• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.58

Metode penelitian hukum dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder atau penelitian hukum

56 Adami Chazawi, Op.cit, h. 3.

57 Pasal 1868 KUHPerdata.

58 Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000, h. 4.

perpustakaan.59 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang berkaitan dengan asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Penelitian hukum normatif ini juga merupakan penelitian yang mempergunakan sumber data sekunder yang penekanannya pada teoritis dan analisis kualitatif yang dapat juga disebut dengan penelitian perpustakaan atau studi dokumen.60

Penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang di pergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.61 Metode penelitian ini digunakan untuk menganalisis mengenai penegakan hukum pidana terhadap notaris yang melakukan pemalsuan akta.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang hanya memberikan gambaran (deskripsi) atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian, dengan tidak dilakukan justifikasi terhadap hasil penelitian.62 Deskriptif maksudnya dari suatu penelitian diperoleh gambaran secara sistematis dan rinci tentang permasalahan yang akan

59 Ediwarman, Op.cit, h. 25.

60 Ibid, h. 19.

61 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 13.

62 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, yogyakarta, 2010, h. 183.

diteliti. Analisis maksudnya berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dianalisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan. Jadi deskriptif analisis maksudnya adalah untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer maupum sekunder, langsung diolah dan dianalisis untuk memperjelas data secara kategoris, penyusunan secara sistematis, dan dikaji secara logis.63 2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini memakai pendekatan normatif yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Metode pendekatan normatif, yang secara deduktif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal hal yang menjadi permasalah diatas, metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, yaitu hubungan peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannyadengan penerapannya dalam praktek.64

3. Alat Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

63 Muslan Abdurrahman, Sosiologis dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009, h. 91.

64 Ediwarman, Op.cit, h. 71.

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.65 Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah KUHP, KUHPerdata, UUJN.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.66 Bahan-bahan sekunder ini diperoleh dari buku-buku, atau hasil penelitian karya ilmiah berupa jurnal dan sumber lainnya yang ada hubungan dan kaitannya dengan pemalsuan akta.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.67 Adapun data tersier yang digunakan adalah kamus Bahasa Indonesia, kamus Hukum, media massa, dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

a. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder

65 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 113.

66 Ibid, h. 114.

67 Ibid.

adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.68

b. Pedoman wawancara langsung melalui narasumber yang dapat dipercaya. Wawancara dilakukan dengan para responden yang dianggap tahu dan memahami serta mendukung pokok permasalahan dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian hukum mempergunakan metode pendekatan kualitatif bukan kuantitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas angka persentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.69

Dalam penelitian hukum normatif, seluruh data yang diperoleh akan dikumpulkan dan dipadukan dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu suatu metode analisis data deksriptif analitis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan dengan pendapat para pakar hukum serta berdasarkan peraturan perundang-undangan (statute approach) yang berlaku. Sehingga diperoleh suatu kesimpulan dengan metode induktif yang mampu menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam bentuk tesis.

68 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2009, h. 137.

69 Ediwarman, Op.cit, h. 99.

33 BAB II

PENGATURAN HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PEMALSUAN AKTA YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS

A. undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN notaris didefinisikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Definisi tersebut merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan notaris. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.139

Walaupun notaris dikatakan sebagai pejabat umum (openbare ambtenaar) yaitu pejabat yang diangkat oleh pemerintah serta memiliki kewenangan tertentu dalam suatu lingkungan pekerjaan yang tetap (karena memangku suatu jabatan) yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Hal tersebut tidak membuat jabatan notaris sama dengan pegawai negeri, karena selain diatur atau tunduk pada peraturan yang berbeda juga karakteristik notaris bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial), tidak bergantung pada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dcampuri oleh pihak lain termasuk pihak yang mengangkatnya.140 Ia tidak menerima gaji, bukan bezoldigd

139 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, h. 14.

140 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Malang, 2009, h. 48.

.

staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepadamasyarakat.141

Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut diatas diuaraikan secara jelas dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, Pada ketentuan tersebut disebutkan notaris berwenang membuat akta autentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN juga dijelaskan selain membuat akta autentik, notaris juga memiliki wewenang lain yang antara lain:

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

141 Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1981, h. 45.

6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7. Membuat akta risalah lelang.

Sedangkan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang lama menyatakan bahwa:

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikankepada pejabat atau orang lain.142

Jika dilihat dari kedua ketentuan tersebut diatas, ternyata mempunyai kesamaan terkait dengan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan kekuasaan yang diberikan pemerintah untuk diamanahkan kepadanya.

Dengan demikian hal tersebut diatas semakin mempertegas kedudukan Notaris sebagai pejabat ataupun pegawai umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

142 G.H.S. Lumbun Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1996, h. 31.

“suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.

Hal tersebut menunjukan bahwa sifat dari keautentikan suatu akta tergantung dari bentuk akta tersebut yang diatur dalam undang-undang serta dibuat oleh pejabat yang berwenang di wilayah hukum kewenangannya.

Dalam hal ini menunjukan kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta autentik sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang di maksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

G. H. S. Lumbantobing berpendapat, notaris memiliki 4 (empat) wewenang, yaitu:143

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai

143 G. H. S. Lumban Tobing, Op. Cit, h. 49.

dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian Pasal-Pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa Timur.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak tersedia kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka (3) UUJN).

Berkenaan dalam melaksanakan tugas dalam memangku jabatan sebagai notaris, notaris memiliki kewajiban yang harus dilakukan untuk dapat mempertanggung jawabkan atas tindakan yang dibuatnya. Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka terdapat sanksi yang akan dijatuhi. Adapun yang menjadi kewajiban notaris terdapat dalam Pasal 16 UUJN, yaitu:

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya

e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat

dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;

j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh

(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.

(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b. Akta penawaran pembayaran tunai;

c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. Akta kuasa;

e. Akta keterangan kepemilikan; dan

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata

“berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua".

(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan

dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.

(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan Akta wasiat.

(11) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l dapat dikenai sanksi berupa:

a. Peringatan tertulis;

b. Pemberhentian sementara;

c. Pemberhentian dengan hormat; atau d. Pemberhentian dengan tidak hormat.

(12) Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

(13) Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai sanksi berupa peringatan tertulis.”

Dasar pelaksanaan jabatan Notaris tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dasar dalam pasal-pasal tersebut diatas yang mengatur mengenai kewenangan dan jabatan Notaris. Bila hal tersebut tidak diterapkan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya, maka sudah dapat dipastikan Notaris tersebut sangat rawan untuk melakukan pelanggaran jabatan dan dapat berakibat pada keauntentikan dari akta yang dibuatnya maupun pada dirinya sendiri yang dapat dikenakan sanksi.

Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh koridor-koridor aturan. Pembatasan ini dilakukan agar seorang Notaris tidak kebablasan dalam menjalankan praktiknya dan bertanggungjawab terhadap segala hal yang dilakukannya. Tanpa adanya pembatasan, seseorang

cenderung akan bertindak sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah membatasi kerja seorang Notaris.144

Dalam konstruksi Hukum Kenotariatan, bahwa salah satu tugas jabatan Notaris yaitu memformulasikan keinginan/tindakan penghadap/para penghadap kedalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku, hal ini sebagaimana tersebut dalam yurisprudnsi Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu Notaris fungsinya hanya mencatatkan/

menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut, tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa yang dikemukakan oleh penghadap dihadapan Notaris tersebut.145

Selain kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang Notaris, terdapat pula larangan bagi seorang Notaris. Larangan bagi Notaris diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN yaitu sebagai berikut:

a. Menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. Merangkap jabatan sebagai advokat;

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II diluar tempat kedudukan Notaris;

h. Menjadi Notaris Pengganti; atau

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

144 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2009, h. 46-47.

145 Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2015, h. 21.

Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Apabila seorang Notaris melanggar larangan dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN tersebut diatas maka dalam Pasal 17 ayat (2) Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Peringatan tertulis;

b. Pemberhentian sementara;

c. Pemberhentian dengan hormat, atau d. Pemberhentian dengan tidak hormat.

Berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UUJN, “Notaris dilarang untuk membuat akta dalam suatu keadaan tertentu seperti membuat akta untuk diri sendiri maupun keluarga sendiri”. Apabila seorang Notaris melanggar Pasal 52 ayat (1) tersebut, berdasarkan Pasal 52 ayat (3) maka Notaris tersebut dikenakan sanksi perdata yaitu dengan “membayar biaya, ganti rugi dan bunga kepada para penghadap dan konsekuensinya adalah akta yang dibuat hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan”.

Dalam keadaan tertentu notaris tidak berwenang untuk membuat akta Notaris. Bukan karena alasan-alasan sebagaimana tersebut sebelumnya, tapi karena alasan-alasan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, seperti:146

1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN).

2. Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UUJN).

3. Diluar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a dan Pasal 18 ayat (2) UUJN).

4. Selama Notaris cuti (Pasal 25 UUJN).

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Notaris tidak berwenang membuat akta otentik sebelum mengangkat sumpah jabatan

146 Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit, h. 157.

Notaris sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUJN yang mengatur

“Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk”. Seorang Notaris yang belum mengucapkan sumpah jabatan sudah seharusnya belum dapat menjalankan praktik kenotariatan sehingga kepadanya belum berwenang untuk membuat akta otentik.

Notaris juga tidak berwenang lagi membuat akta jika Notaris yang bersangkutan dalam posisi diberhentikan sementara. Pemberhentian sementara Notaris diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UUJN sebagai berikut:

(1) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:

a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;

b. berada di bawah pengampuan;

c. melakukan perbuatan tercela;

d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan serta kode etik Notaris; atau

e. sedang menjalani masa penahanan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUJN tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa Notaris yang diberhentikan sementara karena dalam proses pailit, di bawah pengampuan, melakukan perbuatan tercela dan melakukan pelanggaran terhadap UUJN serta Kode Etik, sudah sepantasnya bila kewenangannya membuat akta otentik juga dicabut sementara. Terlebih-lebih lagi bila Notaris yang bersangkutan sedang menjalani masa penahanan.

Ketidakwenangan untuk membuat akta bagi Notaris yang diberhentikan sementara dapat dipulihkan setelah pemberhentian sementaranya dicabut atau tidak berlaku lagi

Selanjutnya, larangan dalam ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat, Notaris tentunya tidak menguasai permasalahan di tempat lain di luar wilayah jabatannya, sehingga dikhawatirkan tidak terpenuhinya syarat kebenaran materiil dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium minimum yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 UUJN) dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak

Selanjutnya, larangan dalam ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat, Notaris tentunya tidak menguasai permasalahan di tempat lain di luar wilayah jabatannya, sehingga dikhawatirkan tidak terpenuhinya syarat kebenaran materiil dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium minimum yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 UUJN) dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak

Dokumen terkait