ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN
OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN
DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )
Tesis
Oleh
R I J A L U D D I N
087005064
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN
OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN
DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
R I J A L U D D I N
087005064
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN
TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS
( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues ).
Nama Mahasiswa : RIJALUDDIN.
NIM : 087005064.
Program Studi : Magister Ilmu Hukum.
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH. K e t u a
)
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS) (Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum A n g g o t a A n g g o t a
)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a
Telah diuji pada
Tanggal : 31 Agustus 2010.
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH.
Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS. 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum.
ABSTRAK
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, DPRK bersama Bupati dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensinya maka timbul otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Aceh yang menaungi beberapa kabupaten, dan salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah kabupaten yang ditetapkan dengan qanun. Adapun bentuk pengawasan DPRK melalui pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan didaerah. Dengan alasan tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK terhadap APBK, bagaimana eksistensi DPRK dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap APBK serta hambatan apa yang dihadapi dalam melakukan pengawasan.
Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK.
ABSTRACT
House of Representative District (DPRK) is one of the elements of the district local government whose members are elected through general elections. In carrying out local government, the DPRK with the regent assisted by work unit area (SKPD) who were given special authority to organized and manage their own affairs and interest of local communities in accordance with statutory regulations. As a consequence, the resulting special autonomy granted to Aceh province, which is responsible for several districts, one of which is the district of Gayo Lues. In running the government’s annual financial plans which set out the strip district law (qanun). The shape of the DPRK through a supervisory control politics and policies that aim to maintain public accountability, especially related institutions directly to the implementation of governmnet policies and programs as well as development in the region. With the above reasons, the problems arising in this research is on how setting the DPRK against APBK oversight, how the existence of the DPRK in conducting oversight APBK.
This is the type of legal research legal to the nature of empirical normative descriptive analitycal research. In conducting the data collection was done by 2 (two) ways, namely: research library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judical interpretation is expected to answer the legal issues raised in this paper.
From the research result can be summarized: first, the DPRK supervisory Law No. 27 Year 2009 of the MPR, DPR, DPD, and DPRD, Law No. 32 of year 2004 on region governance and Law No. 11 year 2006 concerning Aceh Government which are technically regulated in order. Second, the implementation of the supervision of APBK is based on information entered into the realm of constituents without the supervision of a technical nature, as a follow-up supervision of the DPRK has the right of interpellation right and the right to an oppinion poll. Thirdly, the DPRK obstacles in carrying out its oversight functions against APBK can come from internal and eksternal. Therefore, to overcome this problem is suggested: First, the government should make only one statement in the from of legislation relating to on DPRK technical oversight function. Second, it is expected to Independent Election Commision (KIP) to allow more attention to the selection process of human resources for local legislative candidates. Third, the government is expected to establish an institution or the like which serves as a central legislation on the supervision of the DPRK.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan
syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis Fungsi
Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus ( Studi Di Dean
Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )”. Demikian juga shalawat beriring salam
disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam
kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang
ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya
rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam
melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian
dari ALLAH SWT, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan
senantiasa mengharap ridho dan pertolongan dari ALLAH SWT, karena penulis yakin
bahwa ALLAH SWT tidak akan membebani dan menguji hambaNya melebihi dari
daya dan kemampuannya.
Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis
menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH. selaku ketua komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam
memperluas wawasan penulis.
2. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku pembimbing II
yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Yang terpelajar Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum selaku pembimbing III
sekaligus Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat
untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan
yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.
4. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. MHum dan yang terpelajar
Bapak Dr. Mirza Nasution, SH. MHum yang telah berkenan sebagai penguji dari
mulai kolokium hingga meja hijau dan telah banyak memberikan kritik dan
sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.
5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultasu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu persatu.
6. Seluruh Anggota dan staf Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues yang
telah membatu saya dalam melakukan penelitain yang namanya tidak dapat saya
7. Teman-teman satu angkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (Dani Sintara, SH. MH, Ruly Pardian, SH.
MH, Ya’thi Syahri, SH. MH, M. Rizky Hidayat, SH. MH, M. Hykna Kurniawan
Lubis, Fadillah Haryono, Mardia Pulungan, SH. MH, Moraluddin Harahap,
Franky Fernandus Purba, SH. MH, Satria Dharma Putra Zebua, Abel Zekonia Tri
Legenda, SH. MH, Pristika Handayani, SH. MH, Lenni Wirana, SH. MH, Suriani,
SH. MH, Claudya Purba, SH. MH, Ervinasari, SH. MH) dan yang lain yang tak
dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal
saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.
Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada Aban-abang dan kakak-kakak penulis tercinta, yakni: Bang H. M. Amru,
Bang Iskandar, Bang Nasir, Kak Ira, Kak Masita yang dengan ketulusannya telah
mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani
penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada
tara, semoga senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan
tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan
kesabaran yang telah diberikan oleh Almarhum dan Almarhumah orang tua penulis
tercinta, yakni Ayahanda Ismail Daud dan Ibunda Nurhayatai, kalian telah menjadi
pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam
Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak
Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap
kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih
baik.
Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat membawa manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.
Terimakasih.
Medan, Agusutus 2010. Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR SKEMA ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Keaslian Penelitian ... 16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17
1. Kerangka teori ... 17
2. Kerangka konsepsi ... 37
G. Metode Penelitian ... 39
1. Spesifikasi penelitian ... 39
2. Alat pengumpul data ... 39
BAB II : PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN DPRK/ DPRD TERHADAP PELAKSANAAN APBK/APBD
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 36
A. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD ... 44
B. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah ... 46
C. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh ... 52
D. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten Gayo Lues Periode 2009-2014 ... 55
E. Analisis Peraturan Fungsi Pengawasan DPRD/DPRK ... 62
BAB III : EKSISTENSI DPRD/DPRK DALAM MELAKSANAKAN
FUNGSI PENGAWASAN (CONTROL FUNCTION)
TERHADAP PELAKSANAAN APBD/APBK ……… 72
A. Mekanisme Penyusunan Anggaran Daerah Berdasarkan
Prinsip Good Financial Governance ... 72
B. Kedudukan Lembaga DPRK Sebagai Pengawasn
Dalam Pemerintahan Aceh ... 84
C. Analisis Fungsi Pengawasan DPRD/DPRK Terhadap
Pelaksanaan APBD/APBK ... 100
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI
OLEH DPRD/DPRK DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSI PENGAWASAN
TERHADAP PELAKSANAAN APBD/APBK ... 109
B. Belum Adanya Standard, Sistem dan Prosedur Baku
Pengawasan DPRD/DPRK ... 111
C. Partisipasi Masyarakat Belum Optimal ... 112
D. Hambatan Yang Bersifat Politis ... 115
E. Kurang Harmonisnya Antara Kepala Daerah dan DPRK Akibat Pengawasan ... 119
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 122
A. Kesimpulan ... 122
B. Saran ... 124
DAFTAR PUSTAKA ... 126
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema I : Makna Fungsi Pengawasan ... 65
Skema II : Proses Penyusunan Strategis dan
Prioritas APBD / APBK ... 76
Skema III : Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah ... 82
Skema IV : Perencanaan dan Pelaksanaan Pengawasan
DPRK ... 93
DAFTAR SINGKATAN
• APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
• APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.
• DPR : Dewan Perwakilan Rakyat.
• DPD : Dewan Perwakilan Daerah.
• DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
• DPRK : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
• DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
• DPA : Daftar Pengisian Anggaran.
• RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
• RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
• KUA : Kebijakan Umum Anggaran.
• PPAS : Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara.
• SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah.
• RKA-SKPD : Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.
• RAPBD : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
• MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat.
• SAP : Satuan Akuntansi Pemerintahan.
• LRA : Laporan Realisasi Anggaran.
• CALK : Catatan Atas Laporan Keuangan.
• SPM-UP : Surat Perintah Membayar Uang Persediaan.
• SPM-GU : Surat Perintah Membayar Ganti Uang.
• SPM-TU : Surat Perintah Membayar Tambahan Uang.
• SPM-LS : Surat Perintah Membayar Langsung.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rijaluddin.
Tempat / Tanggal Lahir : Aceh Tenggara / 30 Mei 1984.
Alamat : Jl. Kolonel Muhammaddin No. 274 Blangkejeren,
Gayo Lues.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Wiraswasta.
Status Pribadi : Belum Menikah.
Pendidikan : 1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri : Tahun 1996.
Blang Tampeng Kuta Panjang
2. SMP Muhammadiyah : Tahun 1999.
Kutacane
3. SMU Neg. 4 Medan : Tahun 2002
4. Fakultas Hukm Universitas : Tahun 2008
Muhammadiyah Sumatera Utara
Nama Orang Tua Laki-Laki : Alm. Ismail Daud.
Nama Orang Tua Perempuan : Almh. Nurhayati.
Anak Ke : 7 dari 7 bersaudara.
ABSTRAK
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, DPRK bersama Bupati dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensinya maka timbul otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Aceh yang menaungi beberapa kabupaten, dan salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah kabupaten yang ditetapkan dengan qanun. Adapun bentuk pengawasan DPRK melalui pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan didaerah. Dengan alasan tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK terhadap APBK, bagaimana eksistensi DPRK dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap APBK serta hambatan apa yang dihadapi dalam melakukan pengawasan.
Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK.
ABSTRACT
House of Representative District (DPRK) is one of the elements of the district local government whose members are elected through general elections. In carrying out local government, the DPRK with the regent assisted by work unit area (SKPD) who were given special authority to organized and manage their own affairs and interest of local communities in accordance with statutory regulations. As a consequence, the resulting special autonomy granted to Aceh province, which is responsible for several districts, one of which is the district of Gayo Lues. In running the government’s annual financial plans which set out the strip district law (qanun). The shape of the DPRK through a supervisory control politics and policies that aim to maintain public accountability, especially related institutions directly to the implementation of governmnet policies and programs as well as development in the region. With the above reasons, the problems arising in this research is on how setting the DPRK against APBK oversight, how the existence of the DPRK in conducting oversight APBK.
This is the type of legal research legal to the nature of empirical normative descriptive analitycal research. In conducting the data collection was done by 2 (two) ways, namely: research library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judical interpretation is expected to answer the legal issues raised in this paper.
From the research result can be summarized: first, the DPRK supervisory Law No. 27 Year 2009 of the MPR, DPR, DPD, and DPRD, Law No. 32 of year 2004 on region governance and Law No. 11 year 2006 concerning Aceh Government which are technically regulated in order. Second, the implementation of the supervision of APBK is based on information entered into the realm of constituents without the supervision of a technical nature, as a follow-up supervision of the DPRK has the right of interpellation right and the right to an oppinion poll. Thirdly, the DPRK obstacles in carrying out its oversight functions against APBK can come from internal and eksternal. Therefore, to overcome this problem is suggested: First, the government should make only one statement in the from of legislation relating to on DPRK technical oversight function. Second, it is expected to Independent Election Commision (KIP) to allow more attention to the selection process of human resources for local legislative candidates. Third, the government is expected to establish an institution or the like which serves as a central legislation on the supervision of the DPRK.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
“Kekuasaan cenderung disalah gunakan dan kekuasaan yang mutlak pastilah
disalah gunakan (power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely)”
itulah kalimat yang pernah dikemukan oleh Lord Acton seorang berkebangsaan
Inggris yang hidup antara tahun 1838 hingga 1902, yang awalnya hanya sebuah
hipotesa belaka. Hipotesa yang akirnya seakan menjadi takdir yang tak terbantahkan
lagi oleh sejarah panjang kekuasaan. Kekuasaan yang mutlak berada pada tangan
seseorang yang telah melahirkan seorang Fir’aun, Nero hingga Mossolini dan Hitler
dengan pemerintahan yang tiran. Kekuasaan yang mutlak berada di tangan
sekelompok orang telah menjadi pedang bagi bangsawan Prancis atau Partai Komunis
untuk mengoyakkan hak rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri
dalam pemerintahan yang oligarkhi. Demikian panjangnya sejarah hitam kekuasaan
hingga pernah dianggap ideal setidaknya dalam teori Lao Sayeung di China atau pun
Machiavelli di Prancis.1
Pada abad ke 18 perjuangan untuk membela hak-hak rakyat dari penindasan
penguasa mulai muncul dan melebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan ilmu
pengetahuan, paham kemanusiaan (humanisme) dengan semangat kebebasan (liberte)
derta persaudaraan (freternete) telah menjadi pradigma baru dalam hubungan antara
1
penguasa dan rakyat. Penguasa dan rakyat yang disetarakan kedudukanya sehingga
rakyat lebih memiliki posisi tawar yang kuat dihadapan penguasa (negara). Untuk
mewujudkan kondisi yang demikian maka kekuasaan yang bersifat mutlak, apalagi
keberadaannya pada satu tangan secara mutlak haruslah dilarang walaupun dengan
alasan apapun. Hanya dengan demikian rakyat dapat lepas dari penindasan penguasa.
Untuk dapat mencegah munculnya kekuasaan yang mutlak dalam suatu negara
setidaknya ada dua cara yang dapat ditempuh. Yang pertama adalah dengan
membatasi kekuasaan tersebut secara yuridis dalam suatu konstitusi negara sesuai
dengan teori kontrak sosial (social contract) yang di kemukan oleh Jhon Locke, yang
mana walaupun rakyat menyerahkan kekuasaan pada penguasa namun ada hak-hak
yang mendasar (Hak asasi) yang tetap berada di tangan rakyat2. Jadi kekuasaan
negara terbatas hanya pada hal yang diatur dalam konstitusi yang isinya harus
dipatuhi sebagai aturan tertinggi (staat fundamental norm). dengan dianutnya asas
tersebut maka negara tersebut merupakan negara hukum (rechsstaat) dan bukan
negara kekuasaan (machsstaat) sebagai mana diatuar dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Tahun 1945, paham yang demikian dikenal dengan istilah
Konstitusionalisme, yaitu paham yang mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan
hak-hak rakyat melalui konstitusi.3
Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum
yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua
2
Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: Armico, 1968), hlm. 257
3
orang dalam negara tersebut baik yang diperintah maupun yang memerintah harus
tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diberlakukan sama
dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang
rasional, tanpa memandang warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan,
dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan,
sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak
rakyat diberikan peran sesuai dengan kemampuan dan peranannya secara demokrasi.4
Adapun cara kedua adalah dengan memecah kekuasaan negara, baik dengan
sistim pemisahan (separation of power) atau dengan pembagian kekuasaan
(distribution of power). Teori ini didasari oleh teori Trias politikal yang dikemukakan
oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul “L’espirit des lois” yang memunculkan
tiga lembaga pemerintahan yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif5
4
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009) , hlm.3
.
Khusus berkaitan dengan kekuasaan utama, yang berkaitan dengan kekusaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dipegang oleh lembaga eksekutif, namun hanya dapat
menjalankan kekuasaanya dengan aturan yang dibentuk sekaligus diawasi
pelaksanaanya oleh lembaga legislatif. Kehadiran perwakilan rakyat dalam suatu
negara demokrasi bukanlah untuk mengurangi kewenangan dari eksekutif tetapi harus
5
dipandang sebagai upaya untuk terjaminya kepentingan rakyat dalam seluruh
kebijakan pemerintah termasuk pemerintah daerah.6
Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (4), disebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah” yang menjalankan kekuasaan legislatif.
Fungsi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal
41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo. Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh, Jo. Pasal 343
ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi:
DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas:
a. Legislasi
b. Anggaran
c. Pengawasan
Dalam penjelasan Pasal 343 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo. Pasal 77 huruf a,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis
6
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disebutkan lebih lanjut bahwa: Pasal 77
huruf a, yang di maksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang
merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota. Hurup b, fungsi
anggaran adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan pemerintah daerah
untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Hurup c, fungsi
pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan Undang-Undang, peraturan daerah, dan keputusan
bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Sebagai mana disebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003;
“Bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan perlu diwujudkan
lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan serta dapat
menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai
dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan nernegara”. Berdasarkan
kalimat di atas sebagai dasar pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 bahwa lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah
merupakan wadah demokrasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.7
77
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan
pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari padadigma sentralistik ke
arah desentralistik nyata ditandai dengan pemberian otonomi luas dan nyata pada
daerah, pemberian ini dimaksudkan khusus untuk lebih memandirikan daerah serta
pemberdayaan masyarakat (empowering).8
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik kebangsaan,
setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B, telah terjadi
perubahan yang sangat mendasar dalam tatanan kenegaraan termasuk dalam susunan
dan kedudukan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik ditingkat Provinsi
maupun Kabupaten/Kota.
Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam
melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang terkait dengan
masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara,
disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas
kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara
lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila keberadaan keuangan
negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan
keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dalam
8
melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya,
suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi problema pelik dalam memperlancar
pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi
keuangan yang baik pula.9
Penerapan Otonomi Daerah berdasrkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
yang kemudian di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyebabkan pelaksanaan pemerintahan dapat di laksanakan secara lebih praktis dan
nyata pada Pemerintahan Daerah. Provinsi Aceh (setelah di rubah namanya kembali
mensajadi Provinsi Aceh dari nama sebelumnya Nanggro Aceh Darussalam
berdasarkan Pergub tanggal 7 April 2009) Sebagai daerah otonomo khusus sejak
sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, yang
mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa
Aceh.
Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam
mencapai keberhasilan suatu daerah, maka dalam pelaksanaannya harus pula
dibarengi dengan pengawasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Pelaksaaan ototnomi khusus di Provinsi Aceh didasakan atas Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 yang telah di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor
11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Didalam konsideran (Menimbang) UU
Nomor 18 Tahun 2001 huruf (d) antara lain disebutkan bahwa “ketentuan dalam
9
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
belum menampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi
DaerahIstimewa Aceh”. Sedang dalam huruf (e) disebutkan “bahwa pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalah otonomi
yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan juga
penyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikan
sebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan:
(1)“Kewenangan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam
Undang-Undang ini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2) “Kewenangan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwa
yang tidak diotonomikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada
pokoknya hanyalah lima buah urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar
negeri, dan pertahanan, maka otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai
pemberian paling kurang sebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum
diotonomikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam
“Penjelasan Umum” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa “Hal
mendasar dari Undang-Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber
mengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam alinia
lainnya disebutkan “Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara
merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tataruang
pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di
wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia, Pemerintah
berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.10
Pada dasarnya tugas DPRK dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh sama dengan tugas DPRD dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang di sempurnakan dengan Undang-Undang No.12 tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, DPRD mempunyai fungsi antara lain
membuat peraturan, peraturan (legislasi) dalam hal ini peraturan daerah (Perda),
DPRD harus memasukan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang di wakilinya
dalam bentuk Pasal-Pasal peraturan yang dihasilkanya. Dalam fungsi keuangan
(Budgeter) DPRD berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam pembuatan APBD ini DPRD harus
melibatkan unsur masyarakat, transparansi dan akuntabel, sebab uang yang digunakan
itu berasal dari rakyat dan untuk kepentungan rakyat. Dalam menjalankan fungsi
10
pengawasan, DPRD bisa menggunakan berbagi hak yang di milikinya, seperti hak
bertanya, hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat.11
Dalam anggaran terdapat siklus yang di sebut Budget Ciclus yang merupakan
jangka waktu mulai dari anggara disusun sampai dengan saat perhitungan anggaran
disahkan dengan Undang-Undang. Menurut Harjono Sumosudirdjo dalam W.
Riawan Tjandra, tahapan siklus anggaran adalah sebagai berikut: 12
1. Penyusunan anggaran oleh pemerintah;
2. Pengelolaan anggaran di DPR yang berakir dengan pengesahan anggaran
dengan UU;
3. Pelaksanaan anggaran oleh pemerintah;
4. Pengawasan-pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran;
5. Pengesahan perhitungan anggaran dengan UU.
Pengawasan yang digambarka dalam siklus anggaran terihat seakan-akan
merupakan tahapan yang terpisah, pada hal sebenarnya pengawsan merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari setiap siklus anggaran. Dengan demikian, pengawasan
merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada setiap tahapan dalam setiap
siklus anggaran. Pengawasan merupakan sarana untuk menghubungkan target dengan
realisasi setiap program/ kegiatan/ proyek yang dilaksanakan pemerintah. Fungsi
pengawasan harus dilakukan pada setiap perencanaan dan pelaksanaanya, kegiatan
pengwasan sebagai fungsi menejmen bermaksud untuk mengetahui tingkat
keberhasilan dan kegagalan setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan,
keberhasilan perlu dipertahankan bila mungkin ditingkatkan dalam perwujudan
11
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. XVI.
12
menejmen/administrasi berikutnya di lingkungan suatu unit kerja tertentu, sebaliknya
kegagalan harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya, baik dalam
penyusunan pelaksanaan maupun pelaksanaanya. Utuk itulah fungsi pengawasan
perlu dilaksanakan sedini mungkin agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk
pelaksanaan perbaikan bila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sbelum menjadi
lebih buruk dan sulit diperbaiki.13
Mengenai pengelolaan dan pengawasan haruslah dipisah untuk menghindarkan
berkolusi antara pengelola dan pengawas keuangan daerah. Pengelolaan keuangan
daerah menjadi tantangan baru yang dihadapi oleh pemerintah, sebagai mana yang
telah dimaklumi bahwa tingkat korupsi yang tinggi menjadi salah satu masalah dasar
yang halus diselesaika.14
Pengawasan yang dilakukan oleh DPRK terhadap qanun, peraturan Bupati dan
kebijakan pemerintah daerah lainya tentu dipengruhi oleh faktor internal dari para
pengawas itu sendiri seperti sumberdaya manusia, karna keterbatasan sumberdaya
manusia dalam melakukan pengawasan akan memrpengruhi hasil pengawasanya.
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD memang unik , hal ini berbeda
dengan dua fungsi lainya yaitu fungsi legislasi dan dan anggaran . Kedua fungsi ini
telah memiliki pedoman dan prosedur baku yang diatur dengan Unang-Undang,
dalam bidang fungsi legislasi misalnya terdapat Undang-Undang Nomor 10 tahun
13
Ibid, hlm. 130.
14
2004 tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam bidang
anggaran terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah , peraturan Mentri Dalam Negri Nomor 13 Tahun
2005 yang telah diubah dengan Nomor 59 tahun 2007 tentang pengelolaan keuangan
daerah, dan bahkan Menteri Dalam Negri tiap tahun mengeluarkan Peraturan Menrti
Dalam Negri tentang Pedoman Penyusunan APBD, namun dalam bidang pengawasan
kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, Undang-Undang Susunan dan
Kedudukan Legislatif menyerahkan sepenuhnya kepada DPRD agar tata cara
pelaksanaan fungsi pengawasan diatur dalam Tata Tertib DPRD, meskipun terdapat
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tengatang Pedoman pembinaan dan
Pengawasan Pemerintah Daerah namun Peraturan Pemerintah in juga tidak memberi
pedoman yang jelas, bahkan dalam Peraturan Pemerintah ini hanya di sebutkan dalam
pasal 43 yang berbunyi “DPRD sesuai dengan fungsinya dapat melakukan
pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.15
Kekurang harmonisan antara DPRD dengan pemerintah daerah sebagai akibat
dari pengawasan, dapat saja bersumber dari akibat prilaku pengawasan itu sendiri
yang bertindak sebagai pihak yang mencari-cari kesalahan, sehingga terjadi ketidak
harmonisan. Disisi lain pihak yang diawasi seharusnya tidak perlu bersikap reaktif,
jika pekerjaan itu diawasi, sebab jika pekerjaan yang diawasi (pemerintah daerah)
15
tidak ada unsur kesengajaan melakukan penyimpangan terhadap pembangunan
fasilitas insfrastruktur, tidak perlu kawatir kendatipun sedang diawasi. Penguatan
posisi lembaga legislatif daerah yang kini dimiliki DPRD baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota cukup signipikan. Pasca lengsernya Soeharto menjadi titik
awal memperkuat peran dan fungsi legislatif daerah terhadap hegemoni eksekutif.16
Penyususnan APBD dilakukan secara integrasi untuk selurus jenis belanja guna
melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada perinsip efesiensi alokasi
dana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu adanya penguatan kapasitas
aparatur yang terlibat lansung dalam penyususnan angggaran maupun anggota DPRD
yang mengawal perjalanan penyususnan APBD dan pengawasan pelaksanaannya. Sejalan dengan penguatan posisi legislatif daerah tersebut maka hubungan yang tidak
harmonis antara pemerintah daerah dengan DPRD, sering terjadi dibandingkan
dengan era orde baru. Bila hal ini terjadi maka dapat berakibat pada keterlambatan
proses pengesahan APBD, yang pada giliranya akan terlambatnya pelaksanaan
pembangunan.
17
Dengan otonomi khusus yang di jalankan dengan Undang-Undag Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pemerintahan di daerah dapat dilaksanakan
dengan lebih praktis dan nyata pada Pemerintahan Daerah. Dengan kewenangan
yang luas tersebut untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri maka
16
Majalah Ondihon, Volume 1 Nomor 2 mei 2007, hlm. 14
17
pengawasa APBK oleh DPRK merupakan tugas yang harus lebih diutamakan untuk
menghidari penyelewengan APBK. APBK merupakan salah satu dana dalam
menjalankan desentralisasi merupakan rancangan keuaangan tahunan pemerintah
daerah yang ditetapkan dengan qanun. Qanun yang merupakan peraturan pelaksana
Otonomi Khusus yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dapat diartikan
qanun sebagai peraturan daerah namun qanun tidak tunduk pada peraturan
pemerintah karna qanun berada langsung di bawah Undang-Undang maka terdapat
suatau hubungan yang unik dari peraturan perundang-undangan tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang berjudul “Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Kabupatan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Gayo Lues)”.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan beberpa permasalahan yang diniai
dapat memenuhi unsur-unsur dalam penelitian tesis ini nantinya, permasalahan yang
akan diangkat adalah:
1. Bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK/DPRD terhadap
APBK/APBD?
2. Bagaimana eksisitensi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan
3. Hal-hal apa saja yang menjadi hambatan bagi DPRK dalam melaksanakan
fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBK?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi pengawasan DPRK/DPRD terhadap
APBK/APBD.
2. Untuk mengetahui eksisitensi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan
(control funcion) terhadap APBK.
3. Untuk mengetahui hambatan bagi DPRK dalam melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap pelaksanaan APBK.
D. Manfaat Penelitian
Terjawabnya permasalahan dalam penelitian tesis ini dan tercapainya tujuan,
diharapkan akan membawa sejumlah mamfaat baik dalam tataran akademis maupun
tataran praktis, sehingga diharapkan penelitian ini nantinys bermamfaat untuk:
a. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan
beberapa konsep ilmiah yang pada giliranya memberikan sumbangan bagi
perkembangan Hukum Tata Negara, khususnya berkaitan dengan pengawasan
b. Secara praktis:
1. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum dan institusi
pemerintahan, penegak hukum, praktisi hukum dan masyarakat secara luas
berkaitan dengan pemerintahan daerah.
2. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan berkaitan deangan penegakan
dan pengembangan Hukum Tata Negara.
3. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan
dalam hukum tata negara khusus berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan peranan DPRK dalam menjalankan fungsinya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan baik di
perpustakan Universitas Sumetera Utara maupun di universitas lain, penelitian yang
mengangkat judul “Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Anggaran
Pendapatan Dan Belanja kabupatan Oleh Dewan Perwakilan Kabupaten Dalam
Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo
Lues)” belum pernah dilakukan baik dalam judul yang sama maupun permaslahan
yang sama, sehingga penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian yang baru
dan keaslianya dapat dipertanggungjawabkan, karna dilakukan deangan nuansa
keilmuan, kejujuran, rasional objektif dan terbukadan dapat dipertanggungjawabkan
Bersamaan dengan penelitian ini, penelitian tentang pemerintahan daerah juga
dilakukan oleh Dani Sintara dengan judul “Analisis yuridis terhadap
pertanggungjawaban kepala daerah sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dalam penyelengaraan pemerintah daerah” (Studi di
pemerintahan kota Tanjung Balai), dan penelitian yang dilakukan oleh Frengki
Fernandus Purba dengan judul “ Aspek yuridis peranan badan perencanaan
pembangunan daerah (BAPEDA) dalam penyusunan rencangaan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (RAPBD)” (Studi di kabupaten Simalungun), namun
dasar pemikiranya berbeda, penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada
fungsi DPRK terhadap pengawasan APBK dalam lingkup otonomi khusus.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam
Undang-Undang Dasar 1945, maka Analisis yuridis dalam penelitian ini akan
menganalisa perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK terhadap APBK
yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum yang
tertinggi disamping norma-norma hukum yang lain. Dalam negara hukum, kekuasaan
negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara
konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan
tindakan pemerintah serta segala Instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan
menjadi tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan
cara yang melawan hukum.18
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia” menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum
dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti
sempit, pada Negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu :
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. Pemisahan / pembagian kekuasaan.
Sedangkan Negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain :
1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. Pembagian / pemisahan kekuasaan.
3. Setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan.
4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.19
Berdasarkan uraian konsep tentang Negara hukum tersebut, ada 2 (dua) substansi
dasar, yaitu:20
1. Adanya paham konstitusi.
2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.
Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum
dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi
18
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 2000) hlm. 55. 19
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm. 156.
20
logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan
undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan pemerintahan
negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan menurut
undang-undang dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada lembaga
perwakilan rakyat, presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden mengeluarkan peraturan.
Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting
sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan
kesewenang-wenangan kekuasaan, dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah
(government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam
pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara
serta perlindungan didalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa)
dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan
kekuasaan yang dimiliki.
Sedangkan sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat adalah bahwa rakyat
memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak
mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri.
Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur
dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat
undang-undang.21
21
Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.22
Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan
rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak
kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan
keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar
atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan
apapun.
Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum
(nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata
uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu
adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang
22
berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga
merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip
ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.23
Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang
Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang
pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:
1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.
2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme.
3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga
harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan
pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan
mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki
23
perwujudan keikutsertaan masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan
maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.24
Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga)
faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan
pendemokrasian pemerintahan:
1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).
2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat
memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.
3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap
masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.25
Sejalan dengan hal tersebut, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan
daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan implementasi dari Pasal 18 B
Undang-Undang Dasar 1945. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan
Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal
suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi,
24
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang, UNSIKA, 1993), hlm. 47.
25
serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU
Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI
berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU
Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak
diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui
pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas
ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 pemerintah daerah
kabupaten terdiri dari bupati dibantu perangkat daerah dan DPRK sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang diberi kewenangan khusus untuk
mengatur pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan berdasarkan perundang-undangan, berarti
disini merupakan implementasi dari desentralisasi dimana adanya penyerahan
wewenang pusat kedaerah.
Menurut Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso desentralisasi dapat diartikan
1. Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab mengenai fungsi-fungsi publik;
2. Tranfer tersebut berasal dari pemerintahan pusat;
3. Transfer tersebut diberikan kepada etnis yang dapat dibentuk: a. Organisasi pemerintahan subnasional.
b. Badan-badan pemerintahan semi otonomi.
c. Organisasi atau penjabat pemerintah puasat yang berada di luar ibukota
negara.
d. Organisasi nonpemerintah.
4. Maksud dari tranfer kewenangan dan tanggung adalah agar tujuan negara
dapat dicapai secara lebih efektif, efesien dan demokrasi.26
Secara legalistik formal, misalnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan urusan dari
pemerintahan atau daerah atasanya kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya”
Menururt Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan
desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonomi dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia” sedang menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah
”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistim negara Republik
Indonesia”.27
26
Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, op.cit, hlm. 6
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang dimaksud
dengan desentralisasi adalah ”Pemberian kewenangan khusus untuk mengatur dan
mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Repunlik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
27
Dari pengertian diatas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu
dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa
(residual functions).
3. Penerima wewenang adalah daerah otonom.
4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.
5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum
yang berlaku umum dan bersifat abstrak.
6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum
yang bersifat individual dan konkrit.
7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat.
8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.
9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system
politik.28
Penyerahan uruasan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dijelaskan oleh
The Liang Gie, sebagai urusan rumah tangga pemerintahan daerah yang dapat dibagi
dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:29
1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip)
Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya dimana
kewenangan-kewenangan tersebut lalau dibagi secara tegas antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.
2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip).
28
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2007), hlm. 15.
29
Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dilakukan
atas dasar pertimbangan rasional dan praktifs. Di sini tidak ada perbedaan yang
tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi
tugas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi
urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil urusan-urusan
terserbut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan tersebut akan
lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah daerah. Jadi,
urusan-urusan rumah tangga tidak terperinci secara normative dalam undang-undang
pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan umum. Rumusan umum ini
hanya mengandung prinsip-prinsip saja, sedangkan pengaturan selanjutnya
diserahkan kepada prakarsa daerah yang bersangkutan. Masalah menentukan
urusan pusat dan daerah diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif
daerah. Disini pemerintah daerah memeiliki keleluasaan gerak (vrije taak) untuk
mengambil inisiatif, memilih alternative, dan mengambil keputusan di sergala
bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip)
Ajaran ini merupakan jalan tengah antara anggaran rumah tangga materiil dan
rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa
pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada factor-faktor riil
di daerah, sepertin kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan pendudukan.
tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya Undnag-Undang mengaturnya
telah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga yang merupakan urusan
pokok sebagai modal awal disertai segala atribut, wewenang, personal,
perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan
serta perkembangan daerah yang bersangkutan secara bertahap urusan-urusan
tersebut dapat tumbuh.
Konsekwensi langsung dari penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke
daerah (desentralisasi politik) adalah tindak lanjut dengan desentralisasi fiskal dan
desentralisasi administrasi. Desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah bahwa daerah
memiliki kewenangan untuk menggali sumber asli pendapatan daerahnya sendiri,
mengelola keuangan sendiri dengan perencanaan yang telah direncanakan
sebelumnya. Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk
mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan
perkataan lain, faktor keuangan merupakan facktor essensial dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang,
karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas
dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan
pembangunan bagi masyarakat tanpa tersedianya dana untuk itu.30
Sedang desentralisasi administrasi pemerintahan daerah memiliki kewenangan
untuk merencanakan, pelaksanaan dan mengendalikan program-program untuk
mencapai kesejahtraan masyarakat. Atau dengan perkataan laindesentralisasi
administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan pembangunan ekonomi daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.31
Perencanaan keuangan dapat diartikan sebagai berikut:32
1. Rencana keuangan yang menerjemehkan penggunaan sumber-sumber yang
tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju penciptaan kehidupan rakyat yang lebih baik dimasa yang akan datang.
2. Rencana keuangan Pemda untuk membangun perikehidipan masyarakat yang
tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan, untuk mendorong rakyat untuk memenuhi kewajibanya sebagai warga negara.
3. Proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap
program dan aktivitas dalam bentuk satuan uang.
4. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorentasi pada
pencapaian hasil atau kinerja disebut anggaran kerja, kinerja harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang berarti berorentasi pada kepentungan publik.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran adalah:
1. Semua penerimaan (uang, barang dan atau jasa) dianggarkan dalam APBD.
2. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dianggarkan secara bruto.
3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian
tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.
31
Chahib Sole dan Heru Rachmansjah, Pengelolaan dan Aset Keuangan Daerah, (Bandung: Fokusmedi, 2010), hlm. 27
32
Dengan adanya pembagian kewenangan diantara penyelenggara pemerintahan
daerah, maka akan diikuti dengan check and balances system (sistem saling
mengawasi) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut. Oleh karna
itu yang dibutuhkan adalah:33
1. Suatu distribusi kekuasaan agar kekuasaan tidak berada dalam suatu tangan saja.
2. Suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan
tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani, hal ini disimpulkan dalam lingkup pengertian Balances.
3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain agar pemegang kekuasaan
tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, hal ini disimpulkan dalam pengertian Chekcs, tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemrintahan lainya, tetapi harus melakukan pengecekan satu sama lainya.
Operasionalisasi dari check and balances ini dilakukan melalui cara-cara sebagai
berikut: 34
1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan suatu Undang-Undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan para pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya.
2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif.
3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap
cabang pemerintahan lainnya.
4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang
pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam penggunaan budget negara.
33
Ibid, hlm. 124
34
5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the
last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan
legislatif.
Sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi tugas pemerintah kedalam
“trichotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini
seringkali ditemui, kendati batas pembagian kekuasaan itu tidak selalu sempurna,
karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling
pengaruh mempengaruhi.35
Sebagai mana telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Peraturan perundang-undangan:
a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang/ Perpu.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Persiden.
e. Peraturan Daerah.
Dimana dalam Undang-Undang tersebut peraturan daerah adalah salah satu tata
urutan perundang-undangan di Indonesia, atau peraturan daerah merupakan salah satu
hukum positif di Indonesia sehingga begitu strategisnya peraturan daerah mengatur
kehidupan masyarakat untuk itu peraturan daerah yang telah dibuat harus diawasi
penggunaanya.
35