• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. judul English Verb Classes and Alternations A Preliminary Investigation.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. judul English Verb Classes and Alternations A Preliminary Investigation."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Penelitian ini terilhami dari sebuah hasil penelitian mengenai verba dalam bahasa Inggris yang telah dibukukan oleh Beth Levin pada tahun 1993 dengan

judul English Verb Classes and Alternations – A Preliminary Investigation.

Melalui hasil penelitian tersebut dapat diketahui jenis-jenis perubahan verba dan klasifikasi verba dalam bahasa Inggris. Salah satu hal yang menarik dari hasil penelitian tersebut bagi penulis adalah ketika Levin (1993) berhasil mengumpulkan verba yang berkaitan dengan komunikasi dan penyampaian ide atau gagasan dalam bahasa Inggris. Selain itu, Levin (1993) juga telah berhasil mengklasifikasikan temuannya tersebut menjadi sembilan kategori. Adapun

kesembilan kategori tersebut, yakni (1) Verbs of Transfer of a Message, (2) Tell,

(3) Verbs of Manner of Speaking, (4) Verbs of Instrument of Communication, (5) Talk Verbs, (6) Chitchat Verbs, (7) Say Verbs, (8) Complain Verbs, dan (9) Advise Verbs. Masing-masing kategori tersebut terdiri dari beragam verba yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Meskipun begitu, dalam hasil penelitian tersebut hanya terdapat penjelasan singkat dan beberapa contoh kalimat dalam setiap kategori. Oleh karena itu, penulis terdorong untuk melaksanakan sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui makna pembentuk masing-masing verba serta hubungan antar verba dalam salah satu kelompok verba berkomunikasi dan penyampaian ide dalam bahasa Inggris.

(2)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan salah satu hasil klasifikasi

Levin (1993), yakni kelomopok verbs of manner of speaking „verba cara

berbicara‟ dalam bahasa Inggris sebagai objek penelitian. Hasil klasifikasi tersebut dipilih dengan mempertimbangkan jumlah verba yang paling beragam di antara verba dalam delapan kategori lainnya. Dalam hasil klasifikasi verba cara berbicara dalam bahasa Inggris tersebut terdapat 77 verba yang mengandung makna „berbicara‟ dalam bahasa Inggris. Hal yang membedakan masing-masing verba dalam kelompok tersebut adalah cara penutur dalam berbicara. Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi terkait makna pembentuk serta relasi dari masing-masing verba dalam kelompok verba tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian yang telah disampaikan sebelumnya, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Apa saja leksem verba cara berbicara yang melibatkan manusia

sebagai penutur dalam bahasa Inggris?

2. Apa saja komponen semantik yang terkandung dalam setiap leksem

verba cara berbicara yang melibatkan manusia sebagai penutur dalam bahasa Inggris?

3. Bagaimanakah relasi antar verba dari kelompok leksem verba cara

(3)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memaparkan hasil inventarisasi leksem verba cara berbicara yang

melibatkan manusia sebagai penutur dalam bahasa Inggris.

2. Memaparkan hasil analisis komponen makna semantik terhadap

kelompok leksem verba cara berbicara dengan penutur manusia dalam bahasa Inggris.

3. Menjelaskan relasi antar verba dari kelompok leksem verba cara

berbicara dengan penutur manusia dalam bahasa Inggris.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis bagi perkembangan ilmu linguistik. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan ilmu linguistik, khususnya pada bidang kajian semantik mengenai pengaplikasian metode analisis komponen makna untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antar verba dalam suatu bahasa. Sehingga, dapat mendorong adanya penelitian-penelitian baru yang lebih bermanfaat bagi perkembangan ilmu linguistik.

Adapun secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat diterima sebagai masukan bagi para penyusun kamus, khususnya kamus dwibahasa Inggris-Indonesia. Dengan adanya penelitian ini diharapkan definisi leksem verba tersebut dalam kamus Inggris-Indonesia akan lebih lengkap. Sehingga, para

(4)

pengguna kamus nantinya akan lebih dimudahkan dalam pemilihan kata yang tepat untuk suatu ujaran atau kalimat tertentu.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang lebih fokus dan terarah, perlu adanya batasan ruang lingkup dalam penelitian ini. Penelitian ini berada pada ranah semantik. Objek penelitian yang dikaji disini merupakan leksem verba cara berbicara dalam bahasa Inggris. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan hasil klasifikasi berupa

kelompok verba manners of speaking „cara berbicara‟ yang di dalamnya terdapat

tujuh puluh tujuh verba sebagai sumber primer. Kelompok verba manners of

speaking, sebagaimana dijelaskan oleh Levin (1993: 205) merupakan sekumpulan

verba yang memiliki kemiripan makna dengan makna verba „to speak‟, namun

dibedakan satu sama lain dengan cara seseorang atau sesuatu dalam mengungkapkannya. Ketujuh puluh tujuh verba tersebut merupakan sekumpulan verba yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk mendeskripsikan kegiatan „berbicara‟ oleh manusia, hewan, dan benda mati.

1.6 Tinjuaan Pustaka

Penelitian ini terinspirasi dari beberapa penelitian sebelumnya yang juga menggunakan buku Levin (1993) sebagai sumber data penelitian. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2015) tentang analisis komponen makna

(5)

bahwa sekurang-kurangnya ada dua puluh tiga leksem yang merupakan anggota

kelompok verba say dalam bahasa Inggris. Dari hasil analisis makna yang

dilakukan, keseluruhan leksem tersebut dikelompokkan menjadi lima yaitu verba

say dengan aktivitas to inform „memberikan informasi‟, aktivitas to express

„menyampaikan‟, aktivitas to put forward „mengemukakan/mengedepankan‟,

aktivitas to show „menunjukan‟, dan aktivitas to

admit „mengakui‟. Bentuk polisemi verba say ada dua yaitu metonimi konteks

yang mengandung aktivitas to inform, to express, dan to put forward serta

polisemi bentuk metafora yang mengandung aktivitas to show.

Berikutnya terdapat pula penelitian serupa yang dilakukan oleh Rakhmasari (2015) yang meneliti tentang analisis komponen makna verba „cleaning‟ dalam bahasa Inggris. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris ditemukan sekurang-kurangnya tiga puluh tiga leksem yang

merupakan hiponim dari kata „cleaning‟. Dari beragamnya leksem yang

ditemukan, leksem-leksem tersebut dapat dibedakan berdasarkan objek sasaran, cara, benda yang dihilangkan dan alat bantu yang digunakan. Pada analisis terhadap hubungan makna, ditemukan beberapa leksem yang bukan merupakan makna awal. Leksem-leksem tersebut merupakan hasil derivasi ataupun makna sampingan dari makna awal. Sedangkan leksem-leksem yang merupakan makna awal memiliki hubungan makna derivasi, figuratif dan pengelompokan makna sampingan dengan makna lain dari tiap-tiap leksem.

Penelitian sebelumnya yang sejalan dengan penelitian ini telah

(6)

dalam bahasa Inggris dengan menggunakan pendekatan linguistik kognitif.

Penelitian tersebut menghasilkan temuan bahwa verba look perseptif agentif

memiliki ciri semantis dinamis, telis, dan durative dan verba look perseptif

memiliki ciri semantis statis, atelis, dan pangtual. Dalam konstruksi verba frasal, verba frasal literal, aspektual, figuratif kognitif, figuratif pergerakan, figuratif aksi proses memiliki ciri semantis dinamis, telis, dan duratif sementara verba frasal figuratif emotif memiliki ciri semantis statis, atelis, dan duratif. Demikian beberapa pustaka tinjuan yang digunakan penulis sebagai referensi dalam penelitian ini, sehingga dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang baik dan lengkap.

1.7 Landasan Teori

Kerangka berpikir yang menjadi landasan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga. Adapun ketiganya antara lain, (1) analisis komponen makna, (2) medan makna, dan (3) relasi makna. Berikut adalah uraian terori dari ketiga butir tersebut.

1.7.1 Analisis Komponen Makna

Dalam penelitian semantik, salah satu teori yang relevan adalah teori analisis komponen makna. Penulis perlu menganalisis komponen dari setiap kata yang menjadi objek penelitian, sehingga makna yang terkandung di dalamnya menjadi jelas. Selain itu, akan nampak pula ciri-ciri yang menjadi pembeda antar kata, dalam penelitian ini leksem verba yang berada dalam kelompok verba cara

(7)

berbicara dengan penutur manusia bahasa Inggris. Yang dimaksud dengan analisis komponen makna itu sendiri menurut Verhaar (2010: 392) adalah suatu bentuk analisis semantik leksikal terhadap unsur-unsur makna dari leksikal tersebut. Sejalan dengan itu, Leech (1976: 96) menjelaskan bahwasanya di dalam analisis komponen makna terdapat sebuah proses memecah makna dari sebuah kata menjadi fitur pembeda terkecilnya, sehingga fitur tersebut menjadi komponen pembeda dengan komponen lainnya. Lyon (1976: 323 – 335) berpendapat bahwa terdapat empat unsur yang perlu diperhatikan dalam analisis komponen makna, antara lain:

a. Komponen (makna) merupakan kumpulan dari fitur makna;

b. Fitur adalah variabel makna yang dinilai dengan pemarkah, misalnya

(manusia) (jenis kelamin) (menikah) (berpotensi melahirkan);

c. Pemarkah adalah penanda nilai suatu fitur. Pemarkah (+) berarti fitur

tersebut dimiliki oleh leksem yang dianalisis, sedangkan pemarkah (-) berarti sebaliknya;

d. Ciri pembeda adalah ciri khas nilai fitur suatu leksem saat

dibandingkan dengan leksem lain dalam satu medan makna.

Sejalan dengan Lyon, para linguis lain seperti Palmer dan Chaer pun memaparkan pengertian mengenai analisis komponen makna. Komponen menurut Palmer (1981: 108) merupakan keseluruhan makna dari suatu kata yang terdiri atas sejumlah elemen, dimana antara satu elemen dengan elemen yang lain memiliki ciri yang berbeda. Adapun elemen makna yang menyusun sebuah kata disebut dengan komponen makna. Menurut Chaer (1994: 318) komponen makna

(8)

menunjukkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri atas satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Komponen makna dapat dianalisis, dibutir, atau disebutkan satu per satu berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Pateda (2010: 261) lebih menegaskan lagi pengertian-pengertian yang disampaikan oleh para linguis tersebut di atas dengan sebuah contoh analisis komponen makna sebagaimana terpapar pada tabel berikut ini.

Tabel 1.1 Komponen Makna Kata Ayah dan Ibu

No. Komponen Makna Ayah Ibu

1 Manusia + + 2 Dewasa + + 3 Jantan + - 4 Kawin + + 5 Punya anak + +

Melalui tabel di atas dapat diketahui bahwa antara kata ayah dan ibu

terdapat satu ciri pembeda, yaitu makna jantan (laki-laki) yang hanya dimiliki

oleh kata ayah dan tidak dimiliki oleh kata ibu. Tabel tersebut menunjukkan

bahwa setiap kata hampir pasti memiliki ciri pembeda yang membedakan antar kata. Analisis semacam inilah yang digunakan penulis untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.

1.7.2 Medan Makna

Nida (1975: 174) menyatakan bahwa medan makna terdiri dari beberapa makna yang memiliki komponen makna bersama. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Nida, Harimurti (1982) dalam Chaer (2009: 110) memiliki

(9)

yakni medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Sejalan dengan itu, Wijana (2010: 48) menyatakan bahwa medan makna adalah butir-butir leksikal yang memiliki ranah atau bidang arti yang dimungkinkan sama. Dalam bukunya, Wijana memberikan uraian berupa contoh butir-butir leksikal yang tergolong dalam ranah atau bidang arti yang sama, yaitu kuning, hijau, merah, biru yang masuk dalam ranah warna. Terdapat pula contoh

lain, seperti butir leksikal dokter, dosen, tukang, buruh, kuli yang tergolong dalam

ranah profesi. Namun, kelompok leksikal yang tergabung dalam ranah tertentu itu tidak serta merta memiliki arti yang sama. Oleh karena itu, perlu diadakan sebuah penelitian lanjutan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan yang dimiliki oleh setiap butir leksikal dalam kelompok tertentu tersebut.

1.7.3 Relasi Makna

Menurut Wijana dan Rohmadi (2008: 27) dalam ilmu makna (semantik), satuan-satuan kebahasaan memiliki hubungan bentuk dan makna dengan kata atau satuan-satuan kebahasaan yang lain. Tidak hanya itu, setiap satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan memiliki lebih dari satu makna. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Chaer (2009: 83) yaitu sering kali dijumpai adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa yang lain. Berikut merupakan

(10)

penjelasan tentang hubungan bentuk dan makna yang memiliki kedudukan sentral dalam semantik menurut Wijana dan Rohmadi (2008: 28).

1.7.3.1Sinonimi

Menurut Verhaar (1978) dalam Chaer (2009: 83), yang dimaksud dengan relasi sinonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Chaer (2009: 83) sendiri beranggapan bahwa hubungan makna antara dua buah kata yang

bersinonim bersifat dua arah. Sebagaimana dicontohkan dengan kata bunga dalam

bahasa Indonesia yang memiliki kesamaan makna dengan kata kembang, sehingga

keduanya dianggap bersinonim. Pengertian serupa diungkapkan pula oleh Wijana dan Rohmadi (2008: 28) bahwasanya sinonimi adalah hubungan atau relasi persamaan makna. Dengan kata lain, satuan kebahasaan yang satu memiliki kesamaan makna dengan satuan kebahasaan yang lain. Meskipun demikian, tidak semua kata atau satuan kebahasaan yang bersinonim memiliki kesamaan makna secara menyeluruh dan saling dapat menggantikan dalam berbagai konteks pemakaian. Sebagaimana disampaikan oleh Bloomfield (1993: 145) bahwa setiap bentuk kebahasaan yang memiliki struktur fonemis yang berbeda dapat dipastikan memiliki makna yang berbeda, betapa pun kecilnya. Di bawah ini merupakan

contoh hubungan sinonimi antar kata ayah, bapak, dan papa dalam bahasa

Indonesia yang dapat membuktikan pendapat Bloomfield tersebut.

(1) a. Kemarin ayah saya membeli mobil baru.

(11)

c. Kemarin papa saya membeli mobil baru.

(2) a. *Ayah-ayah sekalian acara rapat akan dimulai. Untuk itu, sebelumnya kita berdoa menurut kepercayaan kita masing-masing agar pertemuan kita ini mendapat bimbingan dari Tuhan Yang Maha Esa.

b. Bapak-bapak sekalian acara rapat akan dimulai. Untuk itu, sebelumnya kita berdoa menurut kepercayaan kita masing-masing agar pertemuan kita ini mendapat bimbingan dari Tuhan Yang Maha Esa.

c. *Papa-papa sekalian acara rapat akan dimulai. Untuk itu, sebelumnya kita berdoa menurut kepercayaan kita masing-masing agar pertemuan kita ini mendapat bimbingan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan butir-butir contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun

kata ayah, bapak, dan papa bersinonim antar satu sama lain, namun kata bapak

memiliki cakupan makna yang lebih luas dibandingkan dengan kata ayah dan

papa dan dapat digunakan baik dalam situasi formal maupun tidak formal. Sehingga, dalam contoh kalimat (2) ketiganya tidak dapat saling menggantikan.

Menurut Keraf (1985: 37), perbedaan yang terdapat pada kata-kata yang bersinonim ini dapat beruhubungan dengan adanya ragam bahasa, makna kognitif dan emotif, dialek, dan kolokasinya. Diungkapkan pula oleh Chaer (2009: 86-87) bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kata-kata bersinonim tidak dapat saling menggantikan, yaitu (1) faktor waktu, (2) faktor tempat atau daerah, (3) faktor sosial, (4) faktor bidang kegiatan, dan (5) faktor nuansa makna.

(12)

1.7.3.2Polisemi dan Homonimi

Wijana dan Rohmadi (2008: 41) menyatakan bahwa polisemi adalah sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Perbedaan antara makna yang satu dengan makna yang lain dapat ditelusuri atau dirunut sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa makna-makna itu berasal dari

sumber yang sama. Sebagai contoh, kata bachelor dalam bahasa Inggris yang

memiliki lebih dari satu makna sebagaimana dikemukaan dalam the pocket

Macquary Dictionary (1980), yaitu (1) orang laki-laki yang belum menikah, (2) sarjana muda, (3) satria muda, dan (4) sejenis binatang berbulu yang masih muda yang dijauhkan dari tempat perkawinan oleh teman jantannya yang lebih tua. Dari keempat makna tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah arti yaitu kata „muda‟. Dalam hal ini, makna pertama yang dapat diidentifikasikan tanpa bantuan konteks disebut dengan makna primer. Sedangkan, makna lainnya yang memerlukan identifikasi konteks disebut dengan makna sekunder.

Berbeda dengan polisemi, dua buah kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama namun memiliki makna yang berbeda disebut dengan homonim. Dicontohkan oleh Wijana dan Rohmadi (2008: 55), kata beruang (kata dasar bahasa Indonesia) memiliki tiga kemungkinan makna, yakni „sejenis binatang kutub yang berkaki empat dan pemakan daging‟, „memiliki

uang‟ (ber- + uang), dan „memiliki ruang‟ (ber- + ruang). Adapun hubungan

yang bersifat homonim antar dua kata atau lebih ini menurut Wijana (1982) disebabkan oleh beberapa hal, seperti:

(13)

1. Adanya proses afiksasi. Dalam bahasa Indonesia proses afiksasi seperti awalan (prefiks), akhiran (sufiks), sisipan (infiks), serta awalan dan akhiran (konfiks) seringkali memunculkan pasangan homonim baru.

2. Masuknya kata-kata baru ke dalam kosakata bahasa Indonesia. Selama

suatu bahasa masih digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi, maka perkembangannya tidak dapat dipungkiri. Tidak jarang pula dalam proses perkembangannya, suatu bahasa memungut kata-kata asing untuk dapat mengungkapkan konsep-konsep baru dalam berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat.

3. Adanya proses penyingkatan dan pengakroniman. Fenomena

penyingkatan dan pengakroniman juga tidak kalah penting perannya dalam menyebabkan timbulnya pasangan homonim baru. Sebagaimana dicontohkan dalam penyingkatan kata „Polisi Militer‟ dan „Perdana Menteri‟, dimana keduanya disingkat dengan singkatan yang sama

yaitu PM. Begitu pula dengan akronim jagung untuk kata „jaksa

agung‟, yang juga memiliki makna biasa yaitu „nama tanaman dan buahnya‟.

4. Gejala bahasa. Sebagaimana didefinisikan oleh Badudu (1980: 47)

gejala bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata, atau kalimat dengan segala macam proses pembentukannya. Sehingga, sangat mungkin apabila proses pembentukan kata baru ini juga menyebabkan terjadinya pasangan kata baru yang berhomonim.

(14)

1.7.3.3Hiponimi

Kridalaksana (1993: 74) mendefinisikan hiponimi sebagai hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik, atau antara anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Chaer (2009: 102) berpendapat bahwasanya dua kata yang berhiponim bersifat searah. Artinya, leksikon-leksinon yang memiliki relasi hiponim tidak dapat saling menggantikan dalam sebuah kalimat. Dalam hubungan hiponimi ini tidak bersifat timbal balik, tidak seperti hubungan sinonimi atau antonimi.

1.7.3.4Metonimi

Antara satu kata dengan kata yang lain dalam berbagai bahasa seringkali

memiliki keterkaitan satu sama lain. Sebagai contoh, kata amplop dan dompet

dalam bahasa Indonesia yang memiliki hubungan asosiatif dan dihubungkan dengan uang. Untuk dapat menjelaskan lebih jauh mengenai hubungan metonimia antar kata ini, Wijana dan Rohmadi (2008: 68-73) telah memerikan empat jenis hubungan, yaitu (1) hubungan spasial, (2) hubungan temporal, (3) hubungan logical, dan (4) hubungan sebagian-keseluruhan.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-kualitatif yang di dalamnya terdapat tiga tahapan utama, yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil data, sebagaimana dipaparkan oleh Sudaryanto (1993: 5-7). Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang baik

(15)

dan lengkap, dalam penelitian ini digunakan metode analisis komponen makna yang disesuaikan dengan tujuan penelitian ini. Dengan mengaplikasikan metode analisis komponen makna, fitur-fitur semantik dalam setiap verba cara berbicara dengan penutur manusia dalam bahasa Inggris dapat diidentifikasikan. Penelitian ini membutuhkan sumber data primer dan sekunder. Buku yang merupakan hasil

penelitian Beth Levin pada tahun 1993, berjudul English Verbs Classes and

Alternation – A Preliminary Investigation, digunakan sebagai sumber data primer dalam penelitian ini. Sedangkan sumber data sekundernya adalah tiga kamus

ekabahasa daring, yakni Merriam-Webster Dictionary, Oxford Dictionary, dan

Cambridge Dictionary. Selain menjadikan ketiga kamus ekabahasa daring tersebut sebagai salah satu sumber data dalam proses identifikasi makna, beberapa korpus bahasa Inggris daring digunakan untuk memperoleh contoh-contoh ujaran dalam kehidupan nyata yang di dalamnya terdapat leksem verba cara berbicara. Adapun korpus daring yang digunakan sebagai sumber data sekunder, antara lain Corpus of Contemporary American English (COCA), TIME Magazine Corpus, dan News On the Web Corpus (NOW).

1.8.1 Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam peneltian ini diawali dengan pembuatan batasan-batasan yang berfungsi sebagai alat penjaring leksem verba dari sumber data yang digunakan. Batasan-batasan tersebut dirancang berdasarkan tujuan penelitian untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Batasan tersebut terdiri dari empat kondisi yang mengharuskan setiap leksem

(16)

verba dalam data memilikinya. Berikut keempat kondisi yang harus dimiliki oleh tiap leksem verba dalam penelitian ini:

Kondisi A : Verba bahasa Inggris yang mengandung makna „berbicara‟, Kondisi B : Penutur adalah manusia,

Kondisi C : Penutur menggunakan suaranya, Kondisi D : Penutur berbicara dengan cara tertentu.

Untuk dapat mengidentifikasikan bahwa suatu verba mengandung makna

„berbicara‟ dalam bahasa Inggris, penulis menggunakan makna verba „speak

dalam bahasa Inggris yang diperoleh dari kamus ekabahasa daring, Oxford

Dictionary, sebagai acuan. Berdasarkan kamus daring tersebut, verba „speak

bermakna (1) Say something in order to convey information or to express a

feeling „mengucapkan sesuatu untuk menyampaikan informasi atau

mengungkapkan perasaan‟, (2) Talk to in order to reprove or advise „berbicara

(pada mitra tutur) yang bertujuan untuk menegur atau memberi saran‟, (3) (of

behavior, an object, etc.) serve as evidence for something „(perilaku, objek, dll)

berfungsi sebagai bukti adanya sesuatu‟, (4) (of a musical instrument or other

object) make a sound when functioning „(alat musik atau objek lain) mengeluarkan suara ketika dimainkan atau dijalankan fungsinya‟. Selain itu, untuk dapat mengidentifikasikan keterlibatan manusia sebagai penutur yang berbicara menggunakan suaranya dengan cara tertentu, data berupa contoh kalimat dikumpulkan melalui kamus dan korpus daring untuk berikutnya dianalisis sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Dengan adanya

(17)

batasan-batasan tersebut diharapkan data yang terkumpul merupakan leksem-leksem verba yang paling sesuai dengan tujuan penelitian ini.

Dalam sumber data primer, menurut Levin (1993) terdapat 77 leksem verba yang tergolong dalam jenis klasifikasi verba cara berbicara. Adapun ketujuh

puluh tujuh leksem verba tersebut, antara lain babble, bark, bawl, bellow, bleat,

boom, bray, burble, cackle, call, carol, chant, chatter, chirp, cluck, coo, croak, croon, crow, cry, drawl, drone, gabble, gibber, groan, growl, grumble, grunt, hiss, holler, hoot, howl, jabber, lilt, lisp, moan, mumble, murmur, mutter, purr, rage, rasp, roar, rumble, scream, screech, shout, shriek, sing, snap, snarl, snuffle, splutter, squall, squawk, squeak, squeal, stammer, stutter, thunder, tisk, trill, trumpet, twitter, wail, warble, wheeze, whimper, whine, whisper, whistle, whoop, yammer, yap, yell, yelp, yodel. Seluruh leksem verba dalam data primer tersebut kemudian dijaring dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan untuk memperoleh leksem verba yang sesuai dengan tujuan penelitian ini, yakni verba cara berbicara dengan penutur manusia dalam bahasa Inggris.

Berdasarkan proses penjaringan data, ditemukan sekurang-kurangnya 29 leksem verba cara berbicara dalam bahasa Inggris yang melibatkan manusia sebagai penuturnya. Adapun kedua puluh sembilan leksem verba tersebut, antara

lain babble, bawl, burble, chant, croon, drawl, gabble, gibber, groan, grumble,

holler, intone, jabber, lisp, moan, mumble, murmur, mutter, rage, rasp, scream, shout, shriek, splutter, stammer, stutter, whisper, yammer, dan yell.

(18)

1.8.2 Analisis Data

Setelah seluruh data terkumpul, langkah selajutnya dalam penelitian ini adalah menganalisis data yang telah terkumpul. Dalam tahapan ini terdapat dua proses, pertama adalah proses identifikasi makna kamus 29 leksem verba cara berbicara dalam bahasa Inggris, kedua merupakan proses analisis komponensial terhadap 29 leksem verba cara berbicara dalam bahasa Inggris untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya sekaligus untuk melihat relasi antar verba dalam kelompok tersebut. Langkah kongkret yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain sebagai berikut.

1. Identifikasi makna makna 29 leksem verba cara berbicara dalam bahasa

Inggris melalui dua kamus ekabahasa daring Oxford Dictionary dan

Cambridge Dictionary.

2. Analisis komponensial terhadap 29 leksem verba cara berbicara dalam bahasa

Inggris berdasarkan makna kamus dan contoh kalimat dari kamus maupun korpus untuk mengetahui fitur-fitur semantisnya.

3. Identifikasi relasi antar verba berdasarkan hasil analisis komponen makna

yang telah dilakukan sebelumnya.

1.8.3 Penyajian Hasil Analisis Data

Menurut Sudaryanto (1993) metode penyajian data bisa dilakukan dengan (i) metode formal, yaitu dengan kalimat dan tabel, maupun dengan (ii) metode informal, yaitu dengan menggunakan kalimat. Adapun hasil analisis data dalam penelitian ini akan disajikan secara formal dan informal.

(19)

1.9 Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disajikan dalam empat bab dengan uraian sebagai berikut.

BAB I : merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : memuat uraian jawaban untuk rumusan masalah pertama yang berupa hasil inventarisasi verba cara berbicara dengan penutur manusia dalam bahasa Inggris.

BAB III : memuat uraian jawaban untuk rumusan masalah yang kedua dan ketiga mengenai komponen semantik pembentuk makna setiap leksem verba cara berbicara dalam bahasa Inggris serta penjelasan mengenai relasi antar verba dalam kelompok verba cara berbicara dalam bahasa Inggris.

BAB IV : memuat simpulan dan saran sebagai penutup laporan hasil penelitian ini.

Selain itu, pada laporan hasil penelitian ini juga melampirkan daftar pustaka yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan laporan hasil penelitian serta lampiran hasil inventarisasi, identifikasi dan analisis komponensial terhadap data yang mendukung penelitian ini.

Gambar

Tabel 1.1 Komponen Makna Kata Ayah dan Ibu

Referensi

Dokumen terkait

Perempuan dengan Unmet need untuk program keluarga berencana adalah perempuan yang produktif dan aktif secara seksual dan tidak ingin punya anak tetapi tidak

Jika auditor selalu ditekan dengan adanya anggaran waktu yang cepat maka auditor akan bertindak terburu-buru dan tidak hati-hati atas pemeriksaan bukti-bukti yang

Jika room konferensi web mata kuliah yang dipilih sudah dibuat oleh moderator dan moderator sudah berada di dalam room konferensi web , maka peserta bisa mengikuti konferensi

PERANCANGAN ANTENA MIKROSTRIP PATCH SEGIEMPAT PERIPHERAL SLIT MENGGUNAKAN METODE ARRAY 1x4 UNTUK APLIKASI RADAR MARITIM FREKUENSI 3,2 GHZ.. (M. Zulfadli, Indra Surjati,

Berdasarkan data yang kami peroleh saat praktikum Ilmu Produksi Aneka ternak di  peternakan Love Bird milik Bpk.. Winarno di

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesulitan siswa dan faktor penyebab siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal bangun ruang sisi datar. Jenis penelitian

PENDOKUMENTASIAN KEGIATAN

<> <asa_> [003.119] [E0] ha, sizler öyle kimselersinizdir ki onları seversiniz onlar ise bütün kitaba iman ettiğiniz halde sizi sevmezler, hem yüzünüze geldiler