• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kata Dan Bahasa Dalam Akta Notaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kata Dan Bahasa Dalam Akta Notaris"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

VIDYA NANDRA KESUMA

087011128/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

VIDYA NANDRA KESUMA

087011128/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM AKTA NOTARIS Nama Mahasiswa : Vidya Nandra Kesuma

Nomor Pokok : O87011128 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui

Komisi Pembimbing,

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum) (Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn)

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 21 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Notaris Syahril Sofyan, SH, M.Kn.

Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, S.H., M.Hum.

2. Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN

(5)

ABSTRAK

Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, menentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan. Penyusunan suatu akta notaris menggunakan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris, hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris dan penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris.

Hasil penelitian pada praktek notaris diketahui bahwa terdapat kekurangan dalam akta notaris, baik dari segi kaidah bahasa Indonesia, kesalahan tulis, dan penafsiran ganda yang dapat menimbulkan akibat hukum. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang penerapan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris. Notaris dituntut memiliki kemampuan menelaah maksud dan kehendak para pihak dengan baik, mengutamakan ketelitian dalam membuat dan menuangkan perbuatan hukum yang dimaksud ke dalam akta untuk meminimalisir kesalahan serta perbedaan penafsiran antara para pihak sehingga tidak melanggar ketentuan yang ada dan untuk menghindari atau menindaklanjuti perkara yang terjadi di kemudian hari. Hambatan yang dihadapi dalam penggunaan kata dan bahasa yang tepat antara lain, kurangnya sumberdaya notaris dalam menerapkan penggunaan kata dan bahasa akta yang tepat, kelalaian notaris, dan perbedaan pemahaman antara notaris dengan klien. Sedangkan hambatan dari masyarakat, yaitu kurangnya kesadaran hukum dan pemahaman masyarakat terhadap bahasa hukum, dan adanya penafsiran yang berbeda dari para pihak. Penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

adalah dengan menggunakan lembaga renvooi dan perubahan akta dengan membuat

akta baru atau pembatalan akta. Disarankan kepada masyarakat terkait pembuatan akta, agar menyampaikan keterangan, maksud dan tujuan, serta memberikan surat dan dokumen yang diperlukan secara jelas, jujur, dan benar. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tetap berpegang teguh dengan berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku, mengutamakan tanggung jawab, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melaksanakan tugas profesi notaris dengan baik dan benar.

(6)

ABSTRACT

Article 27 of Law No.24/2009 says that Bahasa Indonesia is compulsory to be used in any state official documents such as a decree, share certificate, (educational) certificate, official letter of statement, official letter of self-identification, trading certificate, agreement/contract, and court decision. The making of a notarial act should use Bahasa Indonesia which is a unitary language of the Republic of Indonesia. The purpose of this study was to describe the application of the sipulation of using word and language in a notarial act within a notarial practice, the constraints faced by notaries is using word and language in a notarial act, and the solution taken by notaries when mistakes occurred in using word and language in a notarial act.

This study employed an analitycal descriptive research method with normative juridical approach to describe / explain and to analyze the use of word and language in a notarial act within a notarial practice.

The result of this study revealed that in notarial practices were found several problems either in terms of principles of Indonesian language, miswritten words, or dual interpreting that can result in a legal consequence. There was no special stipulation regulating the application of the use of legal word and legal language in a notarial act. A notary is demanded to have capability of analyzing what is meant and intended by the parties involved well, to prioritize accuracy in making and writing a legal act meant in a notarial act to minimize the mistakes and differences in interpreting between the parties involved that there will be no violation of existing stipulation and the avoid or follow-up the case which may occur in the future. The constraints faced in using the accurate words and language, among other things were the notary had a lack of ability in using accurate act/legal words and language, the notary may be careless, and there was a misunderstanding between the notary and his client in interpreting the word and language used. The constraint come form the community members were that day lacked of legal awareness and understansing the act/legal language and the different interpretation by the parties involved the solution taken when the mistakes occurred was the use of renvooi institution or the change the act by making a new act or canceling the existing act. When making the notarial act, the community members are suggested to give and provide a correct, honest, and clear explanation, Intention and all of the documents needed. In his daily practice, a notary should be strict based on the existing legislations, prioritizing responsibility, accurate and careful in conducting his notarial duty and profession well and properly.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya

dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS

”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih

yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan

amat terpelajar Bapak Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Bapak Notaris

Syafnil Gani, S.H., M.Hum., dan Ibu Chairani Bustami, S.H., Sp.N., M.Kn.

selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan

dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan

arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar

hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih

sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas

(8)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat

selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama

menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2008 yang telah

banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih

sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahandadan Ibunda serta

Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada uami

tercinta dan anakku yang selama ini telah menjadi inpirasi dan memberikan

semangat sehingga menjadi motivasi warna tersendiri dalam kehidupan dan juga

dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.)

(9)

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun

besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua

pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan

pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada

kita semua.

Medan, Desember 2010

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Vidya Nandra Kesuma

Tempat /Tgl. Lahir : Banda Aceh, 12 September 1982

Alamat : Jl. Jenderal Sudirman No. 102 Banda Aceh

Status : Kawin

Agama : Islam

II. KELUARGA

Suami : Mukhsin Putra Haspy, SH, SpN

Anak : Nasywa Azzahra

Ayah : Syaiful Bahri, BA

Ibu : Dra. Zurestiani

III. PENDIDIKAN

SD Negeri No. 51 B.Aceh : Lulus Tahun 1994

SLTP Negeri 17 B. Aceh : Lulus Tahun 1997

SMU Negeri 1 B. Aceh : Lulus Tahun 2000

S1 Ilmu Hukum Unsyiah : Lulus Tahun 2005

(11)

DAFTAR ISI

BAB II. PENERAPAN KETENTUAN PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM SUATU AKTA NOTARIS PADA PRAKTEK NOTARIS ... 38

A.Pengertian Akta dan Akta Otentik……….. 38

B.Ruang Lingkup Kewenangan, Tugas dan Kode Etik Notaris ... 49

C.Kaidah Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Akta Notaris ………... 68

D.Ketentuan Penerapan Penggunaan Kata dan Bahasa dalam Akta Notaris pada Praktek Notaris ………. 71

BAB III. HAMBATAN YANG DIHADAPI NOTARIS DALAM PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM AKTA NOTARIS ... 83

(12)

B.Hambatan yang Berasal dari Klien Pengguna Jasa

Notaris ……… 91

BAB IV. PENYELESAIAN YANG DITEMPUH APABILA TERJADI KESALAHAN PENGGUNAAN KATA DAN BAHASA DALAM SUATU AKTA NOTARIS ... 95

A.Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta ……. 95

B.Kesalahan Penggunaan Kata Dan Bahasa Dalam Suatu Akta Notaris ……….. 109

C.Penyelesaian yang Ditempuh Apabila Terjadi Kesalahan Penggunaan Kata dan Bahasa Dalam Suatu Akta Notaris ……….. 123

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 136

A. Kesimpulan ……... 136

B. Saran ……... 138

DAFTAR PUSTAKA ……... 140

(13)

ABSTRAK

Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, menentukan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan. Penyusunan suatu akta notaris menggunakan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Penulisan bertujuan untuk menjelaskan penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris, hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris dan penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.

Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris pada praktek notaris.

Hasil penelitian pada praktek notaris diketahui bahwa terdapat kekurangan dalam akta notaris, baik dari segi kaidah bahasa Indonesia, kesalahan tulis, dan penafsiran ganda yang dapat menimbulkan akibat hukum. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang penerapan penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris. Notaris dituntut memiliki kemampuan menelaah maksud dan kehendak para pihak dengan baik, mengutamakan ketelitian dalam membuat dan menuangkan perbuatan hukum yang dimaksud ke dalam akta untuk meminimalisir kesalahan serta perbedaan penafsiran antara para pihak sehingga tidak melanggar ketentuan yang ada dan untuk menghindari atau menindaklanjuti perkara yang terjadi di kemudian hari. Hambatan yang dihadapi dalam penggunaan kata dan bahasa yang tepat antara lain, kurangnya sumberdaya notaris dalam menerapkan penggunaan kata dan bahasa akta yang tepat, kelalaian notaris, dan perbedaan pemahaman antara notaris dengan klien. Sedangkan hambatan dari masyarakat, yaitu kurangnya kesadaran hukum dan pemahaman masyarakat terhadap bahasa hukum, dan adanya penafsiran yang berbeda dari para pihak. Penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

adalah dengan menggunakan lembaga renvooi dan perubahan akta dengan membuat

akta baru atau pembatalan akta. Disarankan kepada masyarakat terkait pembuatan akta, agar menyampaikan keterangan, maksud dan tujuan, serta memberikan surat dan dokumen yang diperlukan secara jelas, jujur, dan benar. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tetap berpegang teguh dengan berpedoman pada ketentuan undang-undang yang berlaku, mengutamakan tanggung jawab, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melaksanakan tugas profesi notaris dengan baik dan benar.

(14)

ABSTRACT

Article 27 of Law No.24/2009 says that Bahasa Indonesia is compulsory to be used in any state official documents such as a decree, share certificate, (educational) certificate, official letter of statement, official letter of self-identification, trading certificate, agreement/contract, and court decision. The making of a notarial act should use Bahasa Indonesia which is a unitary language of the Republic of Indonesia. The purpose of this study was to describe the application of the sipulation of using word and language in a notarial act within a notarial practice, the constraints faced by notaries is using word and language in a notarial act, and the solution taken by notaries when mistakes occurred in using word and language in a notarial act.

This study employed an analitycal descriptive research method with normative juridical approach to describe / explain and to analyze the use of word and language in a notarial act within a notarial practice.

The result of this study revealed that in notarial practices were found several problems either in terms of principles of Indonesian language, miswritten words, or dual interpreting that can result in a legal consequence. There was no special stipulation regulating the application of the use of legal word and legal language in a notarial act. A notary is demanded to have capability of analyzing what is meant and intended by the parties involved well, to prioritize accuracy in making and writing a legal act meant in a notarial act to minimize the mistakes and differences in interpreting between the parties involved that there will be no violation of existing stipulation and the avoid or follow-up the case which may occur in the future. The constraints faced in using the accurate words and language, among other things were the notary had a lack of ability in using accurate act/legal words and language, the notary may be careless, and there was a misunderstanding between the notary and his client in interpreting the word and language used. The constraint come form the community members were that day lacked of legal awareness and understansing the act/legal language and the different interpretation by the parties involved the solution taken when the mistakes occurred was the use of renvooi institution or the change the act by making a new act or canceling the existing act. When making the notarial act, the community members are suggested to give and provide a correct, honest, and clear explanation, Intention and all of the documents needed. In his daily practice, a notary should be strict based on the existing legislations, prioritizing responsibility, accurate and careful in conducting his notarial duty and profession well and properly.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari

kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum

keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara

mereka.1 Di Indonesia, pengaturan mengenai Lembaga Notariat diatur dalam

Undang–Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN, LN 2004, No.

117, TLN 4432). Berdasarkan UUJN tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat

umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.2

Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan.3 Menurut M.U. Sembiring akta

adalah suatu tulisan yang memenuhi dua kualifikasi, yaitu :

1. Tulisan itu harus ditandatangani,

2. Tulisan itu diperbuat dengan tujuan untuk dipergunakan menjadi alat bukti.4

Apabila suatu tulisan tidak dimaksudkan sebagai alat bukti meskipun

ditandatangani oleh yang membuatnya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah akta.

1

Chairunnisa Said Selenggang, “Profesi Notaris sebagai Pejabat Umum di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Program Pengenalan Kampus untuk Mahasiswa/i Magister Kenotariatan Angkatan 2008, Depok, 2008.

2

Indonesia, Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 Angka 1. 3 Ibid.,

Pasal 1 Angka 7. 4

(16)

Misalnya sebagaimana dikemukakan oleh M.U. Sembiring bahwa surat seorang anak

yang dikirim dari kota tempat tinggalnya kepada orang tuanya di kampung

halamannya, meskipun ditandatangani olehnya, surat tersebut bukanlah akta karena

tidak dikandungnya maksud untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti

melainkan hanya sebagai berita kemajuan sekolahnya.5

Akta ditinjau dari pembuatannya, dikenal dengan akta dibawah tangan dan

akta otentik. Suatu akta otentik ialah “suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu di tempat akta itu dibuat”.6 Sedangkan akta di bawah tangan sebagaimana

diatur dalam Pasal 1878 KUH Perdata, yaitu “sebagai tulisan di bawah tangan

adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah

tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat

umum”.7

Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur ensensial agar terpenuhinya syarat

formal suatu akta otentik, yaitu:

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum

3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang untuk itu

dan di tempat dimana akta itu dibuat.8

5

Ibid., hal 3-4. 6

Lihat Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 7

Lihat Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 8

(17)

Akta yang dibuat di hadapan notaris merupakan bukti otentik bukti

sempurna, dengan segala akibatnya.9

Jabatan dan profesi notaris sebagai produk hukum, sumbangsih dan peran

sertanya semakin dibutuhkan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung

tegaknya supremasi hukum. Notaris tidak hanya bertugas membuat akte otentik

semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan atau yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,

tetapi juga harus dapat berfungsi membentuk hukum karena perjanjian antara pihak

berlaku sebagai produk hukum yang mengikat para pihak.10

Akta yang dibuat notaris dan PPAT memuat atau menguraikan secara otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan

oleh para penghadap dan saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa akta notaris

merupakan rangkaian suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini

disebabkan karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian

atau disebabkan oleh orang lain dihadapan notaris.

Akta notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk yaitu :

1. Akta yang dibuat oleh (door een) notaris.

Akta jenis ini diberi nama”akta relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten) atau

akta berita acara”. Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat para

9

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal 64 10

http://www.d-infokom-jatim.go.id/, Notaris Harus Dapat Menjamin Kepastian Hukum,

(18)

pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.

2. Akta yang diperbuat di hadapan (ten overstaan van een) notaris

Akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij akten). Isi Akta ini adalah catatan notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari para penghadap yang bertindak sebagai pihak dalam akta yang bersangkutan. Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.11

R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :

Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.12

Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan

alat bukti.13 Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut

dikatakan sebagai akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Suatu akta dikatakan

otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di

hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara

pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta

yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja

11

M.U. Sembiring, Op.Cit., , hal. 22 12

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), , RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993,hal. 43

13

(19)

dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya

menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.

Penyusunan suatu akta notaris menggunakan bahasa Indonesia yang

merupakan bahasa kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahasa Indonesia

yang dimaksud sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu

Kebangsaan (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, LN 2009,

No. 109, TLN 5053).

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, disebutkan bahwa

Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yangselanjutnya disebut Bahasa

Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 25 UU No. 24 Tahun 2009,

bahwa :

(1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.

(2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.

(20)

Pasal 27 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, juga ditentukan bahwa Bahasa

Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, yang dimaksud “dokumen

resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat

keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan.

Jadi dokumen negara juga meliputi akta yang dibuat notaris, yaitu akta jual beli,

surat perjanjian dan berbagai akta lainnya. Hal ini juga ditentukan dalam UUJN

bahwa Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang-undang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat dari segi penggunaan kata dan

bahasa hukum dalam sebuah akta juga tidak terlepas dari adanya hubungan antara

bahasa dan hukum. Sutan Takdir Alisyahbana yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo

mengemukakan bahwa :

"…baik bahasa maupun hukum merupakan penjelasan kehidupan manusia

dalam masyarakat, yang merupakan pula sebagian dari penjelmaan suatu kebudayaan

pada suatu tempat dan waktu . … bahasa dan hukum itu saling berhubungan, saling

pengaruh, malahan dianggap sebagai penjelmaan masyarakat dan kebudayaan, yang

sebaliknya pula dipengaruhi baik oleh bahasa maupun oleh hukum…”14

14

(21)

Hubungan yang erat antara bahasa dan hukum sebagaimana dilukiskan oleh

Alisyahbana di atas, memang sangatlah tidak mungkin untuk diabaikan. Dalam

masyarakat manapun, hukum, sebagai salah satu sarana untuk menciptakan

keteraturan dan ketertiban sosial, dirumuskan utamanya melalui bahasa, walau ada

simbol-simbol lain yang juga cukup penting untuk menetapkan hukum.15 Hukum

hanya dapat berjalan efektif manakala ia dirumuskan dengan tegas dan

mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam suatu masyarakat, dan harus dapat

dikomunikasikan dengan baik pada subyek-subyek hukum yang dituju. Apabila

anggota masyarakat tidak memahami makna ketentuan hukum yang dirumuskan,

dapat diduga bahwa akibatnya akan menyebabkan aturan hukum tersebut tidak dapat

berjalan. Dari sisi lain, apabila hukum tidak dirumuskan dengan jelas dan para

pelaksana dan penerapnya di lapangan pun tidak memahaminya, hal ini jelas akan

berdampak pada mutu penegakan hukum tersebut.

Kondisi ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa sehari-hari sering ditemui

adanya penggunaan istilah-istilah tentang hukum, baik oleh praktisi hukum maupun

masyarakat awam. Walaupun demikian terkadang dalam penggunaannya kurang

sesuai dengan makna dari istilah yang bersangkutan diukur dari kacamata teori-teori

ilmu pengetahuan.16 Demikian pula halnya dalam prakteknya penyusunan atau

15 Ibid

. 16

(22)

pembuatan akta notaris tidak terlepas dari adanya berbagai unsur bahasa hukum yang

menjamin keotentikan suatu akta.

Khotibul Umam juga menjelaskan bahwa :

Peristilahan hukum yang muncul saat ini, ternyata tidak hanya peristilahan hukum dari bahasa Belanda, beberapa dari bahasa lain baik dari negara-negara Eropa Kontinental, Anglo Saxon, bahkan perkembangan terbaru banyak muncul peristilahan dari bahasa Arab yang lebih banyak dipraktikkan dalam Hukum Lembaga Keuangan. Istilah hukum sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Arab hukm, yang kemudian telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum, termasuk juga istilah keadilan dan kemanfaatan.17

Ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut

bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang

corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang besar

terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak diadakan Kongres

Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November 1954 di Medan. Bahkan dua

puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

menyelenggarakan simposium bahasa dan hukum di kota Medan.18

Mahadi dan Ahmad yang dikutip Sudjiman mengatakan bahwa :

1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa Indonesia.

2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi, serta gayanya.

17

Ibid., 18

(23)

3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika.

4. Ditemukan adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk, dan komposisi kalimat.19

Kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti terdapat dalam poin

keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan dokumen-dokumen hukum dapat

ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia,

terutama bahasa undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum

Indonesia saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia

mengacu pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung

pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan

struktur bahasa Indonesia.20

Mahadi mengatakan bahwa “hukum mengandung aturan-aturan,

konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk

(a) disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari maksudnya, dan (c)

dipatuhi”.21 Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di

dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian

bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan.22 Banyak istilah

19

Sudjiman, Panuti. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum Tergarap. Lembaga Penelitian Atma Jaya. Jakarta. 1999, hal 52.

20

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. Bahasa Indonesia Hukum. Pustaka, Bandung, 1999, hal. 1 -2.

21

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Binacipta. Jakarta 1979, hal 31.

22

(24)

asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya dan belum konsisten,

diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-belit.

Penggunaan bahasa ini, dapat dilihat dari penggunaan bahasa hukum dan

bahasa Indonesia yang keduanya dipakai untuk menggambarkan atau

mendeskripsikan perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris. Dalam

praktek juga diketahui bahwa untuk membuat dan menyusun suatu akta khususnya

merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan anak

kalimat sering ditemukan adanya istilah khusus hukum tidak disertai dengan

penjelasan, menggunakan istilah ganda ganda atau samar-samar, istilah asing karena

sulit mencari padanannya dalam bahasa Indonesia.

Kondisi ini menempatkan masyarakat pengguna jasa notaris dalam dunia

tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika

dokumen hukum, seperti peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga,

putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, bahkan surat perjanjian, akta

notaris, sulit dipahami masyarakat awam. Demikian pula halnya di kalangan praktisi

hukum sendiri juga masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum dan

bahasa Indonesia secara umum. Perbedaan penafsiran ini disebabkan karena banyak

layanan produk hukum yang berbasis bahasa, termasuk dalam hal ini mengenai

penggunaan kata dan bahasa dalam Akta Notaris.

Permasalahan mengenai penggunaan kata dan bahasa ini juga merupakan

(25)

akta notaris. Demikian pula halnya pada praktek notaris di Kota Banda Aceh yang

menurut data pada Kanwil Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Aceh dan

Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kota Banda Aceh diketahui terdapat 23 orang

Notaris yang aktif melaksanakan tugas dan kewenangannya dalam penyusunan dan

pembuatan akta notaris. Dalam hal ini, notaris dimaksud juga selalu berhadapan

dengan penggunaan kata dan bahasa di dalam akta dan masih ditemukan adanya

penggunaan kata dan bahasa baik bahasa hukum maupun bahasa Indonesia yang

membingungkan masyarakat Hal ini dapat berakibat masyarakat akan dirugikan

padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi dokumen

hukum yang dibuat notaris.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah

lebih lanjut tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris beserta akibat

hukumnya. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan

judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS”.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti

dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini. Adapun pokok permasalahan

tersebut akan dikelompokkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam akta

(26)

2. Apakah hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan bahasa

dalam akta notaris ?

3. Bagaimanakah penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui penerapan ketentuan penggunaan kata dan bahasa dalam suatu

akta notaris pada praktek notaris.

2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi notaris dalam penggunaan kata dan

bahasa dalam akta notaris.

3. Untuk mengetahui penyelesaian yang ditempuh apabila terjadi kesalahan

penggunaan kata dan bahasa dalam suatu akta notaris.

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilaksanakannya kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi

manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih

lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya dan khususnya bidang kenotariatan serta

(27)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi hukum

khususnya notaris sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam mempelajari tentang

perlindungan hukum terhadap keberlakuan suatu akta sebagai akta notaris dan juga

kepada masyarakat pengguna jasa notaris, agar lebih mengetahui tentang kedudukan,

hak dan kewajibannya dalam suatu akta yang dibuat notaris, sekaligus pula memberi

masukan kepada aparat hukum terkait akan arti pentingnya penggunaan kata dan

bahasa yang benar dalam suatu akta notaris dikaitkan dengan kekuatan

pembuktiannya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis

lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di

Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang

diketahui, penelitian tentang notaris dan kewenangannya antara lain:

1. Tinjauan Yuridis Pemberian Sanksi Hukum Terhadap Notaris yang Melakukan

Pelanggaran Oleh Majelis Pengawas Notaris Setelah Keluarnya Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004, Oleh RIKHA ANGGRAINI DEWI/067011124 /MKn.

2. Kekuatan Hukum Akta Notaris yang Bersifat Simulasi, Oleh ARWIN

ENGSUN/037011009/MKn.

3. Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Otentik yang Dibuat dan Berindikasi

(28)

Dari ketiga judul yang disebutkan di atas kesemuanya menyangkut dengan

akta dan notaris yaitu yang berhubungan dengan tanggung jawab notaris, kekuatan

hukum akta serta pemberian sanksi terhadap notaris, tetapi tidak ada yang membahas

tentang penggunaan kata dan bahasa dalam akta notaris. Oleh karena itu, penelitian

dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN KATA DAN

BAHASA DALAM AKTA NOTARIS”, belum pernah dilakukan. Dengan

demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademik dapat dipertanggung

jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama

dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada

berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,

aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.23 Teori

adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses

tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.24

23

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6. 24

(29)

Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan

sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam

bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir (Frame of

thingking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul didalam

bidang tersebut“.25 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.26

Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir

pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perdata,

khususnya bidang kenotariatan dan hukum perjanjian atau kontrak yang menjadi

bahan perbandingan, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan

masukan eksternal bagi penelitian ini.27

Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.

Snelbecker yang dikutip Lexi J. Moleong mendefenisikan teori sebagai seperangkat

proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang

dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan

fenomena yang diamati.28

Dasar teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah meliputi mazhab

sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound di Amerika, akan

25

Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal. 12.

26

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35

27

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, hal. 80. 28

(30)

tetapi sayang bahwa dalam hubungan ini dipergunakan istilah sosiologis, sebenarnya

akan lebih tepat dan mengenai bila dipergunakan istilah methode functioneel,

mengingat penelitian ini mengutamakan ketentuan yang mengharuskan adanya

penerapan atau penggunaan suatu aturan dalam suatu perbuatan hukum.

Dalam hal ini harus dibedakan ilmu pengetahuan hukum sosiologis dari

Pound dengan apa yang disebut sekarang orang sosiologi hukum. Keruwetan yang

selayaknya yang disebabkan karena kesamaan istilah-istilah ini merupakan alasan

yang lebih kuat untuk memilih nama mazhab fungsional sebagai penamaan yang

paling tepat untuk hasil pekerjaan Pound.

Hal tersebut mengilhami lahirnya law as a tool of engineering dari ajaran

Roscoe Pound yang beraliran sociological yurisprudence dimana hukum menjadi

alat perubah masyarakat. Demikian pula Mochtar Kusumaatmadja yang juga

mengatakan teori hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.29

Negara hukum juga berarti negara yang berlandaskan hukum dan menjamin

keadilan bagi warganya, di mana segala kewenangan dan tindakan alat-alat

perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau di atur

oleh hukum. Hal demikian mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.

Negara menjamin agar setiap orang dapat memiliki dan menikmati hak-haknya

dengan aman dan semua orang berhak mendapatkan jaminan hukum sebagai hak

29

(31)

asasinya. Dalam rangka itu negara dan kehidupannya harus didasarkan atas hukum

dan menurut hukum seperti yang dituangkan dalam konstitusi, undang-undang dan

peraturan pelaksanaannya.

Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum bila

direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi

adanya masyarakat yang teratur.30 Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan

yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan jamannya.

Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam

pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat

mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada padanya secara optimal tanpa

adanya kepastian hukum dan ketertiban.

Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak

cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmaja

hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai sarana

pembaharuan masyarakat. 31 Selanjutnya Sjachran Basah menyatakan fungsi hukum

yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi sebagai

30

Mochtar Kusumaatmaja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, Tanpa Tahun, hal. 2-3

31

(32)

pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai

sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.32

Apabila dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka

penggunaan kata dan bahasa dalam akta notarial dapat disesuai dengan hukum yang

berlaku dalam masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan budaya

masyarakat guna mewujudkan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dari akta

yang dibuat notaris.

Notaris di Indonesia mulai dikenal pada zaman permulaan abad ke 17,

yaitu dengan didirikannya “Oost Indische Compagnie”. Pertama sekali Notaris yang

diangkat di Indonesia adalah Melchior Kerchen (dia adalah Sekretaris College

Schepenen). Setelah pengangkatannya jumlah notaris terus bertambah sesuai dengan

kebutuhan pada waktu itu.33

Perjalanan Notaris Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan

perkembangan hukum negara dan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan

berhasilnya pemerintahan orde Reformasi mengundang Undang-undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 30

Tahun 2004 ini merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notaris yang merupakan

terjemahan dari Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3) yang

32

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, Tahun 1992, hal. 13

33

(33)

dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan perkembangan

masyarakat.34

Dengan demikian pada mulanya ketentuan tentang notaris didasarkan pada

ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie,

Stb 1860: 3). Penerapan ketentuan tentang Notaris ini tergantung pada sistem hukum

yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara tradisional terdapat dua

kelompok tradisi hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Perbedaan keduanya

terletak pada peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.

Negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi kontinental biasanya

menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai akar utama sistem hukumnya.

Sebaliknya negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi Anglo Saxon

menempatkan yurisprudensi sebagai akar utama dalam sistem hukumnya.

Bagi negara Indonesia sendiri, sistem hukum yang dianut sesuai dengan asas

konkordansi adalah sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga Peraturan Hukum

yang mengatur tentang jabatan notaris dipengaruhi oleh hukum negeri Belanda.

Peraturan Notaris yang dipakai sebelumnya adalah Stb Nomor 3 yang mulai

diberlakukan tanggal 1 Juli Tahun 1860, yang kemudian diundangkan sebagai

Notaris Reglement” (Peraturan-peraturan Jabatan Notaris) yang diletakkan sebagai

fundamen landasan kelembagaan Notaris di Indonesia. Kemudian Staatblaad Nomor

34

(34)

3 Tahun 1860 ini dicabut dengan dikeluarkannya Undang-undang Jabatan Notaris

Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober Tahun 2004.

Dalam diktum penjelasan UUJN dinyatakan bahwa UUD 1945 menentukan

bahwa negara RI adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang

menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam

masyarakat.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Notaris adalah

Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan

lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Pengertian ini apabila

dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 30 Tahun 2004,

pengertian notaris adalah :

Pejabat Umum yang membuat Akta Otentik, mengenai semua perbuatan

perjanjian, ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

atau dikehendaki oleh yang berkepentingan dan dinyatakan dalam Akta

Otentik, menjamin kepastian tanggal akta, menyimpan akta, memberikan

(35)

ditugaskan atau dikecualikan pada pejabat lain atau orang lain yang

ditetapkan oleh undang-undang.35

Lebih lanjut Sutrisno menjelaskan bahwa berdasarkan pengertian Notaris

yang termuat dalam ketentuan Pasal 1 Jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun

2004 dapat ditarik 13 unsur penting, yaitu :36

(1) Pejabat Umum

(11) Memberikan grose, salinan dan kutipan akta

(12) Sepanjang tidak ditugaskan pada orang lain/pejabat lain (13) Sepanjang ditugaskan pada orang lain.

Dari definisi yang dikemukakan pasal tersebut terlihatlah dengan jelas bahwa

tugas jabatan notaris adalah membuat akta otentik. Adapun yang dimaksud dengan

akta otentik adalah “Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk

itu di tempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUH Perdata).

Berdasarkan pengertian di atas, notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat

yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta otentik,

35

Sutrisno, Tanggapan Terhadap Undang-undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Bahan Kuliah Etika Profesi Notaris), MKn USU, 2007, Hal 9-10.

36

(36)

namun dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri. Untuk

menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, yakni :

a. Warga Negara Indonesia

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

c. Berumur paling sedikit 27 tahun d. Sehat jasmani dan rohani

e. Berijazah sarjana hukum dan jenjang strata dua kenotariatan

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan dan

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, Advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu:

1. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah

didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini

terdapat pemisahan yang keras antara ”wettlelijke ” dan ”niet

wettelijke”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat

2. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.37

Ciri khas yang tegas untuk menentukan apakah Notaris di Indonesia

merupakan Notaris fungsional atau Notaris professional adalah :

37

(37)

a. Bahwa akta yang dibuat di hadapan/oleh Notaris fungsional mempunyai kekuatan sebagai alat bukti formal dan mempunyai daya eksekusi. Akta Notaris seperti ini harus dilihat apa adanya, sehingga jika ada pihak yang berkeberatan dengan akta tersebut maka pihak yang berkeberatan, berkewajiban untuk membuktikannya.

b. Bahwa Notaris fungsional menerima tugasnya dari Negara dalam bentuk delegasi dari Negara. Hal ini merupakan salah satu rasio Notaris di Indonesia memakai lambang Negara, yaitu Burung Garuda. Oleh karena menerima tugas dari Negara maka yang diberikan kepada mereka yang diangkat sebagai Notaris dalam bentuk sebagai jabatan dari Negara.

c. Bahwa Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt) Stb 1860 Nomor 3. Dalam teks asli disebutkan bahwa “ambt” adalah “jabatan”.38

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris Indonesia dikelompokkan

sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional (professional

dalam tindakan) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-undang

Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada

masyarakat.

Menurut Wawan Setiawan, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang

notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah :

1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama

ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan-ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris.

2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan senatiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya 4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya. 39

38

(38)

Dengan demikian, Notaris sebagai salah satu element manusia harus

memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga notaris

dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan

menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani

kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan

ketentuan undang-undang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang

baik oleh notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris.

Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2005, hasil Kongres Luar

Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 27 Januari 2005, pengertian Kode Etik

Notaris dan untuk selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang

ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasarkan keputusan

Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta

wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia

dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk

didalamnya para Pejabat Sementara Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti

Khusus.40

39

Wawan Setiawan, Notaris Profesional, Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hal 23. 40

(39)

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa secara empiris peran notaris

di tengah-tengah masyarakat semakin dibutuhkan tentu hal ini sejalan dengan

kemajuan yang dicapai oleh masyarakat itu sendiri hal itulah yang membuat

kemajuan masyarakat, pesatnya pertumbuhan kemajuan di bidang barang, jasa

terutama dalam bidang perekonomian dimana peran serta notaris sangat diperlukan

dalam pembuatan akta dan perjanjian-perjanjian.

Dalam membuat suatu kontrak agar dapat dijadikan sebagai suatu alat bukti

yang kuat atau sering disebut akta otentik, para pihak dapat menggunakan jasa

notaris. Akta adalah tulisan yang ditanda tangani oleh para pihak yang

berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti.41 Ditinjau dari cara pembuatannya

akta dibedakan atas 2 (dua) bagian yakni Akta Otentik dan Akta dibawah Tangan.

1. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat

oleh pejabat-pejabat (ambtenaren) yang berwenang yang menurut atau

berdasarkan pada undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan (waarneming) atau dilakukannya, sedangkan

2. Akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik42

Hal ini sebagai diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata bahwa Akta otentik

adalah suatu tulisan yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat

oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

41

M.U Sembiring, Op.Cit., hal 3 42

(40)

dibuatnya".43

Dari perumusan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta

otentik, yaitu :

1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris

Akta jenis ini biasanya diberi nama akta relaas atau akta pejabat atau akta proses perbal, atau akta berita acara, yang termasuk jenis akta ini antara lain akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harga peninggalan, akte berita acara penarikan undian.

Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, atau apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een)

Notaris akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa, perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.44

Dengan demikian, undang-undang dengan menyatakan bahwa suatu akta

adalah otentik jika :

1. Bentuknya ditentukan oleh undang-undang.

2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.

3. Dibuat dalam wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta itu.

Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang, sedangkan pejabat yang

dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan agar berbobot yang sama harus pula

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan setingkat dengan undang-undang.

43

Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 52.

44

(41)

Apabila kita konsisten pada suatu sistem hukum, hingga kini hanya notarislah yang

diberi kewenangan untuk membuat akta otentik. Hal ini semata-mata karena

mendasarkan pada ketentuan undang-undang yang harus dipenuhi agar suatu akta

adalah suatu akta otentik. Pejabat yang berwenang untuk menjalankan sebagian

kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata disebut pejabat umum, ditunjuk oleh

negara melalui undang-undang adalah notaris.

Pasal 1874 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa akta di bawah tangan,

yaitu sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda

tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah

tangga dan tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Selain itu, di dalam akta perlu juga diperhatikan 2 unsur, yaitu : unsur umum

dan unsur khusus. Unsur umum dari akta adalah unsur yang harus termuat dalam

semua dan setiap akta pada umumnya. Setiap akta otentik misalnya harus

mencantumkan nama dan tempat kedudukan dari pejabat dihadapan siapa akta itu

diperbuat. Apabila hal itu tidak dicantumkan maka akta itu kehilangan sifat

otentiknya. Sedangkan unsur khusus adalah unsur yang secara khusus harus

terkandung dalam akta tertentu, akan tetapi keberadaanya itu bukan merupakan

keharusan dalam akta lainnya.45

Ditinjau dari cara penyimpananya, maka akta otentik dapat dibedakan atas 2

(dua) jenis, yaitu :

1. Akta yang aslinya atau orisinalnya disimpan oleh Notaris dinamakan akta minut,

45

(42)

2. akta yang aslinya atau orisinalnya diserahkan kepada penghadap yang meminta

akta diperbuat, dinamakan akta yang dikeluarkan original. 46

Berdasarkan Pasal 1 butir 7 UUJN, juga disebutkan bahwa akta notaris

adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata

cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Akta Notaris yang dibuat oleh

Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena

undang-undang dan peraturan Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada

Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di

pengadilan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang

membuat akta tersebut.

Menurut pendapat umum yang dianut, pada setiap akta otentik, dengan

demikian juga pada akta notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yakni:47

1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijracht);

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta

itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut

Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah

tangan, akta yang dibuat dibawah tangan baru pelaku sah, yakni sebagai yang

benar-benar berasal dari orang terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda

tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau dianggap sebagai telah

diakui oleh yang bersangkutan. Sepanjang mengenai kekuatan ini, yang merupakan

46Ibid

, hal. 9. 47

(43)

pembuktian lengkap dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya maka akta

partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama.

2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa

pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang

tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh

pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam

menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat

(ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni

yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum

di dalam menjalankan jabatannya.

3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta

otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari notaris yang dicantumkan di

dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang

dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan

sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu

sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan prevue preconcstituee,

akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah

yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata, antara pihak yang

(44)

pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu,

dengan pengeculian dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian

dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka

(blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang

menjadi pokok dalam akta itu.

Menurut UUJN, bentuk-bentuk akta terdapat dalam beberapa pasal,

diantaranya Pasal 42 UUJN ayat (1), (2) dan (3) yang menentukan bahwa :

a. Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak

terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan.

b. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditanda

tangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan

peraturan perundang-undangan.

c. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang

disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan

huruf dan harus didahului dengan angka.

Selanjutnya Dalam Pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan

bahwa setiap akta Notaris terdiri atas :

a. Awal akta atau kepala akta memuat :

1. Judul akta

2. Nomor akta

3. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun

(45)

b. Badan akta memuat :

1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang

mereka wakili

2. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap

3. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan

4. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan,

dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

c. Akhir atau penutup akta memuat :

1. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1

huruf 1 atau Pasal 16 ayat 7

2. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penerjemahaan akta apabila ada

3. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan

tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta

4. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta

atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan,

Referensi

Dokumen terkait

Keinginan kuat ini tertuang pada salah satu sasaran Rencana Strategis UGM 2012- 2017, yaitu meningkatnya produktivitas Unit Usaha UGM serta industrialisasi

Pertama, PTS di Kota Bandung memerlukan informasi secara empirik mengenai manajemen pengetahuan, manajemen bakat, kinerja organisasi, dan citra organisasi; Kedua,

Ampuni kami, ya TUHAN jika kami sering merasa diri kami hebat, kuat dan mampu dalam segala hal yang membuat kami berdiri angkuh di hadapan-Mu, tidak lagi

Tingkat pengetahuan tentang posyandu pada kader kesehatan yang tinggi dapat membentuk sikap positif terhadap progam posyandu khususnya ketidakefektifan ibu balita

Struktur Organisasi Wakaf IPT merupakan antara komponen terawal yang penting bagi pelaksanaan suatu wakaf yang hendak dijalankan.. dibincangkan secara profesional dan teliti

serta cara pengelolaan usaha pihak yang melakukan penawaran umum dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan

Tercatat juga hujan lebat pada tanggal 26 Februari 2018 sebesar 70.0 mm hal tersebut dikarenakan adanya belokan angin di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimatan Timur serta

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran koopertaif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN