• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,15 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.16 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.17

Apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama, maka pada dasarnya Pengadilan Agama memiliki dua kewenangan, Pertama: kekuasaan relatif (relative competentie) yang diistilahkan oleh Ridhwan Syahrani sebagai kewenangan atau kekuasaan Pengadilan Agama yang

15M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.

16Ibid., hal. 203

17M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

satu jenis berdasarkan daerah dan wilayah hukum,18 dan Kedua: kekuasaan mutlak (absolute competentie).19 Dalam cakupan kekuasaan mutlak ini, tentunya dalam Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang Pengadilan.

Pengadilan Agama memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

”perkara perdata tertentu ”dikalangan”golongan tertentu yakni orang-orang Islam”.

Kekuasaan dalam lingkungan Pengadilan Agama mengalami perluasan terutama sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974, kemudian mengalami penyeragaman setelah berlakunya UU No 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006, perkara perdata itu adalah bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Kemudian dengan yang sekarang telah dirubah Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama kewenangan Pengadilan Agama juga mengalami perluasan. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich yang dikutip Soerjono Soekanto bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.”20Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).21

18 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hal. 30

19Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 205-206.

20 Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 19.

21Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, 1991, hal. 37.

Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum, maka tidak mengherankan jika dewasa ini, peradilan agama mengalami perluasan kewenangan mengingat

“…harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara persoalan dengan cara dan tempat penyelesaiannya.”22 Dalam arti, perkembangan masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan dapat diselesaikan melalui jalur hukum, tidak dengan cara main hakim sendiri.23

Eman Suparman mengutip pendapat Friedman mengatakan bahwa, perluasan kewenangan Peradilan Agama juga sesuai dengan teori three elements law system Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem.24 Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.25

Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa kewenangan peradilan agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang peradilan agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Artinya, hukum Islam yang

22David N. Schiff, “Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial”, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan “Sociological Approaches to Law”, terj. Rnc. Widyaningsih dan Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 287.

23Eman Suparman. Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Bisnis Menurut Prinsip Syariah, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, 2010, hal 13.

24Ibid., hal 14

25Ibid., hal 14

menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia.

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa :

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.26

Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.27

26Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.

27Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 59.

Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya termasuk dalam hal pengangkatan anak oleh pegawai negeri sipil dan akibat hukumnya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum termasuk anak yang kehidupannya dalam suatu keluarga merupakan anak angkat.

Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada pasangan suami isteri sebagai pelengkap dalam kebahagiaan rumah tangganya. Di dalam diri seorang anak terkandung harapan dari orang tua untuk dapat berperan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik, secara fisik, mental maupun sosialnya.

Harapan pasangan suami isteri sebagai orang tua akan terwujud apabila pasangan suami isteri tersebut dikaruniai keturunan (anak). Memiliki keturunan (anak) merupakan tujuan utama bagi pasangan suami isteri untuk dapat melengkapi kebahagiaan hidup perkawinannya. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan (anak), maka solusinya adalah dengan mengangkat anak.

Di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Selanjutnya di dalam Pasal 39 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pengangkatan anak ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 1 angka 1 disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 nya disebutkan Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Pengangkatan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.28 Perumusan ini adalah perumusan umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut proporsi yang sebenarnya secara mendetail, maka akan ditemukan hal-hal yang menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak.

Di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa Pengangkatan anak terdiri atas :

1. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan

2. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia meliputi : 1. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan 2. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

28Rianto Sitorus, Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (SK Menteri Sosial RI NO.13 / HUK / Tahun 1993 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, FH, USU Medan, 2008.

Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan uang serta penyerahannya sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan anak.29 Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal ini sudah bertentangan dengan azas dan tujuan pengangkatan anak.

Hal ini tentunya juga tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena itu, tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengangkatan anak yang dalam batas-batas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak.

Kelihatan jelas perbaikan segi fisik, meteriilnya. Hal yang sulit diketahui, dijajaki adalah peningkatan segi mental, spiritual kesejahteraannya. Kecukupan kemakmuran materiil tidak dapat dipakai sebagai ukuran kepastian adanya kebahagiaan, kemakmuran spritual yang lestari. Permasalahan mental, spritual akan timbul apabila anak sudah mulai berpikir kritis. Hal ini apabila tidak ditangani secara bijaksana akan menimbulkan pertentangan-pertentangan antar orang tua dan anak angkat, yang dapat berakibat perpecahan hubungan orang tua dan anak yang lebih muda. Salah satu faktor pendukung perpecahan ini adalah hubungan orang tua dan anak yang tidak asli serta tidak alamiah (keputusan pengadilan antara lain).30

29Rianto Sitorus, Op.Cit, hal 12.

30Shanty Delliana, Op.Cit, hal. 34

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.31 Di dalam suatu perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah anak kandung yang sah yang diakui oleh Negara dan terdaftar sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan bukti akta kelahiran yang dikeluarkan oleh lembaga catatan sipil.32

2. Anak angkat adalah Anak kandung orang lain yang diambil (dijadikan) anak oleh seseorang. Pengangkatan anak orang lain oleh seseorang yang menjadikan anak adopsi (anak angkat) itu berstatus sebagai anak kandung bagi pengangkat, baik dalam lingkungan Hukum Adat maupun dalam lingkungan Hukum Perdata berdasarkan undang-undang.33

31Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

32J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5.

33Ibid., hal. 5.

3. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status/ kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.34

4. Surat Penetapan Pengadilan adalah adalah surat penetapan yang dikeluarkan pengadilan untuk mengasahkan adanya peristiwa pengangkatan anak.

5. Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

6. Pengadilan Agama adalah bagian dari peradilan umum yang berwenang mengadili permasalahan hukum yang menyangkut hubungan hukum bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam.

Dokumen terkait