v ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Keterkaitan Antara Sundrang dan Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el
Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep”, merupakan penelitian yang dilakukan di desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana keterkaitan sundrang dan mahar dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep?, Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang dan mahar dalam perkawinan adat di desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep?.
Data penelitian yang digunakan penulis adalah berbasis lapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dimana penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif dan menggunakan pola pikir deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi sundrang merupakan pemberian pihak laki-laki terhadap pihak perempuan berupa uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh orang tua si perempuan sebelum akad nikah. Adat ini telah dilakukan oleh masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep secara turun-temurun dan masih berlaku hingga saat ini. Tradisi sundrang memiliki keterkaitan dan berpengaruh terhadap mahar seorang perempuan. Besarnya mahar ditentukan oleh sundrang yang telah diberikan. Dengan adanya ketentuan tersebut dan seiring perkembangan waktu, sundrang membawa dampak yang kurang baik di masyarakat.
Tradisi sundrang pada dasarnya diperbolehkan dalam agama Islam. Namun, dalam pelaksanaan sundrang terdapat beberapa hal yang tidak sejalan dengan syariat Islam, contohnya penentuan mahar yang dinilai memberatkan pihak laki-laki dan mempersulit pernikahan. Tingginya mahar dan sundrang dapat mendatangkan beberapa mud}arat serta mafsadat, contohnya adalah tindakan kawin lari dan hamil di luar nikah.
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN
ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN
MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN
KABUPATEN SUMENEP
SKRIPSI
Oleh
Noer Fauziyatul Alifi NIM. C91212138
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN
ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN
MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN
KABUPATEN SUMENEP
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh
Noer Fauziyatul Alifi NIM. C91212138
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan batasan masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 9
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II TEORI MAHAR DALAM ISLAM ... 21
A. Pengertian Mahar dalam Islam ... 21
B. Dasar Hukum Mahar ... 24
C. Syarat-Syarat Mahar ... 27
D. Batasan Jumlah Pemberian Mahar ... 30
3. Keadaan Sosial Masyarakat ... 45
a. Kependudukan ... 45
b. Perekonomian dan mata pencaharian ... 46
c. Pendidikan ... 47
d. Keagamaan ... 48
e. Budaya ... 48
B. Tradisi Sundrang dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el ... 49
1. Ketentuan Tradisi Sundrang ... 49
2. Tata Cara Pelaksanaan Tradisi Sundrang ... 52
3. Faktor yang Melatarbelakangi Tradisi Sundrang ... 55
4. Perbedaan Sundrang dan Mahar serta Keterkaitan Antara Keduanya ... 56
BAB VI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KETERKAITAN ANTARA SUNDRANG DAN MAHAR DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP ... 61
A. Tinjauan terhadap Keterkaitan antara Sundrang dan Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep ... 61
xii
BAB V PENUTUP ... 76 A. Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 dijelaskan pula pengertian
perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mi>tha>qa>n
ghali>z}a>n untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.2
Jika dilihat dari tujuan perkawinan secara umum, maka tujuannya
adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri. Tujuan yang yang lebih
khusus dari adanya perkawinan adalah memelihara regenerasi, memelihara
gen manusia, untuk mendapatkan ketenangan jiwa, serta yang paling utama
adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dianggap keji di
hadapan Allah SWT yakni zina.3
1 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2012), 76.
2 Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1994), 158.
2
Pernikahan adalah salah satu sunnah Allah pada makhluk-Nya. Allah
SWT tidak menjadikan manusia sama dengan makhluk lain yang bebas
menyalurkan dorongan nafsunya. Dia meletakkan tatanan yang sesuai
dengan kemuliaannya, yang menjaga kehormatannya dan melindungi
martabatnya. Hal itu ditunaikan dengan pernikahan syar’i> yang menjadikan
hubungan antara laki-laki dengan perempuan sebagai hubungan mulia yang
dilandasi dengan kerelaan.4
Pernikahan juga merupakan salah satu Sunnah para Rasul yang sangat
ditekankan, termasuk Sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Allah
SWT berfirman dalam Al-Quran Su>rah Ar-Ru>m ayat 21:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.5
Sebelum beranjak dalam tahap pernikahan ada beberapa proses atau
tahapan yang dilakukan meskipun tidak wajib dilaksanakan namun
dianjurkan. Adapun proses sebelum masuk dalam tahapan pernikahan adalah
peminangan. Peminangan ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat atau
menyeleksi atau mengetahui pasangan yang akan dipilih sebagai teman
4 Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah
Terjemahan Kitab Mukhtas}ar Al-Fiqh Al-Isla>mi>, Najib Junaidi (Surabaya: Pustaka Yassir, 2012), 905.
3
hidup agar pada saat masuk dalam tahapan pernikahan, antara kedua belah
pihak telah mantap dan yaqin atas pilihannya.
Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, “meminang”.
Meminang atau dalam kata lainnya adalah melamar dalam bahasa arab
disebut “khit}bah”. Secara bahasa, meminang atau melamar atau khit}bah
artinya meminta perempuan untuk dijadikan istri. Sedangkan menurut istilah
peminangan adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan perempuan. Atau, seorang laki-laki meminta
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang
umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.6
Setiap perkawinan yang memiliki makna dan tujuan masing-masing di
setiap daerah pasti berbeda. Model perkawinan ini sangat erat sekali dengan
adat-istiadat atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat,
dimana mereka menganggap bahwa upacara adat atau tahapan-tahapan yang
wajib dilakukan dalam proses perkawinan dinilai memiliki fungsi dan nilai
tersendiri. Hal tersebut biasanya terjadi pada masyarakat yang tingkat
kekentalannya terhadap adat sangat kuat salah satunya adalah masyarakat
Pulau Madura.
Pada deskripsi sebelumnya telah dipaparkan bahwa peminangan yang
dilakukan yakni dengan cara yang umum yang berlaku di masyarakat. Dalam
pengertian ini jelas sekali bahwa cara umum yang berlaku di masyarakat
dapat diartikan sebagai kebiasaan (adat/tradisi). Cara atau tahapan dalam
4
lamaran ini pada dasarnya terdapat kesamaan di berbagai daerah di
Indonesia, namun yang membedakan yakni terletak pada alat atau sarana
pendukung dari proses lamaran itu.7
Apabila peminangan telah diterima dengan baik oleh pihak yang
dilamar (dalam hal ini adalah perempuan), maka tidak langsung serta merta
mengakibatkan adanya perkawinan. Adanya peminangan ini diaplikasikan
dengan pertunangan dimana hal ini akan mengikat kedua belah pihak pada
saat diterimanya pemberian atau hadiah pertunangan yang merupakan alat
pengikat berupa uang/benda, yang kadang-kadang diberikan oleh pihak
laki-laki kepada pihak perempuan atau dari kedua belah pihak (Batak,
Minangkabau, kebanyakan Suku Dayak, beberapa Suku Toraja dan Suku To
Mori).8
Pertunangan dengan memberikan pemberian berupa uang/barang tidak
hanya terjadi pada beberapa daerah yang telah tersebut di atas. Hal demikian
juga terjadi pada masyarakat Pulau Sapeken desa Sase’el. Menurut
Masyarakat desa Sase’el, pelaksanaan dari peminangan dikategorikan
sebagai hal yang wajib dilakukan. Hal tersebut dikarenakan selain si pihak
laki-laki dapat mengenal atau mengetahui calon pengantin perempuannya,
dalam acara peminangan di sini nantinya akan ada sebuah tradisi yang telah
bertahun-tahun hidup di masyarakat desa Sase’el ini yakni penentuan
Sundrang.
5
Sundrang merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Pulau
Sapeken yang di dalamnya termasuk desa Sase’el, dilakukan pada saat
lamaran atau peminangan, kemudian orang tua/wali si perempuan akan
menentukan target uang yang harus diberikan oleh pihak laki-laki terhadap
pihak perempuan yang biasanya didahului dengan ungkapan-ungkapan dan
terkadang di dalamnya terjadi tawar-menawar dalam menentukan jumlah
uang yang harus diberikan oleh pihak laki-laki.9 Namun secara mayoritas
atau kebanyakan orang tua telah menentukan jumlah atau patokan harga atas
anak perempuannya dan jumlah tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi, atau
dengan kata lain patokan harga yang telah ditentukan bersifat paten dan
tidak dapat ditawar lagi.
Adapun sundrang ini diberikan atas patokan harga yang telah
ditetapkan oleh pihak perempuan yang nantinya akan dipergunakan untuk
biaya perkawinan dan kebutuhan awal rumah tangga si istri. Biasanya
patokan jumlah uang yang ditetapkan oleh orang tua/wali perempuan yang
akan dilamar berkisar 8 atau 10 juta ke atas.
Besar kecilnya jumlah sundrang yang harus diberikan tergantung dari
prestise keluarga perempuan di masyarakat. Semakin keluarga pihak
perempuan memiliki pamor yang baik di masyarakat semakin tinggi
sundrang yang harus diberikan. Selain itu tingginya sundrang juga
dipengaruhi oleh bagaimana si perempuannya. Apabila perempuan itu
berpendidikan tinggi, cantik, dan seorang santriwati (keluaran pondok
6
pesantren), maka sundrang yang diberikan juga tinggi. Sundrang dinilai
berbeda dengan mahar oleh masyrakat desa Sase’el. Sundrang di sini
merupakan uang pemberian/hadiah kepada pihak istri yang akan
dipergunakan untuk biaya pernikahan. Sedangkan mahar merupakan hak
perempuan atau istri sepenuhnya.
Hal yang menjadi bahan kajian dari tradisi sundrang ini yaitu besarnya
mahar yang akan diberikan oleh suami terhadap istri dipengaruhi besarnya
sundrang yang telah diberikan. Sundrang nantinya akan diberikan,
disebutkan dan dihitung di khalayak banyak pada sebelum hari pelaksanaan
akad nikah. Hal ini dilakukan untuk membuktikan atau memberikan
kepastian tentang jumlah sundrang yang telah ditentukan sebelumnya
jumlahnya sama ketika diberikan.
Nominal sundrang yang tinggi memiliki potensi kerugian diantaranya
membuat para pemuda dan pemudi yang saling mencintai akan melakukan
kawin lari agar terbebas dari biaya sundrang atau dapat menurunkan nominal
sundrang yang telah ditentukan dengan patokan harga yang sangat tinggi.
Selain itu, tingginya sundrang juga dijadikan cara bagi orang tua perempuan
untuk menolak lamaran dari seorang laki-laki dengan mematok sundrang
yang nominalnya sangat tinggi untuk mengelabuhi pihak laki-laki agar
kesulitan membayar sundrang dan perjodohan atau pertunangan pun tidak
akan terjadi.
Tingginya sundrang ini juga memiliki efek positif untuk masyarakat,
7
giat dalam mencari rejeki untuk kebutuhan rumah tangga yang akan
dibangun. Sundrang juga dapat membantu meringankan biaya resepsi
pernikahan yang akan diselenggarakan oleh pihak mempelai perempuan.
Jika melihat dari segi hukum Islam, mahar yang akan diberikan suami
kepada istri tidak ada batas tertinggi atau terendahnya, tidak dipengaruhi
oleh apa pun, dan diberikan atas kerelaan dari suami.
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan posisi atau kedudukan serta
keterkaitan antara sundrang dan mahar pada perkawinan di desa Sase’el
kecamatan Sapeken kabupeten Sumenep. Berawal dari hal tersebut, maka
penulis menganggap perlu untuk melakukan penelitian atas wacana tersebut
dengan judul penelitian skripsi “Tinjauan Hukum Islam terhadap Keterkaitan
Antara Sundrang dan Mahar dalam Perkawinan Masyarakat Desa Sase’el
Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan yang timbul dari penerapan hukum
adat yang ada pada masyarakat di desa Sasse’el kecamatan Sapeken
kabupaten Sumenep diantaranya:
1. Konsep tradisi sundrang pada perkawinan di desa Sase’el kecamatan
8
2. Dampak tingginya penentuan jumlah sundrang dan mahar terhadap
perkawinan
3. Pembebanan sundrang dan mahar yang tinggi kepada pihak laki-laki
4. Tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang dan mahar
dalam perkawinan di desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten
Sumenep
Dari berbagai masalah yang telah teridentifikasi tersebut, maka untuk
memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini, penulis membatasi pada
masalah-masalah terkait berikut ini:
1. Tradisi sundrang dan keterkaitannya dengan mahar dalam perkawinan
masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep
2. Tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang dan mahar
dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken
kabupaten Sumenep
C. Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang di atas serta untuk membatasi
permasalahan yang akan diteliti, maka rumusan masalah yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keterkaitan sundrang dan mahar dalam perkawinan
9
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap keterkaitan antara sundrang
dan mahar dalam perkawinan adat di desa Sase’el kecamatan Sapeken
kabupaten Sumenep?
D. Kajian Pustaka
Peminangan merupakan rangkaian proses perkawinan. Peminangan
pada dasarnya adalah permintaan seorang laki-laki kepada seorang
perempuan untuk dijadikan sebagai istrinya. Namun dengan adanya adat dan
tradisi yang hidup di masyarakat, bentuk dari pelaksanaan peminangan ini
cukup beragam. Kajian pustaka ini ditulis untuk memberikan gambaran
tentang keterkaitan pembahasan yang akan diteliti dengan penelitian sejenis
yang pernah dilakukan oleh peneliti lain. Dan dengan adanya penjabaran
kajian pustaka ini diharapkan tidak ada plagiasi antara penelitian yang
dilakukan penulis dengan penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan.
Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya antara lain:
1. Skripsi Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan
Adat Suku Banggai: Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan
Totiku Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah oleh
Sisnawati Ladjahiya. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tradisi
pasai telah dilakukan oleh masyarakat suku Banggai yang berbentuk
10
perempuan. Pasai pada awalnya digunakan untuk meringankan beban
biaya acara pernikahan. Seiring berjalannya waktu, nominal pasai yang
tinggi akan meningkatkan prestise orang tuanya di masyarakat. Pasai
juga dijadikan alat untuk menghalangi perkawinan pasangan yang saling
mencintai dengan meminta nominal pasai yang tinggi kepada pihak
laki-laki.10
2. Skripsi Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Mahar pada
Masyarakat Batak Karo di Desa Jaranguda Kecamatan Merdeka
Kabupaten Karo Sumatera Utara oleh Jejen. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa pemberian mahar kepada keluarga atau kerabat
merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pengantin perempuan.
Masyarakat Karo mengasumsikan mahar sebagai alat tukar anak
perempuan karena setelah perkawinan anak perempuan tersebut akan
ikut keluarga laki-laki. Dalam perspektif hukum Islam, mahar
merupakan hak mutlak perempuan dan tidak ada kewajiban untuk
memberikan mahar kepada siapa pun.11
3. Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyerahan Perabot Rumah
Tangga dari Mempelai Pria Kepada Mempelai Perempuan Sebagai
Syarat Syahnya Perkawinan Menurut Adat (Studi Kasus di Desa
Burujulkulon Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka) oleh Asep
10 Sisnawati Ladjahiya, “Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Pasai dalam Perkawinan Adat Suku Banggai: Studi Kasus di Desa Kombutokan Kecamatan Totiku Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah” (Skripsi--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015), v.
11
Muhamad Afandi. Dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam
masyarakat Desa Burujulkulon setiap pernikahan identik dengan barang
bawaan yang diserahkan oleh mempelai pria kepada mempelai
perempuan berupa perabot rumah tangga. Bawaan ini di luar maskawin
namun disebutkan secara terang-terangan saat akad nikah berlangsung di
hadapan penghulu. Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah
keharusan dalam perkawinan meskipun mempelai pria adalah golongan
keluarga kurang mampu. Tidak jarang para pria yang ingin menikah rela
mencari uang demi membeli barang bawaan itu sehingga pernikahannya
ditunda beberapa tahun sampai dia mampu membeli barang-barang
tersebut.12
4. Skripsi Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Seserahan dalam
Perkawinan Adat Jawa (studi Kasus di Desa Tasikrejo; Kecamatan
Ulujami; Kabupaten Pemalang) oleh Khusnul Marom. Dalam penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa seserahan merupakan tradisi yang ada
sejak zaman nenek moyang sebagai sebuah wujud rasa tanggungjawab
seorang suami terhadap istri atas nafkah lahir dan juga untuk
mendukung suksesnya acara perkawinan. Hukum seserahan adalah
boleh, bahkan dianjurkan bagi calon suami yang mampu.13
12Asep Muhamad Afandi, ”Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penyerahan Perabot Rumah Tangga dari Mempelai Pria Kepada Mempelai Perempuan Sebagai Syarat Syahnya Perkawinan Menurut Adat (Studi Kasus di Desa Burujulkulon Kecamatan Jatiwangi Kabupaten Majalengka)”, dalam
http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/repository/ASEP%20MUHAMAD%20AFANDI_58310081__ OK.pdf, diakses pada 29 September 2015.
13 Khusnul Marom, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Seserahan dalam Perkawinan Adat Jawa (studi Kasus di Desa Tasikrejo; Kecamatan Ulujami; Kabupaten Pemalang)”, dalam
12
Dalam pembahasan yang akan diteliti oleh penulis di sini yakni lebih
terhadap tradisi sundrang yang jumlahnya ditentukan oleh pihak perempuan
dengan target tertentu yang mempertimbangkan prestise keluarga di
masyarakat dan kualitas si perempuan. Dan besarnya sundrang ini nantinya
akan mempengaruhi kadar atau besarnya mahar yang harus diberikan oleh
suami terhadap istri.
E. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut:
1. Mengetahui keterkaitan antara sundrang dan mahar dalam perkawinan
masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.
2. Memahami pandangan hukum Islam terhadap keterkaitan antara
sundrang dan mahar dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el
kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat
atau kegunaan baik secara teoritis maupun praktis:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan untuk
perkembangan ilmu pengetahuan dan wawasan intelektual khususnya
13
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu dan
dijadikan bahan pertimbangan masyarakat dalam penetapan jumlah
pemberian harta atau uang yang diberikan oleh pihak laki-laki terhadap
pihak perempuan.
G. Definisi Operasional
Untuk mempertegas dan memperjelas arah pembahasan masalah yang
diangkat. Agar dapat mengurangi kesalahpahaman atau multi-interpretasi
dalam memahami pembahasan penelitian ini, maka penulis perlu
memberikan definisi dari pengertian judul, yakni dengan menguraikan
sebagai berikut:
Hukum Islam: ialah kaidah, asas, prinsip, atau aturan yang
digunakan untuk mengatur kehidupan
masyarakat atau umat Islam, baik berupa
ayat Al-Quran, hadist Rasulullah Saw, dan
lain sebagainya terutama yang berkaitan
dengan pernikahan. Hukum Islam di sini
lebih dispesifikkan kepada hukum Islam
Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Mahar: pemberian calon mempelai pria kepada calon
14
uang, atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.14
Sundrang: pemberian sejumlah uang oleh pihak
laki-laki terhadap pihak perempuan yang
besarnya ditentukan oleh orangtua/wali
pihak perempuan dengan target tertentu
yang ditetapkan pada saat peminangan atau
lamaran.15
Berdasarkan beberapa hal yang telah dijabarkan dalam definisi
operasional tersebut, kiranya dapat menjadi satu kesatuan pokok bahan
kajian penelitian oleh penulis yang selanjutnya akan dianalisis menggunakan
perspektif hukum Islam.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan yang datanya
diambil dari data-data lapangan sebagai objek penelitian lapangan sebagai
objek penelitian untuk memperoleh data yang valid, maka tekhnik
pengumpulan data menjadi suatu hal yang sangat penting. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
15
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan konsep permasalahan di atas, maka data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:
a. Data tentang tradisi sundrang dalam perkawinan adat masyarakat
desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.
b. Data tentang tinjauan hukum Islam terhadap tradisi sundrang yang
dapat mempengaruhi jumlah atau besarnya mahar yang harus
diberikan oleh suami terhadap istri dalam perkawinan adat
masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.
2. Sumber data
Sumber data merupakan subjek dari mana asal data penelitian itu
diperoleh.16 Adapun sumber data dalam penelitian ini meliputi sebagai
berikut:17
a. Sumber data primer yakni data yang bersumber dari pihak yang
terkait secara langsung yang diperoleh dari lapangan. Data primer
tersebut meliputi: Tetuah adat desa Sase’el, Kepala Desa Sase’el
kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep, KUA Kecamatan Sapeken,
dan pihak lain yang juga terkait langsung.
b. Sumber data sekunder yakni data yang bersifat membantu,
menunjang, melengkapi, atau memperkuat data, biasanya berupa
surat-surat pribadi, dokumen resmi, buku, kitab, dan lain-lain.
Adapun data sekunder yang dipakai adalah:
16
1) Mahar & Walimah, oleh Darmawan
2) Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, & Rumah Tangga, oleh M.
Sayyid Ahmad Al-Musayyar
3) Kado Perkawinan, oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli
4) Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, oleh Mardani
5) Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, oleh Wahbah Az-Zuhaili
yang diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani
6) Ushul Fiqh, oleh Firdaus
7) Kupinang Engkau dengan Hamdalah, oleh Muhammad Fauzil
Adhim
3. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian
ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa:
a. Wawancara (interview)
Metode interview (wawancara) yakni bentuk komunikasi antara dua
orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari
seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.18
dalam penelitian ini wawancara dilakukan antara dua orang yang
berhadapan dalam fisik dan melalui wawancara tidak langsung
melalui media telekomunikasi. Wawancara ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi secara langsung dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden khususnya kepada pihak
17
yang mengerti tentang tradisi sundrang dalam perkawinan di desa
Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.
b. Observasi
Observasi merupakan suatu pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam gejala-gejala
pada obyek penelitian.19 Bentuk observasi yang dilakukan oleh
peneliti yakni observasi tidak terstruktur yakni pengamatan yang
dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti
mengembangkan pengamatan berdasarkan perkembangan tradisi
sundrang yang terjadi di lapangan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu metode pengumpulan data dengan
melihat atau menganilisis dokumen-dokumen, biasanya berupa
dokumen pribadi, dokumen resmi, atau bahkan berupa pengambilan
gambar atau foto.20 Dan dokumentasi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah dokumentasi dalam bentuk dokumen-dokumen
resmi.
4. Teknik pengolaan data
Setelah data terkumpul baik dari data lapangan maupun hasil
pustaka, maka dapat dilakukan analisis data dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut:
19 Hadari Nawawi, Instrumen Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), 74.
18
a. Editing, yakni pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh
terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, keserasian, dan
keterkaitan antara data satu dengan yang lainnya.21
b. Organizing, yakni penulisan data yang diatur dan disusun sehingga
menjadi sebuah kesatuan yang teratur.22 Untuk selanjutnya semua
data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis untuk
dijadikan sebagai bahan penelitian.
5. Teknik analisis data
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang
digunakan dala penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, dimana
penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara
obyektif.23
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penulis dalam hal
ini ingin memberikan pemaparan, penjelasan, serta uraian dari data yang
diperoleh kemudian disusun dan dianalisis untuk diambil sebuah
kesimpulan dengan menggunakan pola pikir deduktif. Deduktif ialah
pola berfikir dengan menggunakan analisa yang berpijak dari fakta-fakta
umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan masalah
khusus.24
21 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 118. 22 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 803.
23Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), 135.
19
Secara teknis, penelitian ini akan menggambarkan dan mencoba
menguraikan secara menyeluruh mengenai deskripsi sundrang dalam
perkawinan adat masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten
Sumenep serta keterkaitannya dengan mahar, selanjutnya akan
dianalisis menggunakan hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dan memahami apa yang ada dalam penelitian
ini, maka sistematikanya dapat dibagi menjadi lima bab, yang
masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, sehingga pembaca dapat dengan
mudah memahaminya. Adapun sistematika pembahasan ini adalah sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan atau metodologi yang meliputi
latar belakang masalah dengan menguraikan secara ringkas asal mula
permasalahan ini diangkat sebagai judul penelitian sehingga nantinya akan
dirumuskan dan diketahui arah tujuan penulisan. Dalam bab ini juga memuat
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat landasan teori yang digunakan sebagai pisau
20
pengertian mahar menurut Islam, dasar hukum mahar, syarat-syarat mahar,
batasan jumlah pemberian mahar, dan al-‘urf (adat).
Bab ketiga membahas tentang data hasil penelitian tradisi sundrang
dalam perkawinan masyarakat desa Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten
Sumenep. Dalam hal ini penulis membagi 2 pembahasan. Pertama, tentang
Tipografi desa Sase’el yang meliputi sejarah desa Sase’el, letak geografis,
keadaan sosial masyarakat, keadaan agama, dan budaya. Kedua, tentang
tradisi sundrang dalam perkawinan adat masyarakat desa Sase’el kecamatan
Sapeken kabupaten Sumenep.
Bab keempat membahas tentang tinjauan hukum Islam terhadap
keterkaitan antara sundrang dan mahar dalam perkawinan masyarakat desa
Sase’el kecamatan Sapeken kabupaten Sumenep.
Bab kelima membahas tentang penutup yang berisi tentang kesimpulan
dari penelitian ini dan saran yang nantinya akan menjadi masukan bagi
pembaca khususnya bagi instansi atau pihak-pihak terkait dalam penulisan
penelitian ini. Dan dalam bab ini akan membantu pembaca dalam memahami
BAB II
TEORI MAHAR DALAM ISLAM
A. Pengertian Mahar dalam Islam
Dalam bahasa Arab mah}ar )رهم(adalah bentuk jamak dari muh}u>r (روهم)
yang secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan menurut Imam Ibn
A-Qasim mahar disebut juga dengan istilah s}ada>q yang secara etimologi berarti
suatu benda yang wajib diberikan disebabkan karena adanya nikah sebagai
pemberian yang menunjukkan rasa cinta.1
Makna mahar atau maskawin dalam sebuah pernikahan, lebih tepat
sebagai pendekatan kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan
pernikahan. Mahar adalah syarat sahnya perkawinan dan sebagai ungkapan
penghormatan seorang laki-laki kepada perempuan yang menjadi istrinya.2
Secara terminologi, Al-Hamdani dalam bukunya Risalah Nikah
menyatakan bahwa maskawin atau mahar adalah pemberian seorang suami
kepada istri sebelumnya, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad
sebagai pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya.3 Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 point (d), mahar adalah pemberian
1 Darmawan, Mahar & Walimah (t.tp.: Srikandi, 2007), 03.
2 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau dengan Hamdalah (Yogyakarta: Mitra Pusaka,
1998), 195.
22
calon mempelai pria kepada calon mempelai perempuan baik berbentuk
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.4
Dr. Mahmuda dalam bukunya The Family Structure in Islam
menyatakan bahwa mahar merupakan pembayaran yang bersifat simbolis
sebagai bentuk tanggungjawab dari laki-laki untuk menjamin keamanan hak
dan kesejahteraan keluarga setelah perkawinan terwujud.5
Mahar menurut ulama’ Hanafiah mendefinisikan mahar sebagai
sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang perempuan sebab adanya akad
nikah atau wat}i. Sedangkan menurut sebagian ulama Malikiyah mahar
adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada istri sebagai imbalan atas
jasa pelayanan seksualitas.6
Mahar merupakan hak bagi perempuan (istri) untuk menguasainya.
Seorang suami tidak berhak menguasai seluruh atau sebagian dari harta
tersebut, dan tidak berhak memaksa istrinya untuk memberikan harta
tersebut kepadanya, baik itu sedikit atau banyak. Seorang suami wajib untuk
menyediakan tempat tinggal, pakaian, dan nafkahnya karena dia adalah
pemimpin dan pelindung bagi keluarganya, seperti yang dijelaskan dalam
firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa>’ ayat 34 yang berbunyi:
4 Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1994), 157.
5 Darmawan, Mahar &..., 05.
6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Terjemahan Kitab Al-Fiqh Al-Isla>mi> Wa
23 oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka).7
Mahar boleh diberikan, baik itu sedikit atau banyak apabila istri
meridhoinya.8 Hal ini diperbolehkan sesuai firman Allah SWT dalam Q.S
An-Nisa>’ ayat 4 yang berbunyi:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.9
Apabila diperhatikan pengertian-pengertian tentang mahar di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa mahar adalah harta yang diberikan oleh
suami kepada istri sebagai pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang
sah dan merupakan tanda persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup
sebagai suami istri.10
7 Kementerian Agama RI, Al-Quran & Tafsirnya, Jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 161.
8 Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 97.
9 Kementerian Agama RI, Al-Quran &..., 114.
24
B. Dasar Hukum Mahar
Syariat Islam selalu meninggikan dan memuliakan derajat perempuan.
Dalam hukum Islam diwajibkan bagi laki-laki yang hendak nikah dengan
seorang perempuan untuk memberikan mahar meskipun pemberian tersebut
hanya sebagai simbol atas kecintaan seorang calon suami kepada istrinya.
Demikian pula calon istri, penerimaan mahar tersebut sebagai simbol
tanggungjawabnya dalam menjaga harta yang diamanatkan suami
kepadanya.11
Perintah pembayaran mahar ini didasarkan atas firman Allah SWT
dalam Su>rah An-Nisa>’ ayat 4 yang berbunyi:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.12
Dalam ayat 4 Su>rah An-Nisa>’ di atas yang dimaksud dengan kata
nih}lah adalah merupakan pemberian yang berdasarkan pada suka rela. Hal ini
berarti bahwa mahar adalah hak dan milik si perempuan itu sendiri, bukan
milik ayah atau saudara laki-lakinya, serta merupakan pemberian dan hadiah
dari laki-laki kepadanya.13
11 Darmawan, Mahar &..., 06.
12 Kementerian Agama RI, Al-Quran &..., 114.
25
Perintah pembayaran mahar juga tercantun dalam Q.S. An-Nisa>’ ayat
25 yang berbunyi: dan berilah maskawin merekamenurut yang patut...14
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Buhkori dari Sahal
bin Said, ketika ada seorang perempuan yang datang kepada Rasulullah Saw
dan menawarkan diri untuk dinikahi. Sedangkan Rasulullah Saw tidak
berminat pada perempuan tersebut namun ada seorang sahabat yang
menginginkan perempuan untuk dijadikan istrinya, dan Rasulullah Saw
memerintahkan kepada sahabat untuk memberi mahar kepada perempuan
yang akan dinikahi itu. Adapun bunyi hadistnya sebagai berikut:
َدَح ِهَللا ِدْبَع ُنْب يِلَع اََ ثَدَح
14 Kementerian Agama RI, Al-Quran &..., 148.
15 Abi> Yah}ya> Zakariya> Al-Ans}ori>, Tuh}fatul Ba>ri> Bisharh}i s}ah}i>h} Al-Bukha>ri>, Jilid 5 (Beiru>t: Da>r
26
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Sufyan Aku mendengar Abu Hazim berkata; Aku mendengar Sahl bin Sa'd As Sa'idi berkata; Aku pernah berada di tengah-tengah suatu kaum yang tengah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba berdirilah seorang perempuan seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah keputusan padanya." Namun beliau tidak memberi jawaban apa pun, kemudian perempuan itu pun berdiri dan berkata lagi, "Wahai Rasulullah, sesungguh ia telah menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah putusan padanya." Ternyata ia belum juga memberi putusan apa-apa. Kemudian perempuan itu berdiri lagi pada kali yang ketiga seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya untuk Anda, karena itu berilah keputusan padanya." Maka berdirilah seorang laki-laki dan berkata, "Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya." Beliau pun bertanya: "Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk dijadikan mahar)?" laki-laki itu menjawab, "Tidak." Beliau bersabda: "Pergi dan carilah sesuatu meskipun hanya cincin dari emas." Kemudian laki-laki itu pergi dan mencari sesuatu untuk mahar, kemudian ia kembali lagi dan berkata, "Aku tidak mendapatkan apa-apa, meskipun hanya cincin dari emas." Lalu beliau bertanya: "Apakah kamu mempunyai hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Akhirnya beliau bersabda: "Pergilah, telah menikahkanmu dengan perempuan itu dan maharnya adalah hafalan Al Qur`anmu."
Tiap-tiap barang yang berharga, meskipun sedikit seperti uang, tanah,
cincin, ternak, dan sebagainya boleh dijadikan maskawin atau mahar.
Maskawin juga boleh berupa usaha dan urusan yang bermanfaat, seperti
mengajarkan al-Quran atau ilmu kepada calon istri, meskipun dalam hal ini
ada perbedaan di kalangan ulama madzhab.16
Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat. Menurut
Imam Malik mahar merupakan rukun nikah, dan sebagai konsekuensinya jika
memakai s}igat h}i>bah}, maka mahar harus disebut ketika akad nikah, jika
27
tidak, maka nikahnya tidak sah. Sedangkan ketiga imam madzhab lainnya
berpendapat bahwa mahar termasuk syarat sahnya nikah.17
Mahar atau maskawin berkedudukan sebagai kewajiban yang ada
dalam perkawinan dan sebagai syarat sahnya perkawinan. Bila tidak ada
mahar, maka pernikahannya menjadi tidak sah.18 Pasal 14 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menentukan bahwa untuk melaksanakan pernikahan harus ada
calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.
Dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak disebutkan
bahwa mahar sebagai rukun nikah. Tetapi, pasal 30 KHI menentukan bahwa
calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai
perempuan yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah
pihak.19
C. Syarat-Syarat Mahar
Pada umumnya mahar itu dalam bentuk materi, baik itu berupa uang
atau barang berharga lainnya. Namun syariat Islam memungkinkan mahar itu
dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Ini adalah pendapat yang dipegang
17 Darmawan, Mahar &..., 09.
18 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011),
10.
19 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan Menurut Hukum
28
oleh jumhur ulama yang berlandaskan Al-Quran dan hadist.20 Mahar yang
diberikan suami kepada istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:21
1. Berupa harta/benda yang berharga
Tidak sah mahar dengan sesuatu yang tidak memiliki nilai harga,
seperti biji kurma. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa mahar itu
harus berupa sesuatu yang boleh dimiliki dan dapat dijual.22
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaatnya
Tidak sah mahar dengan khamr, babi, darah, dan bangkai, yang
semuanya itu adalah haram, najis, dan tidak berharga menurut
pandangan agama Islam. babi, darah, da khamr tidak boleh dimiliki oleh
orang-orang Islam, sehingga tidak mungkin barang-barang tersebut
dijadikan mahar.
3. Bukan barang ghas}ab
Ghas}ab artinya menguasai harta orang lain dengan kekuatan tanpa
hak, baik harta itu diam atau bergerak tanpa seizin pemiliknya meskipun
tidak berniat memiliki. Ghas}ab hukumnya haram dan tidak halal bagi
seseorang untuk mengambil sesuatu dari orang lain apa pun bentuknya.23
Memberikan mahar dengan barang hasil ghas}ab adalah tidak sah, tetapi
akadnya tetap sah dan bagi calon istrinya wajib ada mahar mithil yakni
mahar yang tidak disebutkan besarnya pada saat atau ketika terjadi
20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2011), 91.
21 Darmawan, Mahar &..., 11.
22 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 236.
23 Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah
29
pernikahan, namun mengikuti mahar ibunya, saudara perempuan, bibi,
dan sebagainya.24
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau
tidak disebutkan jenisnya. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu
tidak boleh kecuali dengan sesuatu yang diketahui keadaan dan
jenisnya.25
Mahar tidak disyaratkan harus berupa emas atau perak, tetapi boleh
dengan menggunakan hewan, bumi, rumah, dan sesuatu yang memiliki nilai.
Mahar juga boleh berupa usaha dan urusan yang bermanfaat, seperti
mengajarkan Al-Quran atau ilmu kepada calon istri.26 Mahar juga dapat
diberikan dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Contoh mahar dalam bentuk
jasa yakni seperti yang dikisahkan Allah SWT dalam Q.S. Al-Qas}as} ayat 27
yang berbunyi:
Artinya: Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".27
24 Darmawan, Mahar &..., 14.
25 Ibid., 13.
26 Mawardi Al, Hukum Perkawinan..., 16.
30
D. Batasan Jumlah Pemberian Mahar
Mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang
pria sebagai ungkapan kesetiaan dan kecintaannya pada calon istrinya.
Besarnya mahar tidak pernah ditetapkan dalam jumlah tertentu. Hal ini
diserahkan kepada keihklasan kedua calon pengantin dan kemampuan calon
mempelai pria.28
Mahar istri-istri Rasulullah Saw adalah lima ratus dirham, yang setara
dengan kurang lebih 140 real. Sedangkan mahar putri-putrinya adalah empat
ratus dirham, yang setara dengan kurang lebih 110 real. Semua harga sah
dijadikan mahar, meski jumlahnya sedikit. Jika suami miskin, maka ia boleh
memberikan mahar dalam bentuk jasa.29 Terkait mahar istri-istri Rasulullah
Saw, terdapat dalam hadist yang berbunyi:
َلاَق ُهَنَأ ِنََْْرلا ِدْبَع ِنْب َةَمَلَس َِِأ ْنَع
Artinya: dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa dia berkata; Saya pernah bertanya kepada 'Aisyah, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berapakah maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Dia menjawab; "Mahar beliau terhadap para istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu, berapakah satu nasy itu?" Abu Salamah berkata; Saya menjawab; "Tidak." 'Aisyah berkata; "Setengah uqiyah, jumlahnya sama dengan lima ratus dirham. Demikianlah
28 M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, & Rumah Tangga (t.tp.:
Erlangga, 2008), 13.
29 Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam..., 921.
30 Muh}ammad Nasi>ruddi>n Al-Alba>ni, Mukhtas}ar S}ah}i>h}u Muslim (Riya>d: Maktabah Al-Ma’a>rif,
31
maskawin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk masing-masing istri beliau."
Riwayat dari Anas, dimana ia berkata, “Ketika Abu Thalhah menikahi
Ummu Sulaim, mahar yang diberikan adalah masuk Islam. Adapun Ummu
Sulaim memeluk agama Islam sebelum Thalhah. Kemudian Abu Thalhah
melamarnya. Ummu Sulaim berkata: “Aku telah memeluk Islam. jika engkau
masuk Islam maka aku akan menikah denganmu”. Lalu Abu Thalhah masuk
Islam dan itulah maharnya.31
Dalam Islam disunnahkan untuk meringankan dan mempermudah
mahar. Islam menyeru kepada seluruh pemimpin agar mempermudah
pernikahan, sehingga kehormatan para pemuda dan pemudi akan terjaga
dengan baik.
ُُرَسْيَأ ِحاَكِلا ُرْ يَخ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص ِهَللا ُلوُسَر َلاَق
Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baikpernikahan adalah yang paling mudah”.
Dengan menikah, mereka akan terbebas dari perangkap setan. Dan
mahar yang paling murah adalah mahar yang paling banyak berkahnya bagi
seorang perempuan.32 Sebagaimana yang terkandung dalam sabda Rasulullah
Saw:
يا ةكرب ءاسناا مظعا نا
اقادص ن رس
Artinya: Sesungguhnya perempuan yang paling besar keberkahannya adalah orang yang maharnya paling mudah.
31 Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan..., 91.
32
Dalam sebuah riwayat lain ada pula yang meriwayatkan berdasarkan
sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:
ةنؤم رسيا ةكرب حاك لا مظعا نا
Artinya: Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang maharnya paling rendah.Rasulullah Saw juga pernah mengingatkan bahwa “Seorang perempuan
yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah SWT adalah yang
maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun
sebaliknya, perempuan yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit
menikahinya, dan buruk akhlaknya”.33
Banyak ulama yang memperingatkan agar kita tidak berlebihan dalam
mahar karena hal tersebut dapat menimbulkan mud}arat dan mafsadah
(kerusakan).34 Mahar yang jumlahnya besar dapat menjadi pemicu kebencian
suami kepada istri setelah memasuki kehidupan rumah tangga setelah
menikah. Haram jika mahar ditentukan dengan batas yang berlebihan,
berbangga-bangga, dan memberatkan pundak suami, sehingga untuk
memenuhi mahar tersebut seorang suami harus terpaksa meminta dan
berhutang.35
Memberatkan mahar dapat membuat pernikahan menjadi kehilangan
barakahnya. Hal ini bisa terbawa dalam keluarga yang mereka bangun kelak.
33 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau..., 193.
34 Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan..., 92.
33
Sayyidina Ali pernah mengingatkan, “Jangan berlebih-lebihan dengan mahar
perempuan, sebab hal itu akan menyebabkan permusuhan”.36
Seseorang yang berlebihan dalam memberi mahar kepada istrinya
dapat menimbulkan terjadinya permusuhan dalam dirinya kepada istrinya
itu. Dan ketika permusuhan berujung pada sebuah pertikaian dalam sebuah
rumah tangga, seorang suami mudah baginya untuk berkata “Aku telah
mengeluarkan biaya mahal untuk kamu dalam ikatan keluarga ini”.37
Adapun batasan minimal mahar tidak ditetapkan secara pasti berapa
jumlahnya, asalkan mahar tersebut memiliki nilai yang berharga, dalam
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dijelaskan:
ٍدْعَس ِنْب ِلْهَس ْنَع ٍمِزاَح َِِأ ْنَع َناَيْفُس ْنَع ٌعيِكَو اََ ثَدَح ََََْ اََ ثَدَح
ََِِلا َنَأ
ٍديِدَح ْنِم ٍََاَِِ ْوَلَو ْجَوَزَ ت ٍلُجَرِل َلاَق َمَلَسَو ِهْيَلَع ُهَللا ىَلَص
38
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada seseorang: "Menikahlah meskipun maharnya hanya dengan cincin
besi”.
Dari hadist tersebut, dapat diperoleh gambaran tentang kesederhanaan
mahar. Sebuah cincin besi jika memang tidak memungkinkan untuk memberi
yang lebih, sudah cukup untuk menjadi mahar yang layak bagi sebuah
pernikahan Islami. Bahkan ada sebuah riwayat yang menjumpai kisah
36 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau.., 218.
37 Ibid., 219.
38 Muh}ammad Al-Fad}il Al-Zarh}uni>, Al-Fajru Al-Sa>t}i’u ‘Ala> Al-S}ah}i>h} Al-Jami>’, Juz 12 (Riya>d}:
34
perempuan Fuzarah menikah dengan mahar sebuah sepasang terompah dan
dia menerimanya.39
Mengenai standar terendah mahar, para fuqaha saling berbeda
pendapat. Madzhab Hanafi berpendapat standar mahar yang paling rendah
adalah sepuluh dirham.40 Madzhab Maliki berpendapat standar mahar paling
rendah adalah seperempat dinar atau tiga dirham perak murni yang tidak
mengandung kepalsuan. Atau dengan barang-barang yang suci dan terbebas
dari najis yang sebanding dengan harganya, yang berupa barang, hewan, atau
bangunan yang bermanfat menurut syariat.41
Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat tidak ada batasan terendah
bagi mahar. Sahnya mahar tidak ditentukan dengan sesuatu. Karena itu, sah
jika mahar adalah harta yang sedikit atau banyak. Batasannya adalah semua
yang sah untuk dijual atau yang memiliki nilai adalah sah untuk dijadikan
mahar. Dan yang tidak memiliki nilai, maka tidak bisa dijadikan mahar.42
Setiap yang berlebihan adalah ketidakwajaran. Setiap ketidakwajaran
bisa jadi dapat mendatangkan keburukan dan kerusakan. Mahar yang
berlebih dapat menimbulkan permusuhan. Permusuhan antara suami dan
istri, bahkan permusuhan antar keluarga.43
Mahar yang terlalu sedikit juga dapat menyebabkan perempuan merasa
tidak dihormati dan dihargai, sehingga ia tidak hormat terhadap suami. Oleh
39 Muhammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau..., 209.
40 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam..., 235.
41 Ibid.
42 Ibid., 236.
35
karenanya menanyakan kerelaan juga dimaksudkan agar istri tidak merasa
kurang dihargai dan pemberian mahar tetap atas kemampuan suami.44
E. ‘Urf (Adat)
‘Urf menurut pengertian bahasa (etimologi) ialah suatu kebiasaan
yang dilakukan. Sedangkan ‘urf menurut ulama ‘us}u>liyyi>n adalah apa yang
bisa dimengerti oleh manusia (sekelompok manusia) dan mereka jalankan,
baik berupa perbuatan, perkataan, atau bahkan sesuatu yang harus
ditinggalkan. Contoh ‘urf yakni kebiasaan orang dalam jual-beli tanpa ijab
qabul.45
Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan atau ‘urf qawli>
misalnya perkataan “walad” (anak) menurut bahasa seharihari hanya khusus
bagi anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan tidak termasuk dalam
perkataan itu, dan perkataan “lahm” (daging) dalam pembicaraan sehari-hari
tidak mencakup ikan.46
Contoh adat kebiasaan yang berupa perbuatan atau ‘urf ‘amali> seperti
jual-beli mu’at}ah yakni jual-beli dimana si pembeli menyerahkan uang
sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan
ijab qabul, karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.47
44 Ibid., 223.
45 Masykur Anhari, Ushul Fiqh (Surabaya: Diantama, 2008), 110.
46 A. Faishal Haq, Ushul Fiqh : Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam (Surabaya: Citra Media,
1997), 146.
36
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat ‘urf ini
sering disebut sebagai adat.48 Dalam kajian ushul fiqh, ‘urf adalah suatu
kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan masyarakat
sehingga mereka merasa tentram.49
‘Urf menurut Asmawi dalam bukunya menyebutkan bahwa ‘urf
(kebiasaan masyarakat) adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang oleh
masyarakat daerah tertentu dan terus-menerus dijalani oleh mereka, baik
dilakukan sepanjang masa maupun pada masa tertentu saja. Sesuatu disini
mencakup sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk.50
Adapun bentuk-bentuk ‘urf, dapat dibagi menjadi dua macam yakni
‘urf s}ah}i>h} dan ‘urf fa>sid.51
1. ‘Urf s}ah}i>h} ialah suatu kebiasaan yang telah dikenal secara baik dalam
masyarakat dan sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran
agama Islam. Ia tidak bertentangan dengan dalil-dalil dalam syariat
Islam, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang
wajib.52
2. ‘Urf fa>sid adalah suatu kebiasaan yang telah berjalan dalam masyarakat,
namun kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Ia
48Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 128.
49 Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 96.
50 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2011), 161.
51Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul..., 129
37
menghalalkan yang haram dan membatalkan yang halal, seperti
perbuatan-perbuatan mungkar yang telah menjadi tradisi pada sebagian
masyarakat.
‘Urf s}ah}i>h} harus dipelihara oleh seorang mujtahid di dalam
menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan
perkara. Karena apa yang telah dibiasakan dan dijalankan oleh orang banyak
adalah menjadi kebutuhan dan menjadi mas}lah}ah yang diperlukan. Selama
kebiasaan tersebut tidak berlawanan dengan syariat, maka hal tersebut harus
dipelihara.53
‘Urf fa>sid tidak harus diperhatikan, karena memeliharanya berarti
menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Oleh karena itu,
apabila seseorang membiasakan mengadakan perikatan-perikatan yang fasid,
seperti perikatan yang mengandung riba atau mengandung unsur penipuan,
maka kebiasaan tersebut tidak dapat dijadikan kebiasaan lagi.54
‘Urf s}ah}i>h} dapat pula dibagi menjadi ‘urf yang bersifat khusus dan ‘urf
yang bersifat umum.55
1. Al-‘urf al-‘a>m (kebiasaan yang bersifat umum) adalah semua ‘urf yang
telah dikenal dan dipraktekkan masyarakat dari berbagai lapisan di
seluruh negeri pada satu masa.
2. Al-‘urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus) adalah kebiasaan yang
hanya dikenal dan tersebar di suatu daerah dan masyarakat tertentu saja.
53 A. Faishal Haq, Ushul Fiqh..., 147.
54 Ibid., 148.
38
Dengan kata lain, ‘urf khusus adalah kebiasaan yang dikenal sebagian
kelompok dan suku bangsa tertentu.
‘Urf merupakan suatu yang bisa dijadikan hukum, berdasarkan sabda
Nabi yang mengatakan bahwa sesuatu yang dianggap baik oleh orang
muslim, maka Allah menganggap perkara itu baik pula.56
Para ulama yang menerima ‘urf sebagai dalil dalam mengistinbatkan
hukum, menetapkan sejumlah persyaratan bagi ‘urf untuk dapat diterima.
Syarat-syarat tersebut meliputi:57
1. ‘Urf itu mengandung mas}lah}ah dan logis. Syarat ini merupakan sesuatu
yang mutlak ada pada ‘urf yang s}ah}i>h} sehingga dapat diterima. Apabila
‘urf mendatangkan mud}ara>t dan tidak dapat diterima logika, maka ‘urf
demikian tidak dibenarkan dalam Islam.
2. ‘Urf tersebut berlaku umum pada masyarakat yang terkait dengan
lingkungan ‘urf berkembang, atau minimal di kalangan sebagian besar
masyarakat.
3. ‘Urf yang dijadikan dasar bagi penetapan suatu hukum telah berlaku
pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian hari.
4. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam yang ada.
Para ulama madzhab fiqh, pada dasarnya bersepakat untuk menjadikan
‘urf secara global sebagai dalil hukum Islam. Namun, diantara pendapat
56 Masykur Anhari, Ushul Fiqh..., 111.
39
tersebut terjadi beberapa perbedaan argumen mengenai batasan dan lingkup
aplikasi dari ‘urf itu sendiri, diantaranya:58
1. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang kemudian
dikonfirmasi secara positif oleh syariat Islam sehingga menjadi hukum
syara’. Mengenai hal ini, para ulama bersepakan bahwa kebiasaan
tersebut bersifat mengikat secara syar’i untuk segenap kaum muslim.
Kebiasaan semacam ini tetap kukuh dan valid, tidak berubah
sebagaimana berubahnya waktu dan tempat.
2. Perihal kebiasaan (custom) masyarakat Arab terdahulu yang kemudian
ditiadakan secara tegas oleh syariat sehingga ia menjadi haram
hukumnya. Mengenai hal ini, para ulama bersepakat bahwa kebiasaan
semacam ini harus dijauhkan oleh segenap kaum muslim. Inilah yang
disebut ‘urf fa>sid.
Diantara para ulama ada yang berkata bahwa “Adat adalah syariat
yang dikukuhkan sebagai hukum”. Begitu juga ‘urf menurut syara’
mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar
hukumnya pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama
murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas
perbuatan ‘urf mereka.59
Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagian
pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada
di Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tidak heran jika beliau
58 Asmawi, Perbandingan Ushul..., 162.
40
memiliki dua madzhab yakni madzhab qadi>m (terdahulu/pertama) dan
madzhab jadi>d (baru).60
Hukum yang didasarkan atas suatu ‘urf dapat berubah-ubah menurut
masa dan tempatnya, sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan
masyarakat. Selama ‘urf yang s}ah}i>h} masih dikenal dan dipraktekkan
masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang dipersyaratkan dan hukum yang
ditetapkan berdasarkan ‘urf sama dengan hukum yang ditetapkan atas dasar
Nash.61
Hukum Islam bersifat elastis dan dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Sesuai dengan keluwesan hukum Islam, dalam
menetapkan hukum juga memperhatikan kebiasaan setempat. Dengan
demikian hendaknya para mujtahid dalam melakukan ijtiha>d dan hakim
dalam mengeluarkan sebuah keputusan juga harus memperhatikan adat yang
berlaku di masyarakat.62
60 Ibid., 130.
61 Masykur Anhari, Ushul Fiqh..., 112.
BAB III
TRADISI SUNDRANG DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT DESA
SASE’EL KECAMATAN SAPEKEN KABUPATEN SUMENEP
A. Tipografi Desa Sase’el
1. Sejarah Desa Sase’el
a. Asal-usul Desa Sase’el
Desa Sase’el merupakan salah satu desa di kepulauan Sapeken
kabupaten Sumenep. Berbicara tentang desa Sase’el, desa ini sangat
erat hubungannya dengan perpindahan suku Makasar dan Bugis ke
pulau Sapeken. Masyarakat desa Sase’el merupakan salah satu bagian
dari suku tersebut. Beberapa keunikan-keunikan yang terdapat dalam
desa ini ialah bahwa penghuni pertama kali desa Sase’el ialah suku
Makasar dan Bugis.
Desa Sase’el menurut berbagai sumber terbagi menjadi 3
bagian, satu diantaranya masuk dalam kawasan desa Sase’el itu
sendiri dan dua pulau terpisah dari Desa Sase’el yaitu Sadereng Besar
dan Sadereng Kecil. Kedua daerah tersebut luasnya kurang lebih 5,5
km, membujur ke utara dan agak melebar ke selatan.
Desa Sase’el diapit oleh empat desa yaitu,
- Sebelah timur berbatasan dengan desa Tanjung Kiaok kecamatan
42
- Sebelah barat berbatasan dengan desa Sabuntan kecamatan
Sapeken
- Sebelah selatan berbatasan dengan desa Sepanjang kecamatan
Sapeken,
- Sebelah utara berbatasan dengan desa Sapeken kecamatan
sapeken
Masyarakat di desa Sase’el disebut sebagai masyarakat Suku
Same, yaitu suku yang terdiri dari gabungan Suku Mandar, Suku
Bugis, Suku Makasaar, dan Suku Madura yang dilatarbelakangi oleh
perjanjian Raja Goa Pertama dengan Keraton Sumenep dan Keraton
Bone.
Berbicara mengenai sejarah, konon Palallo Dg. Barenggek
merupakan salah satu tokoh yang sangat dikenal dan berpengaruh di
Desa Sase’el sebagai salah satu pembawa Suku Bugis ke Desa
Sase’el. Beliau mengadakan perubahan terhadap penduduk setempat
serta mampu merubah peradaban yang primitif menjadi peradaban
yang progresif seperti sekarang ini.
b. Pemerintahan Desa Sase’el
Pemerintahan desa Sase’el mulai ada dan beroperasi sejak
datangnya tokoh-tokoh masyarakat ke desa Sase’el yang memberikan
perubahan terhadap peradaban pada masyarakat setempat. Ketika
43
Marjuni selaku Sekretaris Kepala Desa Sase’el menuturkan dalam
wawancara singkat, sebagai berikut :
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sebelum masuknya tokoh-tokoh masyarakat terdahulu kondisi masyarakat Desa
Sase’el ini begitu primitif yang tidak mengenal adanya budaya
dan hidup dalam keadaan yang sangat sederhana. Baru setelah adanya tokoh-tokoh masyarakat terutama tokoh yang terkenal adalah Palallo Dg. Barenggek berani mengubah keadaan masyarakat Desa Sase’el yang primitif. Selain mengubah keadaan masyarakat, beliau juga menyusun dan mengatur tentang susunan tatanan masyarakat berupa hirarki atau tingkatan-tingkatan yang menjadi pemimpin bagi masyarakat setempat yang disebut dengan ketua atau pemimpin adat beserta jajarannya. Setelah keadaan berkembang barulah ketua adat ini berubah namanya yang sekarang disebut kepala desa.1
Pada awal pemerintahan, desa Sase’el dipimpin oleh kepala
desa pertama yang bernama R.B. Moh Ilyas yang menjabat dari tahun
1960 sampai 1990. Beliau merupakan Putra Madura keturunan
Bangsawan yang makamnya bertempat di pemakaman keluarga
Dusun satu desa Sase’el.
Kepala desa Sase’el yang kedua adalah Moh. Sadik bin H. Abd
Wahid yang menjabat dari tahun 1990 sampai 1998. Beliau masih
hidup sampai sekarang dan menjadi tokoh atau sesepuh masyarakat.
Sedangkan Kepala Desa Sase’el yang ketiga adalah keponakan dari
Moh. Sadik (Kepala Desa Kedua) yang bernama M. Idrus yang
menjabat dari tahun 1998-2013. Beliau menjabat kepala desa selama
dua periode. Selanjutnya, Kepala desa yang keempat adalah Mahmud