• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Fungsi Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus ( Studi Di Dean Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Fungsi Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus ( Studi Di Dean Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN

OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )

Tesis

Oleh

R I J A L U D D I N

087005064

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN TERHADAP

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN

OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN

DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

R I J A L U D D I N

087005064

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN

TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KABUPATEN OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS

( Studi Di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues ).

Nama Mahasiswa : RIJALUDDIN.

NIM : 087005064.

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH. K e t u a

)

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS) (Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum A n g g o t a A n g g o t a

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum K e t u a

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Agustus 2010.

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH.

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS. 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum.

(5)

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, DPRK bersama Bupati dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensinya maka timbul otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Aceh yang menaungi beberapa kabupaten, dan salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah kabupaten yang ditetapkan dengan qanun. Adapun bentuk pengawasan DPRK melalui pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan didaerah. Dengan alasan tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK terhadap APBK, bagaimana eksistensi DPRK dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap APBK serta hambatan apa yang dihadapi dalam melakukan pengawasan.

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

(6)

atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK.

(7)

ABSTRACT

House of Representative District (DPRK) is one of the elements of the district local government whose members are elected through general elections. In carrying out local government, the DPRK with the regent assisted by work unit area (SKPD) who were given special authority to organized and manage their own affairs and interest of local communities in accordance with statutory regulations. As a consequence, the resulting special autonomy granted to Aceh province, which is responsible for several districts, one of which is the district of Gayo Lues. In running the government’s annual financial plans which set out the strip district law (qanun). The shape of the DPRK through a supervisory control politics and policies that aim to maintain public accountability, especially related institutions directly to the implementation of governmnet policies and programs as well as development in the region. With the above reasons, the problems arising in this research is on how setting the DPRK against APBK oversight, how the existence of the DPRK in conducting oversight APBK.

This is the type of legal research legal to the nature of empirical normative descriptive analitycal research. In conducting the data collection was done by 2 (two) ways, namely: research library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judical interpretation is expected to answer the legal issues raised in this paper.

From the research result can be summarized: first, the DPRK supervisory Law No. 27 Year 2009 of the MPR, DPR, DPD, and DPRD, Law No. 32 of year 2004 on region governance and Law No. 11 year 2006 concerning Aceh Government which are technically regulated in order. Second, the implementation of the supervision of APBK is based on information entered into the realm of constituents without the supervision of a technical nature, as a follow-up supervision of the DPRK has the right of interpellation right and the right to an oppinion poll. Thirdly, the DPRK obstacles in carrying out its oversight functions against APBK can come from internal and eksternal. Therefore, to overcome this problem is suggested: First, the government should make only one statement in the from of legislation relating to on DPRK technical oversight function. Second, it is expected to Independent Election Commision (KIP) to allow more attention to the selection process of human resources for local legislative candidates. Third, the government is expected to establish an institution or the like which serves as a central legislation on the supervision of the DPRK.

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan

syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis Fungsi

Pengawasan Terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupaten Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus ( Studi Di Dean

Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues )”. Demikian juga shalawat beriring salam

disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam

kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang

ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya

rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam

melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian

dari ALLAH SWT, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan

senantiasa mengharap ridho dan pertolongan dari ALLAH SWT, karena penulis yakin

bahwa ALLAH SWT tidak akan membebani dan menguji hambaNya melebihi dari

daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis

menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

(9)

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH. selaku ketua komisi

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam

memperluas wawasan penulis.

2. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku pembimbing II

yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH. MHum selaku pembimbing III

sekaligus Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat

untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan

yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. MHum dan yang terpelajar

Bapak Dr. Mirza Nasution, SH. MHum yang telah berkenan sebagai penguji dari

mulai kolokium hingga meja hijau dan telah banyak memberikan kritik dan

sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultasu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan

namanya satu persatu.

6. Seluruh Anggota dan staf Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo Lues yang

telah membatu saya dalam melakukan penelitain yang namanya tidak dapat saya

(10)

7. Teman-teman satu angkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (Dani Sintara, SH. MH, Ruly Pardian, SH.

MH, Ya’thi Syahri, SH. MH, M. Rizky Hidayat, SH. MH, M. Hykna Kurniawan

Lubis, Fadillah Haryono, Mardia Pulungan, SH. MH, Moraluddin Harahap,

Franky Fernandus Purba, SH. MH, Satria Dharma Putra Zebua, Abel Zekonia Tri

Legenda, SH. MH, Pristika Handayani, SH. MH, Lenni Wirana, SH. MH, Suriani,

SH. MH, Claudya Purba, SH. MH, Ervinasari, SH. MH) dan yang lain yang tak

dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal

saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih

kepada Aban-abang dan kakak-kakak penulis tercinta, yakni: Bang H. M. Amru,

Bang Iskandar, Bang Nasir, Kak Ira, Kak Masita yang dengan ketulusannya telah

mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani

penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada

tara, semoga senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan

tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan

kesabaran yang telah diberikan oleh Almarhum dan Almarhumah orang tua penulis

tercinta, yakni Ayahanda Ismail Daud dan Ibunda Nurhayatai, kalian telah menjadi

pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam

(11)

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak

Bukanlah Gading” yang berarti juga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap

kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih

baik.

Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat membawa manfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, Agusutus 2010. Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR SKEMA ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka teori ... 17

2. Kerangka konsepsi ... 37

G. Metode Penelitian ... 39

1. Spesifikasi penelitian ... 39

2. Alat pengumpul data ... 39

(13)

BAB II : PENGATURAN FUNGSI PENGAWASAN DPRK/ DPRD TERHADAP PELAKSANAAN APBK/APBD

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 36

A. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPRD ... 44

B. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah ... 46

C. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh ... 52

D. Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten Gayo Lues Periode 2009-2014 ... 55

E. Analisis Peraturan Fungsi Pengawasan DPRD/DPRK ... 62

BAB III : EKSISTENSI DPRD/DPRK DALAM MELAKSANAKAN

FUNGSI PENGAWASAN (CONTROL FUNCTION)

TERHADAP PELAKSANAAN APBD/APBK ……… 72

A. Mekanisme Penyusunan Anggaran Daerah Berdasarkan

Prinsip Good Financial Governance ... 72

B. Kedudukan Lembaga DPRK Sebagai Pengawasn

Dalam Pemerintahan Aceh ... 84

C. Analisis Fungsi Pengawasan DPRD/DPRK Terhadap

Pelaksanaan APBD/APBK ... 100

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI

OLEH DPRD/DPRK DALAM

MELAKSANAKAN FUNGSI PENGAWASAN

TERHADAP PELAKSANAAN APBD/APBK ... 109

(14)

B. Belum Adanya Standard, Sistem dan Prosedur Baku

Pengawasan DPRD/DPRK ... 111

C. Partisipasi Masyarakat Belum Optimal ... 112

D. Hambatan Yang Bersifat Politis ... 115

E. Kurang Harmonisnya Antara Kepala Daerah dan DPRK Akibat Pengawasan ... 119

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 126

(15)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema I : Makna Fungsi Pengawasan ... 65

Skema II : Proses Penyusunan Strategis dan

Prioritas APBD / APBK ... 76

Skema III : Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah ... 82

Skema IV : Perencanaan dan Pelaksanaan Pengawasan

DPRK ... 93

(16)

DAFTAR SINGKATAN

• APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

• APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten.

• DPR : Dewan Perwakilan Rakyat.

• DPD : Dewan Perwakilan Daerah.

• DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

• DPRK : Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.

• DPRA : Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

• DPA : Daftar Pengisian Anggaran.

• RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

• RKPD : Rencana Kerja Pemerintah Daerah.

• KUA : Kebijakan Umum Anggaran.

• PPAS : Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara.

• SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah.

• RKA-SKPD : Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah.

• RAPBD : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

• MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat.

• SAP : Satuan Akuntansi Pemerintahan.

• LRA : Laporan Realisasi Anggaran.

• CALK : Catatan Atas Laporan Keuangan.

• SPM-UP : Surat Perintah Membayar Uang Persediaan.

• SPM-GU : Surat Perintah Membayar Ganti Uang.

• SPM-TU : Surat Perintah Membayar Tambahan Uang.

• SPM-LS : Surat Perintah Membayar Langsung.

(17)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rijaluddin.

Tempat / Tanggal Lahir : Aceh Tenggara / 30 Mei 1984.

Alamat : Jl. Kolonel Muhammaddin No. 274 Blangkejeren,

Gayo Lues.

Agama : Islam.

Pekerjaan : Wiraswasta.

Status Pribadi : Belum Menikah.

Pendidikan : 1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri : Tahun 1996.

Blang Tampeng Kuta Panjang

2. SMP Muhammadiyah : Tahun 1999.

Kutacane

3. SMU Neg. 4 Medan : Tahun 2002

4. Fakultas Hukm Universitas : Tahun 2008

Muhammadiyah Sumatera Utara

Nama Orang Tua Laki-Laki : Alm. Ismail Daud.

Nama Orang Tua Perempuan : Almh. Nurhayati.

Anak Ke : 7 dari 7 bersaudara.

(18)

ABSTRAK

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) merupakan salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, DPRK bersama Bupati dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi wewenang khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensinya maka timbul otonomi khusus yang diberikan kepada Propinsi Aceh yang menaungi beberapa kabupaten, dan salah satunya adalah Kabupaten Gayo Lues. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah daerah berpedoman pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah kabupaten yang ditetapkan dengan qanun. Adapun bentuk pengawasan DPRK melalui pengawasan politik dan kebijakan yang bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan didaerah. Dengan alasan tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK terhadap APBK, bagaimana eksistensi DPRK dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap APBK serta hambatan apa yang dihadapi dalam melakukan pengawasan.

Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu: penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, sedangkan penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara dengan informan serta pengumpulan data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

(19)

atau sejenisnya yang berfungsi sebagai pusat peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK.

(20)

ABSTRACT

House of Representative District (DPRK) is one of the elements of the district local government whose members are elected through general elections. In carrying out local government, the DPRK with the regent assisted by work unit area (SKPD) who were given special authority to organized and manage their own affairs and interest of local communities in accordance with statutory regulations. As a consequence, the resulting special autonomy granted to Aceh province, which is responsible for several districts, one of which is the district of Gayo Lues. In running the government’s annual financial plans which set out the strip district law (qanun). The shape of the DPRK through a supervisory control politics and policies that aim to maintain public accountability, especially related institutions directly to the implementation of governmnet policies and programs as well as development in the region. With the above reasons, the problems arising in this research is on how setting the DPRK against APBK oversight, how the existence of the DPRK in conducting oversight APBK.

This is the type of legal research legal to the nature of empirical normative descriptive analitycal research. In conducting the data collection was done by 2 (two) ways, namely: research library and field research. The research literature is to refer to primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary, while the field research conducted through interviews with informants and gathering of data related to the problem. To analyze the data, a qualitative approach, namely by analyzing the data in depth and holistic and then performed the interpretation. Result of judical interpretation is expected to answer the legal issues raised in this paper.

From the research result can be summarized: first, the DPRK supervisory Law No. 27 Year 2009 of the MPR, DPR, DPD, and DPRD, Law No. 32 of year 2004 on region governance and Law No. 11 year 2006 concerning Aceh Government which are technically regulated in order. Second, the implementation of the supervision of APBK is based on information entered into the realm of constituents without the supervision of a technical nature, as a follow-up supervision of the DPRK has the right of interpellation right and the right to an oppinion poll. Thirdly, the DPRK obstacles in carrying out its oversight functions against APBK can come from internal and eksternal. Therefore, to overcome this problem is suggested: First, the government should make only one statement in the from of legislation relating to on DPRK technical oversight function. Second, it is expected to Independent Election Commision (KIP) to allow more attention to the selection process of human resources for local legislative candidates. Third, the government is expected to establish an institution or the like which serves as a central legislation on the supervision of the DPRK.

(21)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

“Kekuasaan cenderung disalah gunakan dan kekuasaan yang mutlak pastilah

disalah gunakan (power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely)”

itulah kalimat yang pernah dikemukan oleh Lord Acton seorang berkebangsaan

Inggris yang hidup antara tahun 1838 hingga 1902, yang awalnya hanya sebuah

hipotesa belaka. Hipotesa yang akirnya seakan menjadi takdir yang tak terbantahkan

lagi oleh sejarah panjang kekuasaan. Kekuasaan yang mutlak berada pada tangan

seseorang yang telah melahirkan seorang Fir’aun, Nero hingga Mossolini dan Hitler

dengan pemerintahan yang tiran. Kekuasaan yang mutlak berada di tangan

sekelompok orang telah menjadi pedang bagi bangsawan Prancis atau Partai Komunis

untuk mengoyakkan hak rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompok sendiri

dalam pemerintahan yang oligarkhi. Demikian panjangnya sejarah hitam kekuasaan

hingga pernah dianggap ideal setidaknya dalam teori Lao Sayeung di China atau pun

Machiavelli di Prancis.1

Pada abad ke 18 perjuangan untuk membela hak-hak rakyat dari penindasan

penguasa mulai muncul dan melebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan ilmu

pengetahuan, paham kemanusiaan (humanisme) dengan semangat kebebasan (liberte)

derta persaudaraan (freternete) telah menjadi pradigma baru dalam hubungan antara

1

(22)

penguasa dan rakyat. Penguasa dan rakyat yang disetarakan kedudukanya sehingga

rakyat lebih memiliki posisi tawar yang kuat dihadapan penguasa (negara). Untuk

mewujudkan kondisi yang demikian maka kekuasaan yang bersifat mutlak, apalagi

keberadaannya pada satu tangan secara mutlak haruslah dilarang walaupun dengan

alasan apapun. Hanya dengan demikian rakyat dapat lepas dari penindasan penguasa.

Untuk dapat mencegah munculnya kekuasaan yang mutlak dalam suatu negara

setidaknya ada dua cara yang dapat ditempuh. Yang pertama adalah dengan

membatasi kekuasaan tersebut secara yuridis dalam suatu konstitusi negara sesuai

dengan teori kontrak sosial (social contract) yang di kemukan oleh Jhon Locke, yang

mana walaupun rakyat menyerahkan kekuasaan pada penguasa namun ada hak-hak

yang mendasar (Hak asasi) yang tetap berada di tangan rakyat2. Jadi kekuasaan

negara terbatas hanya pada hal yang diatur dalam konstitusi yang isinya harus

dipatuhi sebagai aturan tertinggi (staat fundamental norm). dengan dianutnya asas

tersebut maka negara tersebut merupakan negara hukum (rechsstaat) dan bukan

negara kekuasaan (machsstaat) sebagai mana diatuar dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Tahun 1945, paham yang demikian dikenal dengan istilah

Konstitusionalisme, yaitu paham yang mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan

hak-hak rakyat melalui konstitusi.3

Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum

yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua

2

Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung: Armico, 1968), hlm. 257

3

(23)

orang dalam negara tersebut baik yang diperintah maupun yang memerintah harus

tunduk pada hukum yang sama, sehingga setiap orang yang sama diberlakukan sama

dan setiap orang yang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang

rasional, tanpa memandang warna kulit, ras, gender, agama, daerah dan kepercayaan,

dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan,

sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak

rakyat diberikan peran sesuai dengan kemampuan dan peranannya secara demokrasi.4

Adapun cara kedua adalah dengan memecah kekuasaan negara, baik dengan

sistim pemisahan (separation of power) atau dengan pembagian kekuasaan

(distribution of power). Teori ini didasari oleh teori Trias politikal yang dikemukakan

oleh Montesquieu dalam bukunya berjudul “L’espirit des lois” yang memunculkan

tiga lembaga pemerintahan yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif5

4

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2009) , hlm.3

.

Khusus berkaitan dengan kekuasaan utama, yang berkaitan dengan kekusaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan dipegang oleh lembaga eksekutif, namun hanya dapat

menjalankan kekuasaanya dengan aturan yang dibentuk sekaligus diawasi

pelaksanaanya oleh lembaga legislatif. Kehadiran perwakilan rakyat dalam suatu

negara demokrasi bukanlah untuk mengurangi kewenangan dari eksekutif tetapi harus

5

(24)

dipandang sebagai upaya untuk terjaminya kepentingan rakyat dalam seluruh

kebijakan pemerintah termasuk pemerintah daerah.6

Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (4), disebutkan “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai

unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah” yang menjalankan kekuasaan legislatif.

Fungsi dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Kabupaten/Kota terdapat pada Pasal

41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo. Pasal

22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tentang Pemerintahan Aceh, Jo. Pasal 343

ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi:

DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas:

a. Legislasi

b. Anggaran

c. Pengawasan

Dalam penjelasan Pasal 343 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jo. Pasal 77 huruf a,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis

6

(25)

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah

Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disebutkan lebih lanjut bahwa: Pasal 77

huruf a, yang di maksud dengan fungsi legislasi adalah legislasi daerah yang

merupakan fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama bupati/walikota. Hurup b, fungsi

anggaran adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan pemerintah daerah

untuk menyusun dan menetapkan APBD yang didalamnya termasuk anggaran untuk

melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota. Hurup c, fungsi

pengawasan adalah fungsi DPRD Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan Undang-Undang, peraturan daerah, dan keputusan

bupati/walikota serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.

Sebagai mana disebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003;

“Bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan perlu diwujudkan

lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan serta dapat

menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah sesuai

dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan nernegara”. Berdasarkan

kalimat di atas sebagai dasar pertimbangan lahirnya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2003 bahwa lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah

merupakan wadah demokrasi dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.7

77

(26)

Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan

pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari padadigma sentralistik ke

arah desentralistik nyata ditandai dengan pemberian otonomi luas dan nyata pada

daerah, pemberian ini dimaksudkan khusus untuk lebih memandirikan daerah serta

pemberdayaan masyarakat (empowering).8

Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik kebangsaan,

setelah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B, telah terjadi

perubahan yang sangat mendasar dalam tatanan kenegaraan termasuk dalam susunan

dan kedudukan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik ditingkat Provinsi

maupun Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, dari berbagai ukuran penilaian keberhasilan suatu daerah dalam

melaksanakan otonominya, maka yang menjadi pusat perhatian adalah masalah

efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang terkait dengan

masalah keuangan daerah. Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara,

disebabkan pengaruhnya yang demikian menentukan terhadap kompleksitas

kelangsungan hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan antara

lain juga mencerminkan kualitas kenegaraannya. Apabila keberadaan keuangan

negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan

keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan dalam

8

(27)

melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan

pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan semakin stabil. Sebaliknya,

suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi problema pelik dalam memperlancar

pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi

keuangan yang baik pula.9

Penerapan Otonomi Daerah berdasrkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

yang kemudian di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

menyebabkan pelaksanaan pemerintahan dapat di laksanakan secara lebih praktis dan

nyata pada Pemerintahan Daerah. Provinsi Aceh (setelah di rubah namanya kembali

mensajadi Provinsi Aceh dari nama sebelumnya Nanggro Aceh Darussalam

berdasarkan Pergub tanggal 7 April 2009) Sebagai daerah otonomo khusus sejak

sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, yang

mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa

Aceh.

Menanggapi akan arti pentingnya keuangan dalam

mencapai keberhasilan suatu daerah, maka dalam pelaksanaannya harus pula

dibarengi dengan pengawasan agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Pelaksaaan ototnomi khusus di Provinsi Aceh didasakan atas Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2001 yang telah di sempurnakan dengan Undang-Undang Nomor

11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Didalam konsideran (Menimbang) UU

Nomor 18 Tahun 2001 huruf (d) antara lain disebutkan bahwa “ketentuan dalam

9

(28)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999

belum menampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi

DaerahIstimewa Aceh”. Sedang dalam huruf (e) disebutkan “bahwa pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan

pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalah otonomi

yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan juga

penyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikan

sebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan:

(1)“Kewenangan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam

Undang-Undang ini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2) “Kewenangan Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai

dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwa

yang tidak diotonomikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada

pokoknya hanyalah lima buah urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar

negeri, dan pertahanan, maka otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai

pemberian paling kurang sebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum

diotonomikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam

“Penjelasan Umum” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa “Hal

mendasar dari Undang-Undang ini adalah pemberian kesempatan yang lebih luas

untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber

(29)

mengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam alinia

lainnya disebutkan “Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanan negara

merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tataruang

pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di

wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia, Pemerintah

berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.10

Pada dasarnya tugas DPRK dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh sama dengan tugas DPRD dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 yang di sempurnakan dengan Undang-Undang No.12 tahun

2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Sebagai salah satu pilar demokrasi, DPRD mempunyai fungsi antara lain

membuat peraturan, peraturan (legislasi) dalam hal ini peraturan daerah (Perda),

DPRD harus memasukan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang di wakilinya

dalam bentuk Pasal-Pasal peraturan yang dihasilkanya. Dalam fungsi keuangan

(Budgeter) DPRD berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam pembuatan APBD ini DPRD harus

melibatkan unsur masyarakat, transparansi dan akuntabel, sebab uang yang digunakan

itu berasal dari rakyat dan untuk kepentungan rakyat. Dalam menjalankan fungsi

10

(30)

pengawasan, DPRD bisa menggunakan berbagi hak yang di milikinya, seperti hak

bertanya, hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat.11

Dalam anggaran terdapat siklus yang di sebut Budget Ciclus yang merupakan

jangka waktu mulai dari anggara disusun sampai dengan saat perhitungan anggaran

disahkan dengan Undang-Undang. Menurut Harjono Sumosudirdjo dalam W.

Riawan Tjandra, tahapan siklus anggaran adalah sebagai berikut: 12

1. Penyusunan anggaran oleh pemerintah;

2. Pengelolaan anggaran di DPR yang berakir dengan pengesahan anggaran

dengan UU;

3. Pelaksanaan anggaran oleh pemerintah;

4. Pengawasan-pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran;

5. Pengesahan perhitungan anggaran dengan UU.

Pengawasan yang digambarka dalam siklus anggaran terihat seakan-akan

merupakan tahapan yang terpisah, pada hal sebenarnya pengawsan merupakan bagian

yang tak terpisahkan dari setiap siklus anggaran. Dengan demikian, pengawasan

merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada setiap tahapan dalam setiap

siklus anggaran. Pengawasan merupakan sarana untuk menghubungkan target dengan

realisasi setiap program/ kegiatan/ proyek yang dilaksanakan pemerintah. Fungsi

pengawasan harus dilakukan pada setiap perencanaan dan pelaksanaanya, kegiatan

pengwasan sebagai fungsi menejmen bermaksud untuk mengetahui tingkat

keberhasilan dan kegagalan setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan,

keberhasilan perlu dipertahankan bila mungkin ditingkatkan dalam perwujudan

11

Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. XVI.

12

(31)

menejmen/administrasi berikutnya di lingkungan suatu unit kerja tertentu, sebaliknya

kegagalan harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya, baik dalam

penyusunan pelaksanaan maupun pelaksanaanya. Utuk itulah fungsi pengawasan

perlu dilaksanakan sedini mungkin agar diperoleh umpan balik (feed back) untuk

pelaksanaan perbaikan bila terdapat kekeliruan atau penyimpangan sbelum menjadi

lebih buruk dan sulit diperbaiki.13

Mengenai pengelolaan dan pengawasan haruslah dipisah untuk menghindarkan

berkolusi antara pengelola dan pengawas keuangan daerah. Pengelolaan keuangan

daerah menjadi tantangan baru yang dihadapi oleh pemerintah, sebagai mana yang

telah dimaklumi bahwa tingkat korupsi yang tinggi menjadi salah satu masalah dasar

yang halus diselesaika.14

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRK terhadap qanun, peraturan Bupati dan

kebijakan pemerintah daerah lainya tentu dipengruhi oleh faktor internal dari para

pengawas itu sendiri seperti sumberdaya manusia, karna keterbatasan sumberdaya

manusia dalam melakukan pengawasan akan memrpengruhi hasil pengawasanya.

Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD memang unik , hal ini berbeda

dengan dua fungsi lainya yaitu fungsi legislasi dan dan anggaran . Kedua fungsi ini

telah memiliki pedoman dan prosedur baku yang diatur dengan Unang-Undang,

dalam bidang fungsi legislasi misalnya terdapat Undang-Undang Nomor 10 tahun

13

Ibid, hlm. 130.

14

(32)

2004 tentang pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam bidang

anggaran terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah , peraturan Mentri Dalam Negri Nomor 13 Tahun

2005 yang telah diubah dengan Nomor 59 tahun 2007 tentang pengelolaan keuangan

daerah, dan bahkan Menteri Dalam Negri tiap tahun mengeluarkan Peraturan Menrti

Dalam Negri tentang Pedoman Penyusunan APBD, namun dalam bidang pengawasan

kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, Undang-Undang Susunan dan

Kedudukan Legislatif menyerahkan sepenuhnya kepada DPRD agar tata cara

pelaksanaan fungsi pengawasan diatur dalam Tata Tertib DPRD, meskipun terdapat

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tengatang Pedoman pembinaan dan

Pengawasan Pemerintah Daerah namun Peraturan Pemerintah in juga tidak memberi

pedoman yang jelas, bahkan dalam Peraturan Pemerintah ini hanya di sebutkan dalam

pasal 43 yang berbunyi “DPRD sesuai dengan fungsinya dapat melakukan

pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan”.15

Kekurang harmonisan antara DPRD dengan pemerintah daerah sebagai akibat

dari pengawasan, dapat saja bersumber dari akibat prilaku pengawasan itu sendiri

yang bertindak sebagai pihak yang mencari-cari kesalahan, sehingga terjadi ketidak

harmonisan. Disisi lain pihak yang diawasi seharusnya tidak perlu bersikap reaktif,

jika pekerjaan itu diawasi, sebab jika pekerjaan yang diawasi (pemerintah daerah)

15

(33)

tidak ada unsur kesengajaan melakukan penyimpangan terhadap pembangunan

fasilitas insfrastruktur, tidak perlu kawatir kendatipun sedang diawasi. Penguatan

posisi lembaga legislatif daerah yang kini dimiliki DPRD baik di tingkat provinsi

maupun kabupaten/kota cukup signipikan. Pasca lengsernya Soeharto menjadi titik

awal memperkuat peran dan fungsi legislatif daerah terhadap hegemoni eksekutif.16

Penyususnan APBD dilakukan secara integrasi untuk selurus jenis belanja guna

melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada perinsip efesiensi alokasi

dana. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut perlu adanya penguatan kapasitas

aparatur yang terlibat lansung dalam penyususnan angggaran maupun anggota DPRD

yang mengawal perjalanan penyususnan APBD dan pengawasan pelaksanaannya. Sejalan dengan penguatan posisi legislatif daerah tersebut maka hubungan yang tidak

harmonis antara pemerintah daerah dengan DPRD, sering terjadi dibandingkan

dengan era orde baru. Bila hal ini terjadi maka dapat berakibat pada keterlambatan

proses pengesahan APBD, yang pada giliranya akan terlambatnya pelaksanaan

pembangunan.

17

Dengan otonomi khusus yang di jalankan dengan Undang-Undag Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pemerintahan di daerah dapat dilaksanakan

dengan lebih praktis dan nyata pada Pemerintahan Daerah. Dengan kewenangan

yang luas tersebut untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri maka

16

Majalah Ondihon, Volume 1 Nomor 2 mei 2007, hlm. 14

17

(34)

pengawasa APBK oleh DPRK merupakan tugas yang harus lebih diutamakan untuk

menghidari penyelewengan APBK. APBK merupakan salah satu dana dalam

menjalankan desentralisasi merupakan rancangan keuaangan tahunan pemerintah

daerah yang ditetapkan dengan qanun. Qanun yang merupakan peraturan pelaksana

Otonomi Khusus yang merupakan kewenangan pemerintah daerah dapat diartikan

qanun sebagai peraturan daerah namun qanun tidak tunduk pada peraturan

pemerintah karna qanun berada langsung di bawah Undang-Undang maka terdapat

suatau hubungan yang unik dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan Dan Belanja Kabupatan Oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten

Dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten

Gayo Lues)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang, maka dirumuskan beberpa permasalahan yang diniai

dapat memenuhi unsur-unsur dalam penelitian tesis ini nantinya, permasalahan yang

akan diangkat adalah:

1. Bagaimana pengaturan fungsi pengawasan DPRK/DPRD terhadap

APBK/APBD?

2. Bagaimana eksisitensi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan

(35)

3. Hal-hal apa saja yang menjadi hambatan bagi DPRK dalam melaksanakan

fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBK?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi pengawasan DPRK/DPRD terhadap

APBK/APBD.

2. Untuk mengetahui eksisitensi DPRK dalam melaksanakan fungsi pengawasan

(control funcion) terhadap APBK.

3. Untuk mengetahui hambatan bagi DPRK dalam melaksanakan fungsi

pengawasan terhadap pelaksanaan APBK.

D. Manfaat Penelitian

Terjawabnya permasalahan dalam penelitian tesis ini dan tercapainya tujuan,

diharapkan akan membawa sejumlah mamfaat baik dalam tataran akademis maupun

tataran praktis, sehingga diharapkan penelitian ini nantinys bermamfaat untuk:

a. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan

beberapa konsep ilmiah yang pada giliranya memberikan sumbangan bagi

perkembangan Hukum Tata Negara, khususnya berkaitan dengan pengawasan

(36)

b. Secara praktis:

1. Sebagai pedoman dan masukan bagi lembaga hukum dan institusi

pemerintahan, penegak hukum, praktisi hukum dan masyarakat secara luas

berkaitan dengan pemerintahan daerah.

2. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan berkaitan deangan penegakan

dan pengembangan Hukum Tata Negara.

3. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi untuk menambah wawasan

dalam hukum tata negara khusus berkaitan dengan penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan peranan DPRK dalam menjalankan fungsinya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan baik di

perpustakan Universitas Sumetera Utara maupun di universitas lain, penelitian yang

mengangkat judul “Analisis Yuridis Fungsi Pengawasan Terhadap Anggaran

Pendapatan Dan Belanja kabupatan Oleh Dewan Perwakilan Kabupaten Dalam

Pelaksanaan Otonomi Khusus (Studi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Gayo

Lues)” belum pernah dilakukan baik dalam judul yang sama maupun permaslahan

yang sama, sehingga penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian yang baru

dan keaslianya dapat dipertanggungjawabkan, karna dilakukan deangan nuansa

keilmuan, kejujuran, rasional objektif dan terbukadan dapat dipertanggungjawabkan

(37)

Bersamaan dengan penelitian ini, penelitian tentang pemerintahan daerah juga

dilakukan oleh Dani Sintara dengan judul “Analisis yuridis terhadap

pertanggungjawaban kepala daerah sebagai pelaksana Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dalam penyelengaraan pemerintah daerah” (Studi di

pemerintahan kota Tanjung Balai), dan penelitian yang dilakukan oleh Frengki

Fernandus Purba dengan judul “ Aspek yuridis peranan badan perencanaan

pembangunan daerah (BAPEDA) dalam penyusunan rencangaan anggaran

pendapatan dan belanja daerah (RAPBD)” (Studi di kabupaten Simalungun), namun

dasar pemikiranya berbeda, penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada

fungsi DPRK terhadap pengawasan APBK dalam lingkup otonomi khusus.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum sebagaimana tercermin dalam

Undang-Undang Dasar 1945, maka Analisis yuridis dalam penelitian ini akan

menganalisa perundang-undangan mengenai pengawasan DPRK terhadap APBK

yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum yang

tertinggi disamping norma-norma hukum yang lain. Dalam negara hukum, kekuasaan

negara dilaksanakan menurut prinsip dasar keadilan sehingga terikat secara

konstitusional pada konstitusi. Hukum menjadi batas, penentu, dasar cara dan

tindakan pemerintah serta segala Instansi dalam mencampuri hak dan kebebasan

(38)

menjadi tujuan negara. Jadi tidak masuk akal jika negara hukum diwujudkan dengan

cara yang melawan hukum.18

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Pengantar

Hukum Tata Negara Indonesia” menyebutkan bahwa unsur-unsur Negara hukum

dapat dilihat pada Negara hukum dalam arti sempit maupun formal. Dalam arti

sempit, pada Negara hukum hanya dikenal 2 (dua) unsur penting, yaitu :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.

2. Pemisahan / pembagian kekuasaan.

Sedangkan Negara hukum dalam arti formal, unsur-unsurnya lebih banyak, yaitu mencakup antara lain :

1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.

2. Pembagian / pemisahan kekuasaan.

3. Setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan.

4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.19

Berdasarkan uraian konsep tentang Negara hukum tersebut, ada 2 (dua) substansi

dasar, yaitu:20

1. Adanya paham konstitusi.

2. Sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.

Paham konstitusi memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum

dasar (konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (absolutisme). Konsekuensi

18

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 2000) hlm. 55. 19

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hlm. 156.

20

(39)

logis dari diterimanya paham konstitusi atau pemerintahan berdasarkan

undang-undang dasar (wetmatigheid van bestuur), berarti bahwa kekuasaan pemerintahan

negara presiden selaku eksekutif memegang kekuasaan pemerintahan menurut

undang-undang dasar, presiden berhak memajukan undang-undang kepada lembaga

perwakilan rakyat, presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan

undang-undang. Dengan prinsip ini pula presiden mengeluarkan peraturan.

Paham konstitusionalisme menghendaki eksistensi 2 (dua) elemen penting

sekaligus; pertama, hukum yang menjadi pembatas bagi kemungkinan

kesewenang-wenangan kekuasaan, dan kedua akuntabilitas politik sepenuhnya dari pemerintah

(government) kepada yang diperintah (governed). Melalui sistem konstitusi dalam

pemerintahan inilah akan melahirkan kesamaan hak dan kewajiban warga negara

serta perlindungan didalam hukum dan pemerintahan, karena pemerintah (penguasa)

dalam menerapkan aturan merujuk pada aturan dasar yang berlaku (konstitusi) bukan

kekuasaan yang dimiliki.

Sedangkan sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat adalah bahwa rakyat

memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak

mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri.

Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur

dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat

undang-undang.21

21

(40)

Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan.22

Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan

rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak

dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu

cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak

kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan

keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar

atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan

seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan

apapun.

Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum

(nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata

uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu

adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang

22

(41)

berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga

merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip

ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa.23

Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-Undang

Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang

pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik

Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni:

1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.

2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme.

3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.

4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara.

5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak

bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga

harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan

pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan

mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki

23

(42)

perwujudan keikutsertaan masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan

maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.24

Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga)

faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan

pendemokrasian pemerintahan:

1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).

2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat

memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik.

3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap

masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda.25

Sejalan dengan hal tersebut, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan

daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan implementasi dari Pasal 18 B

Undang-Undang Dasar 1945. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota

Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan

Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal

suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi,

24

Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang, UNSIKA, 1993), hlm. 47.

25

(43)

serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU

Pemerintahan Aceh ini antara lain:

1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI

berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU

Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.

3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak

diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.

4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui

pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.

5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas

ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 pemerintah daerah

kabupaten terdiri dari bupati dibantu perangkat daerah dan DPRK sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten yang diberi kewenangan khusus untuk

mengatur pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundangan-undangan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan berdasarkan perundang-undangan, berarti

disini merupakan implementasi dari desentralisasi dimana adanya penyerahan

wewenang pusat kedaerah.

Menurut Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso desentralisasi dapat diartikan

(44)

1. Adanya transfer kewenangan dan tanggungjawab mengenai fungsi-fungsi publik;

2. Tranfer tersebut berasal dari pemerintahan pusat;

3. Transfer tersebut diberikan kepada etnis yang dapat dibentuk: a. Organisasi pemerintahan subnasional.

b. Badan-badan pemerintahan semi otonomi.

c. Organisasi atau penjabat pemerintah puasat yang berada di luar ibukota

negara.

d. Organisasi nonpemerintah.

4. Maksud dari tranfer kewenangan dan tanggung adalah agar tujuan negara

dapat dicapai secara lebih efektif, efesien dan demokrasi.26

Secara legalistik formal, misalnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1974, yang dimaksud dengan desentralisasi adalah ”penyerahan urusan dari

pemerintahan atau daerah atasanya kepada daerah sebagai urusan rumah tangganya”

Menururt Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan

desentralisasi adalah ”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada

daerah otonomi dalam rangka negara kesatuan Republik Indonesia” sedang menurut

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dimaksud dengan desentralisasi adalah

”penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistim negara Republik

Indonesia”.27

26

Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, op.cit, hlm. 6

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang dimaksud

dengan desentralisasi adalah ”Pemberian kewenangan khusus untuk mengatur dan

mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Repunlik

Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

27

(45)

Dari pengertian diatas, desentralisasi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Penyerahan wewenang untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu

dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.

2. Fungsi yang diserahkan dapat dirinci atau merupakan fungsi yang tersisa

(residual functions).

3. Penerima wewenang adalah daerah otonom.

4. Penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan

melaksanakan kebijakan; wewenang mengatur dan mengurus kepentingan yang bersifat lokal.

5. Wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum

yang berlaku umum dan bersifat abstrak.

6. Wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum

yang bersifat individual dan konkrit.

7. Keberadaan daerah otonom adalah diluar hierarki organisasi pemerintah pusat.

8. Menunjukkan pola hubungan antar organisasi.

9. Menciptakan political variety dan diversity of structure dalam system

politik.28

Penyerahan uruasan pemerintahan kepada pemerintahan daerah dijelaskan oleh

The Liang Gie, sebagai urusan rumah tangga pemerintahan daerah yang dapat dibagi

dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:29

1. Rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip)

Pembagian kewenangan secara terperinci antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah yang diatur dalam undang-undang pembentukannya dimana

kewenangan-kewenangan tersebut lalau dibagi secara tegas antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah.

2. Rumah tangga formal (formale houshoudingsbegrip).

28

Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 2007), hlm. 15.

29

(46)

Pembagian tugas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dilakukan

atas dasar pertimbangan rasional dan praktifs. Di sini tidak ada perbedaan yang

tegas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi

tugas antara apa yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Daerah diserahi

urusan-urusan tertentu oleh pusat bukan karena secara materil urusan-urusan

terserbut harus diserahkan tetapi karena diyakini urusan-urusan tersebut akan

lebih efektif dan efisien apabila diselenggarakan pemerintah daerah. Jadi,

urusan-urusan rumah tangga tidak terperinci secara normative dalam undang-undang

pembentukannya tetapi ditentukan dalam rumusan umum. Rumusan umum ini

hanya mengandung prinsip-prinsip saja, sedangkan pengaturan selanjutnya

diserahkan kepada prakarsa daerah yang bersangkutan. Masalah menentukan

urusan pusat dan daerah diserahkan sepenuhnya kepada prakarsa dan inisiatif

daerah. Disini pemerintah daerah memeiliki keleluasaan gerak (vrije taak) untuk

mengambil inisiatif, memilih alternative, dan mengambil keputusan di sergala

bidang yang menyangkut kepentingan daerahnya. Namun semuanya tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Rumah tangga riil (reel huishoudingsbegrip)

Ajaran ini merupakan jalan tengah antara anggaran rumah tangga materiil dan

rumah tangga formal. Rumah tangga materiil berangkat dari konsepsi bahwa

pelimpahan wewenang kepada daerah harus didasarkan kepada factor-faktor riil

di daerah, sepertin kemampuan daerah, potensi alam, dan keadaan pendudukan.

(47)

tambahan, maksudnya pada saat pembentukannya Undnag-Undang mengaturnya

telah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga yang merupakan urusan

pokok sebagai modal awal disertai segala atribut, wewenang, personal,

perlengkapan, dan pembiayaan. Sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan

serta perkembangan daerah yang bersangkutan secara bertahap urusan-urusan

tersebut dapat tumbuh.

Konsekwensi langsung dari penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke

daerah (desentralisasi politik) adalah tindak lanjut dengan desentralisasi fiskal dan

desentralisasi administrasi. Desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah bahwa daerah

memiliki kewenangan untuk menggali sumber asli pendapatan daerahnya sendiri,

mengelola keuangan sendiri dengan perencanaan yang telah direncanakan

sebelumnya. Hal tersebut mudah dipahami karena salah satu kriteria penting untuk

mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah

tangganya adalah kemampuan self-supporting dalam bidang keuangan. Dengan

perkataan lain, faktor keuangan merupakan facktor essensial dalam mengukur tingkat

kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Ini berarti, dalam

penyelenggaraan urusan rumah tangganya daerah membutuhkan dana atau uang,

karena adalah mustahil bagi daerah-daerah untuk dapat menjalankan berbagai tugas

dan pekerjaannya dengan efektif dan efisien serta dapat melaksanakan pelayanan dan

pembangunan bagi masyarakat tanpa tersedianya dana untuk itu.30

(48)

Sedang desentralisasi administrasi pemerintahan daerah memiliki kewenangan

untuk merencanakan, pelaksanaan dan mengendalikan program-program untuk

mencapai kesejahtraan masyarakat. Atau dengan perkataan laindesentralisasi

administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan pembangunan ekonomi daerah sebagai tujuan utama desentralisasi.31

Perencanaan keuangan dapat diartikan sebagai berikut:32

1. Rencana keuangan yang menerjemehkan penggunaan sumber-sumber yang

tersedia untuk memenuhi aspirasi masyarakat menuju penciptaan kehidupan rakyat yang lebih baik dimasa yang akan datang.

2. Rencana keuangan Pemda untuk membangun perikehidipan masyarakat yang

tentunya semakin berkembang dan dinamis yang tercermin dalam kegiatan, untuk mendorong rakyat untuk memenuhi kewajibanya sebagai warga negara.

3. Proses penentuan jumlah alokasi sumber-sumber ekonomi untuk setiap

program dan aktivitas dalam bentuk satuan uang.

4. Sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorentasi pada

pencapaian hasil atau kinerja disebut anggaran kerja, kinerja harus mencerminkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik yang berarti berorentasi pada kepentungan publik.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa prinsip-prinsip anggaran adalah:

1. Semua penerimaan (uang, barang dan atau jasa) dianggarkan dalam APBD.

2. Seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dianggarkan secara bruto.

3. Jumlah pendapatan merupakan perkiraan terukur dan dapat dicapai serta

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian

tersedianya penerimaan dalam jumlah cukup dan harus diperkuat dengan dasar hukum yang melandasinya.

31

Chahib Sole dan Heru Rachmansjah, Pengelolaan dan Aset Keuangan Daerah, (Bandung: Fokusmedi, 2010), hlm. 27

32

(49)

Dengan adanya pembagian kewenangan diantara penyelenggara pemerintahan

daerah, maka akan diikuti dengan check and balances system (sistem saling

mengawasi) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut. Oleh karna

itu yang dibutuhkan adalah:33

1. Suatu distribusi kekuasaan agar kekuasaan tidak berada dalam suatu tangan saja.

2. Suatu keseimbangan kekuasaan agar masing-masing pemegang kekuasaan

tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani, hal ini disimpulkan dalam lingkup pengertian Balances.

3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain agar pemegang kekuasaan

tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan, hal ini disimpulkan dalam pengertian Chekcs, tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemrintahan lainya, tetapi harus melakukan pengecekan satu sama lainya.

Operasionalisasi dari check and balances ini dilakukan melalui cara-cara sebagai

berikut: 34

1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya kewenangan pembuatan suatu Undang-Undang yang diberikan kepada pemerintah dan parlemen sekaligus. Jadi terjadi overlapping yang dilegalkan terhadap kewenangan para pejabat negara antara satu cabang pemerintahan dengan cabang pemerintahan lainnya.

2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari satu cabang pemerintahan. Banyak pejabat tinggi negara dimana dalam proses pengangkatannya melibatkan lebih dari satu cabang pemerintahan. Misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun legislatif.

3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap

cabang pemerintahan lainnya.

4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang

pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh cabang legislatif dalam penggunaan budget negara.

33

Ibid, hlm. 124

34

(50)

5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir (the

last word) jika ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan

legislatif.

Sudah menjadi kebiasaan untuk membagi-bagi tugas pemerintah kedalam

“trichotomy” yang terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini

seringkali ditemui, kendati batas pembagian kekuasaan itu tidak selalu sempurna,

karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling

pengaruh mempengaruhi.35

Sebagai mana telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Peraturan perundang-undangan:

a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang/ Perpu.

c. Peraturan Pemerintah.

d. Peraturan Persiden.

e. Peraturan Daerah.

Dimana dalam Undang-Undang tersebut peraturan daerah adalah salah satu tata

urutan perundang-undangan di Indonesia, atau peraturan daerah merupakan salah satu

hukum positif di Indonesia sehingga begitu strategisnya peraturan daerah mengatur

kehidupan masyarakat untuk itu peraturan daerah yang telah dibuat harus diawasi

penggunaanya.

35

Referensi

Dokumen terkait

Sebaya ini mudah dan sangat cocok di aplikasikan dalam pembelajaran lompat tinggi maka tepat untuk di terapkan pada siswa SMP khususya kelas VIII C yang

ngan konsistensi sikap negatif terhadap matematika cenderung akan bertindak konsisten dengan sikapnya itu, antara lain ditandai dengan tidak ada perhatian untuk

Penelitian ini hendak melihat apa perbedaan intonasi vokal antara pemelajar Thai dan penutur jati dengan program praat dan bagaimana keberhasilan pemelajar Thai dalam

Ia berkata: 'Ya Allah, jika ia mengetahui bahwa aku melakukan hal ini karena mengharap ridha-Mu maka lapangkanlah dari kami apa yang ada pada kami.' Maka batu itu bergeser sedikit

Melihat dari hal tersebut di atas, peneliti berupaya untuk mencari penyelesaian terhadap permasalahan dalam pembelajaran IPS dengan menerapkan Media

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekuatan dan petunjukNya sehingga Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan

Pemerintah tidak salah berharap jika warga negaranya yang melakukan transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan berlaku jujur terhadap harga sesungguhnya yang

Menjadi Program Studi yang terkemuka, pelopor pembaharuan pemikiran dalam konsep pelayanan kesehatan, pengembangan keilmuan di bidang kedokteran, serta dapat menghasilkan dokter