• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan segala spesifik untuk proses tertentu terjadi8, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.9 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.10 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan

8

J.J.JM. Wuisaman dengan penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu – Ilmu Sosial, Jilid 1, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm.203.

9

Ibid,hlm.316 10

M.Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, Cetakan ke I, (Bandung : Mandar Maju), 1994,

menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.11 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.12 Agar tidak menjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Perjanjian kerjasama antara PERTAMINA dan pengelola SPBU ini merupakan suatu perjanjian yang dilakukan antara PERTAMINA dengan pengusaha swasta (SPBU), yang dalam hal ini melakukan kegiatan penyaluran dan pelayanan bahan bakar minyak bagi masyarakat umum, sesuai ketentuan yang berlaku. Perjanjian tersebut dinamakan Surat Perjanjian Kerjasama Pengelolaan dan Penggunaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum.

Sektor migas sangat berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena itu pemerintah membentuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas, yang pada intinya Pertamina sebagai BUMN mempunyai wewenang untuk mengelola migas. Karena keterbatasan modal dan jangkauan wilayah Indonesia yang sangat luas, pertamina menjalin kerjasama dengan pihak swasta seperti yang

11

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke II, (Jakarta : Rineka Cipta), 2003,

hal.23 12

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu bentuknya yaitu kerjasama pengelolaan SPBU.13

Mengingat perjanjian tersebut merupakan perbuatan hukum, maka perlindungan hukum bagi para pihak adalah sangat penting, agar kepentingan para pihak dapat terlindungi.

Adapun pengertian Perjanjian pada umumnya dapat dilihat sebagai berikut 1. Pengertian Perjanjian.

Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih “.

Para sarjana menyatakan bahwa rumus pasal 1313 KUH Perdata diatas memiliki banyak kelemahan. Abdul Kadir Muhammad Menyatakan kelemahan pasal tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja.

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri “ sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,tidak dari kedua belah pihak.Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri.jadi ada consensus antara pihak-pihak.

b. Kata “perbuatan”mencakup juga tanpa konsensus.

Pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa,tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. seharusnya digunakan kata “persetujuan”

c. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan,janji kawin,yang yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksudkan adalah hubungan antara kreditur dengan debitor dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

13

d. Tanpa menyebut tujuan mangadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.14

Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut, Abdul Kadir Muhammad merumuskan definisi perjanjian,yaitu persetujuan antara dua orang yang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.15

Dalam kehidupan sehari-hari istilah perjanjian sering juga disebut sebagai persetujuan, hal ini dapt dilihat dari adanya persetujuan kedua belah pihak untuk melakukan atau tidak untuk melakukan sesuatu. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kata perjanjian dan persetujuan memliki arti yang sama.

Perkataan kontrak merupakan pengambilan-alihan dari perkataan bahasa latin contactus,yang berarti perjanjian, Istilah kontrak yang semula hanya merupakan padanan kata dari perjanjian tertulis.16

2. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukuman perjanjian dikenal adanya asas hukum yang berkaitan dengan lahirnya perjanjian. Berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata, asas hukum tersebut adalah :

1. Asas konsensualisme

Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian. Kata “konsensualisme” berasal dari bahasa latin consensus berarti sepakat. Jadi yang dimaksud Asas konsensualisme adalah bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata

14

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.78

15 Ibid, hal.79

16

P.J.Supratignyo, Metode dan Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Unika Soegiyapranata,

sepakat/kehendak yang bebas dari para pihak yang membuat perjanjian mengenai isi/pokok perjanjian.17

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya “. Didalam pasal tersebut dijumpai asas konsensualisme yang terdapat pada kata “……….perjanjian yang dibuat secara sah……….” yang menunjukkan pada pasal 1320 KUH Perdata,terutama butir 1 yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Asas konsensulitas mengandung arti bahwa perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapai kesepakatan. Dengan perkataan lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas lain. Salah satu bentuk konsensulitas suatu perjanjian adalah adanya pembubuhan tanda tangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian yang dimaksud. Tanda tangan selain berfungsi sebagai wujud kesepakatan, juga sebagai wujud persetujuan atas tempat dan waktu asas isi perjanjian yang dibuat tersebut. Tanda tangan ini juga berhubungan dengan kesengajaan para pihak untuk menbuat suatu kontrak sebagai suatu bukti atas suatu peristiwa.18

2. Asas kekuatan mengikat

17

Wirjono Prodjodikoro, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu, Sumur Bandung, 1982, hal.21 18

Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian bagi para pihak. kita jumpai asas tersebut dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. dari kalimat “berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya”. Perjanjian yang dibuat secara sah , apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH pedata. Perjanjian tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat para pembuat dan pemakainya. Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa :”pejanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu “.

Para pihak yang telah melakukan perjanjian berdasarkan kata sepakat harus melaksanakan apa yang telah disepakatinya. Pelanggaran oleh salah satu pihak terhadap isi perjanjian dapat diajukan oleh pihak lainnya atas dasar wanprestasi pihak lawan.

3. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini behubungan denagn isi Perjanjian yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak. Asas ini terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUH perdata dari kata “ semua perjanjian” , dalam pasal tersebut berarti meliputi semua perjanjian. Dengan adanya asas ini, maka dapat disimpulkan bahwa system hukum perjanjian apa saja meskipun belum diatur dalam KUH Perdata.19

4. Asas Itikad Baik

Dalam pembuatannya suatu perjanjian terdapat satu asas yang menghendaki agar suatu perjanjian dilaksanakan dalam itikad baik sebagaimana yang tercantum

19

dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata. Asas itikad baik ini dapat dipakai dalam menilai sah tidaknya syarat eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku.

Dari keempat asas ini yang paling penting adalah asas kebebasan berkontrak, yang dalam bahas asing disebut : Contract Vrijheid,Conyaceer Vrijheid,atau Partij Autonomie.

Sesuai dengan pernyataan Asser Rutten dalam Purwahid Patrik : “Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata yang banyak didalam Undang-Undang tetapi seluruh hukum Perdata kita didasarkan padanya.20

Dalam setiap perjanjian selalu diasumsikan bahwa kedudukan kedua belah pihak membuat perjanjian adalah sama, baik dalam hal kekuatan maupun pengetahuan para pihak tentang isi perjanjian, akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Sering terjadi dalam pembuatan suatu perjanjian salah satu puhak memiliki kedudukan atau posisi yang jauh lebih kuat dibandingkan pihak yang lain. Hal ini menyebabkan pihak yang lemah hanya memiliki dua pilihan,yaitu menerima begitu saja syarat atau ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya, atau menolaknya.

Pihak yang secara sepihak membuat kontrak standart pada hakekatnya merupakan pembuat undang-undang swasta, sebab menurut pasal 1338 KUH Perdata suatu perjanjian mengikat sebagai undang-undang ini disalah gunakan dengan membebani suatu kontrak standar dengan syarat-syarat merugikan pihak lain (konsumen).

20

Asas kebebasan berkontrak ini berhubungan dengan isi perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak. Asas ini terkandung pada pasal 1338 ayat (1 ) KUH Perdata.

Dengan adanya asas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembuatan suatu perjanjian menganut sistem terbuka, artinya bahwa para pihak boleh mengadakan perjanjian apa saja meskipun belum diatur dalam KUH Perdata. Namun kebebasan itu tidak bersifat mutlak melainkan adanya batasannya seperti yang diatur dalam pasal 1337 KUH Perdata, yaitu :

1. Tidak dilarang oleh Undang-Undang.

2. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan.21

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Oleh karena kontrak merupakan perjanjian yang dibuat secara tertulis,maka syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab atau causa yang halal.22

21

Purwahid Patrik, Diktat Hukum Perdata…, Op.cit, hal.15

22

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyeknya.Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan. Jika obyeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan atau causanya tidak,halal persetujuannya adalah batal.23

3.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan adanya kebebasan berkontrak yang dinyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat para pihak mengikat sebagai Undang-Undang. Artinya orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai dalam perjanjian tersebut. “Bahkan menurut Subekti, pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap,yang berarti bahwa pasal-pasal boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan”.24

Tetapi dalam perkembangannya, penerapan asas kebebasan berkontrak semakin kabur. “Para pihak dalam perjanjian tidak lagi dapat membuat kesepakatan sesuai dengan kehendak mereka sendiri berdasarkan asas keseimbangan (equal of contract). Keadaan ini disebabkan karena dalam pembuatan sebuah perjanjian kedua belah pihak tidak mempunyai kedudukan (bargaining position) yang seimbang.

23 Loc.cit

24

Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjajnjian Baku

Sebab salah satu pihak memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan pihak yang lain,dimana perbedaan kedudukan ini dimanfaatkan pihak yang mempunyai posisi kuat untuk menekan pihak yang lemah, sehingga melahirkan suatu perjanjian yang berat sebelah dan tidak adil. Keadaan yang semacam ini akan semakin memicu munculnya perjanjian-perjanjian dalam bentuk baku yang dibuat secara berat sebelah”.25

Dalam pembuatan sebuah akta kontrak atau perjanjian masing-masing pihak pembuatnya harus mempunyai keinginan dan kehendak yang bebas untuk mengikatkan dirinya,atau dengan kata lain para pihak pembuat kontrak harus sepakat dalam bertindak atau mengenai hal-hal yang diatur dalam kontrak,artinya apa yang menjadi kehendak salah satu pihak juga harus menjadi kehendak pihak lain.

3.2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan,harus dituangkan secara jelas mengenai jati diri para pihak. Pasla 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

3.3. Suatu hal tertentu

25

Prestasi dari persetujuan harus tertentu atau dapat ditentukan. Paling tidak harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlah asal dapat ditentukan. Pasal 1332 KUH Perdata menentukan bahwa hanya barang - barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek persetujuan. Selanjutnya pasal1334 KUH Perdata bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek persetujuan, kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.26

Kalau dihubungkan dengan pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah “hal” yang tertentu dan kata “hal” ini berasal dari kata Belanda onderwerp yang dapat juga diartikan pokok uraian atau pokok pembicaraan (atau pokok persoalan), maka zaak lebih tepat ditejemahkan sebagai pokok persoalan (arti nomor 4 dalam kamus Prof.Drs. S. Wojowasito ). Zaak dalam pasal 1333 KUH Perdata lebih tepat diterjemahkan sebagai pokok persoalan karena pokok atau obyek cari perjanjian dapat berupa benda/barang tetapi berupa jasa misalnya perjanjian kerja.27

3.4. Suatu sebab atau causa yang halal

Menurut pasal 1320 KUH Perdata arti kata “sebab” bukan dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang ingin dicapai. Di dalam pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian yang dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, maka tidak akan

26

R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan…, Op.cit, hal.61-62

27

mempunyai kekuatan. Sedangkan yang dimaksud suatu sebab yang halal adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Adapun istilah lain yang disebutkan di dalam perjanjian adalah perjanjian baku. Di Indonesia istilah perjanjian baku yang sering digunakan antara lain : Perjanjian Standar, Perjanjian Baku, kontrak standar dan kontrak baku. Dalam beberapa makalah dan buku yang ditulis oleh para ahli hukum, seperti Mariam Darus Badrulzaman, Abdul Kadir Muhammad, Sutan Remy Sjahdeini dan Johannes Gunawan, istilah yang digunakan adalah perjanjian baku. Oleh karena pada umumnya para ahli menggunakan istilah tersebut, maka dalam tesis ini penulis menggunakan istilah perjanjian baku.

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

standart contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.28 Sebagaimana halnya dalam pemakaian istilah yang tidak seragam tersebut diatas, dijumpai pula adanya beberapa pengertian mengenai perjanjian baku, antara lain adalah :

28

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT.Raja Grafindo

Pengertian menurut Mariam Darus Badrulzaman : “perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.”29

Pengertian menurut Sutan Remy Sjahdeini : “Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang hanyalah beberapa hal saja,misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,.warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain nya yang spesifik dari obyjek yang diperjanjikan.Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notarie, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu,maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itupun adalah juga perjanjian baku.30

E.H. Hondius, menyatakan bahwa : perjanjian baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu.31

Pengertian menurut J. Satrio :” Perjanjian baku adalah perjanjian tertulis,yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu,yang mengandung syarat-syarat tetap, yang oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk

29

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumn, Bandung, 1994, hal.47-48

30

Sutan Remy Sjahdeini, dalam Salim HS, Op.cit, hal.146 31

disetujui (lawan janjinya) dan dimaksudkan untuk setiap kali digunakan pada penutupan perjanjian seperti itu.32

Definisi diatas baru memberikan kerangka dari perjanjian baku yang tertulis atau dalam bentuk formulir. Akan tetapi dalam prakteknya banyak terdapat perjanjian baku yang tidak dapat dalam bentuk tertulis,misalnya tanda larangan parkir dipusat perbelanjaan.

Perkembangan perjanjian baku dalam praktek kehidupan sehari-hari merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari,hal ini disebabkan karena adanya tuntutan kepentingan bisnis.Dalam dunia bisnis para pelakunya selalu mengutamakan bagaimana cara memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya,secara efektif dan efesien baik dalam hal tenaga,waktu,maupun biaya.

Menurut Mariam Darulzaman, perjanjian baku dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Perjanjian baku sepihak ;

Perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ;

Perjanjian baku yang mempunyai obyek hak-hak atas tanah. 3. Perjanjian yang ditentukan dilingkungan Notaris/ advokat.

32

J.Satrio, Beberapa Segi Hukum Perjanjian Kredit Standar, Media Notariat Nomor :

Perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.33

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait