• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsep

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.28

Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena…suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.29

Menurut Neuman :

“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”30

28 H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21.

29 Malcom Walters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994, hal. 2, dalam H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Loc Cit..

30 W. L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991, hal. 20 dalam H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Loc Cit.

Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcom Walters, maka teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat memenuhi kriteria :

a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial. b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan

melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.

c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya.

d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya.

e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan.

f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri.

g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.31

Adapun teori yang digunakan dalam masalah ini adalah teori sistem dan untuk pemecahan masalah sisi substansi setiap sistem hukumnya digunakan teori keadilan, teori perlindungan hukum, dan teori Maqasid al-Syari’ah.

Menurut H.L.A. Hart hukum merupakan suatu sistem. Inti dari pemikirannya terletak pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery rules dan secondary

rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery rules dan

secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum.32

Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang pertama adalah primery rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan social (social rule), yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi. Pertama, adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. untuk tercipta kondisi yang demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek internal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota masyarakat itu merasakan bahwa aturan yang hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi perilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek eksternal).33

Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan eksternal yang dapat dilihat/memiliki sudut pandang masing-masing. Aturan menyatakan apa yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan ini juga sekaligus merupakan pernyataan

32Ibid, hal 90.

tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting.34

Dalam kaitan dengan waris anak luar kawin dapat dilihat dari kedudukan anak luar kawin itu sendiri, dimana dalam masyarakat ada suatu aturan bahwa untuk dapat melanjutkan keturunan orang harus menikah terlebih dahulu. Lahirnya keturunan diluar pernikahan yang sah tidak dapat diterima, dan anak tersebut tidak diakui sebagai anak sah dari orang yang membenihkannya. Ia tidak dapat memperoleh hak- haknya sebagaimana yang seharusnya ia terima jika ia sebagai anak sah seperti hak waris, hak memakai nama keluarga (geslachtsnaam), pemberian izin perkawinan, dan kekuasaan orang tua. Dengan demikian, perbuatan memiiki anak diluar kawin itu merupakan peyimpangan dari suatu aturan yang telah ada dalam masyarakat.

Metode yang kedua apa yang disebut Hart secondary rules, yang dapat disebut aturan tentang aturan (rules about rules) yang apabila dirinci meliputi :

a. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognition).

b. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change).

c. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksakan/ditegakkan (rules of adjudication).35

Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of adjudication lebih efisien, rules of change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.

34Ibid.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan anak luar kawin khususnya hak waris anak luar kawin tersebut adalah terkait dengan kebijakan atau aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah maupun aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Apakah aturan tersebut sudah cukup melindungi hak-hak anak luar kawin terutama yang terkait dengan waris.

Teori yang selanjutnya adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa

maqashid al-syariat berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan

ilat ditetapkannya suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan

nash dalam suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari’atkan hukum tersebut.

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu :

a. Memelihara agama (Hifzh al-Din). b. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs). c. Memelihara akal (Hifzh al-Aql). d. Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl).

e. Memelihara harta (Hifzh al-Mal).36

Dikenal dengan maqashidut tasry’. Dapat dilihat, bahwa memelihara keturunan merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Anak merupakan anugerah yang sangat besar dari Tuhan, oleh karena itu hendaknya juga dilahirkan dalam ikatan suci perkawinan. Namun, dalam kenyataan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kelahiran anak diluar perkawinan. Ditinjau dari tingkat kebutuhannya, memelihara keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq

kepadanya.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah

atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan.37

Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.38 Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics.

36 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Penerbit Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal. 128.

37 Ibid, hal. 130.

38 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1995 hal. 196.

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku

nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.39

Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.40

Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua,

39 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 24.

yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.41

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.42

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimana pun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.43

Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang

41Ibid.

42Ibid, hal 25.

didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.44

Kaitan teori ini terhadap anak luar kawin adalah bahwasanya bagaimanapun anak luar kawin juga adalah darah daging orang yang membenihkannya dan karena anak yang dilahirkan itu tidak tergantung atau bertanggung jawab atas dosa ibu bapaknya.

Hal ini tegas dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari berbunyi sebagai berikut yang artinya:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak seorang pun yang dilahirkan melainkan dalam keadaan suci, kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan anak itu Yahudi dan Nasrani, seperti lahirnya seekor hewan, apakah pernah kamu dapati terpotong telinganya (kecacatan dalam tubuhnya), kecuali kamu sendiri yang memotongnya (mencacatnya).”45

44Ibid, hal 26.

45 Al-Kirmany, Syarah Shahih Bukhary, penerbit Al-Bahriyah Al-Misriah, Kairo, 1937, hal. 76, dalam makalah M.Yusuf Ishaq, Pernikahan Wanita Hamil karena Zina menurut Hukum Islam dan

Anak diluar kawin tidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibu bapaknya yang bertanggung jawab dihadapan Tuhan nanti atas perbuatan yang terkutuk itu, sedangkan anak tersebut tidak berbeda kedudukannya seperti anak yang sah dalam hubungan terutama ketakwaan terhadap Tuhan. Sehingga dengan demikian sudah sewajarnya anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran untuk memperoleh hak-hak yang sama seperti anak sah dalam perkawinan atau sekurang-kurangnya dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga dalam hal warisan hendaknya juga diberikan kepadanya bagian warisan walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah.

Teori yang berikutnya adalah teori perlindungan yang dikemukakan oleh Suhardjo yaitu teori pengayoman,46 dengan kata lain teori pengayoman adalah menerapkan fungsi hukum untuk melindungi hak-hak anak melalui pengakuan dan pengesahan. Dalam hal ini hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Melindungi secara aktif artinya memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk terus menerus memanusiakan dirinya. Hukum bertujuan menciptakan kondisi atau lingkungan hidup masyarakat yang manusiawi dan memungkinkan proses-proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi, bakat, dan kemampuan manusia secara utuh, termasuk tujuan untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti, kemanusiaan serta cita-cita yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan

melindungi secara pasif artinya memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan, sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tenteram.

Perlindungan terhadap hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.” Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan :

(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.

(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam Pasal 24 juga disebutkan :

“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.” Dan terakhir dalam Pasal 25 disebutkan :

“Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.”

Hak-hak anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52, yaitu :

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Kemudian dalam Pasal 57 disebutkan :

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tuanya atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali

berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.

Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan hak-hak anak. Didalam mukadimah deklarasi ini tersirat antara lain bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik buat anak-anak.

Secara garis besar, deklarasi memuat asas tentang hak-hak anak yaitu hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan, dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dalam mendapatkan

pendidikan, dan dalam hal terjadi kecelakan atau malapetaka, mereka termasuk orang yang pertama memperoleh perlindungan serta pertolongan, memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan (anak), kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.

Secara garis besar, maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu :

a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi perlindungan dalam : 1. Bidang hukum publik

2. Bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi antara lain : 1. Bidang sosial

2. Bidang kesehatan 3. Bidang pendidikan.47

Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis ini meliputi semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan

47 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 13.

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan berkuatan hukum. Dengan adanya perkawinan akan memberikan kejelasan status dan kedudukan anak yang dilahirkan. Jadi asal usul kelahiran seseorang tentunya sangat menentukan kehidupannya kelak, seperti halnya dengan status apakah dia terlahir sebagai anak sah atau anak diluar kawin. Dari perbedaan satus tersebut maka akan membedakan hak dan kedudukan anak sah dan anak luar kawin.

2. Konsepsi

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Dalam hukum perdata pengertian hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati sebagai akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.48

48 A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1.

R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum waris adalah :

“Hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban- kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”49

Dengan demikian maka mewaris, berarti menggantikan tempat seseorang yang meninggal (si pewaris) dalam hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan dalam hukum keluarga, kecuali beberapa hal yang disebut dalam pasal-pasal 257, 258, dan 270 KUH Perdata. Sebaliknya, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak termasuk disini. Jadi, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak menjadi warisan, yaitu :

1. Hak-hak yang bersifat pribadi, seperti : a. Hak pakai dan mendiami.

b. Vruchtgenot (Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak menikmati hasil atas harta kekayaan si anak) dari orang tua.

c. Hak-hak penuh sebagai buruh berdasarkan perjanjian kerja, tidak diwaris oleh ahli waris.

2. Tidak termasuk hoogstpersoonlijke rechten (Hak-hak yang sangat pribadi), dan juga tidak termasuk warisan adalah : hak vruchtgebruik (suatu hak kebendaan

49 R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, Hien Hoo Sing, Yogyakarta 1964, hal. 8.

untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula).50

Selanjutnya, Klassen-Eggens menunjuk bahwa ada pula hak dan kewajiban yang hanya berpindah secara terbatas, misalnya perijinan mengangkut barang, bahwa berakhirnya hak dan kewajiban karena kematian seseorang tidak menghalang- halangi (mengurangi) kewajiban memberikan perhitungan dan tanggung gugat yang berpindah kepada ahli waris, misalnya dalam hal eksekusi atau pemberian kuasa.51

3. Pembayaran asuransi jiwa. Pada umumnya pembayaran asuransi jiwa tidak termasuk warisan. Pensiun yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian kerja, lebih banyak dipandang sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda, sehingga hak itu dipandang diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke verbintenissen52 (suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum atau perikatan hukum tidak sempurna,

Dokumen terkait