• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Analisis Leksida

2.1 Kerangka Teori

Dalam suatu penelitan, teori memiliki peran sebagai pendorong pemecahan masalah. Setiap sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (dalam Singarimhum, 1995:37). Adapun teori yang relevan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :

2.1.1 Pardagima

Suatu peneletian akan terjadi suatu perbedaan dan pencaraian pengetahuan yang menghasilkan sebuah paradigma yang di anut oleh beberapa ilmuan. Perbedaan dimaksud dapat terlihat terutama pada tiga level peneteorian yaitu pada; penjernihan epistemologi, level “midle range” teori (dalam Ikbar Yanuar 2012:53) khususnya dalam menguraikan ilmu pengetahuan kedalam kerangka kerja teoritis, tingkat metode dan teknik.

Paradigma ini pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun, dalam karyanya berjudul The Structure of Scientific Revolution dalam tahun 1962. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Khun, paradigma adalah suatu cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry (cara berpikir atau model suatu penyeledikan) tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing (cara megetahui) yang pesifik. Definisi tersebut ditegaskan oleh Fredichs, sebagai suatu pandangnan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Thomas khun berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan terjadi secara revolusi dengan model perkembangan sebagai berikut:

Pertama, adanya paradigma I: mendominasi dan mampu beragumentasi untuk permasalahan.

Ketiga, Perkembangan anomalies (penyimpangan): tidak mengelak dari pertentangan dan berbagai penyimpangan, sebab paradigma tidak mampu beragumentasi untuk segala sesuatu masalah yang timbul.

Keempat, krisis: Selama penyimpangan memuncak, paradigma mulai disangsikan validistanya.

Kelima, revolusi: krisis yang serius, dan karenanya timbul paradigma II. Paradigma itu merupakan termilogi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan sebagai suatu keragka, gugus pemikiran yang pokok berupa: paradigma filsafat, metafisik, sosial, operasional dan bentuk-bentuk paradigma secara konkret.

Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamorni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuan untuk merumuskan berbagi hal yang berkatian dengan:

 Apa yang harus dipelajari

 Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab  Bagaimana metode untuk menjawabnya

 Aturan-aturan apa yang harus di ikuti dalam menginpertasikan informasi yang diperoleh

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pardigma merupakan “seperangkat konsep”, keyakinan, asumsi, nilai, metode, atau aturan yang membentuk kerangka kerja pelaksanaan sebuah penelitian.” Sehubungan dengan itu, dapat di anggap bahwa metode yang umumnya digunakan dikalangan ilmuan sosial adalah penelitian kualitatif.

Metode penelitian kualitataif adalah suatu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Misalnya karnya Edmund Hussrel (1859-1920) kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) kedalam sosiologi. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia penentu utama perilaku

individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber, tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekuensi-konsekuensi dari sejumlah pandagan atau doktrin yang hidup dikepala manusia pelakunya (dalam Yanuar Ikbar Metodolgi Penelitian Sosial Kualitatif 2012. hlm 55)

Adapun beberapa pemahaman dalam suatu paradigma yang biasa digunakan oleh peneliti untuk membuat suatu karya ilmiah adalah sebagai berikut:

1. Naturalistic : Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological. Penulis Guba & Lincoln (1982)

2. Inquiry form the inside. Penulis Ever Evered & Louis

3. Interpretative: Berorientasi kedapa proses. Penulis Burrel & Morgan (1979)

4. Constructivist/fenomolgic. Penulis Guba (1990) 5. Naturalistic-etnographic. Penulis Horsmand (1989)

(Sumber: dalam Yanuar Ikbar Metodolgi Penelitian Sosial Kualitatif 2012. hlm 57)

Paradigma Contructivist adalah paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi.

Paradigma Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahlkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.

Ada beberapa teori yang terdapat dalam lingkup paradigma Kontruktivisme ini, diantaranya yaitu Teori Kegunaan dan Kepuasan (Uses And Grafications Theory) dan Teori Interaksionisme Simbolik.

Teori interaksionisme simbolik beranggapan bahwa khalayak adalah produk sosial. Teori ini mempunyai metodologi yang khusus, karena interaksionisme simbolik melihat makna sebagai bagian fundamental dalam interaksi masyarakat. Dalam penelitian mengenai interaksi dalam masyarakat tersebut, teori interaksionisme simbolik cenderung menggunakan metode kualitatif dibanding metode kuantitatif.

Sebagai contoh adalah bagaimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, terutama pria dengan wanita. Ketika mereka berkomunikasi dengan menggunakan simbolisasi bahasa SAYA dan ANDA, maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin diri saya dalam status yang formal”. Atau misalkan simbolisasi bahasa yang dipakai adalah ELO dan GUE maka konsep diri yang terbentuk adalah “dia ingin menganggap saya sebagai teman atau kawan semata”, serta ‘KAMU dan AKU’ juga yang lainnya.

Paradigma Kritis

Paradigma kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan kontruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reprosuksi makna yang terjadi secara historis maupun intitusional. Analisis teori kritis tidak berpusat pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada konstruktivisme.

Beberapa teori yang dinaungi oleh Paradigma Kritis diantaranya yakni Teori Feminis dan Teori Analisis Wacana.

1. Teori Feminis

Feminisme berdasar pada asumsi bahwa gender merupakan konstruksi sosial yang didominasi oleh pemahaman yang bias laki-laki dan menindas perempuan. Feminisme secara umum menantang asumsi dasar masyarakat dan mencari alternatif pemahaman yang lebih membebaskan, yaitu pemahaman yang meletakkan wanita dan pria dalam posisi yang seimbang. Feminisme secara garis besar dapat diklasifikasi menjadi dua golongan, yaitu feminisme liberal dan

feminisme radikal. Feminisme liberal lebih kepada paham paham demokrasi liberal, yaitu bahwa keadilan mencakup juga jaminan terhadap kesamaan hak bagi semua individu. Sedangkan feminisme radikal, lebih kepada melihat persoalan tidak sebatas pada hak yang bersifat publik. Oleh karena itu, jika feminisme liberal beranggapan bahwa masalah gender dapat diatasi dengan distribusi hak secara adil, maka bagi feminisme radikal hal ini tidak menyelesaikan persoalan.

Misalnya, Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki-laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.

2. Analisis Wacana

Teori analisis wacana termasuk dalam proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol, berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.

Dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana masuk dalam paradigma kritis, suatu paradigma berpikir yang melihat pesan sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Dengan kata lain, teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media

“tidak netral”sewaktu mengkonstruksi realitassosial. (sumber:www.//repository.usu.ac.id/bitstream/.pdf)

2.1.2 Komunikasi

Secara epsitemologi istilah kata komunikasi atau dalam bahasa inggris communication berasal dari bahasa latin yakni communicatio dari sumber kata communis yang berarti “sama”. Sama dalam arti kata ini bisa di interprestasikan dengan pemaknaanya adalah sama makna. Jadi secara sederhana dalam proses komunikasi yang terjadi adalah bermuara pada usaha untuk mendapatkan kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan komunikasi tersebut (dalam Purba, dkk, 2010:1).

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia. Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari – hari di rumah tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat dalam komunikasi (Muhammad, 2009:1).

Menurut Harjana (dalam Harjana 2001, 2013:165) Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan di mengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, kemudian pesan di tindak lanjuti dengan sebuah perbuatan oleh penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal tersebut (dalam Daryanto,2013:165).

Sedangkan menurut Berelson dan Steiner komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan, emosi keahlian dan lain lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata kata, gambar-gambar, angka-angka, dan lain lain (dalam Purba, dkk, 201:32).

Kesimpulannya komunikasi ialah cara manusia dalam menyampaikan informasi agar orang lain dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikannya. Dengan demikian definisi komunikasi mendapat penekanan yang berbeda-beda antara satu sama lain, dan perbedaan tersebut pada umumnya dilatarbelakangi oleh sudut pandang keilmuan para ahli yang mendefinisikannya.

Tatanan komunikasi meliputi intrapribadi, antarpribadi, kelompok massa, media. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini, perilaku, masyarakat, dan lainya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah menginformasikan, mendidik dan mempengaruhi. Teknik komunikasi terdiri dari

komunikasi informatif, persuasif, koerisif, instruksif dan hubungan manusia (dalam Maufid, 2014:84).

2.1.3 Komunikasi verbal

Komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral). Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. Tatabahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara pembentukan kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti kata atau gabungan kata-kata.

Menurut Larry L. Barker (dalam Mulyana,2005), bahasa mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.

1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.

2. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. 3. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, inilah

yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita.

Cansandra L. Book (1980), dalam Human Communication: Principles, Contexts, and Skills, mengemukakan agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu:

1. Mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja yang menarik minat kita, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu sampai pada kemajuan teknologi saat ini.

2. Berhubungan dengan orang lain. Bahasa memungkinkan kita bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita, dan atau mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita.

3. Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Bahasa memungkinkan kita untuk lebih teratur, saling memahami mengenal diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita.

2.1.4 Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non verbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata tetapi menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata. Para ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi non-verbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya,bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar , yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal. Adapun jenis-jenis komunikasi nonverbal adalah sebagai berikut:

Dokumen terkait