• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Teori Konflik

Teori konflik sebenarnya suatu sikap kritis terhadap Marxisme yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan tentang elit dominan, pengaturan kelas dan manajemen pekerja. Keadaan permasalahan masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan yang melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi

(imperatively coordinated association) dan mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan.17

Menurut teoritisi konflik bahwasanya masyarakat disatukan oleh” ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Otoritas .Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada struktur social yang lebih luas.Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam suatu masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisi konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat.karena memusatkan perhatian kepada struktur bersekala luas seperti peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti yang memusarkan perhatiannya tingkat individual. Dahrendorf, menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara inperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas.Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi, karena itu hanya ada dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu Ada sebuah konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf , yakni kepentingan. Kelompok yang berada diatas dan yang berada sibawah.Didifinisikan berdasarkan kepentingan bersama.Untuk tujuan analisis sosiologis tentang kelompok konflik konflik kelompok, perlu menganut orientasi structural dari tindakan pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap orientasi kesadaran (Subjektif) tampaknya dapat dibenarkan untuk

17

mendiskripsikan ini sebagai kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang diasosiasikan dengan posisi social tidak mengandung rimifikasi atau implikasi psikologis ini adalah termasuk dlam level analisi Sosiologis .Dalam setiap asosiasi , orang yang berbeda pada posisi dominant berupaya mempertahankan Status Qou, sedangkan orang yang berbeda berada dalam posisi subordianat berupaya bagaimana bisa menciptakan perubahan.adapun konflik kepentingan akan selalu ada sepanjang waktu.

Konflik kepentingan ini tidak perlu selalu disadari oleh pihak subordinat dan superordinat.karena individu tidak perlu selalu menginternalisasikan harapan itu atau tidak perlu menyadari dalam rangka bertindak untuk sesuai dengan harapan itu.Karena harapan yang disadari ini menurut Dahrendorf, disebut kepentingan tersembunyi.Kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi yang telah disadari.Dahrendorf melihat analisi hubungan antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata.ini sebagai tugas utama teori konflik.Karena walau bagaimanapun actor tidak perlu menyadari kepentingan mereka untuk bertindak sesuaidengan kepentingan itu.

Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan (authority), dimana

beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain.

Dasar Teori Konflik adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut.Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini.Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat.Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan.Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat.Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi.Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial.Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, didalamnya teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama.Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”.Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi).Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.

Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.

Teori Konflik yang dikemukakan juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik.Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik.Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.Selain itu juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya.Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian.18

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan

Perlu diketahui salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur.Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat.

18 Ralf Dahrendorf,.”The modern social conflict: an essay on the politics of liberty”. University of California Press, 1990. Hal 34

melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional.Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya dalam pengukuhan sebagai kelompok.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.

1.6.2. Peraturan Pertanahan/Agraria di Indonesia

Konsep dasar tentang kasus-kasus pertanahan platform dari filosofis konstitusional tercermin dalam perumusan sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selanjutnya kebijakan dan regulasi di bidang pertanahan ditegakkan pada landasan konstitusi negara yaitu pada pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peraturan Pelaksanaan dari ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria ( Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104) atau disebut juga Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), serta dijabarkan dalam berbagai peraturan organik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden ( Kepres), Peraturan Mentri/Pejabat dan lain-lain.19

Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada subjek hukum diatur dalam pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang terdiri dari: 1) Hak Milik, 2) Hak Guna Usaha, 3) Hak Guna Bangunan, 4) Hak Pakai, 5) Hak Sewa, 6) Hak Membuka Tanah, 7) Hak Memungut Hasil Hutan, 8) Hak-hak lain serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak lain misalnya Hak Pengelolaan, sedangkan Hak yang sifatnya sementara

19

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus pertanahan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), cet I, hal. 35.

adalah Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Tuntutan Masyarakat atas areal perkebunan PT. Smart Cooporation adalah ganti rugi atas tanah rakyat yang telah diambil alih dan dilakukan penggusuran atas tanah-tanah rakyat tersebut oleh Perkebunan Padang Halaban ditahun 1969/1970 seluas 3000 Ha. Selain itu adanya tuntutan masyarakat atas dasr Hak Ulayat Masyarakat Adat dan masyarakat lainnya menjadi salah satu faktor penyebab kasus pertanahan di Sumatera Utara, termasuk di Perkebunan Padang Halaban sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tunas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit sejalan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa tanah perkebunan. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan tersebut antara lain sebgai berikut:

1. Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang

Pemakaian Tanah oleh Rakyat

2. Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah yang berhak atau kuasanya

4. Pedoman Menteri Agraria Nomor I Tahun 1960 Tentang

Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur

5. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria Nomor II Tahun 1963 Tentang Penyelesaian Tanah Jaluran

6. Surat Keputusan Badan Pekerja Panitia Landreform Kabupaten Labuhan Batu Nomor 2/K/II/12/1968 Tentang penyelesaian persoalan tanah-tanah garapan yang berada diatas areal Perkebunan Padang Halaban

7. Surat Keputusan Kepala Agraria Daerah Kabupaten Labuhan Batu Nomor 94/II/12/LR-69 Tentang Pembayaran Bantuan Ganti Rugi atas tanah Garapan yang terletak di atas areal Perkebunan Padang Halaban

8. Peraturan Menteri Pertaniaan dan Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat

9. SK BPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

10.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

11.PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,dan Hak Pakai atas tanah

1.6.3. Hak Azasi Manusia (HAM)

Istilah HAM pada hakekatnya memiliki pengertian yang hampir sama, meskipun masing-masing negara menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Misalnya, HAM dalam bahasa inggris dikenal sebagai human rights atau fundamental rights, sedangkan bahasa perancis disebut

sebagai des droits de I’Homme.Hak asasi manusia dalam hal ini merupakan seperangkat hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dinjunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik, dan hak-hak dasar lain yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain.20

Dalam salah satu dokumen yang diterbitkan oleh PBB, dapat ditemukan defenisi HAM yang lebih singkat, sebagaimana dikutip Bahrudin Lopa dalam menegaskan, yaitu: “Human Rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”. Dalam konteks ini , HAM dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat (inherent), yang secara alamiah manusia tidak dapat hidup tanpa adanya hak-hak tersebut. Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Maha Pencipta sebagai hak kodrat.Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup

20

dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrat yang tidak bias terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.21

• Undang-Undang Dasar 1945, yang diuraikan dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama, yaitu dinyatakan tentang kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia maka oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.

Berbagai instrument Hak asasi Manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia, yakni:

• Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia, yang diuraikan dalam lampiran ketetapan ini berupa naskah HAM pada angka I huruf D butir I menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

• Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 Ayat (1) bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Lalu Menurut pasal 1 Ayat (6) dijelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapat atau

21

Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Penerbit Tim ICCE UIN,2003,hal. 130.

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.22

Menurut ajaran Hak Asasi Manusia, penyelenggaraan Negara sesungguhnya memiliki kewajiban untuk :

(i) menghargai hak asasi manusia rakyatnya;

(ii) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; dan

(iii) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya.

Kewajiban pertama, untuk menghargai, mensyaratkan penyelenggara negara sendiri tidak melangggar hak-hak asasi rakyatnya.Hal ini mencakup tindakan negara untuk memberlakukan hukum-hukum baru yang berlaku yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjaminnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa lampau pada masa kini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan pelanggaran hak di masa lampau itu.Kewajiban kedua, untuk melindungi, mempersyaratkan penyelenggara negara mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak bukan negara dengan menegakkan aturan-aturan hukum yang diberlakukan pada pelanggar itu.Kewajiban ketiga, untuk memenuhi, mempersyaratkan penyelenggara negara mengkaji ulang prioritas kerjanya, membuat perubahan-perubahan aturan, administrasi,

22

anggaran, peradilan dan hal yang diperlukan lainnya untuk mewujudkan hak-hak tertentu rakyatnya.23

Menurut Hadari Nawawi

1.7 Metodologi Penelitian

Dokumen terkait