TERHADAP PENETAPAN NOMOR 21/Pdt.P/2010 DI PENGADILAN AGAMA MEDAN)
TESIS
Oleh
MAYA SARI 107011110/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2013
TERHADAP PENETAPAN NOMOR 21/Pdt.P/2010 DI PENGADILAN AGAMA MEDAN)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAYA SARI 107011110/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2013
21/Pdt.P/2010 DI PENGADILAN AGAMA MEDAN) Nama Mahasiswa : MAYA SARI
Nomor Pokok : 107011110 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)
Pembimbing Pembimbing
( Prof. Dr. Abdullah Syah, MA ) (Dr. Idha Aprilyana,SH,MHum )
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 16 Januari 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA
2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : MAYA SARI
Nim : 107011110
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PENGARUH SURAT PENETAPAN PENGADILAN ATAS PENGANGKATAN ANAK BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DALAM DAFTAR GAJI (STUDI KASUS TERHADAP PENETAPAN NOMOR 21/Pdt.P/2010 DI PENGADILAN AGAMA MEDAN) Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : MAYA SARI
Nim : 107011110
permohonan pengangkatan anak sesuai dengan ketentuan Peraturan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan terhadap pengangkatan anak tersebut juga dapat mengajukan permohonan tunjangan bagi anak angkat dalam daftar gaji pegawai yang bersangkutan.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh surat peentapan pengadilan atas pengangkatan anak bagi pagawai negeri sipil muslim daalam daftar gaji dan akibat hukumnya.
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/ memaparkan sekaligus menganalisis tentang pengaruh surat penetapan pengadillan atas pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim dalam daftar gaji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak bagi Pegawai Negeri Sipil muslim di Pengadilan Agama seperti halnya pengangkatan anak pada umumnya dilakukan dengan diajukan permohonan oleh yang bersangkutan sampai pada saat ditebitkannya penetapan pengadilan dari hasil rapat pemusyarwatan majelis hakim pengadilan agama. Pengadilan Agama berwenang untuk memberikan ketetapan berqupa penetapan pengadilan dalam hal pengangkatan anak yang dimohonkan oleh pegawai negeri sipil muslim yang ingin melakukan pengakatan anak untuk kepentingan daftar gaji sesuai dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama.
Akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama atas anak angkat bagi pegawai negeri sipil muslim adalah sahnya permohonan pengangkatan anak, timbulnya kewajiban orang tua guna menjamin terpenuhinya kewajiban orang tua anak untuk memenuhi kewajibannya dan bagi kalangan pegawai negeri sipil yang muslim adanya penetapan ini juga menjadi dasar untuk memperoleh sumber pembiayaan untuk kehidupan anak angkat dengan mana Surat Keputusan Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulanuntuk mendaftarkan anak angkat dalam daftar gaji pegawai negeri sipil.
Disarankan kepada pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan pengangkatan anak agar dapat melengkapi berbagai persyaratan dan kepaniteraan pengadilan agama agar dapat memeriksa berbagai persyaratan dalam pengangkatan anak guna menghindari adanya pemalsuan data. Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu ketentuan sampai di tingkat daerah sebagai petunjuk teknis dalam pengangkatan anak khususnya bagi pegawai negeri sipil.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Daftar Gaji, Pengadilan Agama
adopting a child as it is stipulated in the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adopting a Child; he can also file it for child allowance of his adopted child in his payroll.
The aim of writing the thesis was to explain the influence of a Court’s decree on the adoption of a child by a Moslem government employee in his payroll and its legal consequences.
The research used descriptive analytic method and judicial normative approach which described and analyzed the influence of a Court’s decree on the adoption of a child by a Moslem government employee in his payroll.
The result of the research shows that the implementation of adopting a child by a Moslem government employee through the Religious Court, as it generally happens, is by filing a letter of request by the person who wants to adopt a child to the Religious Court at the time the decree is issued after the panel of judges has held a meeting. The Religious Court has the authority to issue a Certificate based on the Court’s verdict about adopting a child by a Moslem government employee for the sake of the payroll, as it is stipulated in Law No. 3/2006 on Religious Court.
The legal consequences of the Religious Court’s decree on the Adoption of a Child by a government employee are whether the adoption is valid or not, the parents’ responsibility to carry out their obligations for the child, and, for a Moslem government employee, it is important for him to get the allowance for raising the child from his payroll. The Religious Court’s decree is one of the requirements to register the adopted child to the government employee’s payroll.
It is recommended that a government employee who intends to adopt a child should complete the requirements and the clerk of the Religious Court should examine them carefully to avoid any forgery of the data. It is also recommended that the policy makers should distribute any letters of regulations to the regional level as the technical manual in adopting a child, especially the adoption is done by a government employee.
Keywords: Adopting a Child, Payroll, Religious Court
Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “PENGARUH SURAT PENETAPAN PENGADILAN ATAS PENGANGKATAN ANAK BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DALAM DAFTAR GAJI (STUDI KASUS TERHADAP PENETAPAN NOMOR 21/PDT.P/2010 DI PENGADILAN AGAMA)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof. Dr. H.
Abdullah Syah, MA., dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum.
selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
dan terarah.
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya dari Ibunda tercinta Mawarni Ritonga serta Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.
9. Rahmi, Nana, dan khususnya buat Dewi Susiana (mimi) yang selalu membantu dan tak pernah bosan memberikan motivasi kepada penulis.
10. Anang Rijanto, SKM dan M. Rhasya Azzaki yang telah memberikan semangat dalam penulisan tesis ini.
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amien Ya Rabbal ‘Alamin.
Medan, Januari 2013 Penulis,
MAYA SARI
Nama : MAYA SARI
Tempat/Tanggal Lahir : Sei. Rampah, 14 Januari 1977
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan Karya Selamat III No. 6 Medan
Johor
No. Handphone : 0813-62214926
II. KELUARGA
Nama Ayah : Syawaluddin
Nama Ibu : Mawarni Ritonga
Nama : Adik
: Saipul Marwan
Nama Adik : Munawir Salam
III. PENDIDIKAN
SD : SDN No. 102016 Sei. Rampah (1983-
1989)
SMP : SLTP Negeri Sei. Rampah (1989-1992)
SMU : Madrasah Aliyah Teladan Medan (1992-
1996)
Strata I : Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Hukum (1996-2000)
Strata II : Universitas Sumatera Utara Magister
Kenotariatan (2010-2013)
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 13
G. Metode Penelitian ... 22
BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA ... 27
A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak .. 27
B. Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Berbagai Sistem Hukum 40 C. Syarat-syarat Pengangkatan Anak ... 49
D. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim di Pengadilan Agama Medan... 61
BAB III. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PENGANGKATAN ANAK BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM ... 77
A. Pengangkatan Anak Dalam Pandangan Hukum Islam ... 77
B. Kedudukan Pengadilan Agama... 84
PENGADILAN AGAMA ATAS ANAK ANGKAT
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM ... 103
A. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Angkat ... 103
B. Kedudukan Harta kekayaan Anak Angkat Pegawai Negeri Sipil... 111
C. Kedudukan Anak Angkat Dalam Perkawinan ... 116
D. Analisis Hukum Surat Penetapan Pengadilan Agama Atas Anak Angkat Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Nomor 21/Pdt.P/2010/PA.Mdn ... 125
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 138
A. Kesimpulan ... 138
B. Saran ... 139
DAFTAR PUSTAKA ... 141
LAMPIRAN
TABEL 1
Alasan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Medan Tahun 2010-2011 .... 62 TABEL 2
Alasan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Medan Tahun 2011-2012 .... 63 TABEL 3
Status Pekerjaan Orang Tua Angkat di Pengadilan Agama Medan Tahun
2010-1012 ... 64
permohonan pengangkatan anak sesuai dengan ketentuan Peraturan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan terhadap pengangkatan anak tersebut juga dapat mengajukan permohonan tunjangan bagi anak angkat dalam daftar gaji pegawai yang bersangkutan.
Penulisan tesis ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh surat peentapan pengadilan atas pengangkatan anak bagi pagawai negeri sipil muslim daalam daftar gaji dan akibat hukumnya.
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif, yang menguraikan/ memaparkan sekaligus menganalisis tentang pengaruh surat penetapan pengadillan atas pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim dalam daftar gaji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak bagi Pegawai Negeri Sipil muslim di Pengadilan Agama seperti halnya pengangkatan anak pada umumnya dilakukan dengan diajukan permohonan oleh yang bersangkutan sampai pada saat ditebitkannya penetapan pengadilan dari hasil rapat pemusyarwatan majelis hakim pengadilan agama. Pengadilan Agama berwenang untuk memberikan ketetapan berqupa penetapan pengadilan dalam hal pengangkatan anak yang dimohonkan oleh pegawai negeri sipil muslim yang ingin melakukan pengakatan anak untuk kepentingan daftar gaji sesuai dengan Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama.
Akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama atas anak angkat bagi pegawai negeri sipil muslim adalah sahnya permohonan pengangkatan anak, timbulnya kewajiban orang tua guna menjamin terpenuhinya kewajiban orang tua anak untuk memenuhi kewajibannya dan bagi kalangan pegawai negeri sipil yang muslim adanya penetapan ini juga menjadi dasar untuk memperoleh sumber pembiayaan untuk kehidupan anak angkat dengan mana Surat Keputusan Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan usulanuntuk mendaftarkan anak angkat dalam daftar gaji pegawai negeri sipil.
Disarankan kepada pegawai negeri sipil yang mengajukan permohonan pengangkatan anak agar dapat melengkapi berbagai persyaratan dan kepaniteraan pengadilan agama agar dapat memeriksa berbagai persyaratan dalam pengangkatan anak guna menghindari adanya pemalsuan data. Disarankan kepada pengambil kebijakan agar dapat membuat suatu ketentuan sampai di tingkat daerah sebagai petunjuk teknis dalam pengangkatan anak khususnya bagi pegawai negeri sipil.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Daftar Gaji, Pengadilan Agama
adopting a child as it is stipulated in the Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adopting a Child; he can also file it for child allowance of his adopted child in his payroll.
The aim of writing the thesis was to explain the influence of a Court’s decree on the adoption of a child by a Moslem government employee in his payroll and its legal consequences.
The research used descriptive analytic method and judicial normative approach which described and analyzed the influence of a Court’s decree on the adoption of a child by a Moslem government employee in his payroll.
The result of the research shows that the implementation of adopting a child by a Moslem government employee through the Religious Court, as it generally happens, is by filing a letter of request by the person who wants to adopt a child to the Religious Court at the time the decree is issued after the panel of judges has held a meeting. The Religious Court has the authority to issue a Certificate based on the Court’s verdict about adopting a child by a Moslem government employee for the sake of the payroll, as it is stipulated in Law No. 3/2006 on Religious Court.
The legal consequences of the Religious Court’s decree on the Adoption of a Child by a government employee are whether the adoption is valid or not, the parents’ responsibility to carry out their obligations for the child, and, for a Moslem government employee, it is important for him to get the allowance for raising the child from his payroll. The Religious Court’s decree is one of the requirements to register the adopted child to the government employee’s payroll.
It is recommended that a government employee who intends to adopt a child should complete the requirements and the clerk of the Religious Court should examine them carefully to avoid any forgery of the data. It is also recommended that the policy makers should distribute any letters of regulations to the regional level as the technical manual in adopting a child, especially the adoption is done by a government employee.
Keywords: Adopting a Child, Payroll, Religious Court
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah jalan yang dipilih Allah untuk melestarikan keturunan.
Diciptakannya Adam dan Hawa yang kemudian ditempatkan di bumi merupakan cikal bakal penciptaan manusia oleh Allah SWT. Manusia menurut ajaran agama Islam adalah sebagai pemimpin khalifah Tuhan di muka bumi. Dalam istilah agama fungsi manusia yang demikian disebut “Khalifah”. Misi manusia sebagai khalifah pada pokoknya adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat Al Isra ayat 70 yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak.
Keinginan suatu keluarga khususnya suami istri untuk mendapatkan anak
adalah keinginan yang sejalan dengan fitrah kemanusiaan sebagai bapak atau ibu,
tidak ada penghalang dari sisi syar'i bagi keduanya untuk berikhtiar dalam batas-batas kaidah syariat yang suci, namun terkadang ikhtiar mereka berdua belum juga membuahkan hasil. Upaya keras pasangan yang ingin memiliki keturunan yang dibayangi aroma kegagalan, padahal harapan hati akan buah hati sudah sedemikian besar, pada akhirnya muncul pemikiran untuk menempuh jalan mengadopsi atau mengangkat anak yang tidak lahir dari rahim sendiri sebagai anak dan hidup dalam keluarga tersebut.
Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Tradisi pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India, Bangsa Arab sebelum Islam (jahiliah). Imam al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknya, bahkan beliau tidak lagi memanggilnya berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah menjadi nama Zaid bin Muhammad.
Rasulullah juga mengumumkan pengangkatan Zaid sebagai anak angkatnya di depan kaum Quraisy dan menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi.
1Kutaibah bin Sa’id menceritakan dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa “Kami tidak memanggil (Zaid Bin Haritsah) melainkan kami panggil Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat Al-Qur’an “Panggillah mereka dengan
1Abdul Aziz Dahlan (et. al.), Eksiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1996, hal. 27.
nama ayah kandung mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.
2Hal ini juga dikuatkan dengan dengan firman Allah Surah Al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang berbunyi
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3Jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah/ibu angkat dan anak angkatnya tidak lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan ayah dan ibu angkat dan akan angkat tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan, nasab, dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Dengan demikian, pe-nasab-an Zaid bin Haritsah menjadi Zaid bin Muhammad tersebut dibantah oleh ketentuan dalam hadits dan Al Qur’an.
4Mengenai pengangkatan anak dalam perkembangan hukum di Indonesia proses pengangkatan anak pada awalnya diatur berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 7 April 1979 No.2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak dikatakan antara lain bahwa :
2Muslim, Shahih Muslim, Juz 15, Hadits No. 6215, Dar Al Manar, Kairo, 2003, hal. 163,
3Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI, Jakarta, 2000.
4Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2005, hal 84.
“Pengesahan Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan di Pengadilan Negeri, dan tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri”. Dengan demikian, setiap kasus pengangkatan anak harus melalui Penetapan Pengadilan Negeri.
5Namun, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama menyebutkan ada penambahan dalam kewenangan Pengadilan Agama tentang penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
6Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk dapat dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan darah atau nasab/keturunan.
7Dengan kata lain bahwa peristiwa pegangkatan anak menurut hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang setelah mengangkat anak tersebut.
Dengan mengangkat anak dalam suatu keluarga diharapkan supaya ada yang memelihara di hari tua, untuk mengurusi harta kekayaan sekaligus menjadi generasi penerusnya. Perbuatan pengangkatan anak bukanlah merupakan perbuatan yang terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari
5Muderis Zaini,.. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 112.
6Musthofa Sy., Pengangkatan Anak: Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana, Jakarta, 2008, hal 62.
7Ibid, hal 78
pengangkatan anak tersebut. Arif Gosita mengatakan bahwa masalah pengangkatan anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di bidang hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan dihargai.
8Adapun motif atau alasan pengangkatan anak di Indonesia antara lain adalah : 1. Ingin mempunyai keturunan
2. Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anaknya karena kesepian;
3. Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain, bangsa lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya;
4. Adanya peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pelaksanaan pengangkatan anak;
5. Adanya orang-orang tertentu yang menganjurkan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.
9Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan hukum, oleh kerena itu perbuatan tersebut mempunyai akibat hukum. Salah satu akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status demikian inilah yang sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga. Persoalan yang sering muncul dalam peristiwa gugat menggugat itu biasanya mengenai sah atau tidaknya pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya.
Hal ini, tentunya akan menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut tidak dipahami oleh anak angkat, dikarenakan menurut hukum
8Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hal. 42.
9Shanti Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 29
Islam, anak angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua angkatnya, maka sebagai solusinya menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya.
Sebagaimana telah diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi :
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”.
10Pengertian pasal ini mengandung makna bahwa anak angkat harus dan tetap mendapatkan wasiat wajibah dari orang tua angkatnya sebagai pengganti warisan dalam menjaga keseimbangan hak dalam keluarga. Jadi, dalam hal ini anak angkat tetap mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris dari orang tua angkatnya akan tetapi bukan dalam bentuk warisan melainkan dalam bentuk Wasiat Wajibah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 di atas sebagai wujud keadilan antara sesama anggota keluarga.
11Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, telah mengamanatkan bahwa pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas
10Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta (1991/1992), hal. 104
11A. Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 254.
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
Pegawai negeri mempunyai peranan yang sangat penting karena pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan negara. Kelancaran pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional terutama sekali tergantung pada kesempuraan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung juga dari kesempurnaan pegawai negeri (sebagai bagian dari aparatur negara).
12Dalam menjalankan kehidupan sebagai warga masyarakat pegawai negeri sipil juga membutuhkan kehidupan dalam berkeluarga yang lengkap, di mana di dalamnya terdapat anggota keluarga dari sebuah perkawinan dengan adanya anak sebagai curahan buah cinta kasih. Namun demikian, terdapat pula pegawai negeri sipil yang telah melangsungnya perkawinan tetapi belum memiliki anak. Padahal anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah Allah, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan memenuhi keperluannya sampai dewasa.
Kondisi ini juga mendorong pasangan suami isteri pegawai negeri sipil tersebut melakukan juga upaya pengangkatan anak. Dalam merealisiasikan
12 SF. Marbun, dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 98
pengangkatan anak tersebut pihak pegawai negeri sipil yang bersangkutan juga berhadapan dengan statusnya sebagai pegawai negeri yang dalam membiayai kehidupan keluarga dari gaji yang dibayarkan oleh pemerintah.
Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian bahwa :
1) Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya.
2) Gaji yang diterima oleh pegawai negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.
3) Gaji pegawai negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Gaji yang adil dan layak adalah bahwa gaji pegawai negeri harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga pegawai negeri yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Pengaturan gaji pegawai negeri yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antar pegawai negeri maupun antara pegawai negeri dengan swasta. Sedangkan gaji yang layak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan dapat mendorong produktivitas dan kreativitas pegawai negeri.
Dengan kata lain, dalam hal pemeliharaan anak dalam keluarga
pegawai negeri sipil menerima tunjangan dalam daftar gaji yang diperuntukkan bagi
anak. Tunjangan anak diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mempunyai
anak atau anak angkat yang berumur kurang dari 21 tahun, belum pernah kawin, tidak
mempunyai penghasilan sendiri dan nyata-nyata menjadi tanggungan pegawai negeri sipil yang bersangkutan yaitu sebesar 2% dari gaji pokok untuk tiap-tiap anak sebanyak-banyaknya 2 orang anak sudah termasuk anak angkat.
13Tunjangan anak yang dimaksud adalah tunjangan yang diberikan kepada pegawai negeri yang mempunyai anak (anak kandung, anak tiri dan anak angkat) dengan ketentuan, antara lain :
1. Belum melampaui batas usia 21 tahun, 2. Tidak atau belum pernah menikah,
3. Tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
4. Nyata menjadi tanggungan pegawai negeri yang bersangkutan.
14Guna memperoleh tunjangan anak dari seorang pegawai negeri sipil harus dibuktikan dengan adanya kelangkapan berupa :
1. Surat Keterangan Kelahiran Anak dari pejabat yang berwenang pada Kantor Catatan Sipil/lurah/camat setempat,
2. Surat Keputusan Pengadilan yang memutuskan/mensahkan perceraian dimana anak menjadi tanggungan penuh janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi janda/duda yang bercerai,
3. Surat Keterangan dari lurah/camat bahwa anak-anak tersebut adalah perlu tanggungan si janda/duda untuk tunjangan anak tiri bagi janda/duda yang suami/isterinya meninggal dunia,
13Annonomous, Tunjangan Keluarga / KP4, http://www.inkepeg.net/ Diakses Maret 2012
14Ibid.
4. Surat Keputusan Pengadilan Negeri tentang pengangkatan anak (hukum adopsi) untuk tunjangan anak bagi anak angkat (apabila pegawai mengangkat anak lebih dari 1 anak angkat, maka pembayaran tunjangan anak untuk anak angkat maksimal 1 anak)
Hal ini tentunya bagi pegawai negeri sipil diperlukan adanya suatu upaya lain yang dilakukan agar anak yang diangkat oleh seorang pegawai negeri sipil tersebut dapat memperoleh tunjangan dalam daftar gaji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kondisi inilah yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut mengenai keberadaan anak angkat dalam keluarga pegawai negeri sipil dan kaitannya dengan keberadaannya di dalam daftar gaji pegawai negeri sipil yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut akan ditelaah lebih lanjut tentang pengaruh penetapan pengadilan agama terhadap hak anak angkat atas tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus Terhadap Penetapan Nomor 21/Pdt.P/2010 Pengadilan Agama Medan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak bagi Pegawai Negeri Sipil
muslim di Pengadilan Agama ?
2. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama tentang pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim dilihat dari pandangan hukum Islam ?
3. Apakah akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama atas anak angkat bagi Pegawai Negeri Sipil muslim ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengajuan pengangkatan anak bagi pegawai negeri sipil muslim di Pengadilan Agama.
2. Untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Agama atas pengangkatan anak 3. Untuk mengetahui akibat hukum dari surat penetapan Pengadilan Agama
atas anak angkat bagi Pegawai Negeri Sipil muslim D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perkawinan pada khususnya, terutama mengenai pengaruh penetapan pengadilan terhadap hak anak atas tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
khususnya kepada pasangan pegawai negeri sipil yang akan melaksanakan
pengangkatan anak, agar lebih mengetahui tentang persyaratan yang harus
dipenuhi, hak dan kewajibannya dalam pengangkatan anak serta pengaruh penetapan pengadilan terhadap hak anak atas tunjangan gaji dari orang tua angkat yang pegawai negeri sipil.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, tidak ada kesamaan dengan penelitian ini. Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas ,masalah tentang pegawai negeri sipil, seperti penelitian yang dilakukan oleh :
1. Rachmad Surya Lubis (002105004), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Kedudukan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Ditinjau dari Kitab UU Hukum Acara Pidana (suatu penelitian di Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Wilayah 3 Kisaran).
2. Bambang Sutedjo (027005029), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ Reformasi Kepegawaian Dalam Otonomi Daerah Studi Pembinaaan Pegawai Negeri Sipil Kota Medan.
3. Syukri Rahmat (017011060), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera
Utara, dengan judul “ Hak Janda dari Pegawai Negeri Sipil Setelah Terjadinya
Perceraian.
Dengan demikian penelitian tentang “Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji (Studi Kasus di Pengadilan Agama Medan)”, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,
15dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.
16Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.
17Apabila dikaitkan dengan judul penelitian ini yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama, maka pada dasarnya Pengadilan Agama memiliki dua kewenangan, Pertama: kekuasaan relatif (relative competentie) yang diistilahkan oleh Ridhwan Syahrani sebagai kewenangan atau kekuasaan Pengadilan Agama yang
15M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
16Ibid., hal. 203
17M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80
satu jenis berdasarkan daerah dan wilayah hukum,
18dan Kedua: kekuasaan mutlak (absolute competentie).
19Dalam cakupan kekuasaan mutlak ini, tentunya dalam Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang Pengadilan.
Pengadilan Agama memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
”perkara perdata tertentu ”dikalangan”golongan tertentu yakni orang-orang Islam”.
Kekuasaan dalam lingkungan Pengadilan Agama mengalami perluasan terutama sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974, kemudian mengalami penyeragaman setelah berlakunya UU No 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006, perkara perdata itu adalah bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Kemudian dengan yang sekarang telah dirubah Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama kewenangan Pengadilan Agama juga mengalami perluasan. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich yang dikutip Soerjono Soekanto bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.”
20Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola- pola kebudayaan (culture pattern).
2118 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hal. 30
19Cik Hasan Bisri,Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 205-206.
20 Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 19.
21Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali, 1991, hal. 37.
Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum, maka tidak mengherankan jika dewasa ini, peradilan agama mengalami perluasan kewenangan mengingat
“…harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara persoalan dengan cara dan tempat penyelesaiannya.”
22Dalam arti, perkembangan masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan dapat diselesaikan melalui jalur hukum, tidak dengan cara main hakim sendiri.
23Eman Suparman mengutip pendapat Friedman mengatakan bahwa, perluasan kewenangan Peradilan Agama juga sesuai dengan teori three elements law system Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem.
24Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.
25Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, maka perluasan beberapa kewenangan peradilan agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang peradilan agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Artinya, hukum Islam yang
22David N. Schiff, “Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial”, dalam Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan “Sociological Approaches to Law”, terj. Rnc. Widyaningsih dan Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 287.
23Eman Suparman. Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Bisnis Menurut Prinsip Syariah, Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung, 2010, hal 13.
24Ibid., hal 14
25Ibid., hal 14
menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama selama ini telah menjadi hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim di Indonesia.
Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengatakan bahwa :
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.
26Menurut Jhon Austin sebagimana dikutip Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, apa yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsur- unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.
2726Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55.
27Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 59.
Hukum mengatur perilaku manusia dalam setiap hubungan hukum yang dilakukannya termasuk dalam hal pengangkatan anak oleh pegawai negeri sipil dan akibat hukumnya. Tata hukum bertitik tolak dari pemahaman tentang tanggung jawab manusia dan perlindungan hak-hak manusia sebagai subjek hukum. Sejak seorang anak dilahirkan hidup adalah subjek hukum termasuk anak yang kehidupannya dalam suatu keluarga merupakan anak angkat.
Anak merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang diberikan kepada pasangan suami isteri sebagai pelengkap dalam kebahagiaan rumah tangganya. Di dalam diri seorang anak terkandung harapan dari orang tua untuk dapat berperan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sebagai penerus cita-cita agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik, secara fisik, mental maupun sosialnya.
Harapan pasangan suami isteri sebagai orang tua akan terwujud apabila pasangan suami isteri tersebut dikaruniai keturunan (anak). Memiliki keturunan (anak) merupakan tujuan utama bagi pasangan suami isteri untuk dapat melengkapi kebahagiaan hidup perkawinannya. Oleh karena itu, pasangan suami isteri yang telah lama menikah namun belum juga dikaruniai keturunan (anak), maka solusinya adalah dengan mengangkat anak.
Di dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
Selanjutnya di dalam Pasal 39 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pengangkatan anak ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 1 angka 1 disebutkan Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 nya disebutkan Pengangkatan anak adalah
suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat.
Pengangkatan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.
28Perumusan ini adalah perumusan umum untuk pengangkatan anak yang mempunyai beberapa bentuk perwujudan yang berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya apabila masalah pengangkatan anak ini diamati menurut proporsi yang sebenarnya secara mendetail, maka akan ditemukan hal-hal yang menjadi perhatian pengangkatan anak dan menyangkut hukum pengangkatan anak.
Di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa Pengangkatan anak terdiri atas :
1. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
2. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.
Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia meliputi : 1. Pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; dan 2. Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
28Rianto Sitorus, Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adoptie) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (SK Menteri Sosial RI NO.13 / HUK / Tahun 1993 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak - Study Di Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, FH, USU Medan, 2008.
Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat. Tawar menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan uang serta penyerahannya sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat bisnis pengangkatan anak.
29Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal ini sudah bertentangan dengan azas dan tujuan pengangkatan anak.
Hal ini tentunya juga tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena itu, tidak boleh menutup mata akan adanya kasus pengangkatan anak yang dalam batas-batas tertentu merupakan suatu keberhasilan peningkatan kesejahteraan anak.
Kelihatan jelas perbaikan segi fisik, meteriilnya. Hal yang sulit diketahui, dijajaki adalah peningkatan segi mental, spiritual kesejahteraannya. Kecukupan kemakmuran materiil tidak dapat dipakai sebagai ukuran kepastian adanya kebahagiaan, kemakmuran spritual yang lestari. Permasalahan mental, spritual akan timbul apabila anak sudah mulai berpikir kritis. Hal ini apabila tidak ditangani secara bijaksana akan menimbulkan pertentangan-pertentangan antar orang tua dan anak angkat, yang dapat berakibat perpecahan hubungan orang tua dan anak yang lebih muda. Salah satu faktor pendukung perpecahan ini adalah hubungan orang tua dan anak yang tidak asli serta tidak alamiah (keputusan pengadilan antara lain).
3029Rianto Sitorus, Op.Cit, hal 12.
30Shanty Delliana, Op.Cit, hal. 34
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
31Di dalam suatu perkawinan yang sah sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah anak kandung yang sah yang diakui oleh Negara dan terdaftar sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang sah dengan bukti akta kelahiran yang dikeluarkan oleh lembaga catatan sipil.
322. Anak angkat adalah Anak kandung orang lain yang diambil (dijadikan) anak oleh seseorang. Pengangkatan anak orang lain oleh seseorang yang menjadikan anak adopsi (anak angkat) itu berstatus sebagai anak kandung bagi pengangkat, baik dalam lingkungan Hukum Adat maupun dalam lingkungan Hukum Perdata berdasarkan undang-undang.
3331Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
32J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 5.
33Ibid., hal. 5.
3. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi status/ kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.
344. Surat Penetapan Pengadilan adalah adalah surat penetapan yang dikeluarkan pengadilan untuk mengasahkan adanya peristiwa pengangkatan anak.
5. Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Pengadilan Agama adalah bagian dari peradilan umum yang berwenang mengadili permasalahan hukum yang menyangkut hubungan hukum bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam.
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang Pengaruh Surat Penetapan Pengadilan Atas Pengangkatan Anak Bagi Pegawai Negeri Sipil Muslim Dalam Daftar Gaji di Pengadilan Agama Medan.
Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
34B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Melalui Hukum Adat serta Akibat-Akibat Hukumnya Di Kemudian Hari, Rajawali, Jakarta, 1983, hal . 45. Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
35Menggambarkan masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan.
Namun demikian, pnelitian ini juga didasarkan pada pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada norma- norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran- kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).
Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undanagn yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
2. Sumber data
Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. Peraturan perundang-undangan
35Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hal. 43.
b. Teori hukum perkawinan dan keluarga
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan peneltian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.
Selain itu, sebagai data pendukung diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Medan tentang pengangkatan anak dan pengaruhnya bagi pegawai negeri sipil muslim dalam daftar gaji.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :
a. Penelitian kepustakaan (library research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari
kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah,
peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pengaruh surat penetapan
pengadilan atas warga negara Indonesia beragama Islam bagi pegawai negeri sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berkaitan dengan materi penelitian yaitu tentang pengaruh surat penetapan pengadilan atas warga negara indonesia beragama Islam bagi pegawai negeris sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan.
Penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian untuk mendukung analisis permasalahan yang telah dirumuskan. Data sekunder tersebut diperoleh dari register perkara Pengadilan Agama Medan. Metode yang digunakan yaitu wawancara dengan narasumber baik responden maupun informan. Responden yaitu menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan.
36Informan adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefinisikan sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian.
374. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
36 Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71,
37Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 4
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang berhubungan dengan pengaruh surat penetapan pengadilan atas warga negara indonesia beragama islam bagi pegawai negeri sipil dalam daftar gaji di Pengadilan Agama Medan
b. Wawancara
38dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide)
39. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview).
5. Analisis Data
Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.
38Herman Warsito, Op.Cit, hal 71.
39Ibid, hal. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, menguraikan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan.
Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
BAB II
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL MUSLIM DI PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian Anak, Anak Angkat dan Pengangkatan Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja, dengan kata lain anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum mengalami masa pubertas.
Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata “anak’’ merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa.
Pengertian anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern bahwa ”Anak adalah keturunan kedua”.
40Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya. Hassan juga mengartikan anak sebagai muda-mudi/remaja yang masih dianggap anak-anak, yang masih memerlukan bimbingan dari orang tua/keluarga serta masih harus belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.
41Haditono mengutip pendapat Sumadi Suryabrata, menyatakan bahwa :
40Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 13.
41Hassan, Kumpulan Soal Tanya Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Diponegoro, Bandung, 1983, hal. 518.
Anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu, anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
42Pengertian di atas menjelaskan bahwa anak merupakan generasi muda penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian baik dalam bidang ilmu pengetahuan, agama, hukum, dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin aktual dalam lingkungan sosial.
Kedudukan anak dalam lingkungan hukum sebagai subjek hukum, ditentukan dari bentuk sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Maksud tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam diri anak yang bersangkutan. Meletakkan anak sebagai subjek hukum yang lahir dari proses sosialisasi berbagai nilai ke dalam peristiwa hukum secara substansial meliputi peristiwa hukum pidana maupun hubungan kotrak yang berada dalam lingkup hukum perdata menjadi mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.
43Apabila ditelaah ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
42Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Andi, Yogyakarta, 2000, hal. 3.
43Maulana Hasan Wadong, Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 3.
masih dalam kandungan.
44Ketentuan dalam Undang-undang di atas menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan anak berusia 18 tahun.
Pengertian anak dalam konteks hukum perdata erat kaitannya dengan pengertian mengenai kedewasaan. Hukum Indonesia mengenai anak masih digolongkan sebagai anak terdapat perbedaan penentuan. Menurut ketentuan hukum terdapat perbedaan tolak ukur dimaksud antara lain:
45a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Pasal 330 Ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa batas antara belum dewasa (Minderjerigheid) dengan telah dewasa (Meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali Anak itu sudah kawin sebelum berumur 21 tahun dan Pendewasaan (venia aetetis Pasal 419)
46b. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47 ayat 1 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan pernikahan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya. Pasal 50 ayat (1) menentukan bahwa “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Dari ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1
44Undang-undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , Media Centre, Surabaya, 2006, hal. 119.
45Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 17.
46Ibid., hal 17.
Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di muka dapat disimpulkan bahwa dalam Undang-undang tersebut menentukan batas belum dewasa atau sudah dewasa adalah 16 dan 19 tahun.
c. Hukum kebiasaan (hukum adat)
Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan wewenang bertindak. Hasil penelitian Mr. R. Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi: (1) Dapat bekerja sendiri (mandiri), (2) Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab; dan 3) Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri.
47Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak berdasarkan hitungan usia tapi pada ciri tertentu yang nyata.
48Dengan demikian setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak berlaku bagi seseorang yang berusia di bawah 21 tahun.
Masa kanak-kanak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa bayi umur 0 menjelang dua tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir antara umur 5-12 tahun.
49Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa
47Ibid, hal. 18.
48Ibid, hal. 19.
49Gatot Supramono, Hukum Acara Peradilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 1.
fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak.
Penggolongan tersebut dibagi ke dalam tiga fase yaitu:
1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, perkembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (tro zalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak;
2) Fase kedua adalah dimulainya pada usia 7 sampai dengan 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak;
503) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai dengan 21 tahun yang dinamakan masa remaja, dalam arti yang sebenarnya yaitu fase fubertas dan adolescant, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi dewasa.
51Fase-fase yang disebutkan di atas masing-masing menjelaskan, fase pertama antara 0-7 tahun disebut sebagai masa anak kecil, perkembangan kemampuan mental dan lain sebagainya, lebih dari 7 tahun maka anak tersebut digolongkan dalam fase kedua yaitu masa kanak-kanak dengan ketentuan batas usianya adalah 14 tahun.
Sementara untuk fase terakhir adalah 14 sampai dengan 21 tahun dikategorikan remaja dan ketentuan pada usia 21 inilah akhir fase disebut anak.
Pada pengertian anak di atas, meskipun dikutip dari beberapa sumber akan tetapi yang menjadi acuan utama di sini adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang spesifik menjelaskan tentang perlindungan anak. Jadi dengan demikian dari semua pengertian anak di atas hanya sebagai
50Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Adiatama, Jakrta, 2006, hal. 7.
51Ibid., hal