PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN
ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN
HUKUM PERDATA BW
TESIS
Oleh :
FITRI ZAKIYAH 087011044
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM PERDATA BW
Nama : FITRI ZAKIYAH
Nomor Pokok : 087011044
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.) Ketua
(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.)(DR. T. Keizerina Devi A., S.H.,
CN.,M.Hum.)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.) (Prof. DR. Runtung, S.H., M.Hum.)
PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM PERDATA BW
Fitri Zakiyah*) dilahirkan diluar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, yang menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini hak waris anak luar kawin yang diakui tersebut. Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut.
Status hak waris anak luar kawin dalam KHI yaitu bahwa anak tersebut hanya berhak mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya demikian juga sebaliknya. Sedangkan, terhadap ayah biologisnya anak tersebut sama sekali tidak ada hubungan hukum sehingga tidak menimbulkan hubungan saling mewarisi. Mengenai besarnya bagiannya adalah sama sebagaimana ketentuan yang berlaku terhadap anak sah. Status hak waris anak luar kawin yang terdapat dalam BW baru timbul setelah adanya pengakuan dari laki-laki atau perempuan yang membenihkannya, sedangkan dengan keluarga ayah dan ibu yang mengakuinya baru timbul setelah adanya pengesahan. Namun, pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan tidaklah menimbulkan hak waris terhadap anak tersebut. Sedangkan, mengenai besarnya bagiannya adalah telah ditentukan porsinya sesuai dengan siapa ia bersama-sama mewaris, yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 863 BW.
THE COMPARISON RIGHTS HEIRLOOM STATUS OF EXTERNAL CHILD MARRY BETWEEN ISLAMIC LAW COMPILATION (KHI) WITH
CIVIL LAW of BW Fitri Zakiyah*)
DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.**) Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.**) DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.**)
Recently in society a lot of happened extramarital borne child case. Basically the child relation with men who make them and its family in family law field supposed no relation, so that in this case there is no hereditary law between both of them, this is in Islamic Law Compilation and also in Civil Code (Burgerlijk Wetboek). That thing push all law maker specially Civil Code (BW) make an confession institute, give effect of law to the child which included in this matter of rights heirloom status of external child marry confessed. But, problems exactly arise if the father not ready to to confess its child, how protection of law to the child.
Rights heirloom status of external child marry in KHI is that the child only heir entitled to from its mother and its mother family and so do on the contrary. While, to its father of the child him is not at all there is contractual terms so that do not generate relation in it’s inheriting each other. Concerning level of its shares is same as rule going into effect to valid child. Rights heirloom status of external child marry which there are in BW newly arise after existence of confession of woman or men who make them, while with father family and mother confessing it newly arise after existence of authentication. But, done confession as long as marriage is not generate heir rights to child. While, hitting the level of its shares is have been determined its portion as according to whom he together heir, that is as arranged at Section 863 BW.
There are statutory equation and difference about rights heirloom status of external child marry. Whether KHI and also civil law of BW each owning insuffiency and excess in the case of arrangement concerning external child marry this. But, basically KHI remain to more giving protection of law to the child. To all maker of regulation and enforcer of law, good in KHI and also Civil Law of BW shall again innovate regulation to be yielded by more coherent rule regarding confession of external child marry which also affect to rule of law regarding part of its heirloom.
Key :
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang
atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
syarat dalam menyelesaikan studi pada program studi Magister Kenotariatan Program
Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara, berkat rahmat dan karunia-Nya yang
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini
dengan judul PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN
ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM
PERDATA BW. Pemilihan judul ini didasari oleh rasa ketertarikan penulis terhadap
permasalahan perbandingan status hak waris anak luar kawin khususnya anak luar
kawin yang diakui oleh kedua orang tuanya yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Hukum Perdata BW.
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya
pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa
khususnya yang berada di lingkungan pendidikan hukum. Sebuah pepatah
mengatakan tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan penulisan tesis ini.
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Keluarga penulis tercinta, orang tua penulis yang telah merawat, mengasihi,
mendidik dan membesarkan serta memberikan tauladan kepada penulis tentang
arti kejujuran, kerja keras dan keberhasilan, yaitu ayahanda Drs. M. Tauhid
Mahmudy, M.A. dan Ibunda Dra. Kartini Ranta, Kakanda Husnalita, S.H.M.Kn.
dan abangda Anwar Basri S.H., abangda Jaya Setiawan dan isterinya Loli, Adikqu
Fakhrurrozi dan Risa, Adik Bungsuku Nizamil Fadli dan Ashfiya Nabilla Arrasuli,
serta kemenakan-kemenakanku yang lucu-lucu dan imut-imut Nabila Az-Zahra
dan Amira Zayana Putri.
2. Keluarga Besar Universitas Sumatera Utara terutama Fakultas Hukum :
a. Rektor USU : Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).
b. Dekan Fakultas Hukum : Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.
c. Ketua Program Magister Kenotariatan : Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H.,
M.S., C.N.
3. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen
Pembimbing :
c. DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.(yang telah membimbing penulis
guna menyelesaikan penulisan tesis ini).
4. Para Bapak dan Ibu Dosen Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai
tingkat Magister.
5. Seluruh staff biro pendidikan di Magister Kenotariatan yang telah banyak
memberikan bantuan kepada penulis selama ini.
6. Kepada sahabat-sahabatku di MKn yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas segala masukan dan bantuannya selama ini.
7. Kepada sahabat-sahabat setiaku Eci, Dara, Teteh, Ika, Taufik, Putri, Noy, Tias,
Heri, Surya, Ilmot, Mbot, Sute, Zaki, Nopan, Kubo yang selalu menemaniku disaat
susah dan senang.
Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang
diberiken mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari
sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.
Medan, Juli 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK………... i
ABSTRACT………... ii
KATA PENGANTAR………... iii
DAFTAR ISI……….... vii
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang………... 1
B. Perumusan Masalah……….. 14
C. Tujuan Penelitian……….. 14
D. Manfaat Penelitian………... 15
E. Keaslian Penelitian………... 16
F. Kerangka Teori dan Konsep………... 17
G. Metode Penelitian………... 37
1. Spesifikasi dan tipe penelitian………... 37
2. Prosedur pengumpulan bahan hukum………... 38
3. Pengolahan dan analisis bahan hukum………... 40
BAB II STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)……….. 41
A. Anak Luar Kawin dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)………... 41
2. Pengertian anak luar kawin dalam Islam………... 45
3. Status anak luar kawin dalam Islam………... 52
4. Asal usul anak dalam Kompilasi Hukum Islam………... 54
5. Pengesahan anak dalam hukum positif Indonesia………... 68
B. Status Hak Waris Anak Luar Kawin dalam Kompilasi Hukum Islam…... 71
BAB III STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM PERDATA BW……….... 85
A. Anak Luar Kawin dalam Hukum Perdata BW………... 85
1. Perkawinan dalam Hukum Perdata BW………... 85
2. Anak luar kawin dalam Hukum Perdata BW………. 88
a. Anak sah………... 88
b. Anak luar kawin………... 92
3. Pengakuan anak luar kawin………... 96
4. Kedudukan anak luar kawin yang diakui dalam hukum keluarga... 105
B. Status Hak waris anak luar kawin yang diakui dalam Hukum Perdata BW…… 120
BAB IV PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM PERDATA BW………... 136
B.Kelebihan dan Kelemahan... 145
C. Perlindungan Hukum terhadap Anak………... 147
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 157
A.Kesimpulan………. 157
B.Saran………... 159
PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM PERDATA BW
Fitri Zakiyah*) dilahirkan diluar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, yang menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini hak waris anak luar kawin yang diakui tersebut. Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut.
Status hak waris anak luar kawin dalam KHI yaitu bahwa anak tersebut hanya berhak mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya demikian juga sebaliknya. Sedangkan, terhadap ayah biologisnya anak tersebut sama sekali tidak ada hubungan hukum sehingga tidak menimbulkan hubungan saling mewarisi. Mengenai besarnya bagiannya adalah sama sebagaimana ketentuan yang berlaku terhadap anak sah. Status hak waris anak luar kawin yang terdapat dalam BW baru timbul setelah adanya pengakuan dari laki-laki atau perempuan yang membenihkannya, sedangkan dengan keluarga ayah dan ibu yang mengakuinya baru timbul setelah adanya pengesahan. Namun, pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan tidaklah menimbulkan hak waris terhadap anak tersebut. Sedangkan, mengenai besarnya bagiannya adalah telah ditentukan porsinya sesuai dengan siapa ia bersama-sama mewaris, yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 863 BW.
THE COMPARISON RIGHTS HEIRLOOM STATUS OF EXTERNAL CHILD MARRY BETWEEN ISLAMIC LAW COMPILATION (KHI) WITH
CIVIL LAW of BW Fitri Zakiyah*)
DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.**) Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.**) DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.**)
Recently in society a lot of happened extramarital borne child case. Basically the child relation with men who make them and its family in family law field supposed no relation, so that in this case there is no hereditary law between both of them, this is in Islamic Law Compilation and also in Civil Code (Burgerlijk Wetboek). That thing push all law maker specially Civil Code (BW) make an confession institute, give effect of law to the child which included in this matter of rights heirloom status of external child marry confessed. But, problems exactly arise if the father not ready to to confess its child, how protection of law to the child.
Rights heirloom status of external child marry in KHI is that the child only heir entitled to from its mother and its mother family and so do on the contrary. While, to its father of the child him is not at all there is contractual terms so that do not generate relation in it’s inheriting each other. Concerning level of its shares is same as rule going into effect to valid child. Rights heirloom status of external child marry which there are in BW newly arise after existence of confession of woman or men who make them, while with father family and mother confessing it newly arise after existence of authentication. But, done confession as long as marriage is not generate heir rights to child. While, hitting the level of its shares is have been determined its portion as according to whom he together heir, that is as arranged at Section 863 BW.
There are statutory equation and difference about rights heirloom status of external child marry. Whether KHI and also civil law of BW each owning insuffiency and excess in the case of arrangement concerning external child marry this. But, basically KHI remain to more giving protection of law to the child. To all maker of regulation and enforcer of law, good in KHI and also Civil Law of BW shall again innovate regulation to be yielded by more coherent rule regarding confession of external child marry which also affect to rule of law regarding part of its heirloom.
Key :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan kepemilikan,
yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan
(muwarrits), setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan
(waratsah) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya
proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak-hak terkait dengan harta
peninggalan si mayit. Orang-orang Arab di masa jahiliyah telah mengenal sistem
waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat dilakukannya berdasarkan
dua sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab dan sebab atau alasan
tertentu, yaitu :
1. Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan (qarabah).1
Adalah warisan yang diturunkan kepada anak lelaki yang dewasa yang ditandai
dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur dan meraih harta rampasan
perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli
waris yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki,
paman, dan lainnya.2 Persyaratan diatas mempunyai motivasi untuk menyisihkan
anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dari menerima pusaka.
1 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami, Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan Faturrahman,
Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, hal.2
Kaum perempuan karena fisiknya yang lemah dan tidak memungkinkan untuk
memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang lemah
disisihkan dari menerima pusaka. Dengan demikian maka semua ahli waris terdiri
dari kaum laki-laki.3
Muhammad Yusuf Musa mengutip pendapat Jawwad yang mengatakan bahwa :
Riwayat-riwayat yang menerangkan pusaka orang perempuan dan istri masyarakat jahiliyah itu bertentangan satu sama lain. Tetapi dari kebanyakan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak dapat mempusakai sama sekali. Namun, ada juga beberapa riwayat yang dapat difahamkan bahwa orang-orang perempuan dan istri-istri itu dapat mempusakai harta peninggalan kerabatnya dan suaminya dan tradisi yang melarang kaum wanita mempusakai harta peninggalan ahli warisnya tidak merata pada seluruh kabilah, tetapi hanya khusus pada beberapa kabilah, terutama banyak dilakukan orang-orang hijaz saja. Seterusnya beliau juga menerangkan suatu riwayat yang menerangkan bahwa orang yang pertama-tama memberikan pusaka kepada anak-anak perempuan jahiliyah ialah Dzul-Masajid ‘Amir bin Jusyam bin Ghunm bin Habib. Ia mempusakakan harta peninggalannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat bagian anak perempuan. Disamping itu beliau juga menerangkan bahwa seorang anak yang diadopsi oleh seseorang berstatus sebagai anak kandungnya sendiri dan anak diluar perkawinan (anak zina) – pun dinasabkan kepada ayah mereka sehingga mereka mempunyai hak mempusakai penuh.4
2. Sebab atau alasan tertentu, yaitu :5
a. Berdasarkan Janji setia
Yaitu dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan : “Darahku adalah
darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku
3Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Penerbit PT Al-Ma’arif, Bandung, 1975, hal. 13. 4
Muhammad Yusuf Musa, At-Tirkah wal-Mirats fil’I-Islam, Darul-Ma’rifah, Kairo, t.t., hal. 15, dalam Fatchur Rahman, Loc Cit.
menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.”6
Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini bila salah seorang meninggal dunia,
pihak lain berhak mempusakai harta peninggalan yang mendahuluinya sebanyak
seper-enam. Sisa harta setelah dikurang seper-enam dibagi-bagikan kepada ahli
waris orang yang meninggal.7
Mengenai hal ini juga dibenarkan oleh Al-Qur’an berdasarkan firman Allah pada
Q.S. an-Nisa ayat 33, yang artinya :
“Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua
dan kerabat-kerabat, Kami adakan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada)
orang-orang yang berjanji setia dengan kamu berikanlah kepada
mereka…………..”8
b. Adopsi (Pengangkatan anak)
Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya.
Adopsi merupakan salah satu adat bangsa Arab yang sudah dikenal di masa
Jahiliyah. Mereka menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama, mereka
menjadikan adopsi salah satu penghalang dibolehkannya menikah dengan
perempuan dari orang tua yang mengadopsinya, haramnya anak laki-laki yang
6
Abu Abdillah Muhammad al-Qurthuby, Al-Jami’ liahkamil Qur’an, Darul Lutubil Mishriyah, Kairo, t.t., hal. 166, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Loc Cit.
7 Fatchur Rahman, Op Cit, hal 14.
8 Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, PT Karya Putra Toha,
diadopsi menikahi istri orang yang mengadopsinya. Kedua, mereka menjadikan
adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.9
Ketika Islam datang, orang-orang Arab dengan cepat meninggalkan kebiasaan
mereka tentang warisan. Kemudian Islam membatalkan hukum waris melalui jalur
adopsi, seperti dinyatakan dalam firman Allah Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5 :
…Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)…Panggillah mereka (anak-anak angkat) itu dengan (memakai) nama-nama bapak mereka. Itulah yang lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.10
Dengan demikian, Islam telah membatalkan hak waris anak yang diadopsi dan
membolehkan orang tua yang mengadopsi menikahi istri anak angkatnya yang dicerai
atau ditinggal mati. Pada masa awal-awal Islam, persaudaraan seperti yang dilakukan
Rasulullah terhadap kaum Muhajirin dan Anshar juga menjadi sebab atau alasan
terjadinya warisan. Kemudian Islam menghapus hijrah dan persaudaraan sebagai
sebab-sebab terjadinya warisan seperti tertuang dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 6. Islam
juga memandang membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya/maula-maula
sebagai sebab terjadinya warisan.11
9
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Loc Cit. 10 Ibid.
Secara umum dapat diperhatikan firman Allah Q.S. an-Nisa ayat 7, yang
artinya :
“Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditingalkan oleh kedua
orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Bagi perempuan ada hak (bagian) pula
dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan
kerabat-kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.”12
Dengan demikian, maka Islam memberi hak waris kepada mereka, baik
laki-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun anak-anak. Selama tidak ada sebab
yang menghalangi seseorang mendapat warisan. Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Sungguh, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
(cukup) adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
keadaan melarat lagi mengemis kepada orang lain.”13
Di Indonesia, hukum Islam telah masuk secara damai sejak abad ke-7 Masehi
atau tepat abad ke-1 Hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 Hijriah.
Ketika wilayah nusantara dikuasai oleh para sultan dan raja-raja, maka hukum Islam
diberlakukan di wilayahnya, demikian juga dengan permasalahan hukum waris.
Ketika VOC datang, kebijakan yang dilaksanakan Sultan tetap dipertahankan di
daerah kekuasaannya. Bahkan dalam banyak hal mereka memberikan kemudahan,
kondisi ini terus berlangsung sampai penyerahan kekuasaan VOC kepada pemerintah
12 Ibid.
13 Nail al-Authar, juz VI, hal. 40, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Op
kolonial Belanda dan masa itu terkenal dengan masa berlakunya teori receptie in
complexu, yakni hukum yang berlaku bagi seseorang adalah hukum agama yang
dianutnya. Dalam perkembangannya pemerintah kolonial meneruskan apa yang
ditempuh VOC, namun hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab pemerintah
kolonial Belanda mengubah pendirian ini akibat teori receptie, yaitu hukum yang
berlaku dalam realita masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam dapat
diberlakukan kalau sudah beradaptasi dengan hukum adat, yang dikemukakan oleh
Snouck Hurgronje. Teori ini didukung oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, dan
beberapa muridnya.14
Akibat teori ini perkembangan dalam hukum Islam menjadi terhenti sebab
pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru yaitu Stb. 1937 Nomor 116 dan
610 yang membatasi kewenangan Peradilan Agama, antara lain melakukan
pembatasan terhadap kewenangan Peradilan Agama yang hanya terbatas pada
masalah perkawinan, sedangkan masalah kewarisan, hibah, wasiat, hadhanah
dimasukkan kedalam wewenang Peradilan Umum.15
Pengaruh lain dari teori receptie ini adalah timbulnya tiga sistem hukum
pasca kemerdekaan, yaitu sistem hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam dalam
penyelenggaaraan hukum di Indonesia hal ini karena pengaruh teori ini sangat kuat
dalam berbagai institusi pemerintah.
14 Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2006, hal.11.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pemerintah melalui Departemen Agama
berusaha meluruskan persepsi tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Disamping itu, lahir beberapa teori baru yang menentang teori tersebut, diantaranya
teori receptie exit oleh Hazairin, teori receptie a contrario oleh Sayuthi Talib, teori
eksistensi yang disponsori Ichtijanto, dan teori pembaruan yang disponsori Busthanul
Arifin dan rekan-rekannya.
Disamping itu, Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama telah
mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan
kepada Pengadilan Agama agar para hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 Kitab Fikih, yaitu Al Bajuri, Fathul
Mu’in, Syarqawi alat Tahrir, Qulyubi/Muhalli, Fathul Wahab dengan syarahnya,
Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syariah Lissayid Usman bin Yahya,
Qawaninusy Syar’iyah Lisayyid Shadaqah Dakhlan, Syamsuri lil Fara’idh,
Bughyatul Murtasydin, al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.
Namun ternyata dalam pelaksanaan menimbulkan banyak kendala, karena
ternyata dalam pelaksanaan ada pihak-pihak yang menunjukkan kitab-kitab lain
sebagai solusi menyelesaikan masalah tersebut. Situasi tersebut mendorong para
pakar untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam terutama dalam bidang hukum
keluarga. Langkah awal dari usaha ini adalah memperbaharui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1946 tentang NTR (Nikah, Talak, Rujuk), kemudian diperbaharui
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam yang didasarkan pada
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat tiga buku, yaitu bidang hukum
perkawinan, hukum kewarisan dan hukum wakaf.
Sebagaimana diketahui, akibat dari lahirnya teori receptie terdapat tiga sistem
hukum yang berlaku, yaitu hukum Islam, hukum Perdata Barat, dan hukum Adat.
Demikian pula hukum waris di Indonesia berbeda-beda, antara lain :
1. Adanya hukum waris Islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia.
2. Adanya hukum waris menurut hukum perdata barat yang berlaku untuk golongan
penduduk yang tunduk pada hukum perdata barat.
3. Adanya hukum adat yang disana-sini berbeda tergantung pada daerah
masing-masing yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum adat.16
Hal ini didasarkan pada penggolongan penduduk menurut ketentuan Pasal 131
jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, yaitu :
1. Orang-orang Belanda.
2. Orang-orang Eropa yang lain.
3. Orang-orang Jepang dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok
satu dan dua yang tunduk pada hukum yang mempunyai asas-asas hukum
keluarga yang sama.
4. Orag-orang pribumi yang sah ataupun diakui secara sah dan keturunan lebih
lanjut dari orang-orang yang termasuk dalam kelompok 2 dan 3.17
Berdasarkan Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, hukum waris
yang diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang
dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut. Berdasarkan Stb. 1917 No. 129,
hukum waris perdata berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa. Kemudian
berdasarkan Stb. 1924 No. 557 hukum waris dalam KUH Perdata berlaku bagi
orang-orang timur asing Tionghoa di seluruh Indonesia.18 Hukum waris sama halnya dengan
hukum perkawinan merupakan bidang hukum yang sensitif atau rawan.19 Keadaan
yang demikian menyebabkan unifikasi hukum semakin sulit. Walaupun telah ada
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UU No. 1 Tahun 1974), namun masih ada hal-hal
yang belum diatur dalam Undang-undang tersebut terutama dalam hal harta
perkawinan dan kewarisan sehingga melalui ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 masih tetap berlaku ketentuan hukum yang lama.20
Ketentuan penutup, Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
berbunyi :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan
R. Subekti, Kaitan Undang-undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, Kertas Kerja, Simposium Hukum Waris, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1989, hal. 97.
20
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.21
Melalui ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa KUH Perdata
masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa dan Eropa.
Sebagaimana dinyatakan Subekti :
“Ini berarti bahwa KUH Perdata (BW) dan lain-lain undang-undang tersebut
tadi masih berlaku sekedar mengenai hal-hal yang belum diatur dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”22
Hal ini dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para
Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi dan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20
Agustus Tahun 1975 No. M.A./Penb/0807/75, tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.23
Hal-hal mengenai hukum waris sebagaimana terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, tentu saja hanya berlaku bagi mereka yang tunduk
atau menundukkan diri kepada KUH Perdata, khususnya Warga Negara Indonesia
keturunan Tionghoa dan Eropa.24 Salah satu masalah hukum waris yang ada di
Indonesia adalah mengenai anak luar kawin, dimana terdapat perbedaan-perbedaan
yang prinsipil antara hukum Islam yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang
beragama Islam dengan hukum perdata barat yang berlaku bagi mereka yang tunduk
21Ibid.
22
R. Subekti, Op Cit, hal. 97. 23
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op Cit, hal 6.
atau menundukkan diri kepada KUH Perdata, khususnya Warga Negara Indonesia
keturunan Tionghoa dan Eropa.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU No.
1 Tahun 1974) menyebutkan :
“(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Jadi, walaupun sebuah pasangan telah melangsungkan perkawinan yang sah
berdasarkan hukum agamanya dan hukum adatnya, namun juga belum bisa disebut
sebagai perkawinan yang sah menurut hukum positif Indonesia.
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, menyebutkan :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Dengan demikian, maka hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang
membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak
ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut
baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Dalam ayat selanjutnya pasal tersebut disebutkan bahwa
selanjutnya kedudukan anak tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Akan
Hal ini menimbulkan suatu ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, terutama
bagi anak dan ibu, sedangkan posisi pihak lelaki yang membenihkan sangat
menguntungkan, karena dari segi hukum tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa
terhadap si ibu dan si anak. Apalagi kedua sistem hukum, hukum Islam dan hukum
perdata BW menganut hal tersebut, karena salah satu tujuan perkawinan adalah
memelihara keturunan/nasab. Sehingga, hal ini dapat dikatakan bertentangan dengan
hak-hak anak, antara lain seperti yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa tentang Hak-hak Anak dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan anak, yaitu hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk
mengetahui dan diasuh orang tuanya, dan hak memelihara jati diri termasuk
kebangsaan, nama, dan hubungan keluarga.
Hak-hak anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak
Asasi Manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52, yaitu :
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan Negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak
itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Allah SWT juga berfirman dalam Q. S. Al-Anam ayat 164, yang artinya :
“…Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..”25
Dengan bertitik tolak pada ayat ini, sebagai orang pribadi tidak seharusnya
sang anak bertanggung jawab terhadap dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Anak tersebut juga berhak mendapatkan perlindungan sebagai anak yang tak berdosa.
Hal itu mendorong para pembuat undang khususnya Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan anak, yaitu
terhadap anak luar kawin bukan terhadap anak zina dan anak sumbang. Pada
penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
(UU No. 3 Tahun 2006) khususnya huruf a disebutkan perkawinan adalah hal-hal
yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang
berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain :…..butir 22 adalah penetapan
asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Dalam hal ini berkaitan dengan perkara pengesahan anak, yang dalam bahasa Arab
disebut Istilhaq. Sedangkan pengangkatan anak masuk dalam pengertian tabany atau
adopsi.26 Terhadap anak yang telah mendapat pengesahan, maka timbul hubungan
hukum yang jelas antara ia dan kedua orang tuanya, demikian juga mengenai hak-hak
waris yang termasuk didalamnya.
Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk
mengakui atau mengesahkan anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si
anak tersebut. Hal inilah yang mendorong ditulisnya penelitian berjudul
26H. A. Mukhsin Asyrof dalam makalah berjudul Mengupas Permasalahan istilhaq dalam
“Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin antara Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dengan Hukum Perdata BW”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah
yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) ?
2. Bagaimanakah status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata BW?
3. Bagaimanakah perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata BW ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
2. Untuk mengetahui status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata
BW.
3. Untuk mengetahui perbandingan status hak waris anak luar kawin antara
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada tujuan
penelitian.27 Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam lapangan hukum waris dan
hukum keluarga, yaitu mengenai waris anak luar kawin ditinjau dari hukum
Islam dan hukum perdata. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum di bidang hukum
waris dan hukum keluarga.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini memberi masukan kepada para penegak hukum dan
pembuat peraturan untuk menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di
bidang hukum waris dan hukum keluarga, agar tercipta suatu unifikasi hukum
didalam masyarakat.
27
Calire Seltz et.,al : 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitain
Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.9 bahwa Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang didapat dari penelusuran kepustakaan di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang “Perbandingan
Status Hak Waris Anak Luar Kawin antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan
Hukum Perdata BW” belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul
diatas sebelumnya. Dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Kalaupun ada kesamaan, hal itu
pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan dilakukan dengan pendekatan masalah
yang berbeda, seperti :
1. Judul tesis “Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin yang Diakui atas Harta
Peninggalan Orang Tuanya (Kajian pada Etnis Tionghoa di Kota Tebing Tinggi”
yang ditulis oleh Denilah Shofa Nasution NIM 017011010 Mahasiswa Magister
Kenotariatan USU, permasalahannya adalah :
a. Bagaimanakah kedudukan hukum antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang perkawinannya dilakukan secara adat Tionghoa?
b. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin yang diakui dalam hukum
keluarga ?
c. Bagaimana hak waris anak luar kawin yang diakui atas harta peninggalan
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki
menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata
modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur,
beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang
tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.28
Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang
salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem
gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari
sekelompok fakta atau fenomena…suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap
sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.29
Menurut Neuman :
“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk
berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”30
28 H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21.
29 Malcom Walters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994, hal. 2, dalam H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Loc Cit..
Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcom Walters, maka teori
hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat
memenuhi kriteria :
a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial. b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan
melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya.
d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya.
e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan.
f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri.
g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.31
Adapun teori yang digunakan dalam masalah ini adalah teori sistem dan untuk
pemecahan masalah sisi substansi setiap sistem hukumnya digunakan teori keadilan,
teori perlindungan hukum, dan teori Maqasid al-Syari’ah.
Menurut H.L.A. Hart hukum merupakan suatu sistem. Inti dari pemikirannya
terletak pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery rules dan secondary
rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery rules dan
secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum.32
Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang
pertama adalah primery rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan social
(social rule), yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi. Pertama,
adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang
umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. untuk tercipta kondisi yang demikian
diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan
memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek internal). Kedua,
aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam
anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota
masyarakat itu merasakan bahwa aturan yang hendaknya dipatuhi itu menyediakan
alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi perilaku yang tidak dapat
menyesuaikan diri (aspek eksternal).33
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu
mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan eksternal yang dapat
dilihat/memiliki sudut pandang masing-masing. Aturan menyatakan apa yang
hendaknya (seharusnya) dilaksanakan ini juga sekaligus merupakan pernyataan
32Ibid, hal 90.
tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-duanya (baik aspek
internal dan eksternal) sangat penting.34
Dalam kaitan dengan waris anak luar kawin dapat dilihat dari kedudukan anak
luar kawin itu sendiri, dimana dalam masyarakat ada suatu aturan bahwa untuk dapat
melanjutkan keturunan orang harus menikah terlebih dahulu. Lahirnya keturunan
diluar pernikahan yang sah tidak dapat diterima, dan anak tersebut tidak diakui
sebagai anak sah dari orang yang membenihkannya. Ia tidak dapat memperoleh
hak-haknya sebagaimana yang seharusnya ia terima jika ia sebagai anak sah seperti hak
waris, hak memakai nama keluarga (geslachtsnaam), pemberian izin perkawinan, dan
kekuasaan orang tua. Dengan demikian, perbuatan memiiki anak diluar kawin itu
merupakan peyimpangan dari suatu aturan yang telah ada dalam masyarakat.
Metode yang kedua apa yang disebut Hart secondary rules, yang dapat disebut
aturan tentang aturan (rules about rules) yang apabila dirinci meliputi :
a. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of
recognition).
b. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change).
c. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksakan/ditegakkan (rules of
adjudication).35
Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of adjudication lebih efisien, rules of
change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.
34Ibid.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan anak luar kawin khususnya hak waris anak
luar kawin tersebut adalah terkait dengan kebijakan atau aturan-aturan yang
ditetapkan pemerintah maupun aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Apakah
aturan tersebut sudah cukup melindungi hak-hak anak luar kawin terutama yang
terkait dengan waris.
Teori yang selanjutnya adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa
maqashid al-syariat berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Karena
itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan
ilat ditetapkannya suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan
kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian
terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian
terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan
nash dalam suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat,
termasuk meneliti tujuan disyari’atkan hukum tersebut.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan
penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan
diwujudkan, yaitu :
a. Memelihara agama (Hifzh al-Din).
b. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs).
c. Memelihara akal (Hifzh al-Aql).
e. Memelihara harta (Hifzh al-Mal).36
Dikenal dengan maqashidut tasry’. Dapat dilihat, bahwa memelihara
keturunan merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Anak merupakan anugerah
yang sangat besar dari Tuhan, oleh karena itu hendaknya juga dilahirkan dalam ikatan
suci perkawinan. Namun, dalam kenyataan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi
kelahiran anak diluar perkawinan. Ditinjau dari tingkat kebutuhannya, memelihara
keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq
kepadanya.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah
atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan.37
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for justice”.38 Terdapat macam-macam teori mengenai
keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan,
peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat
disebut teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics.
36 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Penerbit Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal. 128.
37 Ibid, hal. 130.
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam
karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku
nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan
filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.39
Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti
dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan
penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita
pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa
semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap
orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan
sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan
perdebatan seputar keadilan.40
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan
keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua,
39 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 24.
yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya,
pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.41
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi
merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi
masyarakat.42
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah.
Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika
suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan
kepada si pelaku. Bagaimana pun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
“kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan
korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan
bidangnya pemerintah.43
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan
pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang
41Ibid.
42Ibid, hal 25.
didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang
berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini
jangan dicampur adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan
dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles,
dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya
mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika
bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.44
Kaitan teori ini terhadap anak luar kawin adalah bahwasanya bagaimanapun
anak luar kawin juga adalah darah daging orang yang membenihkannya dan karena
anak yang dilahirkan itu tidak tergantung atau bertanggung jawab atas dosa ibu
bapaknya.
Hal ini tegas dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadist dari
Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari berbunyi sebagai berikut yang artinya:
“Rasulullah SAW bersabda, tidak seorang pun yang dilahirkan melainkan
dalam keadaan suci, kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan anak itu Yahudi
dan Nasrani, seperti lahirnya seekor hewan, apakah pernah kamu dapati
terpotong telinganya (kecacatan dalam tubuhnya), kecuali kamu sendiri yang
memotongnya (mencacatnya).”45
44Ibid, hal 26.
45 Al-Kirmany, Syarah Shahih Bukhary, penerbit Al-Bahriyah Al-Misriah, Kairo, 1937, hal. 76, dalam makalah M.Yusuf Ishaq, Pernikahan Wanita Hamil karena Zina menurut Hukum Islam dan
Anak diluar kawin tidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibu
bapaknya yang bertanggung jawab dihadapan Tuhan nanti atas perbuatan yang
terkutuk itu, sedangkan anak tersebut tidak berbeda kedudukannya seperti anak yang
sah dalam hubungan terutama ketakwaan terhadap Tuhan. Sehingga dengan demikian
sudah sewajarnya anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran untuk memperoleh
hak-hak yang sama seperti anak sah dalam perkawinan atau sekurang-kurangnya
dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga dalam hal warisan hendaknya juga
diberikan kepadanya bagian warisan walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah.
Teori yang berikutnya adalah teori perlindungan yang dikemukakan oleh
Suhardjo yaitu teori pengayoman,46 dengan kata lain teori pengayoman adalah
menerapkan fungsi hukum untuk melindungi hak-hak anak melalui pengakuan dan
pengesahan. Dalam hal ini hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif.
Melindungi secara aktif artinya memberikan perlindungan yang meliputi berbagai
usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia
untuk terus menerus memanusiakan dirinya. Hukum bertujuan menciptakan kondisi
atau lingkungan hidup masyarakat yang manusiawi dan memungkinkan proses-proses
kemasyarakatan berlangsung secara wajar. Setiap manusia memiliki kesempatan
untuk mengembangkan potensi, bakat, dan kemampuan manusia secara utuh,
termasuk tujuan untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti, kemanusiaan
serta cita-cita yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
melindungi secara pasif artinya memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan,
menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan, sehingga manusia yang
diayomi dapat hidup damai dan tenteram.
Perlindungan terhadap hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :
“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.”
Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan :
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Kemudian dalam Pasal 24 juga disebutkan :
“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.”
Dan terakhir dalam Pasal 25 disebutkan :
“Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak.”
Hak-hak anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan Negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak
itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Kemudian dalam Pasal 57 disebutkan :
(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tuanya atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali
berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah mengesahkan hak-hak anak. Didalam mukadimah deklarasi ini tersirat antara
lain bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik buat anak-anak.
Secara garis besar, deklarasi memuat asas tentang hak-hak anak yaitu hak
untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan, dan fasilitas yang
memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan
bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan sosial
termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan,
memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat, tumbuh
dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin
pendidikan, dan dalam hal terjadi kecelakan atau malapetaka, mereka termasuk orang
yang pertama memperoleh perlindungan serta pertolongan, memperoleh perlindungan
terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan (anak), kekejaman dan penindasan serta
perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.
Secara garis besar, maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat
dibedakan dalam dua pengertian yaitu :
a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi perlindungan dalam :
1. Bidang hukum publik
2. Bidang hukum keperdataan.
b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi antara lain :
1. Bidang sosial
2. Bidang kesehatan
3. Bidang pendidikan.47
Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis ini meliputi semua aturan hukum
yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua
aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Salah satu contohnya adalah
perlindungan terhadap asal usul anak. Sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga
maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut undang-undang
perkawinan No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan berkuatan hukum.
Dengan adanya perkawinan akan memberikan kejelasan status dan kedudukan anak
yang dilahirkan. Jadi asal usul kelahiran seseorang tentunya sangat menentukan
kehidupannya kelak, seperti halnya dengan status apakah dia terlahir sebagai anak sah
atau anak diluar kawin. Dari perbedaan satus tersebut maka akan membedakan hak
dan kedudukan anak sah dan anak luar kawin.
2. Konsepsi
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya
seseorang, diatur oleh hukum waris. Dalam hukum perdata pengertian hukum waris
adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena
wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si
mati sebagai akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik
dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak
ketiga.48
R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
hukum waris adalah :
“Hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.”49
Dengan demikian maka mewaris, berarti menggantikan tempat seseorang
yang meninggal (si pewaris) dalam hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya.
Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan dalam hukum keluarga,
kecuali beberapa hal yang disebut dalam pasal-pasal 257, 258, dan 270 KUH Perdata.
Sebaliknya, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang
tidak termasuk disini. Jadi, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta
kekayaan yang tidak menjadi warisan, yaitu :
1. Hak-hak yang bersifat pribadi, seperti :
a. Hak pakai dan mendiami.
b. Vruchtgenot (Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak
menikmati hasil atas harta kekayaan si anak) dari orang tua.
c. Hak-hak penuh sebagai buruh berdasarkan perjanjian kerja, tidak diwaris oleh
ahli waris.
2. Tidak termasuk hoogstpersoonlijke rechten (Hak-hak yang sangat pribadi), dan
juga tidak termasuk warisan adalah : hak vruchtgebruik (suatu hak kebendaan
untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu
kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap
dalam keadaannya semula).50
Selanjutnya, Klassen-Eggens menunjuk bahwa ada pula hak dan kewajiban yang
hanya berpindah secara terbatas, misalnya perijinan mengangkut barang, bahwa
berakhirnya hak dan kewajiban karena kematian seseorang tidak
menghalang-halangi (mengurangi) kewajiban memberikan perhitungan dan tanggung gugat
yang berpindah kepada ahli waris, misalnya dalam hal eksekusi atau pemberian
kuasa.51
3. Pembayaran asuransi jiwa. Pada umumnya pembayaran asuransi jiwa tidak
termasuk warisan. Pensiun yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian
kerja, lebih banyak dipandang sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda,
sehingga hak itu dipandang diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke
verbintenissen52 (suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara moral atau
kepatutan dan suatu perikatan hukum atau perikatan hukum tidak sempurna,
hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran
50 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 76.
51
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 3.
tidak ada, dimana baru jadi sempurna bila ia membayar hutang itu, sehingga jadi
perikatan biasa).53
Dalam hukum Islam, istilah ilmu waris dikenal dengan ilmu faraidh. Adapun
yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah pembagian harta warisan. Kata
faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna al-mafrudhah atau
sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.54
Menurut bahasa, lafal faridhah diambil dari kata al-fardh atau kewajiban yang
memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata al-fardh
memiliki beberapa arti, diantaranya sebagai berikut :55
1. al-qath yang berarti ketetapan atau kepastian. Misalnya dalam ungkapan ﺖﻌﻂﻗ ﻱ ﺃ ﻞ ﺎﻤﻠ ﺍ ﻥﻣ ﺍ ﺫﻜ ﻦ ﻼﻓﻠ ﺖﻀ ﺮﻔ aku telah menetapkan dengan pasti bagian harta untuk si fulan. Dalam firman Allah SWT Q.S. an-Nisa ayat 7 :
“…Sebagai suatu bagian yang telah ditetapkan.”
2. at-taqdir yang berarti suatu ketentuan, seperti firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah ayat 237 :
“…Karena itu, bayarlah separuh dari (jumlah) yang telah kau tentukan itu…” 3. al-inzal yang berarti menurunkan, seperti firman Allah SWT Q.S. al-Qashash ayat
85 :
“Sesungguhnya, Yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali….”
4. at-tabyin yang berarti penjelasan, , seperti firman Allah SWT Q.S. at-Tahrim ayat 2 :
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu….”
5. al-ihlal yang berarti menghalalkan, , seperti firman Allah SWT Q.S. al-Ahzab ayat 38 :
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”
53 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Loc Cit.
54 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Op Cit, hal. 11.