• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini membahas mengenai pengertian analisis narasi, pengertian novel, prinsip-prinsip novel, dan sistem kepercayaan, nilai budaya, bahasa, relasi antar agama dan budaya, konflik antar budaya dan agama.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini membahas mengenai gambaran umum novel Edensor karya Andrea Hirata mencakup biografi Andrea Hirata, karya-karya Andrea Hirata, serta sinopsis tentang Novel Edensor.

BAB IV ANALISIS DATA

Hasil penelitian ini membahas mengenai temuan data dan pembahasan yang mencakup karya sastra sebagai media pertarungan antar budaya dan analisis narasi Tzvetan Todorov dalam Novel Edensor karya Andrea Hirata dilihat dari tokoh dan alur ceritanya.

Kesimpulan dan saran dari penulis mengenai hal-hal yang telah dibahas penulis dalam skripsi ini.

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Komunikasi Antar Budaya dalam Rangkaian Teori

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, sehingga untuk bisa terhubung dengan manusia lainnya manusia membutuhkan komunikasi. Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi.1

1. Pengertian Komunikasi Antar Budaya

Budaya menampakkan diri, dalam pola-pola bahasa dan bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku, gaya berkomunikasi. Artinya budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan orang menyandi pesan. Budaya merupakan

1 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, cetakan ke-1, h. 14-15

landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beragam pula praktik-praktik komunikasi.2

Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lain. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan di sandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain.3 Komunikasi antar budaya, komunikasi antar orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik maupun perbedaan sosio ekonomi).4

Komunikasi antar budaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

Guo Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negoisasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.5

2 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, cetakan

ke-1, h. 19-20

3 Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2010, cetakan ke-12, h. 20

4 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya Satu Perspektif Multidimensi, h. 13

5

Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cetakan ke 3, h. 9-11

Edward B. Tylor berpendapat, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Parsudi Suparlan secara lebih spesifik menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan, atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Durkheim yang menyatakan bahwa fungsi sosial agama adalah mendukung dan melestarikan masyarakat yang sudah ada. Agama dipandang sebagai sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai titik referensi bagi seluruh realitas. Yoachim Wach lebih mempertegas, bahwa pengaruh agama terhadap budaya manusia tergantung pada pemikiran manusia terhadap Tuhan.6

Bahasa cenderung dianggap sebagai sesuatu yang biasa, maka mungkin tidak begitu jelas bagi kita bahwa bahasa juga merupakan suatu sistem yang memungkinkan kita untuk mengutarakan keprihatinan, kepercayaan, dan pengertian dalam bentuk lambang yang dapat dipahami dan ditafsirkan oleh orang lain.

6

Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011), h. 32-35

Jadi dengan perantara bahasa, pengertian yang bersifat abstrak dapat disimpan didalam alam pikiran manusia, yang kemudian dapat diinformasikan kepada manusia lain. Artinya manusia dapat mengembangkan kemampuannya untuk berpikir simbolik, yaitu menggunakan pengertian-pengertian yang abstrak dengan alat bahasa. Manusia dapat berbicara, mengembangkan kapasitasnya untuk inovasi, dan berinteraksi dalam masyarakatnya dengan bahasa.7

2. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya

Unsur-unsur yang terdapat dalam komunikasi antar agama dan budaya meliputi:

a. Sistem Kepercayaan, Nilai, dan Sikap

Sistem kepercayaan merupakan norma dan prinsip-prinsip yang ada dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang bersangkutan dalam berhubungan dengan yang ghaib.8

Kehidupan beragama merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti berdoa, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari

7

Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cetakan ke-1, h. 66-68

8 Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: PT Raja Grafindo

individu dan masyarakat yang mempercayainya. Kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya.9

Agama sangat bervariasi dalam perannya di alam semesta ini dan cara-cara manusia berhubungan dengan agama tersebut. Agama kepercayaan juga dapat mengatur moral manusia melakukan atau melanggar moral. Pada abad ke-19 sistem kepercayaan bentuk agama manusia terdahulu ada kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan terhadap roh, hantu, dahan pohon raksasa, dan jenis kepercayaan lainnya dan animatisme yaitu suatu kepercayaan terhadap adanya kekuatan lebih roh.10

Menurut Ninian Smart, Tylor tidak segan-segan menyatakan bahwa bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme. Teori ini timbul atas dua hal. Pertama, adanya dua hal yang nampak yakni hidup dan mati, bahwa kehidupan diakibatkan oleh kekuatan yang berada diluar dirinya. Kedua, adanya peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada ditempat lain pada waktu tidur, yakni jiwanya sendiri. Tylor memperkenalkan istilah animisme untuk menyebut semua bentuk kepercayaan dalam makhluk-makhluk berjiwa. Animisme tampaknya bersifat universal, terdapat dalam semua agama, bukan pada orang-orang primitif saja,

9

Yusron Razak dan Ervan Nurtawaban, Antropologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 15-46

10

Roger M. Keesing, Antropologi Budaya suatu perspektif Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1981), h. 92

meskipun penggunaan populer dari istilah itu sering dikaitkan dengan agama-agama primitif atau masyarakat kesukuan.

Presiden de Brosses, menyatakan bahwa kepercayaan (agama)

berasal dari „fetisisme‟, yakni pemujaan terhadap benda-benda mati dan binatang-binatang oleh orang-orang Negro Pantai Afrika Barat, kemudian berkembang menjadi „politeisme‟ dan akhirnya menjadi monoteisme yang

menggambarkan teori ruh dan teori jiwa. Menurut teori tersebut, semua pengetahuan manusia datang melalui indra yakni sentuhan yang memberikan kesan yang paling mendalam tentang kenyataan, dan demikian pula halnya dengan agama „tiada kepercayaan sebelum pengindraan‟. Sedangkan sesuatu yang tidak dapat diraba seperti matahari

dan langit memberikan ide kepada manusia tentang infinite (tak terbatas) dan juga melengkapi materi ketuhanan. Namun, bagi Max Muller, tidak semestinya agama dimulai dengan mempertuhankan benda-benda alam, tetapi benda-benda itu memberikan perasaan adanya infinite dan bertindak sebagai simbol darinya.11

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Maka, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme

11

untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial.12

Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi pengembangan dan isi sikap. Sikap dapat didefinisikan sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap dipelajari dalam suatu konteks budaya, lingkungan akan turut membentuk sikap untuk merespon perilaku.13

b. Pandangan hidup

Pandangan dunia berkaitan dengan orientasi suatu budaya terhadap hal-hal seperti Tuhan, kemanusiaan, alam semesta, dan masalah-masalah filosofis lainnya yang berkaitan dengan makhluk hidup. Pandangan dunia mampu membantu seseorang untuk mengetahui posisi dan tingkatannya di alam semesta. Pandangan dunia begitu kompleks, sehingga sulit untuk dilihat dalam suatu interaksi antarbudaya.

Pandangan dunia sangat mempengaruhi budaya, dampaknya tak terlihat dalam hal-hal yang tampak nyata dan remeh seperti pakaian, isyarat, dan perbendaharaan kata. Pandangan dunia memengaruhi kepercayaan, nilai, sikap, penggunaan waktu, dan banyak aspek budaya lainnya.

12

Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cetakan ke-1, h. 28

13

Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), cetakan ke-12, h. 27

c. Organisasi Sosial

Cara suatu budaya dalam mengorganisasikan dirinya dan lembaga-lembaganya juga memengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana anggota suatu budaya tersebut berkomunikasi. Keluarga dan sekolah merupakan dua lembaga yang paling penting dalam mengembangkan perilaku dan sikap anak dalam memelihara budaya.

Keluarga meskipun organisasi sosial terkecil dalam suatu budaya, namun mempunyai peranan terpenting dalam mengembangkan kehidupan anak sampai dewasa nantinya. Sekolah juga organisasi sosial yang penting. Sekolah diberi tanggung jawab besar untuk mewariskan dan memelihara suatu budaya. Sekolah merupakan penyambung penting yang menghubungkan masa lalu dan juga masa depan.14

3. Relasi antar Agama dengan Budaya

Agama dalam pengertian “Addien”, sumbernya adalah wahyu dari

Tuhan.Sedang kebudayaan sumbernya dari manusia. Tuhan mengutus Rasul untuk menyampaikan agama kepada umat dengan perantara malaikat. Tuhan mewahyukan firman-firman-Nya di dalam kitab suci.

Prof. H. A. Gibb menulis dalam bukunya: “Wither Islam”, Islam

adalah lebih daripada suatu cara-cara peribadatan saja, tetapi merupakan suatu kebudayaan dan peradaban yang lengkap. Untuk memberikan

14

gambaran bahwa Islam itu agama yang lengkap sebagai dasar sumber kebudayaan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an:

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menjadikan kamu laki-laki dan perempuan. Dan Kami menjadikan kamu bergolong-golong (bersuku-suku) supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya yang paling mulia di

antara kamu ialah yang paling bertaqwa”. (QS. Al Hujurat: 13)15

Menurut Liliweri hubungan dan komunikasi antar agama dapat ditinjau dari dua dimensi, yakni:

1) Pemahaman bersama antara semua pihak yang berhubungan dan berkomunikasi tentang tema tugas dan fungsi universal dan internal agama.

2) Penampilan atau atraksi nilai dan norma serta ajaran agama-agama yang dapat dinilai melalui perilaku para pemeluknya.16

Pendekatan komunikasi antarbudaya terhadap realitas hubungan antar agama. Pertama, komunikasi antarbudaya dari pandangan sosiologi komunikasi membahas peranan agama dan kelompok keagamaan dalam proses pembudayaan dan pembudidayaan transformasi nilai dan norma agama dari suatu kelompok dalam suatu masyarakat. Kedua, kelompok keagamaan dan bahkan agama sekalipun dapat dipandang sebagai satu etnik yang tetap mempertahankan sistem norma dan nilai sehingga

15

Joko Tri Prasetya, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), cetakan ke 3, h. 47-49

16

menimbulkan kesan agama bersifat „eksklusif‟, „tertutup‟, sehingga tentu

ada tatanan yang mengatur cara seseorang menjadi anggota suatu agama.17

Hubungan kebudayaan dan agama, dalam konteks ini agama dipandang sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun budaya. Agama, dan juga sistem kepercayaan lainnya, seringkali terintegrasi dengan kebudayaan.

Hubungan antar dua budaya dijembatani oleh perilaku-perilaku komunikasi antar administrator yang mewakili suatu budaya dan orang-orang yang mewakili budaya lain. Bila komunikasi mereka efektif, maka saling pengertian tumbuh yang diikuti dengan kerja sama.18

B. Gegar Budaya dalam Komunikasi antar Budaya

Gegar budaya sering dialami banyak orang yang berpindah dari satu budaya ke budaya lain, atau bisa berpindah secara geografis yang didalamnya terdapat perbedaan budaya. Gegar budaya merupakan fenomena umum bagi kalangan urban yang menuntut kesanggupan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Gegar budaya merupakan akibat tak terhindarkan dari kontak antar budaya kaum migrant dengan masyarakat pribumi.

17

Ibid, h. 152-153

18 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar Budaya Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cetakan ke-1, h. 26

1. Pengertian Gegar Budaya

Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau lingkungan baru yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke luar negeri. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial. Tanda-tanda tersebut meliputi cara yang dilakukan dalam mengendalikan diri sendiri dalam menghadapi situasi sehari-hari, seperti kapan berjabat tangan, dan apa yang harus dilakukan ketika bertemu orang. Petunjuk ini yang mungkin dalam bentuk isyarat-isyarat, kebiasaan atau norma yang diperoleh sejak kecil. Begitu pula aspek budaya lainnya seperti bahasa dan kepercayaan yang dianut. Semua manusia bergantung pada petunjuk kepercayaannya.19

Furnham dan Bochner mengatakan bahwa gegar budaya adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan tersebut.

Definisi gegar budaya pada mulanya cenderung pada kondisi gangguan mental. Bowlby menggambarkan kondisi ini sama dengan kesedihan, berduka cita dan kehilangan. Bedanya dalam lingkup gegar budaya individu merasa kehilangan relasi, objek atau pendeknya kehilangan kulturnya.

19

Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2010, cetakan ke-12, h. 174

Gegar budaya atau dalam istilah lain disebut kejutan budaya, mengacu pada reaksi psikologis yang dialami seseorang karena berada di tengah suatu kultur yang sangat berbeda dengan kulturnya sendiri.

Dengan demikian, esensi gegar budaya adalah perbedaan budaya seseorang (individu) dengan budaya baru di mana ia berinteraksi. Untuk mengatasi gegar budaya memerlukan adaptasi yang cukup mendalam sehingga keterasingan yang dialami tidak akan berlangsung lama.20

Bila seseorang memasuki lingkungan baru atau budaya asing, hampir semua petunjuk hilang. Seseorang akan kehilangan pegangan sehingga mengalami frustasi dan kecemasan. Biasanya orang yang mengalami frustasi dan kecemasan akan menolak lingkungan yang membuat dirinya tidak nyaman dan menganggap adat kebiasaan pribumi itu buruk karena adat kebiasaan pribumi menyebabkan merasa tidak nyaman. Hal ini merupakan tanda bahwa orang tersebut sedang menderita gegar budaya. Fase lain dari gegar budaya adalah penyesalan meninggalkan kampung halaman. Lingkungan kampung halaman terasa demikian penting. Semua masalah dan kesulitan yang dihadapi menjadi terlupakan dan hanya hal-hal menyenangkan di kampung halamanlah yang diingat.

Seseorang mengalami gegar budaya dengan pengaruh yang berbeda-beda. Meskipun terdapat juga orang yang tidak dapat tinggal di negeri asing. Namun mereka yang telah melihat orang-orang yang mengalami gegar budaya

20

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Jala Permata, 2008), cetakan ke 1, h. 163-165

dan berhasil menyesuaikan diri dapat mengetahui langkah-langkah dalam melewati proses tersebut.21

2. Faktor Pemicu Perilaku Gegar Budaya

Menurut para antropolog, gegar budaya diawali oleh krisis identitas, dimana krisis identitas ini dapat menimpa siapapun ketika ia melakukan migrasi. Migrasi di sisni tidak saja dilihat secara geografis, tetapi lebih ditekankan kepada migrasi budaya ke budaya asing yang seringkali melumpuhkan peran, identitas, bahkan harga diri seseorang. Bahasa, kebiasaan dan polah tingkah laku yang berfungsi dalam budaya asal, tiba-tiba menjadi tidak berguna. Secara psikologis, kejutan budaya adalah gejala gangguan jiwa yang dihubungkan dengan konflik-konflik budaya.

Menurut Dayakisni, beberapa faktor yang menjadi pemicu gegar budaya adalah:

a. Kehilangan cues atau tanda-tanda yang dikenalnya. Padahal cues adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tanda-tanda, gerakan bagian-bagian tubuh, ekspresi wajah ataupun kebiasaan-kebiasaan yang dapat menceritakan kepada seseorang bagaimana sebaiknya bertindak dalam situasi-situasi tertentu.

b. Putusnya komunikasi antar pribadi baik pada tingkat yang disadari maupun tak disadari yang mengarahkan pada frustasi dan kecemasan. Halangan bahasa adalah penyebab jelas dari gangguan-gangguan ini.

21

c. Krisis identitas, dengan pergi ke luar negeri seseorang akan kembali mengevaluasi gambaran tentang dirinya. 22

3. Tingkat-tingkat Culture Shock (u-curve)

a. Fase Optimistic

Fase ini berlangsung dari beberapa hari atau beberapa minggu hingga enam bulan. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru.

b. Masalah Cultural

Dalam fase ini masalah dalam lingkungan baru mulai berkembang. Masalah ini muncul karena adanya berbagai kesulitan seperti, kesulitan bahasa, kesulitan transportasi, kesulitan berbelanja dan fakta bahwa orang pribumi tidak menghiraukan kesulitan tersebut. Oleh karenanya, akan timbul sifat agresif, permusuhan, mudah marah, frustasi, dan mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air.

c. Fase Recovery

Bila sudah berhasil memperoleh pengetahuan bahasa dan mengenal budaya barunya, maka ia secara bertahap membuka jalan kedalam lingkungan yang baru. Biasanya pada tahap ini pendatang bersikap positif terhadap lingkungan barunya.

d. Fase Penyesuaian

Pendatang mulai dapat menyesuaikan diri dengan budaya barunya (nilai-nilai, adat khusus, pola komunikasi, keyakinan, dan lain-lain).

22

Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Jala Permata, 2008), cetakan ke 1, hal 163-165

Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati tanpa merasa cemas, meskipun kadang-kadang akan mengalami ketegangan sosial.23

4. Mengatasi Gegar Budaya

Gegar budaya perlu diwaspadai agar seseorang mampu dengan cepat mengatasinya. Karena jika seseorang mengalami gegar budaya, maka aktivitasnya akan terganggu dan mengalami depresi yang meningkat.

Ada dua cara untuk mengatasi atau mengurangi gegar budaya:

Pertama, membantunya beradaptasi dengan kultur baru. Proses adaptasi ini bisa mengikuti teori U. Teori ini berpendapat bahwa orang-orang yang menyeberang kekultur lain akan mengalami tiga fase penyesuaian, yakni pada awalnya timbul kegembiraan dan optimisme, kemudian diikuti oleh frustasi, depresi dan kebingungan, dan pada akhirnya muncul adaptasi atau penyesuaian. Model ini dinamakan pseudo medical.

Kedua, cara menghadapi gegar budaya dapat mengikuti model culture

learning sebagaimana yang digagas oleh Furnham dan Bochner. Inti model ini adalah individu hanya memerlukan untuk belajar dan beradaptasi terhadap sifat-sifat pokok dari masyarakat baru sehingga adanya perubahan. Namun demikian, menurut Furnham dan Bochner, bahwa untuk menyesuaikan terhadap kultur baru, individu tidak perlu menjadikan kultur baru itu sebagai bagian dari dirinya sehingga seolah-olah mengembangkan dua kultur. Tetapi

23

Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2010, cetakan ke-12, h. 175-176

ketika telah kembali ketempat asal, dapat membuang hal-hal yang telah dipelajarinya.24

C. Konsep Analisis Narasi Tzvetan Todorov

Narasi merupakan suatu bentuk wacana atau teks yang menceritakan kembali suatu peristiwa sehingga seolah-olah pembaca melihat atau mengalami peristiwa itu sendiri. Jadi narasi adalah wacana yang menggambarkan dengan sejelas-jelasnya peristiwa yang terjadi. Dalam narasi ada bagian yang mengawali narasi, ada bagian perkembangan dan ada bagian yang mengakhiri cerita tersebut. Sehingga ada keseimbangan yang menandai kapan narasi dimulai dan kapan berakhir.25

Menurut Gerald Prince narasi merupakan representasi dari satu atau lebih peristiwa nyata atau fiktif yang dikomunikasikan oleh satu, dua, atau beberapa narrator untuk satu, dua, atau beberapa naratee. Sedangkan menurut Porter Abbot narasi merupakan representasi dari peristiwa-peristiwa, memasukkan cerita dan wacana naratif, di mana cerita adalah peristiwa-peristiwa atau rangkaian peristiwa (tindakan) dan wacana naratif adalah peristiwa sebagaimana ditampilkan.

Dari definisi para ahli diatas dapat disimpulkan, narasi adalah representasi atau rangkaian dari peristiwa-peristiwa. Oleh karena itu, sebuah teks baru bisa

24

Ibid, h. 168-169 25

Eriyanto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), cetakan ke-1, h. 46

disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa peristiwa rangkaian dari peristiwa.26

Narasi muncul pertama sebagai hakikat, karena peristwa dan tindakan adalah hakikat isi cerita yang temporal dan dramatik, sedangkan deskripsi tampil sebagai tambahan dan bersifat hiasan. Oposisi narasi dengan wacana membedakan antara penceritaan yang murni yang didalamnya tak seorangpun berbicara dan penceritaan yang didalamnya kita sadar atas orang yang sedang berbicara. Meskipun transparan dan tidak bermedianya sebuah naratif mungkin saja muncul, namun tanda-tanda sebuah pikiran yang menimbang jarang tidak hadir.

Menurut Todorov, narasi adalah apa yang dikatakan, karenanya mempunyai urutan kronologis, motif, plot, dan hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa. Menurut Todorov suatu narasi mempunyai struktur dari awal hingga akhir. Narasi dimulai dari adanya keseimbangan yang kemudian terganggu oleh

Dokumen terkait