• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS

D. Pelaksanaan Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum

1. Gambaran umum Kota Lhokseumawe

Kota Lhokseumawe merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe yang berlaku sejak tanggal 21 juni 2001. pada awal pembentukannya Kota Lhokseumawe mencakup 3 (tiga) Kecamatan yaitu Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua dan Kecamatan Blang Mangat. Kemudian kecamatan Muara Dua dimekarkan lagi yaitu Kecamatan Muara Satu sehingga Kota Lhokseumawe pada saat ini terdiri dari 4 (empat) Kecamatan, 9 (sembilan) Kemukiman, 6 (enam) Kelurahan dan 62 (enampuluh dua) Desa (Gampong). Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe menurut data tahun 2009 sebanyak 179.593 jiwa terdiri atas 90.012 jiwa penduduk laki-laki dan 88.581 jiwa penduduk perempuan.84

Kota Lhokseumawe terletak pada garis 96° 2’ - 97° 2’ Bujur Timur dan 04° 54’ - 05° 18’ Lintang Utara dengan luas daerah 181.06 KM². Sebelah utara Kota Lhokseumawe berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Kuta makmur (Kabupaten Aceh Utara), sebelah timur dengan Kecamatan Syamtalira Bayu (Kabupaten Aceh Utara) dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara (Kabupaten Aceh Utara).

84 Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kota Lhokseumawe Tahun 2009,

Berdasarkan Rekapitulasi Tanah Masyarakat Miskin yang belum bersertipikat di Kota Lhokseumawe tahun 2009 diperoleh data bahwa tanah-tanah masyarakat yang belum bersertipikat di Kota Lhokseumawe adalah sebanyak 2.173 persil. Tanah- tanah yang belum bersertipikat tersebut adalah tanah hak milik adat yang dikuasai langsung oleh masyarakat diberbagai kecamatan dalam Kota Lhokseumawe. Adapun jumlah tanah yang belum bersertipikat tersebut terbagi dalam Kecamatan Banda Sakti sebanyak 445 persil, Kecamatan Muara Dua sebanyak 627 persil, Kecamatan Muara Satu sebanyak 593 persil dan Kecamatan Blang Mangat sebanyak 508 persil.85 Tabel 1. Rekapitulasi Tanah Masyarakat Miskin yang Belum Bersertipikat di

Kota Lhokseumawe No KECAMATAN PERSIL 1 BANDA SAKTI 445 2 MUARA DUA 627 3 MUARA SATU 593 4 BLANG MANGAT 508 JUMLAH 2173

Sumber Bagian Pemerintahan Sekretariat Kota Lhokseumawe Tahun 2009

Tanah-tanah yang belum bersertipikat tersebut mempunyai alas hak yang bermacam-macam. Sebagian besar persil tidak mempunyai surat pembuktian secara formal karena tanah-tanah tersebut diperoleh secara turun temurun. Selebihnya mempunyai alas hak seperti Surat Keterangan dari Keuchik (Kepala Desa), Surat Keterangan Ahli Waris, Surat Keterangan Pembagian Faraidh, Akta Jual Beli, Akta

85 Pemerintah Kota Lhokseumawe, Data Pertanahan Kota Lhokseumawe 2009, Bagian

Pembagian Hak Bersama, Akta Hibah, Surat Keterangan Hibah dan alas pembuktian lainnya.86

2. Tanah Yang Belum Bersertipikat Sebagai Objek Hak Tanggungan

Tanah-tanah yang belum bersertipikat dalam praktek perbankan banyak yang diterima sebagai jaminan kredit. Tanah-tanah yang belum bersertipkat ini adalah tanah hak milik adat yang belum terdaftar akan tetapi telah memenuhi syarat untuk didaftarkan tetapi pendaftarannya belum dilakukan. Tanah hak milik adat itu telah ada hanya proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan.87

Tanah-tanah yang belum bersertipikat yang dapat diterima sebagai objek Hak Tanggungan adalah tanah-tanah hak milik adat atau juga disebut tanah bekas hak milik adat yaitu tanah-tanah yang dipunyai oleh masayarakat hukum adat baik yang dimiliki secara perorangan maupun yang dimiliki secara berkelompok. Tanah-tanah ini sebelum lahirnya UUPA tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum adat di masing-masing daerah dimana tanah tersebut terletak.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tetap mengakui tanah-tanah bekas hak milik adat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat.

86 Hasil wawancara dengan Bukhari, Kepala Bagian Pemerintahan Sekretariat Kota

Lhokseumawe, pada tanggal 04 Agustus 2010, di Kota Lhokseumawe

Dengan berlakunya UUPA yang menganut asas unifikasi hukum Agraria untuk seluruh wilayah tanah air, maka tanah-tanah hak milik adat tersebut harus dikonversikan ke dalam hak-hak yang terdapat dalam UUPA. Tanah-tanah bekas hak milik adat tersebut umumnya dikonversikan sebagai tanah Hak Milik menurut ketentuan UUPA.

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan adalah:

a. Hak Milik. b. Hak Guna Usaha. c. Hak Guna Bangunan .

d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. e. Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).

Dari berbagai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik ini dapat diproleh secara turun menurun dan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Hak milik yang saat ini dipunyai oleh masyarakat, dapat berasal dari berbagai macam latar belakang. Ada hak milik yang berasal dari konversi Hak Eigendom yang merupakan hak yang semula tunduk pada ketentuan BW, ada hak milik yang berasal dari konversi bekas hak milik adat yang semula tunduk pada ketentuan Hukum Adat dan ada juga hak milik yang diperoleh langsung dari pemberian hak yang dikuasai langsung oleh negara.

Hak milik yang berasal dari bekas hak milik adat yang belum bersertipikat atau belum terdaftar menurut ketentuan pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan dapat dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan. Dalam pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Hak Tanggungan ditentukan bahwa apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Dalam penjelasan pasal 10 ayat 3 tersebut disebutkan, yang dimaksudkan dengan hak lama tersebut adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan.88 Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk membuka kemungkinan bagi pemilik tanah yang berasal dari bekas hak milik adat yang haknya itu belum dikonversikan ke dalam hak-hak sesuai UUPA, untuk menggunakan tanahnya sebagai jaminan kredit sehingga merekapun dapat memanfaatkan fasilitas

88

yang disediakan oleh lembaga perkreditan yang ada. Oleh karena itu pendaftaran konversinya akan diberikan prioritas penangannnya.89

Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tanah-tanah tersebut dapat dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan adalah tanah-tanah tersebut dapat dialihkan.90 Selain itu tanah-tanah tersebut harus jelas status kepemilikannya (mempunyai alas hak yang cukup) dan mudah untuk dijual (marketable).91

Selain syarat-syarat tersebut di atas, sebelum tanah bekas hak milik adat yang belum terdaftar tersebut dijadikan jaminan, pihak Bank akan melakukan survey ke tanah bersangkutan dan bank juga mensyaratkan agar tanah tersebut dilakukan pengukuran terlebih dahulu oleh Kantor Pertanahan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kepemilikan atas tanah, batas-batas tanah dan luas tanah sebagaimana yang tertera dalam dokumen (alas hak) yang diberikan oleh debitur kepada Bank telah dapat dipastikan kebenarannya. Hal ini juga sekaligus untuk mengetahui apakah ada pihak lain yang akan mengajukan keberatan terhadap tanah tersebut pada saat dilakukan pengukuran oleh Kantor Pertanahan karena merasa mempunyai hak juga atas tanah bersangkutan.92

89 A.P. Parlindungan, Op.Cit, hal. 166

90 Hasil wawancara dengan Bukhari Muhammad, Notaris dan PPAT di kota Lhokseumawe

tanggal 14 Juli 2010 di Kota Lhokseumawe.

91 Hasil wawancara dengan Safriyadi, Account Officer pada PT. Bank Pembangunan Daerah

Istimewa Aceh kantor Cabang Lhokseumawe, tanggal 14 Juni 2010, di Kota Lhokseumawe.

92 Hasil wawancara dengan Radian, Account Officer pada PT. Bank Rakyat Indonesia tanggal

3. Pelaksanaan Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat di Kota Lhokseumawe

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk melakukan pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat di Kota Lhokseumawe. Pemberian Hak Tanggungan tersebut dapat dilakukan melalui Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan dapat juga langsung dilakukan dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Pada umumnya pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat selalu didahului dengan pembuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Setelah penandatanganan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dilakukan antara pemberi Hak Tanggungan dengan Bank selaku kreditur, baru kemudian dilakukan pendaftaran hak atas tanah yang dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan. Pengurusan pendaftaran hak atas tanah tersebut biasanya dikuasakan oleh pemilik tanah kepada Notaris atau PPAT yang membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersbebut. Setelah sertipikat hak atas tanah tersebut keluar barulah dilakukan atau ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan. Penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan oleh Bank sendiri, baik selaku kuasa dari pemilik tanah (pemberi Hak Tanggungan) berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) dan juga sekaligus bertindak sebagai pihak yang menerima Hak Tanggungan.

Pembebanan Hak Tanggungan yang dilakukan melalui SKMHT dikarenakan objek Hak Tanggungan tersebut masih mempunyai data-data yang kurang lengkap.

Data yang kurang lengkap itu dapat berupa data fisik dari tanah yang bersangkutan, dapat juga berupa data yuridis atau kepastian kepemilikan dari tanah tersebut berhubungan belum ada sertipikat hak atas tanah.93 Hal ini dilakukan untuk menghindari dari permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari apabila pendaftaran tanah bekas hak milik adat yang dijadikan sebagai objek Hak Tanggungan tersebut terkendala dalam pendaftarannya.

Pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang berasal dari hak milik adat juga dapat dilakukan dengan penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) secara langsung. Hal tersebut telah diatur dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan. Pemberian Hak Tanggungan yang langsung menggunakan Akta Pemberian Hak Tanggungan ini lebih memberikan kepastian hukum pada kreditur karena atas objek Hak Tanggungan tersebut telah ada ikatannya dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan, walaupun pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dalam buku tanah Hak Tanggungan belum dapat dilakukan karena masih menunggu penyelesaian pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Kalau hanya diikat dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), hal tersebut malah belum memberikan kepastian hukum bagi kreditur. Karena ikatan yang ada antara pemberi Hak Tanggungan dengan Bank selaku kreditur baru sebatas kuasa untuk

93 Hasil wawancara dengan Cut Nilawati, Notaris dan PPAT di Kota Lhokseumawe, pada

membebankan Hak Tanggungan, belum sampai pada tahap pemberian Hak Tanggungan.94

Tabel 2. Rekapitulasi Pembuatan APHT Tanah Belum Bersertipikat Pada Bank BPD dan BRI di Kota Lhokseumawe Pada Tahun 2005 s/d 2010

Jumlah Alas Hak Bank

Tahun

APHT AJB Hibah APHB Lain-

lain BRI BPD Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2005 5 5 - - - 1 4 semua selesai 2006 53 43 3 7 - 29 24 semua selesai 2007 10 10 - - - 8 2 9 selesai, 3 gagal 2008 24 20 1 3 - 19 5 21 selesai, 2 belum 2009 6 2 1 3 - 2 4 4 selesai, 2 belum 2010 2 2 - - - - 2 belum selesai Jumlah 100 82 5 13 - 59 41 Sumber : Kantor Notaris Taufik, SH Kota Lhokseumawe Tahun 2010

Ketentuan yang terdapat dalam pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut selain memberikan rasa keadilan bagi masyarakat golongan ekonomi kecil, juga memberikan kepastian hukum dalam pemberian Hak Tanggungan bagi para pihak. Hal itu sejalan dengan asas dari Hak Tanggungan itu sendiri yang menghendaki adanya kepastian hukum dalam pemberian jaminan.

94 Hasil wawancara dengan Bukhari Muhammad, Notaris dan PPAT di Kota Lhokseumawe,

Dokumen terkait