• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.1 Analisis Kesalahan Berbahasa

Ditemukan dua pendapat dari ahli bahasa tentang kesalahan dan kekeliru-an. Menurut Corder (via Baradja, 1990: 94), kesalahan (error) adalah pe-nyimpangan berbahasa yang sifatnya sistematis, konsisten, dan menggambarkan kemampuan siswa pada tahap tertentu. Sedangkan kekeliruan (mistake) adalah penyimpangan-penyimpangan yang tidak sistematis seperti kekeliruan ucapan karena faktor keletihan, emosi, dan sebagainya.

Menurut Tarigan (1988: 75-76) kesalahan lebih disebabkan oleh faktor kompetensi. Artinya, siswa belum memahami sistem linguistik bahasa yang di-gunakan. Kesalahan biasanya terjadi secara konsisten dan dapat berlangsung lama jika tidak diperbaiki. Perbaikan yang dapat dilakukan guru misalnya melalui peng-ajaran remedial, latihan praktik, dan sebagainya. Jika tahap pemahaman siswa akan sistem bahasa yang digunakan ternyata kurang, kesalahan sering terjadi dan kesalahan akan berkurang jika tahap pemahaman semakin meningkat. Kekeliruan

pada umumnya disebabkan oleh faktor performansi. Keterbatasan dalam meng-ingat sesuatu atau kelupaan menyebabkan kekeliruan dalam melafalkan bunyi bahasa, kata, urutan kata, tekanan kata atau kalimat, dan sebagainya. Kekeliruan dapat diperbaiki oleh siswa apabila lebih sadar atau memusatkan perhatian. Siswa sebenarnya sudah mengetahui sistem linguistik bahasa yang digunakan, namun karena sesuatu hal dia lupa akan sistem tersebut. Kelupaan ini biasanya tidak lama, karena itu pula, kekeliruan itu sendiri tidak bersifat lama. Dari dua pendapat di atas diambil pendapat Tarigan tentang kesalahan dan pendapat Corder (via Baradja) tentang kekeliruan, karena masing-masing tepat untuk dijadikan dasar teori.

Untuk memperhitungkan kesalahan yang dilakukan siswa, diperlukan suatu analisis kesalahan berbahasa. Ellis (via Tarigan, 1988: 170) mendefinisikan analisis kesalahan berbahasa sebagai “suatu prosedur yang digunakan para peneliti dan para guru, yang mencakup pengumpulan sampel bahasa pelajar, pengenalan kesalahan yang terdapat pada sampel tersebut, pendeskripsian kesalahan, peng-klasifikasiannya berdasarkan sebab-sebabnya yang telah dihipotesiskan, serta pengevaluasian keseriusannya”. Pateda (1989: 32) mengemukakan bahwa analisis kesalahan berbahasa merupakan suatu teknik untuk mengidentifikasi, meng-klasifikasi, dan menginterprestasi kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pem-belajar yang sedang pem-belajar bahasa kedua secara sistematis berdasarkan teori dan prosedur linguistik.

2.2.2 Daerah Kesalahan Berbahasa

Pateda (1989: 51-61), menyebutkan empat daerah kesalahan berbahasa : 1. Daerah Kesalahan Fonologis

Kesalahan ini berkaitan dengan pelafalan dan penulisan bunyi bahasa. Daerah kesalahan ini meliputi pemakaian huruf kapital, penulisan kata, dan tanda baca.

2. Daerah Kesalahan Morfologis

Kesalahan bidang morfologis berkaitan dengan tata bentuk kata. Dalam bahasa Indonesia kesalahan bidang morfologi meliputi derivasi, diksi, konta-minasi, dan pleonasme.

3. Daerah Kesalahan Sintaktis

Kesalahan sintaktis berhubungan dengan kalimat dan berkaitan dengan daerah morfologi karena kalimat berunsurkan kata-kata. Oleh karena itu, kesalah-an ini mencakup (1) kalimat ykesalah-ang berstruktur tidak baku, (2) kalimat ykesalah-ang ambigu, (3) kalimat yang tidak jelas, (4) diksi yang tidak tepat dalam membentuk kalimat, (5) kontaminasi kalimat, (6) koherensi, (7) kalimat mubazir, (8) kata se-rapan yang digunakan dalam kalimat, dan (9) logika kalimat.

4. Daerah Kesalahan Semantis

Kesalahan semantik berhubungan dengan studi tentang makna. Makna ber-hubungan dengan bayangan imajinasi kita tentang sesuatu, apakah benda, peris-tiwa, proses atau abstraksi sesuatu.

Tarigan (1988: 198-200) mengemukakan empat daerah kesalahan berbahasa: 1. Kesalahan Fonologis

Kesalahan fonologis meliputi dua jenis kesalahan yaitu kesalahan ucapan dan kesalahan ejaan. Kesalahan ucapan adalah kesalahan mengucapkan kata sehingga menyimpang dari ucapan baku atau bahkan menimbulkan perbedaan makna. Kesalahan ejaan adalah kesalahan menuliskan kata atau kesalahan menggunakan tanda baca.

2. Kesalahan Morfologis

Kesalahan morfologis adalah kesalahan memakai bahasa disebabkan salah memilih afiks, salah menggunakan kata ulang, salah menyusun kata majemuk, dan salah memilih bentuk kata.

3. Kesalahan Sintaktis

Kesalahan sintaktis adalah kesalahan atau penyimpangan struktur frasa, klausa atau kalimat serta ketidaktepatan pemakaian partikel.

4. Kesalahan Leksikon

Kesalahan leksikon adalah kesalahan memakai kata yang tidak atau kurang tepat.

Penelitian ini hanya berfokus pada kesalahan sintaksis, khususnya peng-gunaan kalimat. Jadi, daerah kesalahan berbahasa lainnya tidak dibahas. Teori yang digunakan lebih berfokus pada pendapat Tarigan karena teori kesalahan sintaktis dibagi dengan tepat yaitu frasa, klausa atau kalimat serta ketidaktepatan pemakaian partikel. Sedangkan teori tentang kesalahan sintaktis yang

dikemuka-kan oleh Pateda, kurang tepat. Misalnya, menurut Pateda kesalahan sintaktis men-cakup kesalahan koherensi (yang seharusnya masuk pada analisis wacana).

2.2.3 Pengertian Kalimat

Jika seseorang menggunakan ragam tulisan untuk mengungkapkan pendapatnya, kalimat yang digunakan dalam ragam tulisan harus lebih cermat sifatnya. Empat pendapat berikut dapat memberikan gambaran apa yang dimaksud dengan kalimat. Kridalaksana (1993: 92) mengemukakan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa.

Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, yang mempunyai pola intonasi akhir dan yang terdiri dari klausa (Cook 1971: 39-40; Elson dan Pickett, 1969: 82viaTarigan, 1985: 8).

Ramlan (2001: 23) mengemukakan bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Pengertian kalimat juga diungkapkan oleh Alwi (2003: 311) yaitu satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud tulis, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda seru (!), atau tanda tanya.

Dari beberapa pendapat di atas, pendapat yang akan digunakan yaitu pendapat yang diungkapkan oleh Alwi. Beliau mendefinisikan kalimat secara lengkap karena diwujudkan pada bahasa lisan dan bahasa tulis.

2.2.4 Kalimat Efektif

Konsep kalimat efektif dikenal dalam hubungan fungsi kalimat selaku alat komunikasi. Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung dengan sempurna. Kalimat yang efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran si penerima (pembaca), persis seperti apa yang disampaikan (Razak, 1985:2).

Menurut Badudu (1989: 129) sebuah kalimat dikatakan efektif bila men-capai sasarannya dengan baik sebagai alat komunikasi. Kalimat efektif haruslah memenuhi syarat sebagai kalimat yang baik: strukturnya teratur, kata yang di-gunakan mendukung makna secara tepat, dan hubungan antarbagiannya logis.

2.2.5 Unsur-unsur Kalimat

Menurut Alwi (2003: 312-313) klausa merupakan satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata, atau lebih, yang mengandung unsur predikasi. Kalimat dalam banyak hal tidak berbeda dari klausa. Baik kalimat maupun klausa merupakan konstruksi sintaksis yang mengandung unsur predikasi. Dilihat dari segi struktur internalnya, kalimat dan klausa terdiri atas unsur predikat dan subjek dengan atau tanpa objek, pelengkap, atau keterangan.

Menurut Ramlan (2001: 80) klausa terdiri dari unsur-unsur fungsional yaitu S, P, O, PEL, dan Ket. Unsur fungsional yang cenderung selalu ada dalam klausa adalah P, unsur-unsur yang lain mungkin ada, mungkin juga tidak ada. Berdasarkan struktur internnya, klausa lengkap dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu klausa lengkap yang S-nya terletak di depan P (klausa lengkap

su-sun biasa), dan klausa yang S-nya terletak di belakang P (klausa lengkap susu-sun balik) (Ramlan, 2001: 124). Perbedaan klausa dan kalimat adalah bahwa klausa sebagai satuan gramatik terdiri dari S P (O) (PEL) (KET), namun belum me-ngandung intonasi yang lengkap sedangkan kalimat terdiri satu kata atau lebih dan sudah mengandung intonasi final atau selesai.

Menurut Alwi (2003: 326) terdapat lima unsur kalimat yaitu predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan. Predikat merupakan konsituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri dan, jika ada, konstituen objek, pelengkap, dan/ atau keterangan wajib di sebelah kanan. Abdul Chaer (1988: 377) mengemukakan bahwa subjek dan predikat merupakan unsur yang harus ada di dalam setiap kalimat, sedangkan unsur objek dan keterangan tidak harus selalu ada. Dari keempat pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam suatu kalimat unsur yang terpenting adalah subjek dan predikat.

Di bawah ini berturut-turut dibicarakan fungsi predikat, subjek, objek, pelengkap dan keterangan menurut pendapat Alwi (2003: 326-331).

2.2.5.1 Predikat

Predikat kalimat biasanya berupa frasa verbal atau frasa adjektival. Pada kalimat yang berpola SP, predikat dapat pula berupa frasa nominal, frasa numeral, atau frasa preposisional, di samping frasa verbal dan frasa adjektival. Perhatikan contoh :

a. Ayahnyaguru bahasa Inggris(P=N) b. Adiknyadua(P=FNum)

d. Diasedang tidur(P=FV)

e. Gadis itucantik sekali(P=FAdj)

2.2.5.2 Subjek

Subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting yang kedua setelah predikat. Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nominal, atau klausa seperti tampak pada contoh berikut :

a. Harimaubinatang liar. b. Anak itubelum makan.

Subjek sering juga berupa frasa verbal. Misalnya contoh berikut : a. Membangun gedung bertingkatmahal sekali.

b. Berjalan kakimenyehatkan badan.

Pada umumnya, subjek terletak di sebelah kiri predikat. Jika unsur subjek lebih panjang dibandingkan dengan unsur predikat, subjek dapat diletakkan di akhir kalimat seperti tampak pada contoh berikut :

a. Manusia yang mampu tinggal dalam kesendiriantidak banyak. b. Tidak banyakmanusia yang mampu tinggal dalam kesendirian.

Subjek pada kalimat imperatif adalah orang kedua atau orang pertama jamak dan biasanya tidak hadir. Perhatikan contoh :

a. Tolong (kamu) bersihkan meja ini. b. Mari (kita) makan.

Subjek pada kalimat aktif transitif akan menjadi pelengkap bila kalimat itu dipasifkan seperti tampak pada contoh berikut :

b. Kue saya dihabiskan (oleh)anak itu[Pel].

2.2.5.3 Objek

Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Letaknya selalu di belakang pre-dikat. Verba transitif biasanya ditandai oleh kehadiran afiks tertentu. Sufiks –kan dan–iserta prefiks–mengumumnya merupakan pem-bentuk verba transitif. Pada contoh berikutIcukmerupakan objek yang dapat dikenal dengan mudah oleh kehadiran verba transitif bersufiks–kan:menundukkan.

Contoh: Morten menundukkanIcuk.

Objek biasanya berupa nomina atau frasa nominal. Jika objek tergolong nomina, frasa nominal tak bernyawa, atau persona ketiga tunggal, nomina objek itu dapat diganti dengan pronominal –nya; dan jika berupa pronomina aku atau kamu(tunggal), bentuk–kudan–mudapat digunakan. Perhatikan contoh :

(1) a. Adi mengunjungiPak Rustam. b Adi mengunjunginya.

(2) a. Saya ingin menemuikamu/-mu. b. Ibu mengasihiaku/-ku.

Selain satuan berupa nomina dan frasa nominal, konstituen objek dapat pula klausa , perhatikan contoh :

Pemerintah mengumumkan (bahwa) harga BBM akan naik.

Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika kalimat itu dipasifkan, contohnya :

b. Ruangan saya[S] dibersihkan (oleh) pembantu.

2.2.5.4 Pelengkap

Baik objek maupun pelengkap sering berwujud nomina, dan keduanya sering menduduki tempat yang sama, yakni di belakang verba. Perbedaannya ialah objek selalu terdapat dalam klausa yang dapat dipasifkan.

Perhatikan kalimat berikut :

a. Dia mendagangkanbarang-barang elektronikdi Glodok. b. Dia berdagangbarang-barang elektronikdi Glodok.

Pada kedua contoh di atas tampak bahwabarang-barang elektronikadalah frasa nominal dan berdiri di belakang verbamendagangkan danberdagang. Akan tetapi, pada kalimat (a) frasa nominal itu dinamakanobjek, sedangkan pada (b) disebut pelengkap, yang juga dinamakan komplemen. Pelengkap biasanya berupa frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa preposisional, atau klausa. Pelengkap tidak dapat diganti dengan –nya kecuali dalam kombinasi pre-posisi selaindi,ke,dari, danakan.

2.2.5.5 Keterangan

Keterangan merupakan fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letaknya. Keterangan dapat berada di akhir, di awal, dan bahkan di tengah kalimat. Konstituen keterangan biasanya berupa frasa nominal, frasa preposisional, atau frasa adverbial.

Perhatikan contoh :

a. Dia memotong rambutnya.

c. Dia memotong rambutnyadengan gunting. d. Dia memotong rambutnyakemarin.

Unsur di kamar, dengan gunting, dan kemarin merupakan keterangan yang sifatnya manasuka.

Fungsi keterangan dapat pula diisi oleh klausa berikut:

a. Dia memotong rambutnya sebelum dia mendapat peringatan dari sekolah.

b. Dia memotong rambutnyasegera setelah dia diterima bekerja di bank. Makna keterangan ditentukan oleh perpaduan makna unsur-unsurnya. Dengan demikian, keterangandi kamarmengandung makna tempat, dengan gun-tingmengandung makna alat,kemarinmenyatakan makna waktu, dansebelum dia mendapat peringatan dari sekolah serta segera setelah dia diterima bekerja di bankjuga mengandung makna waktu.

2.2.6 Jenis Kesalahan Kalimat

Penelitian ini akan membahas jenis kesalahan kalimat berdasarkan unsur-unsurnya.

2.2.6.1 Kesalahan Unsur Predikat

Menurut Arifin (2001: 120-122) kalimat yang tidak mempunyai predikat terjadi, antara lain, akibat adanya keterangan subjek yang beruntun, kemudian ke-terangan itu diberi keke-terangan lagi sehingga penulisnya lupa bahwa kalimat yang dibuatnya itu belum lengkap, belum berpredikat, misalnya sebelum predikat ter-sebut dicantumkan katayangataudansehingga predikat kalimat menjadi hilang.

Perhatikan contoh berikut :

Objek wisata yang ada di daerah-daerah itu yang merupakan modal dasar atau barang dagangan yang harus kita kelola dan kita pasarkan dengan tujuan mendatangkan devisa.

Contoh kalimat di atas merupakan kalimat yang belum berpredikat. Kalimat akan menjadi berpredikat setelah katayangpada kelompok katayang me-rupakan modal dasar dibuang. Atau, kata yang kedua pada kelompok katayang harus kita kelola. Perbaikannya sebagai berikut :

Objek wisata yang ada di daerah-daerah itu merupakan modal dasar atau barang dagangan kita, yang harus kita kelola dan kita pasarkan dengan tujuan mendatangkan devisa.

2.2.6.2 Kesalahan Unsur Subjek

Arifin (2001: 116-119) kalimat yang subjeknya tidak jelas terdapat pada kalimat rancu (kacau), antara lain, kalimat yang berpredikatkan kata kerja aktif, tetapi sebjeknya didahului kata depan, atau pada kalimat pasif yang subjeknya di-awali kata depan. Kata depan yang sering mengdi-awali subjek, antara lain pada, di, dari, kepada, untuk, ke, bagi, dalam, sebagai, tentang, melalui, dengan, demi, ter-hadap, daripada, dan antara. Perhatikan contoh berikut :

Di Jakarta akan mengadakan pameran pembangunan selama bulan Agustus ini.

Contoh kalimat di atas merupakan contoh kalimat yang tidak bersubjek karena subjeknya didahului oleh kata depan. Jika kata depan di dalam kalimat-kalimat itu dipertahankan, hendaklah predikat kalimat-kalimat diubah menjadi verba pasif.

Dengan demikian, subjek kalimat akan muncul, tetapi letaknya di sebelah kanan verba. Perhatikan contoh berikut :

Di Jakarta diadakan pameran pembangunan selama bulan Agustus tahun ini.

Cara lain untuk memperbaiki kalimat tak bersubjek agar menjadi kalimat yang efektif adalah dengan menghadirkan subjeknya atau pelaku perbuatan di da-lam kalimat. Dengan demikian, kata depan tetap mengawali kalimat dan predikat kalimat tetap berupa kata kerja aktif transitif.

Di Jakarta Pemda DKI akan mengadakan pameran pembangunan selama bulan Agustus tahun ini.

Contoh lain kalimat yang tidak bersubjek :

Pada upacara itu dihadiri oleh para menteri.

Contoh kalimat di atas ini tidak ada subjeknya. Di sini terlihat bahwa penggunaan kata depan pada awal kalimat itu tidak tepat. Di depan subjek kalimat diletakkan kata depan sehingga fungsi subjek itu berubah menjadi keterangan, dalam hal ini keterangan waktu. Kalimat itu menjadi betul bila katapadadi depan kalimat itu dihilangkan: Upacara itu dihadiri oleh para menteri. Atau, bila kita menggunakan katapadadi depan kataupacara, maka predikat kalimat itu bukan-lahdihadiri, melainkanhadirdan kataolehdihilangkan saja. Kalimat itu menjadi:

Pada upacara itu hadir para menteri.

Pada umumnya subjek berupa nomina, frasa nominal, atau klausa (Alwi, 2003: 316). Kesalahan unsur subjek dapat juga terjadi pada contoh berikut.

Kalimat di atas merupakan kalimat yang tidak bersubjek. Kalimat di atas akan menjadi lengkap bila:

Sejak kemarin anak itu belum makan.

2.2.6.3 Kesalahan Unsur Objek

Arifin (2001: 139-140) kaidah bahasa Indonesia menghendaki agar dalam kalimat aktif transitif, yaitu kalimat aktif yang mempunyai objek, kata kerja transitif tidak perlu diikuti oleh kata depan sebagai pengantar objek. Antara pre-dikat dan objek tidak perlu disisipkan kata depan, seperti atas, tentang, dari, pada,bagi,untuk, ataudaripadakarena kata depan tersebut selalu menandai suatu keterangan. Perhatikan contoh berikut.

a. Para pemimpin perusahaan itu sedang membahas tentang gaji pegawainya.

b. Mereka membicarakan daripada kehendak rakyat, terutama rakyat kecil.

Penggunaan kata depan tentang antara membahas dan gaji pegawai, kata depan daripada jelas tidak tepat karena kata depan tersebut menyisip antara pre-dikat dan objek kalimat. Jika terdapat kata depan di sana, bagian kalimt yang ber-fungsi sebagai objek kalimat akan berubah ber-fungsi menjadi keterangan. Perhatikan perbaikan berikut.

a. Para pemimpin perusahaan itu sedang membahas gaji pegawai perusahaannya.

Objek biasanya berupa frasa nomina atau frasa nominal. Jika objek ter-golong nomina, frasa nominal tak bernyawa, atau persona ketiga tunggal, nomina objek itu dapat diganti dengan pronominal –nya; dan jika berupa pronomina aku ataukamu(tunggal), bentuk–kudan–mudapat digunakan. Kesalahan unsur objek terdapat pada contoh berikut ini.

Aku akan menemani sampai hari Minggu.

Kalimat di atas tidak memiliki unsur objek. Kekurangan unsur objek mengakibatkan kekaburan siapa yang dimaksud. Kalimat tersebut akan menjadi lengkap apabila ada penambahan unsur objek di belakang predikat. Kalimat yang benar adalah :

Aku akan menemanimu sampai hari Minggu.

2.2.6.4 Kesalahan Unsur Pelengkap

Alwi (2003: 329) pelengkap biasanya berupa frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa preposisional, atau klausa. Pelengkap tidak dapat diganti dengan –nya kecuali dalam kombinasi preposisi selain di, ke, dari , dan akan. Pelengkap terdapat dalam klausa yang tidak dapat diubah menjadi bentuk pasif atau mungkin juga terdapat dalam klausa pasif. Ketidakhadiran unsur pelengkap akan membuat kalimat menjadi rancu. Kesalahan unsur pelengkap terdapat pada contoh berikut ini.

Orang itu selalu berbuat.

Kalimat di atas merupakan kalimat yang tidak memiliki pelengkap. Kekurangan unsur pelengkap mengakibatkan kekaburan makna yaitu hal apa

yang diperbuat. Kalimat tersebut akan menjadi lengkap apabila ada penambahan unsur pelengkap di belakang unsur predikat.

Perbaikannya adalah:

Orang itu selalu berbuat kebaikan.

2.2.6.5 Kesalahan Unsur Keterangan

Ramlan (2001: 85-86) keterangan pada umumnya mempunyai letak yang bebas. Hanya, sudah tentu tidak mungkin terletak di antara P dan O dan di antara P dan PEL karena O dan PEL boleh dikatakan selalu menduduki tempat langsung di belakang P, kecuali apabila O iti terdiri dari frase yang panjang. Contoh ke-salahan keterangan yang disisipkan antara P dan O:

Wiradinata membersihkandengan selampai putihkaca matanya. Perbaikannya:

a. Dengan selampai putihWiradinata membersihkan kaca matanya. b. Wiradinatadengan selampai putihmembersihkan kaca matanya.

2.2.7 Karangan Narasi

Mengarang atau menulis boleh dikatakan keterampilan yang paling sukar dibanding dengan keterampilan berbahasa lainnya. Apabila seorang pelajar meng-gunakan bahasa kedua/asing secara lisan, seorang penutur asli dapat mengerti dan menerima lafal yang kurang sempurna, atau ungkapan yang kurang gramatikal. Apabila pelajar itu menggunakan bahasa kedua/asing itu secara tulisan, maka pe-nutur asli yang membacanya akan semakin keras dalam menilai tulisan yang banyak kesalahan ejaan/tatabahasanya. Meskipun makna yang disampaikan itu

su-dah cukup terang, dan tulisannya rapi, suatu karangan tertulis dituntut harus baik dan sedapat mungkin tanpa kesalahan karena dianggap mencerminkan tingkat kependidikan penulis karangan itu (Nababan, 1988:160-161).

Mengarang adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang meng-ungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami. Hasil perwujudan seseorang dalam bahasa tulis yang dapat di-baca dan dimengerti oleh pemdi-baca disebut dengan karangan. Salah satu karangan yang dihasilkan berupa karangan narasi yaitu bentuk pengungkapan yang me-nyampaikan sesuatu peristiwa/pengalaman dalam kerangka urutan waktu kepada pembaca dengan maksud untuk meninggalkan kesan tentang perubahan atau gerak sesuatu dari pangkal awal sampai titik akhir (The Liang Gie 1992: 17-18).

Pendapat yang hampir sama tentang narasi diungkapkan oleh Keraf (2001: 136) yaitu suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau, dapat juga dirumuskan dengan cara lain: narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya ke-pada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Dari dua pendapat di atas (ten-tang pengertian narasi) pendapat Keraf lebih tepat dan jelas untuk dijadikan dasar teori dalam penelitian. Sebab selain menjelaskan narasi, Keraf membagi narasi secara lebih spesifik lagi yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Salah satu dari narasi ini akan dipilih oleh peneliti dalam penelitian.

2.2.7.1 Jenis-jenis Narasi

Menurut Keraf (2001: 136-139) ada dua jenis narasi yaitu narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris pertama-tama bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca se-sudah membaca kisah tersebut. Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peris-tiwa yang disajikan sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pem-baca. Di bawah ini akan dikemukakan secara singkat perbedaan antara narasi ekspositoris dan narasi sugestif.

Narasi Ekspositoris Narasi Sugestif

1. Memperluas pengetahuan. 1. Menimbulkan daya khayal. 2. Menyampaikan informasi mengenai

suatu kejadian.

2. Menyampaikan suatu makna atau suatu amanat yang tersirat.

3. Didasarkan pada penalaran untuk mencapai kesepakatan rasional.

Dokumen terkait