• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.23 Teori

adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.24

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6. 24

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal. 203.

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam bidang tersebut“.25 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.26

Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perdata, khususnya bidang kenotariatan dan hukum perjanjian atau kontrak yang menjadi bahan perbandingan, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.27

Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Snelbecker yang dikutip Lexi J. Moleong mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.28

Dasar teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah meliputi mazhab

sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound di Amerika, akan

25

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.

26

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35

27

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, hal. 80. 28

tetapi sayang bahwa dalam hubungan ini dipergunakan istilah sosiologis, sebenarnya akan lebih tepat dan mengenai bila dipergunakan istilah methode functioneel,

mengingat penelitian ini mengutamakan ketentuan yang mengharuskan adanya penerapan atau penggunaan suatu aturan dalam suatu perbuatan hukum.

Dalam hal ini harus dibedakan ilmu pengetahuan hukum sosiologis dari Pound dengan apa yang disebut sekarang orang sosiologi hukum. Keruwetan yang selayaknya yang disebabkan karena kesamaan istilah-istilah ini merupakan alasan yang lebih kuat untuk memilih nama mazhab fungsional sebagai penamaan yang paling tepat untuk hasil pekerjaan Pound.

Hal tersebut mengilhami lahirnya law as a tool of engineering dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological yurisprudence dimana hukum menjadi alat perubah masyarakat. Demikian pula Mochtar Kusumaatmadja yang juga mengatakan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.29

Negara hukum juga berarti negara yang berlandaskan hukum dan menjamin keadilan bagi warganya, di mana segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau di atur oleh hukum. Hal demikian mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. Negara menjamin agar setiap orang dapat memiliki dan menikmati hak-haknya dengan aman dan semua orang berhak mendapatkan jaminan hukum sebagai hak

29

Lili Rasyidi dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum : Madzhab dan Refleksinya, Rosdakarya, Bandung, 1994, hal. 111.

asasinya. Dalam rangka itu negara dan kehidupannya harus didasarkan atas hukum dan menurut hukum seperti yang dituangkan dalam konstitusi, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur.30 Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan

yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada padanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.

Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 31 Selanjutnya Sjachran Basah menyatakan fungsi hukum

yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai

30

Mochtar Kusumaatmaja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun, hal. 2-3

31

Mochtar Kusumaatmaja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung Tahun 1995, hal. 13

pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.32

Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka penggunaan kata dan bahasa dalam akta notarial dapat disesuai dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan budaya masyarakat guna mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dari akta yang dibuat notaris.

Notaris di Indonesia mulai dikenal pada zaman permulaan abad ke 17, yaitu dengan didirikannya “Oost Indische Compagnie”. Pertama sekali Notaris yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kerchen (dia adalah Sekretaris College Schepenen). Setelah pengangkatannya jumlah notaris terus bertambah sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu.33

Perjalanan Notaris Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan hukum negara dan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan berhasilnya pemerintahan orde Reformasi mengundang Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2004 ini merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notaris yang merupakan terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3) yang

32

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, Tahun 1992, hal. 13

33

Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 5.

dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat.34

Dengan demikian pada mulanya ketentuan tentang notaris didasarkan pada ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie,

Stb 1860: 3). Penerapan ketentuan tentang Notaris ini tergantung pada sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara tradisional terdapat dua kelompok tradisi hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Perbedaan keduanya terletak pada peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.

Negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi kontinental biasanya menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai akar utama sistem hukumnya. Sebaliknya negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi Anglo Saxon menempatkan yurisprudensi sebagai akar utama dalam sistem hukumnya.

Bagi negara Indonesia sendiri, sistem hukum yang dianut sesuai dengan asas konkordansi adalah sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga Peraturan Hukum yang mengatur tentang jabatan notaris dipengaruhi oleh hukum negeri Belanda. Peraturan Notaris yang dipakai sebelumnya adalah Stb Nomor 3 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Juli Tahun 1860, yang kemudian diundangkan sebagai “Notaris Reglement” (Peraturan-peraturan Jabatan Notaris) yang diletakkan sebagai fundamen landasan kelembagaan Notaris di Indonesia. Kemudian Staatblaad Nomor

34

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal. 32

3 Tahun 1860 ini dicabut dengan dikeluarkannya Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober Tahun 2004.

Dalam diktum penjelasan UUJN dinyatakan bahwa UUD 1945 menentukan bahwa negara RI adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pengertian ini apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2004, pengertian notaris adalah :

Pejabat Umum yang membuat Akta Otentik, mengenai semua perbuatan perjanjian, ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan dan dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta sepanjang mengenai akta-akta tersebut tidak

ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.35

Lebih lanjut Sutrisno menjelaskan bahwa berdasarkan pengertian Notaris yang termuat dalam ketentuan Pasal 1 Jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 dapat ditarik 13 unsur penting, yaitu :36

(1) Pejabat Umum

(2) Membuat Akta Otentik

(3) Mengenai perbuatan

(4) Mengenai perjanjian

(5) Mengenai ketetapan

(6) Diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

(7) Dikehendaki oleh yang berkepentingan

(8) Dinyatakan dalam akta otentik

(9) Menjamin kepastian tanggal akta

(10) Menyimpan akta

(11) Memberikan grose, salinan dan kutipan akta

(12) Sepanjang tidak ditugaskan pada orang lain/pejabat lain (13) Sepanjang ditugaskan pada orang lain.

Dari definisi yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik. Adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah “Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUH Perdata).

Berdasarkan pengertian di atas, notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta otentik,

35

Sutrisno, Tanggapan Terhadap Undang-undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bahan Kuliah Etika Profesi Notaris), MKn USU, 2007, Hal 9-10.

36

namun dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri. Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, yakni :

a. Warga Negara Indonesia

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

c. Berumur paling sedikit 27 tahun d. Sehat jasmani dan rohani

e. Berijazah sarjana hukum dan jenjang strata dua kenotariatan

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan dan

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, Advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu:

1. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah

didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini

terdapat pemisahan yang keras antara ”wettlelijke ” dan ”niet

wettelijke”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat

2. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.37

Ciri khas yang tegas untuk menentukan apakah Notaris di Indonesia merupakan Notaris fungsional atau Notaris professional adalah :

37

a. Bahwa akta yang dibuat di hadapan/oleh Notaris fungsional mempunyai kekuatan sebagai alat bukti formal dan mempunyai daya eksekusi. Akta Notaris seperti ini harus dilihat apa adanya, sehingga jika ada pihak yang berkeberatan dengan akta tersebut maka pihak yang berkeberatan, berkewajiban untuk membuktikannya.

b. Bahwa Notaris fungsional menerima tugasnya dari Negara dalam bentuk delegasi dari Negara. Hal ini merupakan salah satu rasio Notaris di Indonesia memakai lambang Negara, yaitu Burung Garuda. Oleh karena menerima tugas dari Negara maka yang diberikan kepada mereka yang diangkat sebagai Notaris dalam bentuk sebagai jabatan dari Negara.

c. Bahwa Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt) Stb 1860 Nomor 3. Dalam teks asli disebutkan bahwa “ambt” adalah “jabatan”.38

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris Indonesia dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional (professional dalam tindakan) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Menurut Wawan Setiawan, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah :

1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama

ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan-ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.

2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan senatiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya 4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya. 39

38

Dengan demikian, Notaris sebagai salah satu element manusia harus memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik oleh notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris.

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2005, hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 27 Januari 2005, pengertian Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus.40

39

Wawan Setiawan, Notaris Profesional, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hal 23. 40

Sebagai perbandingan lihat hasil rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di Surabaya, Kode Etik Notaris adalah suatu sikap seorang Notaris yang merupakan suatu kepribadian yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa secara empiris peran notaris di tengah-tengah masyarakat semakin dibutuhkan tentu hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh masyarakat itu sendiri hal itulah yang membuat kemajuan masyarakat, pesatnya pertumbuhan kemajuan di bidang barang, jasa terutama dalam bidang perekonomian dimana peran serta notaris sangat diperlukan dalam pembuatan akta dan perjanjian-perjanjian.

Dalam membuat suatu kontrak agar dapat dijadikan sebagai suatu alat bukti yang kuat atau sering disebut akta otentik, para pihak dapat menggunakan jasa notaris. Akta adalah tulisan yang ditanda tangani oleh para pihak yang berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti.41 Ditinjau dari cara pembuatannya

akta dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni Akta Otentik dan Akta dibawah Tangan. 1. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat

oleh pejabat-pejabat (ambtenaren) yang berwenang yang menurut atau

berdasarkan pada undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan (waarneming) atau dilakukannya, sedangkan

2. Akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik42

Hal ini sebagai diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata bahwa Akta otentik adalah suatu tulisan yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

41

M.U Sembiring, Op.Cit., hal 3 42

Trimoelja D. Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT, yang disampaikan pada acara Temu Ilmiah dan Pembinaan serta Pembekalan Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Garden Palace Hotel, Surabaya tanggal 14 Juni 2003.

dibuatnya".43

Dari perumusan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta otentik, yaitu :

1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris

Akta jenis ini biasanya diberi nama akta relaas atau akta pejabat atau akta proses perbal, atau akta berita acara, yang termasuk jenis akta ini antara lain akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harga peninggalan, akte berita acara penarikan undian.

Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, atau apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een)

Notaris akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa, perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.44

Dengan demikian, undang-undang dengan menyatakan bahwa suatu akta adalah otentik jika :

1. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang. 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.

3. Dibuat dalam wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta itu.

Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-undang.

43

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 52.

44

Apabila kita konsisten pada suatu sistem hukum, hingga kini hanya notarislah yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik. Hal ini semata-mata karena mendasarkan pada ketentuan undang-undang yang harus dipenuhi agar suatu akta adalah suatu akta otentik. Pejabat yang berwenang untuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata disebut pejabat umum, ditunjuk oleh negara melalui undang-undang adalah notaris.

Pasal 1874 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Selain itu, di dalam akta perlu juga diperhatikan 2 unsur, yaitu : unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum dari akta adalah unsur yang harus termuat dalam semua dan setiap akta pada umumnya. Setiap akta otentik misalnya harus mencantumkan nama dan tempat kedudukan dari pejabat dihadapan siapa akta itu diperbuat. Apabila hal itu tidak dicantumkan maka akta itu kehilangan sifat otentiknya. Sedangkan unsur khusus adalah unsur yang secara khusus harus terkandung dalam akta tertentu, akan tetapi keberadaanya itu bukan merupakan keharusan dalam akta lainnya.45

Ditinjau dari cara penyimpananya, maka akta otentik dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Akta yang aslinya atau orisinalnya disimpan oleh Notaris dinamakan akta minut,

45

2. akta yang aslinya atau orisinalnya diserahkan kepada penghadap yang meminta akta diperbuat, dinamakan akta yang dikeluarkan original. 46

Berdasarkan Pasal 1 butir 7 UUJN, juga disebutkan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Akta Notaris yang dibuat oleh Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena undang-undang dan peraturan Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di pengadilan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang membuat akta tersebut.

Menurut pendapat umum yang dianut, pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada akta notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yakni:47

1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijracht);

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang dibuat dibawah tangan baru pelaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Sepanjang mengenai kekuatan ini, yang merupakan

46Ibid, hal. 9. 47

pembuktian lengkap dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama.

2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni

Dokumen terkait