• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka Analisis yuridis dalam penelitian ini akan menganalisa perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK terhadap APBK yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum yang tertinggi disamping norma-norma hukum yang lain. Dalam negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan tindakan pemerintah serta segala Instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan warganegara. Atas dasar hukum pula negara hukum menyelenggarakan apa yang

menjadi tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan

cara yang melawan hukum.18

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Pengantar

Hukum Tata Negara Indonesia” menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum

dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti sempit, pada Negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.

2. Pemisahan / pembagian kekuasaan.

Sedangkan Negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.

2. Pembagian / pemisahan kekuasaan.

3. Setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan.

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.19

Berdasarkan uraian konsep tentang Negara hukum tersebut, ada 2 (dua) substansi dasar, yaitu:20

1. Adanya paham konstitusi.

2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi

18

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 2000) hlm. 55. 19

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm. 156.

20

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), hlm. 120.

logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan pemerintahan negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada lembaga perwakilan rakyat, presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden mengeluarkan peraturan.

Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan, dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah (government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara serta perlindungan didalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa) dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan kekuasaan yang dimiliki.

Sedangkan sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat adalah bahwa rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undang-undang.21

21

Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.22

Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.

Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang

22

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 70.

berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip

ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.23

Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme.

3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.

4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.

5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak

bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki

23

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 57.

perwujudan keikutsertaan masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan

maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.24

Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga) faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan pendemokrasian pemerintahan:

1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).

2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat

memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.

3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap

masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.25

Sejalan dengan hal tersebut, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan implementasi dari Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan

Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal

suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi,

24

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang, UNSIKA, 1993), hlm. 47.

25

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 34.

serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:

1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI

berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU

Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.

3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak

diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.

4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui

pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.

5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas

ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 pemerintah daerah kabupaten terdiri dari bupati dibantu perangkat daerah dan DPRK sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan berdasarkan perundang-undangan, berarti disini merupakan implementasi dari desentralisasi dimana adanya penyerahan wewenang pusat kedaerah.

Menurut Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso desentralisasi dapat diartikan sebagai berikut:

1. Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab mengenai fungsi-fungsi publik;

2. Tranfer tersebut berasal dari pemerintahan pusat;

3. Transfer tersebut diberikan kepada etnis yang dapat dibentuk: a. Organisasi pemerintahan subnasional.

b. Badan-badan pemerintahan semi otonomi.

c. Organisasi atau penjabat pemerintah puasat yang berada di luar ibukota

negara.

d. Organisasi nonpemerintah.

4. Maksud dari tranfer kewenangan dan tanggung adalah agar tujuan negara

dapat dicapai secara lebih efektif, efesien dan demokrasi.26

Secara legalistik formal, misalnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan urusan dari pemerintahan atau daerah atasanya kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya” Menururt Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia” sedang menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistim negara Republik Indonesia”.27

26

Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, op.cit, hlm. 6

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”Pemberian kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Repunlik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

27

Dari pengertian diatas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu

dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.

2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa

(residual functions).

3. Penerima wewenang adalah daerah otonom.

4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan

melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.

5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum

yang berlaku umum dan bersifat abstrak.

6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum

yang bersifat individual dan konkrit.

7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat.

8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.

9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system

politik.28

Penyerahan uruasan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dijelaskan oleh The Liang Gie, sebagai urusan rumah tangga pemerintahan daerah yang dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:29

1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip)

Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya dimana kewenangan-kewenangan tersebut lalau dibagi secara tegas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip).

28

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2007), hlm. 15.

29

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negera REpublik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1958), hlm. 30.

Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dilakukan atas dasar pertimbangan rasional dan praktifs. Di sini tidak ada perbedaan yang tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi tugas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil urusan-urusan terserbut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah daerah. Jadi, urusan-urusan rumah tangga tidak terperinci secara normative dalam undang-undang pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan umum. Rumusan umum ini hanya mengandung prinsip-prinsip saja, sedangkan pengaturan selanjutnya diserahkan kepada prakarsa daerah yang bersangkutan. Masalah menentukan urusan pusat dan daerah diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif daerah. Disini pemerintah daerah memeiliki keleluasaan gerak (vrije taak) untuk mengambil inisiatif, memilih alternative, dan mengambil keputusan di sergala bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip)

Ajaran ini merupakan jalan tengah antara anggaran rumah tangga materiil dan rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada factor-faktor riil di daerah, sepertin kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan pendudukan. Dalam ajaran ini dikenal adanya kebijakan pemberian urusan pokok dan urusan

tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya Undnag-Undang mengaturnya telah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga yang merupakan urusan pokok sebagai modal awal disertai segala atribut, wewenang, personal, perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan serta perkembangan daerah yang bersangkutan secara bertahap urusan-urusan tersebut dapat tumbuh.

Konsekwensi langsung dari penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke daerah (desentralisasi politik) adalah tindak lanjut dengan desentralisasi fiskal dan desentralisasi administrasi. Desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menggali sumber asli pendapatan daerahnya sendiri, mengelola keuangan sendiri dengan perencanaan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan facktor essensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang, karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat tanpa tersedianya dana untuk itu.30

30 Ibid.

Sedang desentralisasi administrasi pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk merencanakan, pelaksanaan dan mengendalikan program-program untuk mencapai kesejahtraan masyarakat. Atau dengan perkataan laindesentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.31

Perencanaan keuangan dapat diartikan sebagai berikut:32

1. Rencana keuangan yang menerjemehkan penggunaan sumber-sumber yang

tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju penciptaan kehidupan rakyat yang lebih baik dimasa yang akan datang.

2. Rencana keuangan Pemda untuk membangun perikehidipan masyarakat yang

tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan, untuk mendorong rakyat untuk memenuhi kewajibanya sebagai warga negara.

3. Proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap

program dan aktivitas dalam bentuk satuan uang.

4. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorentasi pada

pencapaian hasil atau kinerja disebut anggaran kerja, kinerja harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang berarti berorentasi pada kepentungan publik.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran adalah:

1. Semua penerimaan (uang, barang dan atau jasa) dianggarkan dalam APBD.

2. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dianggarkan secara bruto.

3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian

tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.

31

Chahib Sole dan Heru Rachmansjah, Pengelolaan dan Aset Keuangan Daerah, (Bandung: Fokusmedi, 2010), hlm. 27

32

Dengan adanya pembagian kewenangan diantara penyelenggara pemerintahan daerah, maka akan diikuti dengan check and balances system (sistem saling mengawasi) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut. Oleh karna itu yang dibutuhkan adalah:33

1. Suatu distribusi kekuasaan agar kekuasaan tidak berada dalam suatu tangan saja.

2. Suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan

tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani, hal ini disimpulkan dalam lingkup pengertian Balances.

3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain agar pemegang kekuasaan

tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, hal ini disimpulkan dalam pengertian Chekcs, tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemrintahan lainya, tetapi harus melakukan pengecekan satu sama lainya.

Operasionalisasi dari check and balances ini dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut: 34

1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan suatu Undang-Undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan para pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya.

2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif.

3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap

cabang pemerintahan lainnya.

4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang

pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam penggunaan budget negara.

33

Ibid, hlm. 124

34

5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the

last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan

legislatif.

Sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi tugas pemerintah kedalam “trichotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini seringkali ditemui, kendati batas pembagian kekuasaan itu tidak selalu sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling

pengaruh mempengaruhi.35

Sebagai mana telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan perundang-undangan:

a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang/ Perpu.

c. Peraturan Pemerintah. d. Peraturan Persiden. e. Peraturan Daerah.

Dimana dalam Undang-Undang tersebut peraturan daerah adalah salah satu tata urutan perundang-undangan di Indonesia, atau peraturan daerah merupakan salah satu hukum positif di Indonesia sehingga begitu strategisnya peraturan daerah mengatur kehidupan masyarakat untuk itu peraturan daerah yang telah dibuat harus diawasi penggunaanya.

35

Menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 berbunyi “DPRA Dan DPRK Mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.” Adapun hak DPRK di atur dalam Pasal 25 ayat (1), Yang berbunyi:

DPRA/DPRK mempunyai hak: a. Interpelasi.

b. Angket.

c. Mengajukan pernyataan pendapat.

d. Mengajukan rancangan qanun.

e. Mengajukan rancangan atas perubahan qanun.

f. Membahas dan menyetujui rancangan qanaun tentang Anggaran Pendapan

dan Belanja Aceh dan kabupaten/kota dengan Gubernur/Bupati/Walikota.

g. Menyususn rencana anggaran belanja sesuai dengan fungsi, tugas dan

wewenang DPRA/DPRK sebagai bagian dari APBA dan APBK dengan standar harga yang disepakati Gubernur dan DPRA dan Bupati/Walikota dengan DPRK yang ditetapkan denagn peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.

h. menggunakan anggaran sebagai mana yang telah ditetapkan oleh

APBA/APBD dan diadministrasikan oleh Sekretaris Dewan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

i. penyusunan dan penetapan Peraturan Tata Terti dan Kode Etik Anggota

Pengawasan merupakan peran penting dan positif dalam proses menejmen untuk mengukur kinerja dan pengambilan tindakan yang bertujuan untuk menjamin hasil dan berjalan sesuai yang telah direncanakan,

Pengawasn menurut waktunya dapat dibagi menjadi:

1. Pengawasan umpan depan (feedforward)

Pengawasan ini dimulai dari masa perencanaan atau sebelum kegiatan dimulai untuk menjamin kejelasan sasaran, tersedianya arahan yang memadai dan ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan dengan memfokuskan pada kualitas sumberdaya.

2. Pengawasan umpan balik (feedback)

Pengawasan ini dilakukan setelah kegiatan dilaksanakan, pengawasan ini difokuskan pada kualitas dari hasil kegiatan untuk menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja pada kegiatan selanjutnya.

Bila dilihat dari pihak yang mengawasi, pengawasan dapat dibagi menjadi:

1. Pengawasan bersama (concurrent)

Pengawasan ini dilakukan bersama oleh semua pihak yang berkepentingan dari kegiatan tersebut, dengan memonitor kegiatan yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuaatu dilaksanakan sesuai rencana dengan tujuan mengurangi hasil yang tidak diinginkan.

2. Pengawasan Internal dan Eksternal

Pengawasan internal dilakukan dalam satu badan secara vertikal dimana badan tersebut diberi kesempatan untuk memperbaiki sendiri.

Pengawsan eksternal dilakukan oleh badan pengawas fungsional melalui supervisi dan sistem administrasi formal.

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD adalah pengawasan fungsi legislatif terhadap penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas, wewenang dan haknya melalui dengar pendapat, kunjungan kerja dan pembentukan panitia khusus dan panitia kerja.36

Sebagai tindak lanjut dari pengawasan DPRD diberi hak oleh Undang-Undang yaitu hak Interplasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, dimana dapat dijabarkan sebagai berikt: 37

a. Hak interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepala daerah

menenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, daerah dan negara.

b. Hak angket adalah pelaksanaan funfsi pengawasan DPRD untuk melakukan

penyelidikan terhadap suatu kebijakan tentang kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dokumen terkait