• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN

2.3 PT. Smart Cooporation. Tbk

2.3.1 Sejarah Perusahaan PT. Smart Cooporation. Tbk

PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk didirikan berdasarkan Akta No. 67 tanggal 18 Juni 1962 yang dibuat oleh Raden Kadiman, S.H, notaris di Jakarta. Akta pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia (sekarang Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia) dalam Surat Keputusan No.J.A.5/115/3 tanggal 29 Agustus 1963 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 83 tanggal 15 Oktober 1963, Tambahan No. 570.Pada tahun 1970, Perusahaan memperoleh izin dari Menteri Negara Ekonomi, Keuangan dan Industri berdasarkan Surat Keputusan No. Kep/41/MEKUIN/7/1970 tanggal 15 Juli 1970 untuk mengubah status Perusahaan menjadi Penanaman Modal Asing (PMA) dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1 tahun 1967. Selanjutnya, berdasarkan Surat Persetujuan Tetap Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 06/V/1985 tanggal 28 Maret 1985, status Perusahaan berubah dari Penanaman Modal Asing menjadi Penanaman Modal Dalam Negeri. Anggaran Dasar Perusahaan telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir berdasarkan Akta No. 30 tanggal 7 Juli 2010 yang dibuat oleh Linda Herawati, S.H. notaries di Jakarta, tentang Perubahan masa jabatan Dewan Komisaris dan Direksi, semula 3 (Tiga) tahun menjadi 5 (lima) tahun.

Perubahan tersebut telah diberitahukan, diterima dan dicatat dalam database Administrasi Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik

Indonesia berdasarkan Surat Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar No. AHU-AH.01.10-18251 Tanggal 20 Juli 2010.Perusahaan dan entitas anak (selanjutnya dinyatakan sebagai “Grup”) didirikan dan menjalankan usahanya di Indonesia.Ruang lingkup kegiatan usaha Grup meliputi pengembangan perkebunan, pertanian, perdagangan, pengolahan hasil perkebunan, serta bidang jasa pengelolaan dan penelitian yang berhubungan dengan usaha. Hasil produksi Grup meliputi hasil olahan kelapa sawit antara lain minyak goring, lemak nabati dan margarine serta minyak kelapa sawit (CPO), inti sawit (PK), minyak inti sawit (PKO), cocoa butter substitute (CBS), fatty acids, glycerine, dan sabun.

2.3.2 Profil Bisnis Perusahaan

Perusahaan PT. Smart Cooporation. Tbk memiliki visi dan misi

sebagai berikut

Visi

Kami bertujuan untuk menjadi yang terbaik untuk menjadi perusahaan terbesar konsumen berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dan paling menguntungkan.

Misi:

Melebihi standar kualitas tertinggi

Mempertahankan tingkat tertinggi keberlanjutan dan integritas

2.3.3 Operasional Kinerja Perusahaan

PT SMART Tbk telah berhasil mencapai kinerja yang sangat baik. Pendapatan usaha naik hampir dua kali lipat menjadi Rp 16,09 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 8,08 triliun, melebihi target sebesar 74%, diikuti oleh meningkatnya laba bersih menjadi Rp 1,05 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp 989 milyar. Kinerja ini dapat dicapai seiring dengan meningkatnya produksi minyak kelapa sawit (“CPO”) dan harga jual rata-rata yang lebih tinggi. Produksi tandan buah segar mencetak rekor baru sebesar hampir 2,1 juta ton, hanya meningkat 3% dibandingkan dengan tahun 2007, terutama karena produksi masih terpengaruh oleh dampak dari musim kemarau di tahun 2006, yang mengakibatkan “penurunan biologis” dari tanaman-tanaman kami. Produksi CPO dan inti sawit naik menjadi 535 ribu ton dan 119 ribu ton, masing-masing meningkat sebesar 5% dan 7% dibandingkan dengan tahun lalu.Selama tahun berjalan, harga CPO bergerak sejalan dengan harga minyak bumi. Setelah mencapai rekor tertinggi sebesar lebih dari US$ 1.300 per ton pada bulan Maret 2008, harga CPO (FOB Belawan) mulai mengalami penurunan dan menyentuh titik terendah sebesar US$ 360 per ton di bulan Oktober 2008, menghasilkan harga rata-rata CPO sebesar US$ 872 per ton, lebih tinggi 22% dibandingkan dengan harga rata-rata tahun sebelumnya.

Pada akhir tahun 2008, jumlah aktiva Perseroan mencapai Rp 10,03 triliun dari sebelumnya Rp 8,06 triliun, terutama karena adanya perluasan perkebunan dan fasilitas-fasilitas pendukungnya, serta peningkatan modal kerja

yang terkait. Luas perkebunan kami meningkat menjadi 129.000 hektar, dengan adanya penanaman baru sekitar 3.600 hektar. Kami juga telah menyelesaikan beberapa proyek di Kalimantan, meliputi pabrik penyulingan berkapasitas 300.00 0 ton pertahun, pabrik pengolahan inti sawit berkapasitas 45.000 ton per tahun dan dua pabrik pengolahan minyak sawit dengan kapasitas sebesar 625.000 ton per tahun. P.T Smart yakin bahwa dengan memperkuat fasilitas pemrosesan kelapa sawit dan fasilitas bisnis hilir, maka akan dapat mengoptimalkan profitabilitas secara keseluruhan.

Pada tanggal 31 Desember 2008, rasio gearing kami masih tetap sehat dengan rasio pinjaman bersih terhadap ekuitas sebesar 0,39. Total kewajiban meningkat sebesar 16% disebabkan oleh bertambahnya pendanaan dari luar. Ekuitas Perseroan mencapai Rp 4,62 triliun pada tahun 2008, naik 31% dibandingkan dengan tahun lalu. Ekuitas ini telah memperhitungkan pembagian dividen pada tanggal 25 Juni 2008 terhadap laba tahun 2007 sebesar Rp 14 milyar. Untuk laba tahun 2008, kami akan mengusulkan pembagian dividen final sebesar Rp 180 per saham untuk disetujui oleh para pemegang saham pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan yang akan datang.

P.T SMART selalu berusaha memberikan produk berkualitas tinggi kepada para pelanggan, yang tercermindengan adanya pengakuan internasional atas produk produk kami.Pada bulan Desember 2008, dua pabrik penyulingan kami yang berlokasi di Medan dan Surabaya telah menerima akreditasi ISO 22000:2005, standar internasional untuk keamanan produk pangan.Komitmen kami juga mencakup penerapan praktek-praktek terbaik dalam tata kelola

perusahaan (”GCG”). Kami bekerja sama dengan Komite Audit kami dalam mengaplikasikan praktek-praktek tersebut dalam rangka memaksimalkan kontribusi GCG terhadap keberhasilan Perseroan. Sebagai bagian dari GCG, kami juga telah merevisi Anggaran Dasar Perseroan agar sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 yang baru. Saat ini, pergerakan harga CPO akan tetap tidak stabil karena terus dipengaruhi oleh harga minyak bumi dan kondisi ekonomi global yang penuh tantangan. Meskipun demikian, pada saat-saat seperti ini, konsumen akan cenderung memilih alternatif produk yang lebih murah, dan CPO sebagai minyak nabati yang termurah merupakan jawabannya. Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa prospek jangka panjang dari industri kelapa sawit akan tetap positif.

2.3.4 Struktur Organisasi P.T Smart Cooporation, Tbk30

No Name Company Position

1 Franky Oesman Widjaja Komisaris Utama

2 Muktar Widjaja Wakil Komisaris Utama

3 Simon Lim Wakil Komisaris Utama

4 Rachmad Gobel Wakil Komisaris Utama

5 Rafael Buhay Concepcion, Jr. Komisaris 6 Prof. DR. Teddy Pawitra Komisaris Independen 7 Hj. Ryani Soedirman Komisaris Independen 8 DR. Susiyati B. Hirawan Komisaris Independen

30

Data diperoleh dari situs resmi P.T SMART TBK

9 Jo Daud Dharsono Direktur Utama

10 Budi Wijana Wakil Direktur Utama

11 Edy Saputra Suradja Wakil Direktur Utama

12 H. Uminto Direktur

13 DR. Ir. Gianto Widjaja Direktur

14 Jimmy Pramono Direktur

15 Djanadi Bimo Prakoso Direktur

Sumber: Data diperoleh dari situs resmi PT. SMART TBK

Melihat hasil deskripsi dari profil penelitian yang telah peneliti uraikan bahwa Desa Padang Halaban merupakan masih salah satu desa yang tertinggal bila dilihat dari segi pendidikan di desa tersebut, masih minimnya pendidikan yang menghambat desa ini untuk maju dan yang menjadi faktor salah satu ketertinggalan didesa ini yaitu faktor ekonomi. Faktor ekonomi menjadi sumber pertama desa ini masih tertinggal, meskipun masyarakat desa rata-rata bermata pencaharian sebagai petani, tetapi banyak rakyat desa/petani yang masih juga tidak mempunyai lahan mereka sendiri.

Oleh karena itu inilah yang menjadi alasan utama perjuangan tani yang tergabung dalam kelompok masyarakat petani “Serikat Tani Padang Halaban” untuk merebut kembali tanah milik mereka yang diambil pihak P.T Smart. Dan pada bab selanjutnya peneliti akan uraikan lebih jelas tentang konflik yang terjadi di Desa Padang Halaban dan melihat pelanggaran HAM apa saja yang dialami oleh para petani di desa tersebut selama berlangsungnya pertikaian ini.

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II tentang profil lokasi penelitian, maka pada bab III ini peneliti akan mencoba menjelaskan jawaban dari rumusan peranyaan yang ada pada bab I yaitu mengenai sebab-sebab terjadinya konflik dan kekerasanyang dialami oleh pihak petani di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Peneliti akan membagi bab III kedalam tiga sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas tentang pesdeskripsian kronologi konflik yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara sesuai berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti. Sub-bab kedua, akan mencoba memaparkan bagaimana bentuk okupasi lahan yang dilakukan oleh PT. Smart Cooporation, Tbk, dan pada sub-bab ketiga, peneliti akan menganalisis kasus ini dengan mengunakan teori Konflik oleh Ralf Dahrendof dan menganalisis HAM yang terjadi di desa itu.

3.1 Asal Muasal Konflik Agraria Serikat Tani Padang Halaban (STPHL) di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan batu Utara.

Berdasarkan dari daa yang peneliti peroleh dan dari hasil wawancara atau diskusi yang dilakukan oleh peneliti kepada masyarakat setempat, seperti salah satunya adalah bapak ngatimin (67 tahun) dimana bapak ini merupakan salah satu

yang ikut dalam memperjuangkan tanah di desa mereka dan salah satu yang masih hidup pada zaman perjuangan tanah ini, yang mengatakan bahwa:

“Keadaan Desa Padang Halaban di duduki oleh Perkebunan Belanda bernama NV. Sumcana, setelah perkebunan ditutup maka buruh menggarap tanah-tanah, makan apa kalau gak garap tanah itu. Itulah sejarahnya.Pada tahun 1950-an, saya kurang ingat lagi, saya rasa masyarakat mulai garap tanahnya.”31

“Setelah kita merdeka, Terjadi Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, di Kopenhagen, Denmark.Beberapa tahun setelah perundingan tersebut, pengusaha Belanda yang meninggalkan perkebunan setelah diusir oleh Jepang dan Revolusi Agustus 1945, kembali masuk ke areal perkebunan. Kedatangan mereka bermaksud untuk merencanakan pembangunan perkebunan kembali. Hal ini bisa dibuktikan dengan usaha dari pemilik perusahaan menanyakan kepada penduduk di Panigoran, Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun seperti sebelum pengusaha Belanda pergi atau jika tidak bisa terlibat dalam pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki oleh masyarakat.”

Begitu juga ditambahkan bapak Solan (85 tahun) mencoba mendeskripsika n bahwa kronologi konflik yang di Desa Padang Halaman terjadi setelah pengaku an kedaulatan/kemerdekaan Republik Indonesia, beliau bercerita bahwa:

32

Awal mula konflik ini terjadi pada tahun tahun 1953/1954 tanah perkebunan Padang Halaban termasuk tanah konsesi yang dikelola oleh Perusahaan Belanda bernama NV.Sumcana. Perusahaan perkebunan tersebut menanami sayuran dan buah-buahan, lalu setelah dipanen, tanah tersebut dipergunakan oleh masyarakat dengan menanami tanaman palawija, padi, jagung,

31

Wawancara dengan bapak ngatimin di Desa Padang Halaban, di rumahnya, yang dilakukan pada 17 januari 2014

32

Wawancara dengan bapak solan di Desa Padang Halaban di Posko KTPH-s, yang dilakukan pada 29 desember 2013

rambutan, dan tanaman keras lainnya.Pada tahun 1953, delapan tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia yang pada masa itu masyarakat tergabung enam kampung/desa yaitu:

1. Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Padang Halaban

2. Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar

3. Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa

Sidodadi/Aek Korsik

4. Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong

5. Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Kampung Lalang

6. Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa

Sukadame/Panigoran

Bapak Ngatimin mengaakan tentang Kebun di Padang Halaban bahwa:

“Kami sebagai kaum tani sudah lama mengelola tanah ini, bingung kenapa kebon ini belum tutup, sedangkan di pusat saja sudah merah, tempat lain saja sudah pada tutup kenapa Padang Halaban belum.”33

Sering terjadinya penangkapan yang dilakukan oleh pihak-pihak militer kepada kaum tani di Padang Halaban, dan karena itu terbitlah Undang-undang Darurat

33

No. 8 Tahun 1954 yang salah satunya wujudnya adalah sekitar tahun 1956 diadakan pengadaan pendaftaran tanah oleh Kantor Reorganisasi Pemekaran Tanah Sumater Timur dan berkesimpulan tanah tersebut termasuk tanah yang dilindungi oleh Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 dimana member putusan bahwa untuk menetibkan tanah garapan rakyat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo menetapkan kepada masing-masing penggarap (per-KK) diberikan 1 Ha (10.000 m²) dan 1000 m² untuk pemukiman dan para penggarap menerima hasil keputusan tersebut. Pada tahun 1962 direalisasikanlah pemberian tanah tersebut kepada masyarakat Desa Padang Halaban sebanyak 100 KK, namun tanah yang diberikan hanya 5000 m² per-KK sedangkan sisanya seluas 6000 m² dijanjikan akan diberikan pada tahun 1963. Di samping itu masih ada penggarap sekitar 50 KK yang sama sekali belum menerima penampungan.

Hal ini diperkuat oleh Bapak Ngatimin, yang mengatakan bahwa:

“Status tanah itu milik petani kalau melihat Undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah, bukan rakyat yang ngeluarin undang itu tapi negara.Jadi, tanah itu menurut Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 milik petani. KRPT yang melaksanakan penggantian itu, tetapi kenyataannya hanya 5000 m², padahal pemerintah janji 11.000 m², itupun ada yang gak dapat, kalo Bapak dapat tanahnya. Tapi tanahnya diambil lagi pada zaman Orde Baru.Kebon ini tetap dibuka cuma bukan N.V Sumcana, tapi kebun Padang Halaban.Kemudian digerakkanlah lagi, kalau tidak salah ada 3 kali.”34

Setelah ditunggu beberapa lama namun tidak ada juga realisasi yang diberikan maka pada tahun 1964 lahan tersebut digarap kembali oleh masyarakat.Inilah yang menjadi sebab awal mula konflik yang terjadi di Desa

34

Wawancara dengan Bapak Ngatimin di Desa Padang Halaban di Rumahnya, yang dilakukan pada 18 Februari 2014

Padang Halaban. Dan pertengahan tahun 1964 adanya keinginan untuk menyelesaikan masalah garapan tersebut, dimana pada masa itu ketua kelompok dari Desa Padang Halaban berupaya menyampaikan surat permohonan yang dijanjikan bahwa sesuai surat Panitia Landreform Daerah Tingka II Labuhan Batu No. 2/K/II/12/1968 tanggal 8 Agustus 1968 sehingga discerning nama-nama penggarap yang berhak oleh pihak Kecamatan Aek Kuo, Kepala kepolisian ditambah dengan para kepala perkampungan setempat. Hal ini diperkuat dengan perkataaan Bapak Suratmin, yang mengatakan bahwa:

“…perundingan demi perundingan sehingga pada tahun 1954 dimunculkanlah Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 yang dimana unuk melindungi para petani. Karena ketemunya kesepakatan, maka ditandatanganilah dan disetujuilah surat keputusan tersebut. Sejak itu masyarakat ditentukan mendapatkan tanah 10.000 m² untuk lahan pertanian 1000 m² untuk tapak perumahan, jadi jumllah 11.000 m² per-KK dan ini diterima oleh petani. Kemudian pada tahun 1962 tanah ini terealisasi, tetapi tanah tersebut khususnya daerah Padang Halaban baru diberikan hanya 5000 m² dengan pengakuan Panitia Landreform maka pada tahun berikutnya akan terealisasi, yaitu tahun 1963. Tetapi faktanya tidak selesai juga.Tetapi keterlambatan penyelesaian peristiwa ini akhirnya pada tahun 1964 masyarakat sudah didata ulang, yaitu ada screening tahun 1964.”35

Dilakukannya hal ini namun juga belum mendapat realisasi tanah tersebut. Sehingga pada tahun 1965 garapan tersebut diambil alih/diktator secara paksa oleh pihak perkebunan kecuali lahan seluas 5000 m²yang sudah diberikan sebelumnya dengan alasan para penggarap dituduh sebagai anggota PKI.

35

Seperti ungkapan dari Bapak Solan bahwa:

“…tahun 1965 setelah screening, terjadi peristiwa G 30 S/PKI, tanah dan surat-surat kami diambil paksa sama tentara, jika kami tidak menyerahkan surat-surat itu kami dituduh penghianat negara dan di cap sebagai anggota PKI.”36

“… tahun 1966-1967 kampung-kampung dan tanah rakyat yang pada waktu itu diterima sebagian dirampas kembali oleh pihak PT. Smart Cooporation, Tbk.”

Pihak perusahaan dan pemerintah ketika itu beralasan bahwa tanah yang ada sudah diselesaikan kepada penduduk. Bapak Suratmin menjelaskan kembali bahwa:

37

Sehingga penduduk ketika berjumlah 100 KK berdiam diri melihat kondisi tersebut dengan merelakan secara terpaksa tanah yang diambil oleh pihak perusahaan.Bahkan diantara warga juga menjadi korban pembantaian dan penangkapan oleh aparat keamanan yang bekerjasama dengan komando aksi.38

36

Wawancara dengan Bapak Solan di Desa Padang Halaban di Rumahnya, yang dilakukan pada 15 Januari 2014

37

Wawancara dengan Bapak Suratmin di Desa Padang Halaban di Posko “Serikat Tani Padang Halaban” yang dilakukan pada 22 Desember 2013

38

Komando aksi adalah gabungan dari organisasi pemuda yang anti terhadap gerakan komunis. Mereka digunakan untuk membantu penangkapan dan pemebunuhan terhadap penduduk yang dituduh sebagai bagian dari PKI

3.2 Bentuk Okupasi Lahan dan Pelanggaran HAM oleh PT. Smart Cooporation, Tbk

Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dimana pihak-pihak yang berkonflik yaitu kelompok tani dengan pihak PT. Smart Cooporation, Tbk bahwa dengan penjelasan dari kronologi yang jelas peneliti paparkan di atas bahwa kita dapat melihat dimana adanya pemerintah yang abai terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya terutama keberlangsungan hidup petani di Desa Padang Halaban. Sebelum masuk kepada konflik agraria di Desa Padang Halaban, maka peneliti akan mencoba menjabarkan bagaimana konflik agraria menurut beberapa responden yang telah peneliti wawancarai.

Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Herdensi mengenai konflik agraria, yaitu :

“Konflik agraria dilihat dari sisi perjalanannya, seperi secara historis dari pra kolonial sebelum Belanda, Jepang, dll sudah muncul konflik agraria tetapi ruang lingkupnya ada di tataran desa, jadi masyarakat desa kemudian berkonflik dengan elit desa terutama kaum-kaum feudal yang memiliki/menguasai tanah. Tetapi pada masa colonial dan pasca colonial, semenjak adanya Undang-undang Agraria ( Agrarische Wet ) tahun 1870 yang dibuat oleh Belanda pada saat itu maka konflik agraria tidak lagi menjadi konflik internal desa yaitu terjadi antara masyarakat desa dengan komunias desa itu. Tetapi sudah menjadi konflik antara desa dengan komunitas luar, seperti Belanda yang memberikan konsesiyang begitu mudah

kepada pengusaha untuk mengakses tanah, dari sini secara mau tidak mau menegasikan hak petani atas tanah karena dalam Agrarische Wet 1870 ini menyatakan bahwa “setiap tanah yang hak kepemilikan nya tidak ada, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara.”Inilah celah yang digunakan Belanda untuk memberikan tanah secara de jure kepada para pengusaha-pengusaha, oleh karena pada masa , Jawa dan Sumatera merupakan daerah penghasil devisa terbesar bagi Belanda karena ada begitu banyak perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau, kelapa sawit, dll. Dan ternyata Agrarische Wet ini diubah oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960, Inilah yang dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, dan sangat disayangkan Undang-undang ini “tidak berlaku lama”, Undang-undang ini hanya berlaku pada 1960-1965 ini dikarenakan adanya pergantian regim kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana regim Orde Lama yang pro kepada rakyat dan regim Orde Baru pro kepada Investasi. Seperti pada tahun 1967 muncul Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, dimana inilah yang menjadi cikal bakal dari penegasian Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, ketika adanya Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dari sinilah konflik agrarian mulai memgemuka secara massif.”39

“Perspekif konflik agraria dengan perjuangan Serikat Petani Indonesia adalah dimana petani sudah tidak lagi menjadi orang yang berkuasa di lahannya sendiri, baik itu bercocok tanam, mengolah lahan, sampai pada membentuk pemasarannya sendiri karena pada prinsipnya secara Begitu juga yang diungkapkan Saudara Jean Ari Hasibuan selaku sekjend dari lembaga Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara mengungkapkan tentang konflik agraria, yaitu:

39

budaya muncul namanya “ agriculuture “ jadi budi daya pertanian sudah bergeser nilai dan muatannya. Petani tidak lagi berdiri sendiri untuk bias menguasai alat produksinya yaitu tanah. Namun disela-sela pemasaran terkait dengan sengketa agrarian, ternyata kondisi lebih parah lagi akibat dari perspektif pembangunan sejak zaman orde baru sampai revolusi hijau. Pembangunan pertanian di Indonesia ini berkibla terhadap spekulasi pasar atau pemenuhan-pemenuhan kebutuhan pasar dimana dalam artian tujuan-tujuan bertani itu yaitu karena adanya permintaan pasar sehingga mendorong proses produksi harus berjumlah besar dan satu sisi juga hal ini membuat kondisi sengketa atau konflik agraria semakin banyak bermunculan, seperti perusahaan-perusahaan perkebunan, baik itu pihak swasta maupun milik negara sehingga ada tuntutan besar untuk dapa menguasai lahan yaitu “harus” mengenyampingkan para petani khususnya yang ada di Sumatera Utara untuk keluar dari lahannya dan jika imgin terlibat dalam proses pertanian selanjutnya mereka tidak bias membentuk sistem pertanian sesuai dengan apa mau mereka sehingga bias beralih fungsi seperti buruh tani. Ini dikarenakan, akibat dari kekuatan untuk mendorong perkebunan swasta maupun milik negara itu memakai kekuatan negara sehingga petani dipaksa untuk keluar dari lahannya sendiri, dipaksa untuk meninggalkan ala produksi seperti tanah mereka yang sudah sejak dulu mulai dari kakek nenek mereka yang bertempat tinggal dan menjadikan daerah tersebut dengan bercocok tanam untuk menjamin pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka sehari-hari mereka. Jadi, dalam satu sisi sudah berbeda, dimana dalam perspektif pemerintah pembangunan itu mendorong proses peningkatan produksi

Dokumen terkait