• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.14

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.15

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada teori kepastian hukum, khususnya kepastian hukum dalam pemberian jaminan pada

14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, hal. 80 15

bank. Bahwa jaminan yang telah diberikan oleh debitur kepada kreditur harus dapat dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban debitur kepada kreditur. Hal ini sesuai dengan tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana yang termuat dalam bagian Menimbang dan Penjelasan Umum dari Undang-Undang Hak Tanggungan, yang mengharapkan pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum. Betapapun setiap kepentingan yang ada di dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi, tidaklah mungkin aturan-aturan itu dapat mengakomodir semua kepentingan tersebut. Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undang-undang.16

Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan- aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.17

16 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hal.157 17

Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengtahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.18

Kemudian Utrecht dalam bukunya “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” mengatakan:

Bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting).19

Menurut Munir Fuadi, tujuan hukum disamping untuk mencapai keadilan, juga bertujuan menciptakan kepastian hukum bagi manusia pribadi dan masyarakat luas.20 Meskipun semakin tegas dan tajamnya suatu peraturan hukum untuk mencapai kepastian hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Kedua hal tersebut, antara keadilan dan kepastian hukum, tidak dapat diwujudkan dalam situasi yang

18 ibid

19

Utrecht, dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 23

20 Munir Fuadi, dalam Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah,

Suatu Analisis Dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiolagis, Republika, Jakarta,

bersamaan. Oleh karena itu hukum haruslah bersifat kompromi, yaitu dengan mengorbankan keadilan untuk mencapai kepastian hukum.21

Jadi hukum terpaksa harus mengorbankan keadilan sekedarnya guna kepentingan daya guna, ia terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan ada terdapat sejumlah besar peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan keadilan, melainkan semata-mata didasarkan pada kepentingan daya guna, misalnya yang mengenai bukti dan daluwarsa dan peraturan-peraturan yang malahan melindungi “bezitter” hingga batas tertentu terhadap eigenaar” untuk kepentingan perdamaian dalam masyarakat.22

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cendrung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.23

21 Peter Mahmud Marzuki. Op. Cit, hal. 161

22 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 27

23 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko Gunung

Bagi penganut aliran ini, meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.24 Salah satu penganut aliran positivisme yang terpenting adalah John Austin, yang inti ajarannya, hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan- ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya.25

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keraguan (multi tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian prilaku terhadap hukum secara benar-benar.26

Dalam hubungannya dengan pemberian kredit, sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

24 Ibid, hal 83 25 Ibid, hal. 266-267 26

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank dalam memberikan kredit atau pinjaman kepada debitur selalu mengandung resiko. Oleh karena itu, di dalam pemberian kredit, Bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Sehingga kredit yang telah diberikan tersebut mendapat kepastian akan pengembaliannya.

Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh Bank. Untuk memperoleh keyakinan, sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Agunan merupakan salah satu unsur jaminan kredit, bersama-sama unsur-unsur lain Bank dapat memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur untuk mengembalikan utangnya.27

Faktor-faktor lain yang harus diperhatikan dalam pemberian kredit adalah sebagai berikut:

1. harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles).

2. harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

3. wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank.

4. harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

27

Selain faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas, bank dalam memberikan fasilitas kredit atau pinjaman kepada debitur harus memperhatikan jaminan atau agunan yang diberikan guna menjamin kepastian pelunasan kembali kredit atau pinjaman tersebut sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi. Karena itu pemberian kredit perlu didukung dengan jaminan atau agunan yang memadai sebagaimana disebutkan pada pasal 1 butir 23 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Oleh karena itu agunan tersebut adalah upaya preventif apabila di kemudian hari pihak debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama, atau dengan istilah lain akhirnya akan melahirkan kredit bermasalah atau kredit macet.28

Oleh karena pemberian pinjaman tersebut mengandung resiko macet atau debitur tidak dapat mengembalikan pinjamannya, maka selain faktor di atas bank juga harus melihat unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Unsur pengaman (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam pemberian kredit selain unsur keserasian

28 Munir Fuadi, Hukum Perbankan Modern, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 1999,

(suitability) dan keuntungan profitability). Bentuk pengamanan kredit dalam praktek perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan.29

Dalam pengikatan jaminan kredit, harus diperhatikan pembedaan jenis jaminan yaitu:

a. jaminan pokok yang terdiri dari barang-barang bergerak maupun tidak bergerak dan tagihan yang langsung berhubungan dengan aktivitas usahanya yang dibiayai dengan kredit.

b. Jaminan tambahan dapat berupa:

-jaminan pribadi atau jaminan perusahaan yang dibuat secara notariel serta jaminan bank;

-barang-barang tidak bergerak dan barang-barang bergerak yang tidak dijaminkan sebagai jaminan pokok, pada umumnya berupa tanah dari agraria, BPKB dan surat-surat kepemilikan lainnya, harus disimpan dalam berkas khusus (map warkat kredit) yang disimpan di dalam khasanah tahan api.

c. peminjaman dokumen yang telah ada dalam penguasaan bank kepada nasabah tidak diperkenankan. Apabila peminjaman tersebut dimaksudkan untuk keperluan urasan dengan instansi-instansi yang berwenang, nasabah dapat meminta bantuan pada bank30

Menurut ketentuan pasal 8 ayat (1) Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Berdasarkan pengertian tersebut, keyakinan bank/kreditur atas kesanggupan debitur tidak hanya didasarkan pada nilai usaha yang akan dibiayai, tetapi juga

29 H. Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, PT.

Alumni, bandung, 2004, hal. 2.

30 Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Edisi Kedua, PT. Gramedia Pustaka

penilaian atas nilai barang jaminan dan legalitas barang jaminan yang diberikankan oleh debitur kepada kreditur harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima debitur.

Jaminan yang diberikan oleh debitur kepada bank mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

2. menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.

3. memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.31

Fungsi lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan dengan kesungguhan pihak peminjam untuk memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan dan menggunakan dana yang dimilikinya secara baik dan berhati-hati. Kedua hal tersebut diharapkan akan mendorong pihak peminjam untuk melunasi utangnya sehingga akan dapat mencegah terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja tidak diinginkannya karena mempunyai nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang pihak peminjam kepada bank. Dalam praktek perbankan umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari jumlah kredit yang disetujui bank. Pihak peminjam diharapkan akan segera

31

melunasi utangnya kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (aset) yang diserahkannya sebagai jaminan kredit dalam hal kreditnya ditetapkan sebagai kredit macet.32

Banyak macam barang yang dapat digunakan sebagai agunan atau jaminan kredit. Tanah merupakan barang jaminan yang sangat disukai oleh bank/kreditur, karena tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat dan dapat dibebani dengan Hak Tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur.

Agunan merupakan salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan.33

Pemberian jaminan atas tanah pada saat ini diatur dengan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah atau biasa disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan. Hal ini merupakan perwujudan dari ketentuan pasal 51 Undang-Undang nomor 5 tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang juga disebut dengan Undang- Undang Pokok Agraria.

32 Bahsan, M, Op.Cit, hal 5

33 Penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan undang-undang mengenai lembaga jaminan atas tanah yang kuat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu (preferen) kepada pemegang haknya.

2. selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada.

3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

4. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.34

Memperhatikan ciri-ciri di atas, Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada kreditur- kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.35

34 Penjelasan umum angka 3 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 35

Dalam Undang-undang Pokok Agraria yang ditunjuk sebagai hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, sebagai hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Oleh karena itu dalam pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria yang harus diatur dengan Undang-Undang adalah Hak Tanggungan atas Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan.36

Hak Pakai dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara. Sebagian dari Hak Pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangakan, yaitu yang diberikan kepada orang perserorangan dan badan-badan hukum perdata. Dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia.37

Dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan. Sehubungan dengan itu maka Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah. Dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai obyek Hak Tanggungan, bagi pemegang haknya, yang

36 Penjelasan umum angka 5 alenia pertama UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 37

sebagian besar terdiri dari golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, menjadi terbuka kemungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan. Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat.38

Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindah-tangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan negara Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, bukan merupakan obyek hak Tanggungan.39

Demikian pula dengan Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena tidak memenuhi kedua syarat di atas. Tetapi mengingat perkembangan kebutuhan masyarakat dan pembangunan di kemudian hari, dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dibuka kemungkinannya untuk dapat juga ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, jika telah dipenuhi persyaratan sebagaimana disebut di atas.40

38 Penjelasan umum angka 5 alenia ketiga UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 39 Penjelasan umum angka 5 alenia kelima UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 40

Tanah milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena sifat dan tujuannya tidak dapat dipindah-tangankan, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.41

Selain hak-hak atas tanah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tanah hak milik adat yang belum terdaftar juga dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Tanah hak milik adat yang belum terdaftar ini adalah hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan.

Yang dimaksudkan dengan hak lama tersebut adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan.42

Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

41 Penjelasan umum angka 5 alenia kedelapan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan

42

a. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin. b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat

lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.43

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Perbuatan hukum tersebut antara lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah.

Pengertian perbuatan hukum pembebanan hak atas tanah, yang pembuatan aktanya merupakan kewenangan PPAT, meliputi pembuatan akta pembebanan hak Guna Bangunan atas tanah Hak milik sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 Undang-Undang Pokok Agraria dan pembuatan akta dalam rangka pembebanan Hak Tanggungan yang diatur dengan Undang-Undang Hak Tanggungan.44

Dalam pemberian Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan wajib hadir di hadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, singkat dengan SKMHT, yang berbentuk akta otentik. Pembuatan akta SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada

43 Penjelasan umum angka 7 alenia pertama UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 44

PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukankanya. Pada saat pembuatan SKMHT dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, harus ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan, bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan itu

Dokumen terkait