• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam penelitian ini untuk menganalisis penggunaan dan makna digunakan tiga buah teori yang secara garis besar adalah teori morfologi, sintaksis dan semantik. Secara lebih khusus, untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai penggunaan onomatope menggunakan teori morfologi dari Natsuko Tsujimura (1996), lalu untuk menganalisis kategori menggunakan teori kategori sintaksis Abdul Chaer (2012) dan untuk mengkaji lebih dalam mengenai rumusan masalah kedua yaitu makna, penelitian ini menggunakan teori semantik menurut Mansoer Pateda (2001). Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga teori tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

2.3.1 Sintaksis

Sintaksis adalah salah satu cabang dari ilmu linguistik. Sintaksis mempelajari kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran. Hal ini sesuai dengan asal-usul kata sintaksis itu sendiri yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’. Jadi, secara etimologi istilah itu berarti : ‘menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat’ (Chaer, 2012:206).

15

Istilah sintaksis dalam bahasa Jepang disebut tougoron 統語論) atau

sintakusu シンタ ス yaitu cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur-unsur pembentuk kalimat. Bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang mencakup jenis dan fungsinya, unsur-unsur pembentuknya, serta struktur dan maknanya. Dengan demikian garapan sintaksis mencakup struktur frase, struktur klausa, dan struktur kalimat, ditambah dengan berbagai unsur lainnya (Nitta dalam Sutedi, 2010:63). Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besarnya terdiri dari subjek (shugo/主語), predikat (jutsugo/述語), objek (taishougo/対象語), keterangan (joukyougo/状況語), modifikator (shuushokugo/修飾語) dan konjungsi (setsuzokugo/接 続 語). Unsur subjek dan objek biasanya diisi dengan nomina termasuk nomina jadian, sedangkan unsur predikat diisi dengan verba, adjektiva, nomina ditambah dengan kopula. Unsur keterangan mencakup keterangan tempat, waktu, alat, penyerta, dan lainnya. Unsur modifikator digunakan untuk memperluas atau menerangkan subjek, objek, penyerta atau yang lainnya dengan menggunakan verba, adjektiva, nomina, atau yang lainnya (Sutedi, 2010:73).

Dalam sintaksis yang biasa dibicarakan adalah (1) struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, dan peran sintaksis serta alat-alat yang digunakan dalam membangun struktur itu (2) satuan-satuan sintaksis yang berupa kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. (3) hal-lain yang berkenaan dengan sintaksis seperti masalah modus, aspek, dan sebagainya.

Kategori sintaksis adalah jenis atau tipe kata atau frase yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis. Kategori sintaksis berkenaan dengan istilah nomina (N), verba (V), adjektiva (A), adverbia (Adv), numeralia (Num), preposisi (Prep),

Konjungsi (Konj), dan pronominal (Pron). Dalam hal ini nomina, verba, dan adjektifa merupakan kategori utama, sedangkan yang lain merupakan kategori tambahan (Chaer, 2009:27).

Dilihat dari pendapat Hiroko (1993:29), onomatope sebagai adverbial dapat dilekatkan dengan beberapa satuan sintaksis dalam suatu kalimat, adapun satuan sintaksis tersebut antara lain :

1. Onomatope dapat dilekatkan dengan kata kerja bentuk pertama sebagai adverbial, diletakkan sebelum kata kerja tersebut. misalnya ; せ せ 働 (sekaseka to hataraku : bekerja dengan tidak tenang, gangan nomu : minum dengan cepat sampai habis).

2. Onomatope bahasa Jepang dapat pula dilekatkan dengan す (suru) atau (yaru) sehingga onomatope kategori menjadi verba. contohnya, う う す (utouto suru : merasakan kantuk) い い す (ira ira suru : merasakan sakit) 3. Dikombinasikan dengan kopula ~ (~ da) sehingga onomatope dapat berubah kategori menjadi adjektiva. Contoh : さ さ (kusakusa da : kedaaan perasaan yang merasakan depresi) , 腹 ペ ペ (onaka ga pekopeko da : perut lapar).

4. Dilekatkan dengan partikel ~ (~no) dalam frase adjektif sehingga onomatope dapat berubah kategori menjadi kata benda. Frase adalah gabungan dua kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan , dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. (Chaer, 2011 : 301). Contoh : 星

17

(kirakira no hoshi : bintang yang berkelip), ぴ ぴ メラ(pikapika no kamera : kamera yang masih berkilauan karena baru)

5. Dilekatkan dengan partikel ~ (~ni) onomatope dapat berfungsi sebagai frase adverbial dalam sebuah frase ataupun kalimat. Contoh :

(pera pera ni naru : menjadi lancar), あ (karikari ni ageru : goreng dengan renyah).

2.3.2 Morfologi

Istilah morfologi dalam bahasa Jepang disebut keitairon (形 態 論).

Keitairon merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji tentang kata dan pembentukannya. Objek yang dikajinya yaitu tentang kata (語/go atau 単語/ tango) dan morfem (形態素/ keitaiso) (Sutedi, 2010:42).

Menurut Tsujimura (1999:148), ada lima pembentukan kata dalam bahasa Jepang yaitu :

1. Afiksasi (Affixation)

Pembentukan kata paling lazim dalam bahasa Jepang adalah afiksasi, yaitu penambahan imbuhan pada suatu kata. Proses pembentukan ini merupakan proses penambahan prefiks dan sufiks ke dalam bentuk dasar. Contoh pembentukan kata melalui afiksasi misalnya :

Omizu  {o} + {mizu}

Odorite  {odor} + {i} + {te}

Kakite  {kak} + {i} + {te}

Pada contoh di atas, morfem dasar {mizu} mendapat prefix {o} sehingga menjadi kata omizu, pada contoh kedua dan ketiga morfem dasar {odor} dan {kak}

mendapat sufiks {te} serta tambahan {i} karena morfem dasarnya berakhir dengan konsonan.

2. Komposisi (Compounding)

Tipe kedua pembentukan kata dalam bahasa Jepang adalah komposisi. Pembentukan komposisi merupakan pembentukan kata-kata dengan mengkombinasikan dua atau lebih kata. Pembentukan tipe ini memiliki beberapa variasi. Yang pertama adalah komposisi yang terdiri dari gabungan kata asli bahasa Jepang (native compound), komposisi kedua yaitu kata yang berasal dari gabungan kata yang berasal dari Cina (sino-japanese), yang ketiga pembentukan dari kombinasi bahasa asal yang berbeda, dan juga gabungan dari kata hasil komposisi (hybrid compound). Ketiga pembentukan kata tersebut dapat dilihat dari contoh di bawah ini :

a. Native Compound

aki-zora 秋空 : langit musim gugur

chika-michi 近道 : jalan pintas

tachi-yomi 立 読 : membaca sambil berdiri b. Sino Japanese Compound

ki-soku 規則 : aturan

To-zan 山 : mendaki gunung

Satsu-jin 殺人 : pembunuh c. Hybrid Compound

Sino Japanese + Native : dai-dokoro 台所 : dapur

19

Native + Foreign : ita-choko 板チ : Coklat batangan

Foreign + foreign : teburu-manaa テ マ ー : table manner

Selain ketiga jenis komposisi di atas, ada satu lagi komposisi yang disebut

dvandva compound. Dvandva compound sedikit berbeda dengan ketiga pembentukan komposisi di atas, dvandva compound tidak memandang satu individu atau objek sebagai satu kesatuan namun lebih kepada dua individu atau objek yang saling berhubungan sehingga membentuk suatu kata yang memiliki makna, misalnya :

Oya-ko 親子 : orang tua dan anak

Eda-ha 葉 : cabang dan daun

Iki-kaeri 行 帰 : pulang pergi 3. Reduplikasi (Reduplication)

Pembentukan kata yang ketiga adalah reduplikasi. Pembentukan reduplikasi adalah proses pembentukan kata dengan mengulang sebagian atau seluruh kata untuk membentuk suatu kata baru. Pembentukan reduplikasi umumnya digunakan untuk pembentukan kata tiruan bunyi/keadaan/ mimesis, dan reduplikasi renyoukei,

contohnya :

Zawa-zawa : berisik

Pika-pika : bercahaya kelap kelip

Pota-pota : menetes

Naki-naki : menangis

Dari contoh di atas, dapat diketahui, bahwa contoh dari mimesis ( zawa-zawa, pika-pika, pota-pota) merupakan pembentukan dari satu mora dasar yang

diulang, sedangkan reduplikasi renyookei merupakan hasil dari pengulangan dari suatu verba dasar.

4. Kliping (Clipping)

Pembentukan kata selanjutnya adalah kliping, yaitu pembentukan kata dengan proses penyingkatan kata. Contoh dari pembentukan ini dapat dilihat dibawah ini :

Keisatsu Satsu : Polisi

Suupaamakeeto Suupaa :Supermarket

Gakusei waribiki Gakusei wari : Diskon untuk siswa

Pada contoh di atas, kata tersebut mengalami penyingkatan dengan meninggalkan beberapa bagian kata. Selain penyingkatan seperti contoh di atas, ada pula penyingkatan kata dengan mengambil suku kata awal dari setiap kata yang digabungkan, misalnya :

Waado purosessaa wa puro : world processor Rimooto kontorooru rimo kon : remote control

5. Pinjaman (Borrowing)

Pembentukan kata yang terakhir adalah borrowing. Borrowing merupakan pembentukan kata bahasa Jepang hasil peminjaman dari bahasa lain, termasuk juga

sino-japanese, contohnya :

Hotel hoteru Panic panikku Voice boisu

21

2.3.3 Semantik

Semantik adalah istilah yang disepakati sebagai bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain , bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Yang dimaksud tanda atau lambang di sini adalah tanda linguistik yang dikemukakan Ferdinand de Saussure (1996) yaitu yang terdiri dari (1) Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk – bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang sedangkan yang ditandai atau yang dilambanginya adalah sesuatu yang diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk (Chaer, 1990 : 2). Dari sekian banyak jenis makna, pada penelitian ini onomatope akan ditinjau dari 3 sudut pandang makna yaitu makna leksikal, gramatikal, dan kontekstual.

2.3.3.1 Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, baik itu dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dibaca dalam kamus bahasa tertentu. Makna leksikal ini memiliki unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. Makna leksikal suatu kata terdapat pada kata yang berdiri sendiri, artinya makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah berada di dalam kalimat ( Pateda 2001:119)

Makna leksikal suatu kata dapat dengan mudah diketahui dari sumber kamus kata yang bersangkutan, misalnya dalam bahasa Jepang terdapat kamus dasar bahasa Jepang, kamus gairaigo, kamus onomatope bahasa Jepang, dan lain sebagainya.

Contoh makna leksikal dari sebuah onomatope dapat dilihat dibawah ini :

1. ツ ツ (butsubutsu) menunjukkan keadaan suara bisikan yang ada di dalam mulut, juga untuk menyatakan keadaan ketika seseorang menyuarakan ketidaksukaan, ketidakpuasan dengan suara yang tidak jelas. (Atoda dan Hoshino, 2009:454)

2. ラ ラ (furafura) menggambarkan keadaan yang tidak stabil, bergerak dengan berayun-ayun, bergoncang, tanpa tenaga. Keadaan badan (bagian tubuh) tidak bergerak sebagaimana mestinya karena lelah. (Atoda dan Hoshino, 2009:456)

Jika disimak dari contoh 1 dan 2, dapat disimpulkan seperti yang diungkapkan Chaer (1990:63) bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata itu. 2.3.3.2 Makna Gramatikal

Makna gramatikal adalah makna yang muncul akibat fungsi dan keberadaan kata dalam kalimat (Pateda, 2001:103). Makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut 文法的意味 (bunpouteki imi) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Menurut Chaer (2012:290) proses gramatikal suatu kata terjadi karena adanya afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Makna gramatikal penting untuk dianalisis karena proses gramatikal yang terjadi dalam sebuah onomatope dapat mengubah makna yang ditimbulkan, seperti contoh di bawah ini.

3. う を すす 込 (Atoda dan Hoshino, 2009:300)

udon wo tsurutsuru susurikomu

23

4. 親 父 頭 0 歳 っ し い(Atoda dan

Hoshino, 2009:300)

oyaji no atama wa 40 sai goro kara tsurutsuru datta rashii.

‘kepala ayah sudah botak kira kira sejak umur 40 tahun’

Pada contoh kalimat 3 dan 4, kata (tsurutsuru)yang dikombinasikan dengan すす 込 (susurikomu) memiliki makna bunyi slurp

dan menjadi salah satu contoh giongo yaitu suara orang yang sedang menghisap sesuatu, dalam kalimat ini yaitu udon. Sedangkan jika tsurutsuru menjadi sebuah adjektiva seperti pada kalimat 5, tsurutsuru memiliki makna keadaan permukaan yang halus .(dalam kalimat ini adalah permukaan kepala si Oyaji) dan merupakan penggunaan tsurutsuru sebagai gitaigo.

2.3.3.3 Makna Kontekstual

Makna kontekstual adalah makna yang muncul karena adanya hubungan antara ujaran dan konteks. Konteks itu berwujud dalam banyak hal, konteks yang dimaksud di sini, yakni : (1) konteks orangan, termasuk di sini hal yang berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara atau pendengar, latar belakang sosial ekonomi pembicara atau pendengar, (2) konteks situasi, misalnya situasi aman, situasi rebut, (3) konteks tujuan, misalnya meminta, mengharapkan sesuatu, (4) konteks formal atau tidaknya pembicaraan, (5) konteks suasana hati pembicara atau pendengar, misalnya takut, gembira, jengkel, (6) konteks waktu, misalnya malam, setelah magrib, (7) konteks tempat, (8) konteks objek, maksudnya apa yang menjadi fokus pembicaraan, (9) konteks alat kelengkapan bicara atau dengar pada pembicara atau pendengar, (10) konteks kebahasaan, maksudnya

apakah memenuhi kaidah bahasa yang digunakan oleh kedua belah pihak, dan (11) konteks bahasa, yakni bahasa yang digunakan.

Untuk mendapat padanan ilmiah terdekat sehingga mudah untuk dipahami, makna yang muncul dari sebuah kata dalam hal ini onomatope, seringkali mengalami perubahan sesuai konteks/ lingkungan bahasa itu sendiri.

5. さあー 00万ま あ 体!

今日 気合い入 バラバラ死体ひ う ー

Saaa, 800 man made ato 75 tai!

Kyoumo kiai irete barabara shitai hirouka

‘Nah, tinggal 75 orang sampai pas 8 juta!

Hari ini aku harus lebih bersemangat memunguti tubuh yang tercerai berai.’

6. あ~ わいそー バラバラ っ まっ バイ ...

死 あ ー

Aa, kawaiso ni barabaranacchamatta yo baiku…

Shindana ariyaa

‘Aah… kasihan, sepedanya hancur berantakan, pasti dia mati’

Pada contoh kalimat 5 dan 6 mempunyai makna yang sedikit berbeda sesuai konteksnya. Makna bara-bara pada contoh pertama melukiskan keadaan tubuh yang tercerai berai, berada disana-sini. Kemudian bara-bara pada kalimat 6 menggambarkan sepeda motor yang hancur berantakan. Bara-bara memiliki makna leksikal keadaan benda yang berhamburan, berjatuhan, begitu saja. Juga menunjukkan keadaan yang menjadi berhamburan atau terpisah-pisah, baik waktu, tempat, perasaan, dan lainnya (Nakami, 2003:396).

Apabila kedua makna tersebut dipertukargantikan akan menimbulkan benturan makna karena tidak sesuai konteksnya, (misalnya motor yang tercerai

25

berai). Dari kedua contoh tersebut dapat diketahui bahwa konteks sebuah kalimat sangat penting untuk menentukan makna kontekstual onomatope.

Dokumen terkait