• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

“Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsur-unsur berikut antara lain metodologi, aktivitas penelitian, imajinasi sosial dan juga sangat ditentukan oleh teori”.13 “Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi”,14 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.15

“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.”16 “Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati”.17

13 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 6.

14 J.J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, ( Penyunting : M. Hisyam ), Jakarta : FE UI, 1996, hal. 203.

15

Ibid, hal. 122.

16 M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

17 Bandingkan Snelbecker dalam Lexy J. Moloeng,Metodologi Penelitian Kualitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35.

(rechtszekerheid)”.18 Dalam bukunya Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht, Apeldoorn menyatakan bahwa :

Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya.19

Dalam hal mewujudkan keadilan, menurut W. Friedman suatu Undang-Undang haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara pribadi-pribadi tersebut.20

Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.21

“Menurut aliran ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga

18 Achmad Ali, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 85.

19 R. Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 57.

20 W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Krisis Atas Teori-Teori Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Raja Grasindo Persada, Jakarta 1993, hal. 7.

21 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung , Jakarta, 2002, hal. 83.

Keadilan merupakan fokus utama dari setiap sistem hukum dan keadilan tidak dapat begitu saja dikorbankan, seperti pendapat John Rawls yang di kutip oleh Munir Fuady sebagai berikut :

Nilai keadilan tidak boleh ditawar-tawar dan harus diwujudkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Suatu ketidakadilan hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut di perlukan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Karena merupakan kebajikan yang terpenting dalam kehidupan manusia, maka terhadap kebenaran dan keadilan tidak ada kata kompromi.23

Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan kepada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.24

Prinsip keadilan menurut John Rawls dapat dirinci sebagai berikut : 1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap kebebasan dasar (equal liberties)

22

Ibid,hal. 83.

23 Munir Fuady,Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal. 94.

24 John Rawls, A Theory Of Justice Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 4.

a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi pihak yang lemah (maximum minimorium)

b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang

Menurut Rawls, keadilan akan didapatkan jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing (justice as fairness).

Dalam perpajakan dikenal 2 macam keadilan yaitu keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut cakupan pengertian penghasilan, sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur tarif pajak. Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara Wajib Pajak, artinya terkait dengan pajak setiap orang mendapat perlakuan yang adil.25

Selain itu, pemungutan pajak harus diatur dalam Undang-Undang, tujuannya agar ada jaminan hukum untuk negara dan Wajib Pajak dalam penyelenggaraan pemungutan pajak. Negara memiliki hak untuk memungut pajak, namun pelaksanaan hak tersebut tidak boleh mengabaikan teori-teori perpajakan yang ada.

Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu,

persetujuan rakyat dimaksud tentunya hanya dapat dilakukan dengan suatu undang-undang. Pertanyaannya sekarang mengapa harus dengan undang-undang? Landasan yuridis untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan mengacu pada Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut perampokan (taxation without representation is robbery).

Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak bertujuan untuk mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan secara umum dan merata. Prinsip tersebut mengawali setiap proses penyusunan perangkat perundang-undangan perpajakan maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan merata ini merupakan parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak.

Terlepas daripada adanya sanksi, secara sadar atau tidak, pada umumnya orang menaati hukum yang ada. Menurut Utrecht, orang menaati hukum karena :

a. Karena orang merasakan bahwa peraturan-peraturan itu dirasakan sebagai hukum.

b. Karena ia harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman. Ia menganggap peraturan sebagai peraturan hukum secara rasional (rationeele aanvaarding). Agar tidak mendapatkan kesukaran-kesukaran

d. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasa malu atau khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar sesuatu kaidah sosial/hukum.26

2. Konsepsi

“Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional”.27 “Kerangka konsep mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.”28 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut:

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

26 E. Utrecht / Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 23-24.

27

Sumadi Suryabrata,Metodologi Penelitian,Rayagrafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3.

28Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),

Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Konsultan, Penilai dan Aktuaris)

4. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum Notaris/PPAT yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.

5. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang -undang .

6. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah/ hak milik atas satuan rumah susun dalam rangka melaksanakan tugas pokok.

pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi sebagaimana dimaksud dalanm Pasal 21 dan 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.

8. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima jaminan hari tua, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun.

9. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah formulir yang digunakan oleh pemotong pajak untuk memotong PPh Pasal 21 dar penghasilan Wajib Pajak yang bentuknya tekah ditentukan dan pengisiannya harus lengkap dan benar.

10. Dasar pengenaan Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Tenaga Ahli Adalah jumlah penghasilan bruto berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan.

11. Tarif umum PPh adalah lapisan PKP s/d Rp 50 juta dikenakan tarif pajak 5 %, lapisan PKP > Rp 50 juta s/d Rp 250 juta dikenakan tarif pajak 15 %, lapisan PKP > Rp 250 juta s/d Rp 500 juta dikenakan tarif 25 %, lapisan PKP > Rp 500 juta dikenakan tarif pajak 30 %.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, artinya penelitian ini merupakan penelitian yang berupaya menggambarkan, menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan Pajak Penghasilan Pasal 21, dan kemudian akan dibandingkan dengan praktek pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima Notaris / PPAT di kota Medan.

Dalam penulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku dan dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi mengenai fenomena-fenomena yang berhubungan dengan pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima Notaris / PPAT di kota Medan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Medan. 3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Notaris / PPAT yang wilayah hukumnya di kota Medan yaitu sebanyak 253 (dua ratus lima puluh tiga) Kantor

penunjang melalui informan yaitu : Pegawai/Petugas KPP Pratama Medan Kota dan Pegawai/Petugas KPP Pratama Medan Petisah masing-masing sebanyak 1 orang.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder, sebagai berikut :

a. Data primer

Data primer adalah data penelitian lapangan yang terkait dengan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas honorarium yang diterima Notaris / PPAT melalui wawancara kepada responden dengan menggunakan kuesioner dan informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah ditentukan,

29Populasi tersebut kemudian dipilih menjadi unit sampel penelitian dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pemilihan penggunaan teknik tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa sampel yang akan diteliti memiliki karakteristik yang relatif sama untuk dipilih menjadi sampel responden. Bentuksamplingtersebut biasa diterapkan dalam penelitian hukumempirisyang bertujuan untuk mengetahui efektivitas hukum dalam masyarakat. Disamping alasan tersebut, purposive samplingdipilih agar benar-benar dapat menjamin, bahwa responden adalah unsur-unsur yang hendak diteliti dan yakin masuk dalam sampel yang dipilih. Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum,Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 196-197.

30 Klaus Krippendorff, 1993,Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodologi,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 96, menyatakan tidak ada jawaban yang pasti untuk menjawab persoalan berapa jumlah sampel yang dapat mewakili populasi. Lihat juga, Amiruddin dan H. Zainal Abidin,

Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, menyatakan bila sifat populasi homogen, jumlah sampelnya kecil saja. Jika sifat populasinya heterogen, jumlah sampelnya harus memperhatikan keheterogenennya karena sampel yang diambil harus dapat mencerminkan/mewakili populasi.

b. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Norma atau kaidah dasar

b. Peraturan perundang -undangan yang terkait dengan perpajakan khususnya mengenai Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu:

- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Orang Pribadi

- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

(2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain tulisan atau pendapat para pakar hukum di bidang hukum perpajakan.

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

5. Alat pengumpul data (1) Studi Dokumen

Dokumen adalah data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data tentang pajak, khususnya mengenai PPh pasal 21, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk menguji, menafsirkan, meramalkan.

Petisah.

Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu kepada substansi masalah dalam penelitian ini. Sehingga ketika dilakuskan wawancara bisa dapat mengetahui jawaban untuk menganalisis lebih lanjut permasalahan yang ada.

6. Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder mengenai pemotongan PPh Pasal 2, setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan kemudian dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif dengan logika deduksi, yaitu berfikir dari hal yang umum menuju hal yang lebih khusus, dengan mengggunakan perangkat normatif, yaitu dengan cara melakukan interprestasi dan konstruksi hukum atas peristiwa hukum konkrit yang terjadi terutama hal-hal yang berkaitan dengan Pemotongan PPh Pasal 21.

Dari kegiatan interprestasi data sekunder yang diperoleh diharapkan dapat menghasilkan kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian.

27

PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TERHADAP HONORARIUM NOTARIS/PPAT

A. Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip PPh

Dalam pemungutan pajak didasarkan pada asas-asas tertentu bagi fiskus sehingga dengan asas ini negara memberi hak kepada dirinya sendiri untuk memungut pajak dari penduduknya, yang pada hakekatnya memungut dengan paksa (berdasarkan undang-undang) sebagian dari harta yang dimiliki penduduknya. Asas-asas tersebut adalah :

1. Asas Domisili

Pengenaan pajak tergantung pada tempat tinggal (domisili) Wajib Pajak. Wajib Pajak tinggal di suatu negara maka negara itulah yang berhak mengenakan pajak atas segala hal yang berhubungan dengan obyek yang dimiliki Wajib Pajak yang menurut undang-undang dikenakan pajak. Wajib Pajak dalam negeri maupun luar negeri yang bertempat tinggal di Indonesia, maka dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik penghasilan yang diterima dari dalam negeri maupun dari luar negeri, di Indonesia.

Berdasarkan asas domisili atau kependudukan, negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).31

2. Asas Sumber

Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.32

Cara pemungutan pajak yang bergantung pada sumber di mana obyek pajak diperoleh. Tergantung di negara mana obyek pajak tersebut diperoleh. Jika di suatu negara terdapat suatu surnber penghasilan, negara tersebut berhak memungut pajak tanpa melihat wajib pajak itu bertempat tinggal. Baik Wajib Pajak Dalam Negeri maupun Luar Negeri yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia, akan dikenakan pajak di Indonesia.

31Jaja Zakaria,Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Serta Penerapannya di Indonesia,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 2.

3. Asas kebangsaan/nasionalitas (nationality/citizenship principle)

Negara yang menganut asas nasionalitas atau kewarganegaraan akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan apabila penghasilan tersebut diperoleh warga negaranya. Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atasworld wide income.33

Cara yang berdasarkan kebangsaan menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan dari suatu negara. Asas kebangsaan atau asas nasional, adalah asas yang menganut cara pemungutan pajak yang dihubungkan dengan kebangsaan dari suatu negara.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh), khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.

Penarikan pajak kepada wajib pajak oleh negara (fiskus) merupakan perpindahan sebagai kekayaan atau penghasilan orang kepada negara. Persyaratan

atau prinsip-prinsip pokok perpajakan yang paling terkenal adalah yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dikenal sebagai “four canons of taxation”. Berdasarkanfour canons of taxation yang dikemukakan oleh Adam Smith, dikenal empat asas pemungutan pajak yang baik, yaitu asas persamaan keadilan dan kemampuan (equality, equity, and ability); asas kepastian (certainty); asas kenyamanan pembayaran (convenience of payment); dan asas efisiensi (economy of collection). 4. Asas Persamaan, keadilan dan kemampuan (equality, equity and ability).

Asas pemungutan pajak yang pertama (first maxim) dari Adam Smith disebut sebagai asas kesamaan (quality of sacrifice), keadilan (equity) dan kemampuan membayar (ability to pay). Equality atau kesamaan mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang beraa dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Dengan demikian diharapkan akan tercapai keadilan (equity) di antara para pembayar pajak, karena mereka akan dikenakan pajak berdasarkan kemampuannya dalam membayar pajak (ability to pay) yang memang berbeda antara seorang wajib pajak dengan pajak lainnya.34

Dalam asas ini dimaksudkan bahwa pihak wajib pajak atau orang pribadi (natuurlijke persoon) maupun badan hukum (rechtspersoon) dalam membayar pajak secara sama dan mempunyai kemampuan atau sanggup memikul pajak sehingga dirasakan adil secara bersama-sama. Sehingga apabila wajib pajak tidak mempunyai kemampuan maka orang itu akan bangkrut dan juga pengisian kas negara akan gagal. Untuk hal itu para wajib pajak secara sama-sama dengan wajib pajak lain membayar pajak tergantung besar kecil kemampuannya, dimana wajib pajak yang penghasilannya besar dan kaya membayar pajak yang tinggi, sedangkan yang berpenghasilan kecil atau rendah dan menengah cukup membayar pajak yang sedikit, sebab apabila terlalu berat bagi wajib pajak maka ia sendiri akan hancur ekonomi dan kehidupannya.35

34Marihot Pahala Siahaan,Hukum Pajak Elementer, Konsep Dasar Perpajakan Indonesia,

Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hal. 56.

35 Marhainis Abdul Haysil, Dasar-dasar Hukum Pahak, Badan Penerbit Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran,Jakarta, 1984, hal. 59.

5. Asas Kepastian (certainty).

Kepastian yang dimaksud adalah kepastian yang berhubungan dengan hukum, yang mengandung arti jaminan hukum dan buka kepastian yang didasarkan pada kesewenang-wenangan. Karena itu kepastian dalam hal ini sering dikaitkan dengan kepastian hukum. Asas kepastian (certainty) berarti penarikan pajak oleh negara (fiskus) kepada para wajib pajak harus dilakukan dengan kepastian hukum berdasran peraturan tertulis dalam suatu sumber hukum, yang dalam arti formal berbentuk undang-undang yang dibuat melalui badan legislatif.36

Kepastian hukum merupakan tujuan setiap undang-undang pajak. Dalam pembuatannya harus diupayakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang pajak jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.

6. Asas Kenyamanan Pembayaran (convenience of payment).

Asas ini berkaitan dengan kesenangan atau kenyamanan wajib pajak dalam membayar pajak (convenience of payment). Ha ini berarti pemungutan dan pembayaran pajak hendaknya dilakukan pada waktu wajib pajak dalam keadaan yang paling menyenangkan. Dengan demikian pajak harus dipungut pada saat dan keadaan yang tepat dan baik, yaitu pada saat wajib pajak mampu membayar pajak (sewaktu mempunyai uang) atau saat menerima penghasilan. Misalnya pada waktu menerima upah.

Dengan pelaksanaan asas convenience of payment, fiskus perlu

Dokumen terkait