• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Kerangka teori yakni kerangka pemikiran atau butir pendapat teori si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan yang bagi si peneliti menjadi bahan perbandingan.14 Kerangka teori juga merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.15 Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistentisnya dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.16

Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.17 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan

14 Ibid, h. 90.

15 M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2003, h. 80.

16 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 23.

17 Mukti Fajar Nurdewanta, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 134.

menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkan nya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.18

Terdapat empat ciri kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum, yaitu: teori hukum, asas-asas hukum, doktrin hukum, dan ulasan pakar hukum berdasarkan dalam pembidangan kekhususannya.19 Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.20 Berkaitan dengan pendapat tersebut, maka teori adalah serangkaian konsep, definisi dan proposisi yang berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang suatu gejala.21

Kerangka teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis, artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis relevan yang mampu menerangkan masalah tersebut. Upaya tersebut ditujukan untuk menjawab atau menerangkan masalah yang telah dirumuskan.22

Soerjono Soekanto berpendapat, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:23

18 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, h. 19.

19 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 79.

20 Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h.

54.

21 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Jakarta, 2008, h.

141.

22 I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006, h. 23.

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2010, h. 121.

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Sehingga adapun teori yang digunakan untuk menjawab ketiga permasalahan penelitian ini di gunakan teori sistem hukum (legal system theory) sebagai teori umum (grand theory), teori penegakan hukum (law inforcement theory) sebagai teori pertengahan (middle theory), teori kebijakan hukum (penal policy theory), sebagai teori penerapan /pelaksanaan (applied theory) dan teori pertanggungjawaban hukum, sebagai teori tujuan (goal theory).

a. Teori Sistem Hukum

Kata “sistem” berasal dari kata “systema” yang diadopsi dari bahasa Yunani yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.24 Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum.25

Menurut R. Subekti, sistem hukum adalah susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang

24 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, h. 4.

25 Salim HS, Op.cit, h. 71.

berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.26 Menurut Sudikno Mertokusumo, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.27

Sistem menggambarkan berbagai elemen-elemen atau komponen-komponen pembentuk sistem dalam satu kesatuan yang saling berinteraksi antara satu sama lain dalam mencapai tujuan. JH. Merryman, mengatakan,

“Legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules”.28 Dalam teori ini sistem hukum merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum. Sistem yang dimaksud di sini adalah sistem hukum, bahwa di dalamdunia hukum pun menganut sistem, hukum tanpa ada sistem, maka penegakan hukum mustahil dapat dilaksanakan, karena itu semua elemen-elemen dalam hukum harus saling bekerja sama dalam satu kesatuan untuk mencapai tujuan hukum.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra memandang sistem hukum yaitu suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang

26 R. Subekti dalam Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 169.

27 Ibid.

28 JH. Merryman dalam Ade Maman Suherman, Loc.Cit.

membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.29

Mengenai sistem hukum (legal system). Lawrence Milton Friedman menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).30 Ketiga elemen ini menggambarkan bagaimana sistem hukum ditata secara substantif, apa yang dijalankan, bagaimana menjalankannya, dan pada gilirannya akan melihat tingkat kesadaran terhadap hukum. Pemikiran dan kekuatan di luar hukum membuat sistem hukum itu berhenti dan bergerak. Ketiga elemen ini menurut Lawrence Milton Friedman dapat digunakan untuk menguraikan apapun yang dijalankan oleh sistem hukum.31

Ketiga elemen dalam sistem hukum menurut Lawrence Milton Friedman, tersebut dijabarkan oleh Achmad Ali, yaitu:32

1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain;

2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;

3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga

29 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, h. 151.

30 Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, Second Edition, W.W.

Norton & Company, New York, 1997, h. 8, Diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Tatanusa, Jakarta, 2001, h. 9.

31 Ibid.

32 Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, 2009, h. 204.

masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Unsur struktur hukum (legal structur) merupakan institusionalisasi ke dalam entitas-entitas hukum seperti struktur pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, jumlah hakim serta integrated justice system. Substansi hukum menyangkut keseluruhan substansi aturan hukum yang mengandung norma-norma, asas-asas, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Budaya hukum menyangkut sikap-sikap, tingkah laku, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum.33

Struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satunya tidak bekerja atau tidak berfungsi dengan baik, dapat mengganggu sistem hukum, sehingga munculah persoalan (problem) hukum. Menurut Soerjono Soekanto, komponen-komponen sistem hukum merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.34

Pada penelitian ini teori sistem hukum berkaitan erat dengan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, namun pada kenyataannya membuat pemalsuan akta.

33 Ade Maman Suherman, Op. cit., h. 11-13.

34 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, h. 5.

b. Teori Penegakan Hukum

Sebagaimana telah disinggung dalam teori sistem hukum terdapat didalamnya elemen-elemen yang meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.35 Lawrence Milton Friedman menekankan dalam penegakan hukum adalah pada aspek kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.36

Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.37

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum.

Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat

35 Lawrence M. Friedman dalam Wishnu Basuki, Loc.Cit.

36 Ibid.

37 http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses pada 29 April 2020.

negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Unsur aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tersebut merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana. Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing subsistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu menanggulangi kejahatan dan pemasyarakatan kembali para narapidana. Bekerjanya masing-masing subsistem tersebut harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.38

Dalam teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Mengenai total enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime).

Penegakan hukum pidana secara total ini menurutnya tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum

38 Soerjono Soekanto, Loc.Cit.

acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.39

Sedangkan full enforcement menyangkut masalah penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement di mana para penegak hukum dalam penegakan hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Kemudian actual enforcement merupakan redusi (sisa) dari full enforcement, di mana bahwa full enforcement dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya diskresi (discretion) dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.40

Muladi mengatakan, “Penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana) dalam penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum”.41 Maka perlu ditindak lanjuti upaya pelaksanaan penegakan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.

Menurut Marwan Effendy, penegakan hukum sebagai landasan tegaknya supremasi hukum, tidak saja menghendaki komitmen ketaatan seluruh komponen bangsa terhadap hukum mewajibkan aparat penegak

39 Joseph Goldstein dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, h. 40.

40 Ibid.

41 Ibid., h. 35.

hukum untuk dapat menegakkannya secara konsisten dan konsekuen, tetapi menghendaki juga suatu pengaturan hukum yang mencerminkan suatu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum merupakan cita hukum bangsa.42

Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.43

Teori penegakan hukum berkaitan dengan apa yang dikaji dalam penelitian ini. Agar hukum dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya, maka diperlukan penegakan hukum dengan saksi pidana terhadap notaris yang terbukti melakukan pemalsuan akta.

c. Teori Kebijakan Hukum

Secara teoritis penal policy atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuatan undang-undang (kebijakan legeslatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legeslatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahapan-tahapan berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang

42 Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, Timpani, Jakarta, 2010, h. 3.

43 Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, h. 2-3.

hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dilarang oleh hukum pidana.44

Membahas tentang penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait empat aspek yakni: Pertama, penetapan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi); Kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang (sistem pemidanaan atau penalisasi); Ketiga (tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seseorang atau korporasi), Keempat tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.45

Menurut Sudarto seperti yang dikutip Teguh, proses kriminalisasi merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam melalui terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana. Kemudian menurut Barda, seperti yang dikutip Teguh, kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (khususnya hukum pidana).46

44 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 18.

45 Ibid., h. 82.

46 Ibid., h. 19.

d. Teori Pertanggungjawaban Hukum

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggungjawab hukum menyatakan bahwa seseorang bertanggungjawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggungjawab hukum, subjek berarti dia bertanggungjawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.47

Hans Kelsen juga membagi mengenai tanggungjawab yang terdiri dari:48

1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individi bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Teori tanggung jawab menurut Abdulkadir Muhammad yang dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:49

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

47 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Raja Grafindo Persada.

Bandung, 2006, h. 81.

48 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006, h. 140.

49 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 336.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur(interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck lia bility), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.

Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/berlawanan hukum.

Sanksi dikenakan deliquet, karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawab mutlak (absolut responsibility).50

Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi yang diberikan oleh UUJN ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris.

Artinya notaris mempunyai tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN. Notaris dalam melaksanakan tugasnnya tesebut wajib

50 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, h. 61.

menjalankan dengan penuh disiplin, professional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang dalam awal dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta. Layaknya dalam Pasal 65 UUJN yang menyebutkan bahwa “Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap Akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris”

Berkaitan dengan tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dibedakan menjadi 4 (empat) hal yaitu:51

1. Tanggung jawab Notaris secara perdata akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;

2. Tanggung jawab Notaris secara pidana akan kebenaran materiil akta yang dibuatnya;

3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan jabatan Notaris akan kebenaran materiil aktayang dibuatnya;

4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris.

Teori pertanggungjawaban hukum berkaitan dengan apa yang dikaji dalam penelitian ini. Notaris dapat dimintai pertanggungjawabannya terhadap akta yang dibuat secara pidana jika ia terbukti melakukan pemalsuan akta.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian penting dari teori. Peranan penting dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi antara

51 Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, CDSBL, Yogyakarta, 2003, h.

250.

abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatu abtraksi yang di generalisasikan dari hal-hal yang khusus yang di sebut dengan definisi operasional.52

Pentingnya definisi operasional bertujuan untuk menghindari perbedaan salah pengertian atau penafsiran, oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini terdapat definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan yaitu:

a. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.53 b. Hukum pidana adalah adalah sejumlah peraturan hukum yang

mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.54

c. Notaris adalah penjabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan yang lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris atau berdasarkan undang-undang lainnya.55

52 Sumardi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafndo Persada, Jakarta, 1998, h.

3.

53 http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf diakses pada 29 April 2020.

54 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, h. 4.

55 Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

d. Pemalsuan surat adalah kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.56 e. Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuknya yang

ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.57

Dokumen terkait