• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Teori

1. Qard}

a. Pengertian Qard}

Qard} secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qarad}a asy-syai’- yaqrid}uhu, yang berarti dia memutuskanya. Qard} adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qarad}tu asy-syai’a bil-miqrad}, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qard} adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.18

Adapun qard} secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari. Syafi’iyah berpendapat bahwa qard} dalam istilah syara’ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus dikembalikan).”19

Jadi, qard} dapat diartikan sebagai suatu transaksi antara dua pihak yang saling terikat, dimana keterikatan tersebut merupakan akibat dari perbuatan memberikan sesuatu pinjaman kepada pihak lain yang suatu saat harus dikembalikan sama seperti saat meminjamnya.

b. Landasan Hukum Al-Qard}

Dasar disyari’atkannya qard} (hutang piutang) adalah Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 245.



































“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang

baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.20

Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa Allah swt menyerupakan amal salih dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat

19 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2017), hlm. 273.

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 358.

ganda dengan pembayaran hutang. Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.21

c. Hukum Al-Qard}

Hukum qard} (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh, terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai dengan cara mempraktikannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum tujuan.

Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu wajib memberinya hutang. Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.22

Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak, tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.

21 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm. 274.

Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia tidak boleh berhutang. Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya tertolong dari kelaparan.23

d. Rukun dan Syarat Al-Qard}

Rukun qard} (hutang piutang) ada tiga, yaitu s}i<gat, ‘a>qidain (dua pihak yang melakukan transaksi), dan harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.24

1) S{i<gat

Yang dimaksud s}i<gat adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “aku memberimu hutang” atau “aku menghutangimu”. Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti “aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku

rida” dan lain sebagainya.25

23 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat …, hlm. 280.

24 Masjupri, Fiqh Muamalah 2, (Surakarta: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Surakarta, 2016). hlm. 89.

2) ‘A<<qidain

Yang dimaksud dengan ‘a>qidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.26

a) Syarat-syarat bagi pemberi hutang

Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’ (orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal sehat, dan pandai (dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat). Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal kebaikannya, seperti s}adaqah.27

Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qard} (hutang piutang) mengandung tabarru’ (pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat) dan tabarru’.

b) Syarat bagi penghutang

Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-mua>malah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan penghutangkan mempunyai ahliyah at-tas}arrufat (kelayakan

26 Masjupri, Fiqh Muamalah 2 …, hlm. 92.

memberikan harta) secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.28

Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua ini tidak mempunyai potensi menanggung.

3) Harta yang dihutangkan

Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu a) diketahui kadarnya dan b) diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.

2. Prinsip-Prinsip Muamalah

Prinsip juga disamakan dengan asas, fundamental, pangkal, dasar, dan pondasi. Sehingga prinsip dasar muamalah keuangan syariah (maliyah) bisa juga diartikan asas yang dijadikan pokok dasar berpikir terkait pondasi muamalah keuangan syariah.29 Selanjutnya, berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam aktivitas ekonomi Islam/muamalah termasuk keuangan syariah yang disari dari beberapa pandangan pakar ekonomi Islam seperti M. Umer Chapra, Muhammad Ayub, Ibrahim Warde, Syed Nawab Haider Naqvi dan lainnya. Berikut

28 Masjupri, Fiqh Muamalah 2 …, hlm. 93.

29 K. H. Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm.15-16.

adalah prinsip dasar muamalah keuangan syariah (maliyah) yang dimaksudkan:

a. Prinsip Tauhid/Keimanan/Kesatuan

Tauhid merupakan bagian fundamental atau dasar dalam Islam, dan sistem nilai Islam didasarkan pada keyakinan ini. Dengan konsep tauhid maka seyogyanya umat Islam dalam melakukan aktivitas ekonomi memperhatikan hal-hal berikut ini: 30

Pertama, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai-nilai ketuhanan. Kedua, seluruh aktivitas ekonomi tidak terlepas dari nilai- nilai kemanusiaan. Ketiga, melakukan pertimbangan atas kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan masyarakat. Terakhir, dalam kaitannya dengan keuangan Islam, maka prinsip tauhid ini menuntut dan menuntun pelaku bisnis dan keuangan syariah dalam beraktivitas ekonomi selalu mengaitkan dengan kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.31

b. Pengharaman Riba

Menurut terminologi, riba dirumuskan oleh ilmu fikih sebagai tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak dari dua pihak yang terlibat tanpa ada imbalan tertentu. Selanjutnya, konsep riba tidak terbatas pada bunga. Setidaknya terdapat dua bentuk riba dalam hukum Islam. Pertama, riba al-qarud yang berhubungan dengan

30 Muhammad Arif Fadhillah Lubis, “Prinsip Dasar …, hlm. 2.

tambahan atas pinjaman. Kedua, riba al-buyu‘ yang berhubungan dengan tambahan atas jual beli. Riba al-buyu‘ terdiri dari dua bentuk yaitu riba al-fad}l dan riba an-nasi’ah.32

Terkait pengharaman riba, maka tidak bisa disangkal bahwa semua bentuk riba dilarang mutlak dalam Al-Qur’an. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an secara tegas mengharamkan riba. Walaupun beberapa diantaranya yang diturunkan di Mekkah hanya mengindikasikan ketidaksenangan terhadap riba. Fuad Zein menelusuri karakteristik riba dalam Al-Qur’an. Dengan kajiannya tersimpulkan bahwa jika kembali kepada pangkal persoalan larangan riba, maka “tambahan” tidak mempunyai makna apa-apa. Sebaliknya, ketidakadilan adalah hal yang pertentangan dengan tujuan penetapan prinsip ekonomi Islam. Karenanya menurut Zein, bahwa illat larangan riba seharusnya “zulm/kesengsaraan” bukan “tambahan”.33

Di Indonesia, pengharaman riba telah ditetapkan ditetapkan melalui Fatwa MUI pada bulan Januari 2004. Berdasarkan Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004, dinyatakan bahwa riba adalah tambahan (ziya>dah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut riba nasi’ah.34

32

Muhammad Arif Fadhillah Lubis, “Prinsip Dasar…, hlm. 5.

33

Ibid., hlm. 6-7.

34

Para ulama telah berketetapan bahwa riba bukanlah sebuah perintah agama, melainkan juga merupakan bagian integral dari ekonomi Islam yang mencakup etos, tujuan, dan nilai-nilai di dalamnya. Dan dalam kaitannya dengan sistem keuangan syariah, jelaslah bahwa dalam sistem keuangan ini sedikitpun tidak membenarkan apalagi menganjurkan riba. Tegasnya, hakikat pelarangan riba dalam Islam merupakan suatu penolakan resiko finansial tambahan yang ditetapkan dalam transaksi uang maupun jual beli yang dibebankan pada satu pihak saja, sedangkan pihak lain dijamin keuntungannya. Inilah kezaliman (z}ulm) yang terdapat pada riba yang oleh Islam tegas dilarang.35

c. Pelarangan Garar dan Maysir

Garar diartikan oleh ulama fikih sebagai ketidaktahuan akan akibat suatu perkara (transaksi), atau ketidakjelasan antara baik dengan buruk. Sedangkan maysir, maka dalam bahasa Arab maysir identik dengan kata qimar. Maysir mengacu pada perolehan kekayaan secara mudah atau perolehan harta berdasarkan peluang, entah dengan mengambil hak orang lain, atau tidak.36

d. Jujur dan Amanah

Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Kejujuran tidak akan melekat pada diri seseorang yang tidak

35 Muhammad Arif Fadhillah Lubis, “Prinsip Dasar…, hlm. 7.

memiliki nilai keimanan yang kuat. Salah satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah yaitu penipuan. Dalam dunia bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria sebenarnya, bahkan menyembunyikan cacat yang bisa mengurang nilai obyek transaksi.37

Dokumen terkait