa pengambilan

gambar atau foto.20 Dan dokumentasi yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah dokumentasi dalam bentuk dokumen-dokumen

resmi.

4. Teknik pengolaan data

Setelah data terkumpul baik dari data lapangan maupun hasil

pustaka, maka dapat dilakukan analisis data dengan tahapan-tahapan

sebagai berikut:

19 Hadari Nawawi, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), 74.

(28)

18

a. Editing, yakni pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh

terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, keserasian, dan

keterkaitan antara data satu dengan yang lainnya.21

b. Organizing, yakni penulisan data yang diatur dan disusun sehingga

menjadi sebuah kesatuan yang teratur.22 Untuk selanjutnya semua

data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis untuk

dijadikan sebagai bahan penelitian.

5. Teknik analisis data

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang

digunakan dala penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, dimana

penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara

obyektif.23

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penulis dalam hal

ini ingin memberikan pemaparan, penjelasan, serta uraian dari data yang

diperoleh kemudian disusun dan dianalisis untuk diambil sebuah

kesimpulan dengan menggunakan pola pikir deduktif. Deduktif ialah

pola berfikir dengan menggunakan analisa yang berpijak dari fakta-fakta

umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan masalah

khusus.24

21 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 118. 22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 803.

23Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), 135.

(29)

19

Secara teknis, penelitian ini akan menggambarkan dan mencoba

menguraikan secara menyeluruh mengenai deskripsi sundrang dalam

perkawinan adat masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten

Sumenep serta keterkaitannya dengan mahar, selanjutnya akan

dianalisis menggunakan hukum Islam.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dan memahami apa yang ada dalam penelitian

ini, maka sistematikanya dapat dibagi menjadi lima bab, yang

masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, sehingga pembaca dapat dengan

mudah memahaminya. Adapun sistematika pembahasan ini adalah sebagai

berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan atau metodologi yang meliputi

latar belakang masalah dengan menguraikan secara ringkas asal mula

permasalahan ini diangkat sebagai judul penelitian sehingga nantinya akan

dirumuskan dan diketahui arah tujuan penulisan. Dalam bab ini juga memuat

identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,

tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode

penelitian, serta sistematika pembahasan.

Bab kedua memuat landasan teori yang digunakan sebagai pisau

(30)

20

pengertian mahar menurut Islam, dasar hukum mahar, syarat-syarat mahar,

batasan jumlah pemberian mahar, dan al-‘urf (adat).

Bab ketiga membahas tentang data hasil penelitian tradisi sundrang

dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten

Sumenep. Dalam hal ini penulis membagi 2 pembahasan. Pertama, tentang

Tipografi desa Sase’el yang meliputi sejarah desa Sase’el, letak geografis,

keadaan sosial masyarakat, keadaan agama, dan budaya. Kedua, tentang

tradisi sundrang dalam perkawinan adat masyarakat desa Sase’el kecamatan

Sapeken kabupaten Sumenep.

Bab keempat membahas tentang tinjauan hukum Islam terhadap

keterkaitan antara sundrang dan mahar dalam perkawinan masyarakat desa

Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.

Bab kelima membahas tentang penutup yang berisi tentang kesimpulan

dari penelitian ini dan saran yang nantinya akan menjadi masukan bagi

pembaca khususnya bagi instansi atau pihak-pihak terkait dalam penulisan

penelitian ini. Dan dalam bab ini akan membantu pembaca dalam memahami

(31)

BAB II

TEORI MAHAR DALAM ISLAM

A. Pengertian Mahar dalam Islam

Dalam bahasa Arab mah}ar )رهم(adalah bentuk jamak dari muh}u>r (روهم)

yang secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan menurut Imam Ibn

A-Qasim mahar disebut juga dengan istilah s}ada>q yang secara etimologi berarti

suatu benda yang wajib diberikan disebabkan karena adanya nikah sebagai

pemberian yang menunjukkan rasa cinta.1

Makna mahar atau maskawin dalam sebuah pernikahan, lebih tepat

sebagai pendekatan kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan

pernikahan. Mahar adalah syarat sahnya perkawinan dan sebagai ungkapan

penghormatan seorang laki-laki kepada perempuan yang menjadi istrinya.2

Secara terminologi, Al-Hamdani dalam bukunya Risalah Nikah

menyatakan bahwa maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami

kepada istri sebelumnya, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad

sebagai pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya.3 Dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 point (d), mahar adalah pemberian

1 Darmawan, Mahar & Walimah (t.tp.: Srikandi, 2007), 03.

2 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau dengan Hamdalah (Yogyakarta: Mitra Pusaka,

1998), 195.

(32)

22

calon mempelai pria kepada calon mempelai perempuan baik berbentuk

barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.4

Dr. Mahmuda dalam bukunya The Family Structure in Islam

menyatakan bahwa mahar merupakan pembayaran yang bersifat simbolis

sebagai bentuk tanggungjawab dari laki-laki untuk menjamin keamanan hak

dan kesejahteraan keluarga setelah perkawinan terwujud.5

Mahar menurut ulama’ Hanafiah mendefinisikan mahar sebagai

sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang perempuan sebab adanya akad

nikah atau wat}i. Sedangkan menurut sebagian ulama Malikiyah mahar

adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada istri sebagai imbalan atas

jasa pelayanan seksualitas.6

Mahar merupakan hak bagi perempuan (istri) untuk menguasainya.

Seorang suami tidak berhak menguasai seluruh atau sebagian dari harta

tersebut, dan tidak berhak memaksa istrinya untuk memberikan harta

tersebut kepadanya, baik itu sedikit atau banyak. Seorang suami wajib untuk

menyediakan tempat tinggal, pakaian, dan nafkahnya karena dia adalah

pemimpin dan pelindung bagi keluarganya, seperti yang dijelaskan dalam

firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa>’ ayat 34 yang berbunyi:

4 Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1994), 157.

5 Darmawan, Mahar &..., 05.

6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Terjemahan Kitab Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa

(33)

23 oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka).7

Mahar boleh diberikan, baik itu sedikit atau banyak apabila istri

meridhoinya.8 Hal ini diperbolehkan sesuai firman Allah SWT dalam Q.S

An-Nisa>’ ayat 4 yang berbunyi:

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.9

Apabila diperhatikan pengertian-pengertian tentang mahar di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa mahar adalah harta yang diberikan oleh

suami kepada istri sebagai pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang

sah dan merupakan tanda persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup

sebagai suami istri.10

7 Kementerian Agama RI, Al-Quran & Tafsirnya, Jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 161.

8 Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 97.

9 Kementerian Agama RI, Al-Quran &..., 114.

(34)

24

B. Dasar Hukum Mahar

Syariat Islam selalu meninggikan dan memuliakan derajat perempuan.

Dalam hukum Islam diwajibkan bagi laki-laki yang hendak nikah dengan

seorang perempuan untuk memberikan mahar meskipun pemberian tersebut

hanya sebagai simbol atas kecintaan seorang calon suami kepada istrinya.

Demikian pula calon istri, penerimaan mahar tersebut sebagai simbol

tanggungjawabnya dalam menjaga harta yang diamanatkan suami

kepadanya.11

Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah SWT

dalam Su>rah An-Nisa>’ ayat 4 yang berbunyi:

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.12

Dalam ayat 4 Su>rah An-Nisa>’ di atas yang dimaksud dengan kata

nih}lah adalah merupakan pemberian yang berdasarkan pada suka rela. Hal ini

berarti bahwa mahar adalah hak dan milik si perempuan itu sendiri, bukan

milik ayah atau saudara laki-lakinya, serta merupakan pemberian dan hadiah

dari laki-laki kepadanya.13

11 Darmawan, Mahar &..., 06.

12 Kementerian Agama RI, Al-Quran &..., 114.

(35)

25

Perintah pembayaran mahar juga tercantun dalam Q.S. An-Nisa>’ ayat

25 yang berbunyi: dan berilah maskawin merekamenurut yang patut...14

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Buhkori dari Sahal

bin Said, ketika ada seorang perempuan yang datang kepada Rasulullah Saw

dan menawarkan diri untuk dinikahi. Sedangkan Rasulullah Saw tidak

berminat pada perempuan tersebut namun ada seorang sahabat yang

menginginkan perempuan untuk dijadikan istrinya, dan Rasulullah Saw

memerintahkan kepada sahabat untuk memberi mahar kepada perempuan

yang akan dinikahi itu. Adapun bunyi hadistnya sebagai berikut:

َدَح ِهَللا ِدْبَع ُنْب يِلَع اََ ثَدَح

14 Kementerian Agama RI, Al-Quran &..., 148.

15 Abi> Yah}ya> Zakariya> Al-Ans}ori>, Tuh}fatul Ba>ri> Bisharh}i s}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Jilid 5 (Beiru>t: Da>r

(36)

26

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Sufyan Aku mendengar Abu Hazim berkata; Aku mendengar Sahl bin Sa'd As Sa'idi berkata; Aku pernah berada di tengah-tengah suatu kaum yang tengah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba berdirilah seorang perempuan seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah keputusan padanya." Namun beliau tidak memberi jawaban apa pun, kemudian perempuan itu pun berdiri dan berkata lagi, "Wahai Rasulullah, sesungguh ia telah menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah putusan padanya." Ternyata ia belum juga memberi putusan apa-apa. Kemudian perempuan itu berdiri lagi pada kali yang ketiga seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah keputusan padanya." Maka berdirilah seorang laki-laki dan berkata, "Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya." Beliau pun bertanya: "Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk dijadikan mahar)?" laki-laki itu menjawab, "Tidak." Beliau bersabda: "Pergi dan carilah sesuatu meskipun hanya cincin dari emas." Kemudian laki-laki itu pergi dan mencari sesuatu untuk mahar, kemudian ia kembali lagi dan berkata, "Aku tidak mendapatkan apa-apa, meskipun hanya cincin dari emas." Lalu beliau bertanya: "Apakah kamu mempunyai hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Akhirnya beliau bersabda: "Pergilah, telah menikahkanmu dengan perempuan itu dan maharnya adalah hafalan Al Qur`anmu."

Tiap-tiap barang yang berharga, meskipun sedikit seperti uang, tanah,

cincin, ternak, dan sebagainya boleh dijadikan maskawin atau mahar.

Maskawin juga boleh berupa usaha dan urusan yang bermanfaat, seperti

mengajarkan al-Quran atau ilmu kepada calon istri, meskipun dalam hal ini

ada perbedaan di kalangan ulama madzhab.16

Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat. Menurut

Imam Malik mahar merupakan rukun nikah, dan sebagai konsekuensinya jika

memakai s}igat h}i>bah}, maka mahar harus disebut ketika akad nikah, jika

(37)

27

tidak, maka nikahnya tidak sah. Sedangkan ketiga imam madzhab lainnya

berpendapat bahwa mahar termasuk syarat sahnya nikah.17

Mahar atau maskawin berkedudukan sebagai kewajiban yang ada

dalam perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada

mahar, maka pernikahannya menjadi tidak sah.18 Pasal 14 Kompilasi Hukum

Islam (KHI) menentukan bahwa untuk melaksanakan pernikahan harus ada

calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.

Dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak disebutkan

bahwa mahar sebagai rukun nikah. Tetapi, pasal 30 KHI menentukan bahwa

calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai

perempuan yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah

pihak.19

C. Syarat-Syarat Mahar

Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik itu berupa uang

atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu

dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang

17 Darmawan, Mahar &..., 09.

18 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),

10.

19 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan Menurut Hukum

(38)

28

oleh jumhur ulama yang berlandaskan Al-Quran dan hadist.20 Mahar yang

diberikan suami kepada istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:21

1. Berupa harta/benda yang berharga

Tidak sah mahar dengan sesuatu yang tidak memiliki nilai harga,

seperti biji kurma. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa mahar itu

harus berupa sesuatu yang boleh dimiliki dan dapat dijual.22

2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya

Tidak sah mahar dengan khamr, babi, darah, dan bangkai, yang

semuanya itu adalah haram, najis, dan tidak berharga menurut

pandangan agama Islam. babi, darah, da khamr tidak boleh dimiliki oleh

orang-orang Islam, sehingga tidak mungkin barang-barang tersebut

dijadikan mahar.

3. Bukan barang ghas}ab

Ghas}ab artinya menguasai harta orang lain dengan kekuatan tanpa

hak, baik harta itu diam atau bergerak tanpa seizin pemiliknya meskipun

tidak berniat memiliki. Ghas}ab hukumnya haram dan tidak halal bagi

seseorang untuk mengambil sesuatu dari orang lain apa pun bentuknya.23

Memberikan mahar dengan barang hasil ghas}ab adalah tidak sah, tetapi

akadnya tetap sah dan bagi calon istrinya wajib ada mahar mithil yakni

mahar yang tidak disebutkan besarnya pada saat atau ketika terjadi

20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2011), 91.

21 Darmawan, Mahar &..., 11.

22 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 236.

23 Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah

(39)

29

pernikahan, namun mengikuti mahar ibunya, saudara perempuan, bibi,

dan sebagainya.24

4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya

Tidak sah memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau

tidak disebutkan jenisnya. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu

tidak boleh kecuali dengan sesuatu yang diketahui keadaan dan

jenisnya.25

Mahar tidak disyaratkan harus berupa emas atau perak, tetapi boleh

dengan menggunakan hewan, bumi, rumah, dan sesuatu yang memiliki nilai.

Mahar juga boleh berupa usaha dan urusan yang bermanfaat, seperti

mengajarkan Al-Quran atau ilmu kepada calon istri.26 Mahar juga dapat

diberikan dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Contoh mahar dalam bentuk

jasa yakni seperti yang dikisahkan Allah SWT dalam Q.S. Al-Qas}as} ayat 27

yang berbunyi:

Artinya: Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".27

24 Darmawan, Mahar &..., 14.

25 Ibid., 13.

26 Mawardi Al, Hukum Perkawinan..., 16.

(40)

30

D. Batasan Jumlah Pemberian Mahar

Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang

pria sebagai ungkapan kesetiaan dan kecintaannya pada calon istrinya.

Besarnya mahar tidak pernah ditetapkan dalam jumlah tertentu. Hal ini

diserahkan kepada keihklasan kedua calon pengantin dan kemampuan calon

mempelai pria.28

Mahar istri-istri Rasulullah Saw adalah lima ratus dirham, yang setara

dengan kurang lebih 140 real. Sedangkan mahar putri-putrinya adalah empat

ratus dirham, yang setara dengan kurang lebih 110 real. Semua harga sah

dijadikan mahar, meski jumlahnya sedikit. Jika suami miskin, maka ia boleh

memberikan mahar dalam bentuk jasa.29 Terkait mahar istri-istri Rasulullah

Saw, terdapat dalam hadist yang berbunyi:

َلاَق ُهَنَأ ِنََْْرلا ِدْبَع ِنْب َةَمَلَس َِِأ ْنَع

Artinya: dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada 'Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berapakah maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Dia menjawab; "Mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?" Abu Salamah berkata; Saya menjawab; "Tidak." 'Aisyah berkata; "Setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah

28 M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, & Rumah Tangga (t.tp.:

Erlangga, 2008), 13.

29 Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam..., 921.

30 Muh}ammad Nasi>ruddi>n Al-Alba>ni, Mukhtas}ar S}ah}i>h}u Muslim (Riya>d: Maktabah Al-Ma’a>rif,

(41)

31

maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk masing-masing istri beliau."

Riwayat dari Anas, dimana ia berkata, “Ketika Abu Thalhah menikahi

Ummu Sulaim, mahar yang diberikan adalah masuk Islam. Adapun Ummu

Sulaim memeluk agama Islam sebelum Thalhah. Kemudian Abu Thalhah

melamarnya. Ummu Sulaim berkata: “Aku telah memeluk Islam. jika engkau

masuk Islam maka aku akan menikah denganmu”. Lalu Abu Thalhah masuk

Islam dan itulah maharnya.31

Dalam Islam disunnahkan untuk meringankan dan mempermudah

mahar. Islam menyeru kepada seluruh pemimpin agar mempermudah

pernikahan, sehingga kehormatan para pemuda dan pemudi akan terjaga

dengan baik.

ُُرَسْيَأ ِحاَكِلا ُرْ يَخ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق

Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik

pernikahan adalah yang paling mudah”.

Dengan menikah, mereka akan terbebas dari perangkap setan. Dan

mahar yang paling murah adalah mahar yang paling banyak berkahnya bagi

seorang perempuan.32 Sebagaimana yang terkandung dalam sabda Rasulullah

Saw:

يا ةكرب ءاسناا مظعا نا

اقادص ن رس

Artinya: Sesungguhnya perempuan yang paling besar keberkahannya adalah orang yang maharnya paling mudah.

31 Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan..., 91.

(42)

32

Dalam sebuah riwayat lain ada pula yang meriwayatkan berdasarkan

sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

ةنؤم رسيا ةكرب حاك لا مظعا نا

Artinya: Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.

Rasulullah Saw juga pernah mengingatkan bahwa “Seorang perempuan

yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah SWT adalah yang

maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun

sebaliknya, perempuan yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit

menikahinya, dan buruk akhlaknya”.33

Banyak ulama yang memperingatkan agar kita tidak berlebihan dalam

mahar karena hal tersebut dapat menimbulkan mud}arat dan mafsadah

(kerusakan).34 Mahar yang jumlahnya besar dapat menjadi pemicu kebencian

suami kepada istri setelah memasuki kehidupan rumah tangga setelah

menikah. Haram jika mahar ditentukan dengan batas yang berlebihan,

berbangga-bangga, dan memberatkan pundak suami, sehingga untuk

memenuhi mahar tersebut seorang suami harus terpaksa meminta dan

berhutang.35

Memberatkan mahar dapat membuat pernikahan menjadi kehilangan

barakahnya. Hal ini bisa terbawa dalam keluarga yang mereka bangun kelak.

33 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau..., 193.

34 Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan..., 92.

(43)

33

Sayyidina Ali pernah mengingatkan, “Jangan berlebih-lebihan dengan mahar

perempuan, sebab hal itu akan menyebabkan permusuhan”.36

Seseorang yang berlebihan dalam memberi mahar kepada istrinya

dapat menimbulkan terjadinya permusuhan dalam dirinya kepada istrinya

itu. Dan ketika permusuhan berujung pada sebuah pertikaian dalam sebuah

rumah tangga, seorang suami mudah baginya untuk berkata “Aku telah

mengeluarkan biaya mahal untuk kamu dalam ikatan keluarga ini”.37

Adapun batasan minimal mahar tidak ditetapkan secara pasti berapa

jumlahnya, asalkan mahar tersebut memiliki nilai yang berharga, dalam

sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dijelaskan:

ٍدْعَس ِنْب ِلْهَس ْنَع ٍمِزاَح َِِأ ْنَع َناَيْفُس ْنَع ٌعيِكَو اََ ثَدَح ََََْ اََ ثَدَح

ََِِلا َنَأ

ٍديِدَح ْنِم ٍََاَِِ ْوَلَو ْجَوَزَ ت ٍلُجَرِل َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص

38

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada seseorang: "Menikahlah meskipun maharnya hanya dengan cincin

besi”.

Dari hadist tersebut, dapat diperoleh gambaran tentang kesederhanaan

mahar. Sebuah cincin besi jika memang tidak memungkinkan untuk memberi

yang lebih, sudah cukup untuk menjadi mahar yang layak bagi sebuah

pernikahan Islami. Bahkan ada sebuah riwayat yang menjumpai kisah

36 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau.., 218.

37 Ibid., 219.

38 Muh}ammad Al-Fad}il Al-Zarh}uni>, Al-Fajru Al-Sa>t}i’u ‘Ala> Al-S}ah}i>h} Al-Jami>’, Juz 12 (Riya>d}:

(44)

34

perempuan Fuzarah menikah dengan mahar sebuah sepasang terompah dan

dia menerimanya.39

Mengenai standar terendah mahar, para fuqaha saling berbeda

pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat standar mahar yang paling rendah

adalah sepuluh dirham.40 Madzhab Maliki berpendapat standar mahar paling

rendah adalah seperempat dinar atau tiga dirham perak murni yang tidak

mengandung kepalsuan. Atau dengan barang-barang yang suci dan terbebas

dari najis yang sebanding dengan harganya, yang berupa barang, hewan, atau

bangunan yang bermanfat menurut syariat.41

Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat tidak ada batasan terendah

bagi mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Karena itu, sah

jika mahar adalah harta yang sedikit atau banyak. Batasannya adalah semua

yang sah untuk dijual atau yang memiliki nilai adalah sah untuk dijadikan

mahar. Dan yang tidak memiliki nilai, maka tidak bisa dijadikan mahar.42

Setiap yang berlebihan adalah ketidakwajaran. Setiap ketidakwajaran

bisa jadi dapat mendatangkan keburukan dan kerusakan. Mahar yang

berlebih dapat menimbulkan permusuhan. Permusuhan antara suami dan

istri, bahkan permusuhan antar keluarga.43

Mahar yang terlalu sedikit juga dapat menyebabkan perempuan merasa

tidak dihormati dan dihargai, sehingga ia tidak hormat terhadap suami. Oleh

39 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau..., 209.

40 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 235.

41 Ibid.

42 Ibid., 236.

(45)

35

karenanya menanyakan kerelaan juga dimaksudkan agar istri tidak merasa

kurang dihargai dan pemberian mahar tetap atas kemampuan suami.44

E. ‘Urf (Adat)

‘Urf menurut pengertian bahasa (etimologi) ialah suatu kebiasaan

yang dilakukan. Sedangkan ‘urf menurut ulama ‘us}u>liyyi>n adalah apa yang

bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan,

baik berupa perbuatan, perkataan, atau bahkan sesuatu yang harus

ditinggalkan. Contoh ‘urf yakni kebiasaan orang dalam jual-beli tanpa ijab

qabul.45

Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan atau ‘urf qawli>

misalnya perkataan “walad” (anak) menurut bahasa seharihari hanya khusus

bagi anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan tidak termasuk dalam

perkataan itu, dan perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari

tidak mencakup ikan.46

Contoh adat kebiasaan yang berupa perbuatan atau ‘urf ‘amali> seperti

jual-beli mu’at}ah yakni jual-beli dimana si pembeli menyerahkan uang

sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan

ijab qabul, karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.47

44 Ibid., 223.

45 Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: Diantama, 2008), 110.

46 A. Faishal Haq, Ushul Fiqh : Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Media,

1997), 146.

(46)

36

Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau

ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk

melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat ‘urf ini

sering disebut sebagai adat.48 Dalam kajian ushul fiqh, ‘urf adalah suatu

kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan masyarakat

sehingga mereka merasa tentram.49

‘Urf menurut Asmawi dalam bukunya menyebutkan bahwa ‘urf

(kebiasaan masyarakat) adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang oleh

masyarakat daerah tertentu dan terus-menerus dijalani oleh mereka, baik

dilakukan sepanjang masa maupun pada masa tertentu saja. Sesuatu disini

mencakup sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk.50

Adapun bentuk-bentuk ‘urf, dapat dibagi menjadi dua macam yakni

‘urf s}ah}i>h} dan ‘urf fa>sid.51

1. ‘Urf s}ah}i>h} ialah suatu kebiasaan yang telah dikenal secara baik dalam

masyarakat dan sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran

agama Islam. Ia tidak bertentangan dengan dalil-dalil dalam syariat

Islam, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang

wajib.52

2. ‘Urf fa>sid adalah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam masyarakat,

namun kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Ia

48Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 128.

49 Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif

(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 96.

50 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 161.

51Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul..., 129

(47)

37

menghalalkan yang haram dan membatalkan yang halal, seperti

perbuatan-perbuatan mungkar yang telah menjadi tradisi pada sebagian

masyarakat.

‘Urf s}ah}i>h} harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam

menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan

perkara. Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak

adalah menjadi kebutuhan dan menjadi mas}lah}ah yang diperlukan. Selama

kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syariat, maka hal tersebut harus

dipelihara.53

‘Urf fa>sid tidak harus diperhatikan, karena memeliharanya berarti

menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Oleh karena itu,

apabila seseorang membiasakan mengadakan perikatan-perikatan yang fasid,

seperti perikatan yang mengandung riba atau mengandung unsur penipuan,

maka kebiasaan tersebut tidak dapat dijadikan kebiasaan lagi.54

‘Urf s}ah}i>h} dapat pula dibagi menjadi ‘urf yang bersifat khusus dan ‘urf

yang bersifat umum.55

1. Al-‘urf al-‘a>m (kebiasaan yang bersifat umum) adalah semua ‘urf yang

telah dikenal dan dipraktekkan masyarakat dari berbagai lapisan di

seluruh negeri pada satu masa.

2. Al-‘urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus) adalah kebiasaan yang

hanya dikenal dan tersebar di suatu daerah dan masyarakat tertentu saja.

53 A. Faishal Haq, Ushul Fiqh..., 147.

54 Ibid., 148.

(48)

38

Dengan kata lain, ‘urf khusus adalah kebiasaan yang dikenal sebagian

kelompok dan suku bangsa tertentu.

‘Urf merupakan suatu yang bisa dijadikan hukum, berdasarkan sabda

Nabi yang mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap baik oleh orang

muslim, maka Allah menganggap perkara itu baik pula.56

Para ulama yang menerima ‘urf sebagai dalil dalam mengistinbatkan

hukum, menetapkan sejumlah persyaratan bagi ‘urf untuk dapat diterima.

Syarat-syarat tersebut meliputi:57

1. ‘Urf itu mengandung mas}lah}ah dan logis. Syarat ini merupakan sesuatu

yang mutlak ada pada ‘urf yang s}ah}i>h} sehingga dapat diterima. Apabila

‘urf mendatangkan mud}ara>t dan tidak dapat diterima logika, maka ‘urf

demikian tidak dibenarkan dalam Islam.

2. ‘Urf tersebut berlaku umum pada masyarakat yang terkait dengan

lingkungan ‘urf berkembang, atau minimal di kalangan sebagian besar

masyarakat.

3. ‘Urf yang dijadikan dasar bagi penetapan suatu hukum telah berlaku

pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian hari.

4. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam yang ada.

Para ulama madzhab fiqh, pada dasarnya bersepakat untuk menjadikan

‘urf secara global sebagai dalil hukum Islam. Namun, diantara pendapat

56 Masykur Anhari, Ushul Fiqh..., 111.

(49)

39

tersebut terjadi beberapa perbedaan argumen mengenai batasan dan lingkup

aplikasi dari ‘urf itu sendiri, diantaranya:58

1. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang kemudian

dikonfirmasi secara positif oleh syariat Islam sehingga menjadi hukum

syara’. Mengenai hal ini, para ulama bersepakan bahwa kebiasaan

tersebut bersifat mengikat secara syar’i untuk segenap kaum muslim.

Kebiasaan semacam ini tetap kukuh dan valid, tidak berubah

sebagaimana berubahnya waktu dan tempat.

2. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang kemudian

ditiadakan secara tegas oleh syariat sehingga ia menjadi haram

hukumnya. Mengenai hal ini, para ulama bersepakat bahwa kebiasaan

semacam ini harus dijauhkan oleh segenap kaum muslim. Inilah yang

disebut ‘urf fa>sid.

Diantara para ulama ada yang berkata bahwa “Adat adalah syariat

yang dikukuhkan sebagai hukum”. Begitu juga ‘urf menurut syara’

mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar

hukumnya pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama

murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas

perbuatan ‘urf mereka.59

Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagian

pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada

di Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tidak heran jika beliau

58 Asmawi, Perbandingan Ushul..., 162.

(50)

40

memiliki dua madzhab yakni madzhab qadi>m (terdahulu/pertama) dan

madzhab jadi>d (baru).60

Hukum yang didasarkan atas suatu ‘urf dapat berubah-ubah menurut

masa dan tempatnya, sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan

masyarakat. Selama ‘urf yang s}ah}i>h} masih dikenal dan dipraktekkan

masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang dipersyaratkan dan hukum yang

ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan hukum yang ditetapkan atas dasar

Nash.61

Hukum Islam bersifat elastis dan dapat berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman. Sesuai dengan keluwesan hukum Islam, dalam

menetapkan hukum juga memperhatikan kebiasaan setempat. Dengan

demikian hendaknya para mujtahid dalam melakukan ijtiha>d dan hakim

dalam mengeluarkan sebuah keputusan juga harus memperhatikan adat yang

berlaku di masyarakat.62

60 Ibid., 130.

61 Masykur Anhari, Ushul Fiqh..., 112.

(51)

BAB III

TRADISI SUNDRANG DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA

SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP

A. Tipografi Desa Sase’el

1. Sejarah Desa Sase’el

a. Asal-usul Desa Sase’el

Desa Sase’el merupakan salah satu desa di kepulauan Sapeken

kabupaten Sumenep. Berbicara tentang desa Sase’el, desa ini sangat

erat hubungannya dengan perpindahan suku Makasar dan Bugis ke

pulau Sapeken. Masyarakat desa Sase’el merupakan salah satu bagian

dari suku tersebut. Beberapa keunikan-keunikan yang terdapat dalam

desa ini ialah bahwa penghuni pertama kali desa Sase’el ialah suku

Makasar dan Bugis.

Desa Sase’el menurut berbagai sumber terbagi menjadi 3

bagian, satu diantaranya masuk dalam kawasan desa Sase’el itu

sendiri dan dua pulau terpisah dari Desa Sase’el yaitu Sadereng Besar

dan Sadereng Kecil. Kedua daerah tersebut luasnya kurang lebih 5,5

km, membujur ke utara dan agak melebar ke selatan.

Desa Sase’el diapit oleh empat desa yaitu,

- Sebelah timur berbatasan dengan desa Tanjung Kiaok kecamatan

(52)

42

- Sebelah barat berbatasan dengan desa Sabuntan kecamatan

Sapeken

- Sebelah selatan berbatasan dengan desa Sepanjang kecamatan

Sapeken,

- Sebelah utara berbatasan dengan desa Sapeken kecamatan

sapeken

Masyarakat di desa Sase’el disebut sebagai masyarakat Suku

Same, yaitu suku yang terdiri dari gabungan Suku Mandar, Suku

Bugis, Suku Makasaar, dan Suku Madura yang dilatarbelakangi oleh

perjanjian Raja Goa Pertama dengan Keraton Sumenep dan Keraton

Bone.

Berbicara mengenai sejarah, konon Palallo Dg. Barenggek

merupakan salah satu tokoh yang sangat dikenal dan berpengaruh di

Desa Sase’el sebagai salah satu pembawa Suku Bugis ke Desa

Sase’el. Beliau mengadakan perubahan terhadap penduduk setempat

serta mampu merubah peradaban yang primitif menjadi peradaban

yang progresif seperti sekarang ini.

b. Pemerintahan Desa Sase’el

Pemerintahan desa Sase’el mulai ada dan beroperasi sejak

datangnya tokoh-tokoh masyarakat ke desa Sase’el yang memberikan

perubahan terhadap peradaban pada masyarakat setempat. Ketika

(53)

43

Marjuni selaku Sekretaris Kepala Desa Sase’el menuturkan dalam

wawancara singkat, sebagai berikut :

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sebelum masuknya tokoh-tokoh masyarakat terdahulu kondisi masyarakat Desa

Sase’el ini begitu primitif yang tidak mengenal adanya budaya

dan hidup dalam keadaan yang sangat sederhana. Baru setelah adanya tokoh-tokoh masyarakat terutama tokoh yang terkenal adalah Palallo Dg. Barenggek berani mengubah keadaan masyarakat Desa Sase’el yang primitif. Selain mengubah keadaan masyarakat, beliau juga menyusun dan mengatur tentang susunan tatanan masyarakat berupa hirarki atau tingkatan-tingkatan yang menjadi pemimpin bagi masyarakat setempat yang disebut dengan ketua atau pemimpin adat beserta jajarannya. Setelah keadaan berkembang barulah ketua adat ini berubah namanya yang sekarang disebut kepala desa.1

Pada awal pemerintahan, desa Sase’el dipimpin oleh kepala

desa pertama yang bernama R.B. Moh Ilyas yang menjabat dari tahun

1960 sampai 1990. Beliau merupakan Putra Madura keturunan

Bangsawan yang makamnya bertempat di pemakaman keluarga

Dusun satu desa Sase’el.

Kepala desa Sase’el yang kedua adalah Moh. Sadik bin H. Abd

Wahid yang menjabat dari tahun 1990 sampai 1998. Beliau masih

hidup sampai sekarang dan menjadi tokoh atau sesepuh masyarakat.

Sedangkan Kepala Desa Sase’el yang ketiga adalah keponakan dari

Moh. Sadik (Kepala Desa Kedua) yang bernama M. Idrus yang

menjabat dari tahun 1998-2013. Beliau menjabat kepala desa selama

dua periode. Selanjutnya, Kepala desa yang keempat adalah Mahmud

Gambar

gambar atau foto.20 Dan dokumentasi yang dimaksud dalam

Referensi

Dokumen terkait

في ٌح فرك ةدردلا ادرن ةديرف ع : في " ماترةةةحا لطلا ةةةةبة ن د زةةةةررتم تادةةةقتعلدا أ ناةةةةيدلىا ةنةةةةضتلمحا ةةةةغ ئابقلا تاداعلا ةصلىا دةمرل

Sholeh Tuban" dibawah naungan UD Budi Karya, mayoritas beragam produk Batik Tulis Gedog Tuban produksi secara handmade (tulis) dan sebagian lainnya diproduksi

Pola-pola ruang komunal yang berhasi dibangun merupakan pola-pola dengan intensitas tinggi yang dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang tidak formal dengan frekwensi jam

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah hasil dari proses penelitian saya yang telah dilakukan sesuai prosedur penelitian yang benar dengan arahan

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Dina Yuliastuti, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Analisis Pengaruh Pelatihan Kerja Dan Motivasi Kerja Terhadap Peningkatan

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti3. Pendidikan Pancasila

Filler dan binder yang digunakan dalam pembuatan sosis sebesar 3.75% dari berat daging yang umumnya adalah susu skim Beberapa penelitian yang telah dilakukan dan

Jawaban atas pertanyaan berikut digunakan untuk menyatakan pendapat Anda. mengenai komitmen pada tujuan yang ada di perusahaan