Keberhasilan sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugas seperti tersebut di atas, ditentukan pula oleh sikap saling menunjang
F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1 Kerangka Teor
Di dalam melakukan penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.24
24
Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana.25 Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu :
a. teori absolut atau teori pembalasan. b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori menggabungkan.26
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan, maka di bawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tersebut.
a. Teori absolut atau teori pembalasan
Menurut teori ini pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang. Jadi pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan atau teori retributif.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut :
25
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1982), hal. 23.
26
Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirlah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.27
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.
Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan :
Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.28
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali.
27
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal. 26.
28
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 149.
Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu29 :
a. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
b. pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;
c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana; d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;
e. pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar.
Oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, teori pembalasan tidak mendapat tempat dalam sistem pemidanaan di Indonesia.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu; 30
29
Muladi dan Barda Nawawi, Arief,. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 17.
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki sipenjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); 5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief tentang teori relatif mi adalah: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).31
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dan teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:
30
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) hal. 12.
31
a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);
b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.32
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.
Teori gabungan atau integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :33
32
Ibid, hal. 17, 33
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mali di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 24.
a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.
Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal- hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.34
Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun
34
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hal. 22. Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat, (diterjemahkan dan kutipan Oemarseno Adji), Hukum Pidana, ( Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 14.
masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c) memelihara solidaritas masyarakat, (d) pengimbalan/pengimbangan.35
Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik Indonesia Nomor .... Tahun 2005 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengenai tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:
a. Pemidanaan bertujuan:
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2) Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan
4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, 5) Memaafkan terpidana.
b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspek pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara sipelaku dengan sikorban.36
Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D, yakni37
Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence.Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna
35
Muladi, Op.cit, hal. 61. 36
J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hal. 22.
37
bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence
berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa.
Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu : 38
Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.
Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap
pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada sit terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar.
Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.
Dalam hal ini penulis menyetujui tujuan pemidanaan yang memberikan efek penjeraan terhadap narapidana, karena tindakan ini mungkin lebih efektif untuk mencegah si terpidana mengulangi kejahatannya. Pada saat ini banyak pelaku kejahatan beranggapan bahwa kehidupan di dalam lembaga
pemasyarakatan lebih baik daripada di luar lembaga pemasyarakatan. Di dalam lembaga pemasyarakatan lebih banyak binanya daripada derita yang diterimanya, sehingga mereka tidak akan merasa takut terhadap risiko yang akan diterimanya apabila ia melakukan kejahatan lagi, dan bagi pelaku kejahatan seperti ini, memang diperlukan tindakan tegas dalam pemberian hukuman yang berat.
Menurut Gross, hukum yang dijatuhkan itu bersifat a regrettable, necessity (keharusan yang patut disesalkan). Karena penjatuhan pidana
38
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 45.
menimbulkan derita, maka perlu suatu pembenaran dan harus dicari dasarnya, maka perlu seseorang merupakan sesuatu yang jahat namun karena seseorang itu melakukan kesalahan, maka harus dijatuhi pidana. Jadi, penjatuhan pidana dibenarkan walaupun menimbulkan derita dan penurunan moral seseorang. Menurut Gross, hukuman untuk orang yang bersalah memang sudah merupakan sesuatu yang benar. Menurutnya ada lima teori pemidanaan yaitu :39
1. Removal of socially dangerous persons
2. Rehabilitation of socially dangerous persons
3. Paying one’s debt to society
4. The intimidation version of deterrence
5. The persuasion of deterrence
1. Removal of Socially Dangerous Persons
Menurut teori Removal of Socially Dangerous Persons, orang yang banyak berbuat kejahatan sebaiknya diasingkan dari masyarakat dengan maksud agar orang tersebut dapat merenungkan perbuatannya yang telah merugikan
masyarakat. Teori ini amat sulit untuk dilaksanakan karena harus dapat
mengidentifikasi dengan benar golongan mana yang melakukan tindak pidana. Mereka ini berbaur dengan golongan yang patuh hukum, juga dianggap sulit karena tempat mereka itu seperti tempat di mana mereka bisa menjadi lebih jahat. Kita sudah sepakat bahwa norma harus dipatuhi, jika dilanggar menjadi ancaman bagi norma itu sendiri.
39
Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, (New York : Oxford University Press, 1979), hal. 66 – 73.
2. Rehabilitation of Socially Dangerous Persons
Menurut teori Rehabilitation of Socially Dangerous Persons, orang-orang yang secara sosiologis dianggap berbahaya pantas untuk direhabilitasi, jika ingin merubah dan memperbaikinya, maka harus diberikan sanksi pidana.
3. Paying One’s Debt Society
Teori Paying One’s Debt Society, mengemukakan membayar hutang seseorang melalui hakim dan jaksa kepada masyarakat. Di sini terjadi pergeseran nilai karena belum tentu orang itu tobat. Ini berasal dari kenyataan bahwa si pelaku dengan menjalani hukuman pidana berarti ia membayar hutangnya kepada masyarakat.
4. The Intimidation Version of Deterrence
Dalam teori The Intimidation Version of Deterrence, juga menekankan kepada special deterrence untuk mengintimidasi mereka yang tergoda melakukan kejahatan maupun untuk orang itu sendiri, maka kesengsaraan lebih besar
daripada kenikmatan yang diperoleh dari kejahatan itu. Dalam hal ini penulis menyetujui tindakan tersebut, karena tindakan ini mungkin lebih efektif untuk mencegah berbuat kejahatan lebih lanjut. Karena pada saat ini banyak pelaku kejahatan beranggapan bahwa kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan lebih baik daripada di luar lembaga pemasyarakatan. Di dalam lembaga
pemasyarakatan lebih banyak binanya daripada derita yang diterimanya. Untuk menahan godaan agar ia tidak melakukan kejahatan tersebut, maka kepadanya harus diberikan pidana yang besar dan berat. Untuk sebagian orang deterrence ini tidak ampuh, bagi mereka yang tidak ada rasa takut terhadap risiko yang akan diterima apabila ia melakukan kejahatan, bagi pelaku ini memang diperlukan tindakan tegas dalam pemberian hukuman yang berat.
5. The Persuasion of Deterrence
Teori The Persuasion of Deterrence, membujuk kita untuk menggambarkan agar tidak melakukan perbuatan jahat. Sebab akibat dari perbuatan itu akan menimbulkan derita yang berat.
Di samping teori-teori tersebut di atas, Gross40 menyimpulkan dalam
A Preferred Theory. Dalam teori ini dikenal istilah Anti-impunity artinya anti kebal hukum. Jika kita ingin hukum itu berpengaruh kuat dalam mempertahankan masyarakat yang patuh hukum maka orang yang melanggar hukum patut
dihukum. Jadi, tidak ada orang yang kebal hukum.
Pembinaan narapidana tidak hanya ditujukan kepada pembinaan spiritual saja, tetapi juga pembinaan dibidang keterampilan, Dalam sistem pemasyarakatan orientasi pembinaan bersifat top down approach maksudnya pembinaan yang diberikan kepada narapidana merupakan program yang sudah ditetapkan dan narapidana harus ikut serta dalam program tersebut. Hal ini didasarkan atas pertimbangan keamanan dan keterbatasan sarana pembinaan.
Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalani, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina dan harus menjalani paket pembinaan tertentu yang telah disediakan.
Paket pembinaan dari atas merupakan bentuk pembinaan yang paling banyak digunakan oleh lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditempuh karena sedikitnya bentuk pembinaan yang tersedia di lembaga pemasyarakatan, juga karena sedikitnya jumlah pembina yang terdapat di lembaga pemasyarakatan.
40
Kenyataan demikian banyak menimbulkan masalah karena banyak terjadi bahwa pembinaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan belajar/pembinaan para narapidana, sehingga hasil pembinaan tidak seratus persen memenuhi sasaran. Narapidana merasa pembinaan yang diterima hanya sebagai pengisi waktu luang saja, dan tidak memiliki minat belajar sehingga dalam mengikuti kegiatan pembinaan kurang serius, akibatnya upaya pembinaan menjadi hal yang mubazir saja. Padahal dari segi biaya pembinaan, cukup mahal untuk membina seorang narapidana. Hasilnya tidak sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan. Jadi sebenarnya pembinaan narapidana dengan top down approach tidaklah efektif sama sekali. Orientasi pembinaan semacam ini harus ditinjau kembali, agar pembinaan yang diberikan kepada narapidana berdaya guna dan berhasil guna, seperti yang diharapkan pemasyarakatan.
Untuk itu penelitian awal tentang kebutuhan pembinaan bagi seorang narapidana harus dilakukan secara cermat, agar tidak salah dalam menentukan jenis pembinaan yang akan diberikan kepadanya. Memang tidak menutup kemungkinan, ada materi-materi pembinaan tertentu yang harus disediakan dan dijalani oleh narapidana, tanpa memperhatikan kebutuhan belajarnya, misalnya tentang pengenalan diri, motivasi, keagamaan yang disesuaikan dengan agama dan kepercayaannya, kesehatan dan olahraga, etika pergaulan, cara-cara memecahkan masalah, penghayatan dan pengamalan Pancasila, kecintaan kepada negara dan bangsa.
Pembinaan narapidana yang digunakan pendekatan dari atas, dipilihkan materi-materi umum yang harus diketahui setiap narapidana dalam rangka pembinaan bagi diri sendiri, kesatuan dan persatuan bangsa, pendekatan terhadap Tuhan, atau untuk kehidupan dimasa mendatang setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Sedang untuk materi pembinaan yang dipelajari secara khusus berupa keterampilan, kemampuan berkomunikasi, tidak dapat digunakan pendekatan dari atas.
Menurut penulis metode pembinaan narapidana harus diubah dari top down approach menjadi bottom up approach. Bottom up approach 41 adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana. Untuk memperoleh gambaran tentang kebutuhan belajar narapidana, setiap narapidana haruslah menjalani pre test sebelum dilakukan pembinaan. Dari hasil pre test akan diketahui tingkat pengetahuan, keahlian dan hasrat belajarnya. Dengan memperhatikan hasil pre test, dipersiapkan materi pembinaan narapidana dan disesuaikan dengan lamanya pidana serta jenis kejahatannya. Untuk mengetahui sejauh mana pembinaan bisa berhasil maka diakhir pembinaan diadakan post test, untuk mengetahui keberhasilan pembinaan.
Dengan cara demikian akan menemukan kesesuaian belajar narapidana dengan kebutuhan belajarnya. Jika yang dipelajari adalah sesuatu yang dibutuhkan, maka hasil yang dicapai bisa semaksimal mungkin. Dengan demikian, tujuan pembinaan dapat tercapai secara maksimal.
41
Khusus untuk kasus narkoba, berdasarkan Peraturan/Keputusan Menteri Kehakiman RI dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, tidak ada satu pun ketentuan mengenai cara perlakuan terhadap narapidana ketergantungan obat atau narapidana yang kecanduan narkotika atau pemakai narkotika di lembaga pemasyarakatan. Ketentuan-ketentuan yang ada hanya memberikan petunjuk kepada petugas lembaga pemasyarakatan untuk memperkuat pengawasan terhadap narapidana narkotika sebagaimana dikemukakan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-PW.11.01 tanggal 9 Maret 1991 tentang Pengawasan khusus terhadap narapidana kasus subversi, korupsi, penyeludupan, narkotika dan perjudian. Begitu juga Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10 tanggal 10 April 1990, tidak memuat secara khusus pola perlakuan/pembinaan terhadap narapidana pemakai/pecandu narkotika. Pola pembinaan yang berlaku bersifat umum dan tidak membedakan antara narapidana nakotika dan bukan narkotika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Departemen Kehakiman RI belum memberikan perhatian secara khusus terhadap narapidana narkotika. Pendekatan yang digunakan masih menitik beratkan kepada pendekatan keamanan semata-mata atau security approach. Hal ini sebabkan karena terbatasnya biaya dan fasilitas sarana dan prasarana di lembaga pemasyarakatan. Mengingat perawatan terhadap narapidana narkotika memerlukan tenaga medis dan tempat khusus dengan biaya cukup besar, maka perawatan terhadap mereka dilaksanakan seadanya dalam arti sebatas kemampuan lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian teori-teori tentang pemidanaan, maka penulis mencoba menganalisa permasalahan dengan menggunakan teori proses belajar (learning process), karena seorang pelaku kejahatan dalam melakukan perbuatan yang melanggar hukum melalui proses belajar. Sebagaimana dikemukakan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat berkumpulnya narapidana, sehingga interaksi yang berlangsung sesama narapidana menimbulkan sub kebudayaan tertentu yang sudah melembaga di antara narapidana. Dengan demikian setiap narapidana menjalani proses penyesuaian dengan tata cara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan melalui proses belajar.
Disamping itu J.E. Sahetapy mengemukakan teori sobural dengan meninjau kondisi sosial budaya dan faktor struktural dari masyarakat di mana berada42 Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah masyarakat narapidana yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan. Di samping itu Sutherland
mengemukakan dalam teorinya “asosiasi diferensial”, yaitu perilaku jahat dapat dipelajari sebagaimana perilaku lainnya. Dalam hal ini faktor lingkungan sosial juga ikut menentukan.43
Terdapat dua versi teori asosiasi difrensial, yaitu versi pertama
memusatkan perhatian pada cultural conflict (konflik budaya), dan versi kedua menegaskan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari.44 Versi yang terakhir ini mengetengahkan 9 (sembilan) pernyataan sebagai berikut : 45
1. Tingkah laku kriminal yang dipelajari.
2. Tingkah laku kriminal yang dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
3. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.
4. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melaksanakan