• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.13 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa

13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

14Lexy Molloeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum iitu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hukum antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15

Hukum pada hakikatnya adalah bersifat abstrak meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret. Dalam suatu perjanjian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dan debitur pemberi jainan fidusia pada prinsipnya agar kedua belah pihak memperoleh kepastian hukum atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya. Pihak bank selaku kreditur pemegang sertipikat Jaminan Fidusia memperoleh kepastian hukum dalam hal mengamankan aset yang berupa penyaluran dana yang dilakukannya terhadap debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan adanya pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia tersebut akan sepenuhnya berada di tangan penguasaan pihak bank selaku kreditur apabila dikemudian hari ternyata debitur pemberi hak tanggungan wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya kepada bank selaku kreditur tersebut.

Disamping itu pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia juga memperoleh kepastian hukum atas hak dan kewajibannya dalam suatu perjanjian kredit dengan

15Meter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 158

pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Pihak bank selaku kreditur akan melakukan eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya dan pihak bank selaku kreditur memiliki hak untuk mengambil pelunasan atas piutangnya kepada debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan melakukan penjualan melalui lelang atas objek Jaminan Fidusia tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan objek Jaminan Fidusia tersebut maka sisa penjualan tersebut wajib dikembalikan kepada debitur pemberi jaminan fidusia.

Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia untuk memberikan perlindungan hukum kepada bank selaku kreditur atas objek Jaminan Fidusia tersebut maka bank selaku kreditur mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) dengan tujuan melaksanakan pengalihan resiko dari pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia maupun pihak bank selaku kreditur kepada pihak asuransi apabila dikemudian hari objek Jaminan Fidusia tersebut musnah akibat sesuatu hal yang berada disuatu kekuasaan manusia. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut ternyata dikemudian hari musnah akibat sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia maka pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia memiliki kepastian hukum untuk menuntut (mengklaim) perusahaan asuransi dalam hal mengganti kerugian atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.16

Pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang diatur di dalam UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang hal

16Sri Rezeky Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 34

yang menyangkut musnahnya benda yang telah diikat dengan jaminan fidusia. UUJF No. 42 Tahun 1999 hanya mengatur tentang hapusnya perjanjian Jaminan Fidusia apabila hutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia tersebut telah lunas, hak atas Jaminan Fidusia dilepaskan oleh penerima fidusia atau benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah. Dalam hal ini UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bila benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit musnah, akan tetapi musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak menghilangkan hak untuk menuntut klaim asuransi terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun objek Jaminan Fidusia tersebut telah musnah namun pihak pemberi Jaminan Fidusia yang telah melakukan perjanjian asuransi terhadap objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi tetap memiliki hak untuk menuntut / mengklaim asuransi yang telah disepakati dan telah ditandatangani debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan pihak perusahaan asuransi tersebut.17 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepastian hukum atas musnahnya benda Jaminan Fidusia terhadap perlindungan hukum bagi pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia adalah debitur dapat melakukan tuntutan / klaim terhadap perusahaan asuransi untuk mengganti kerugian atas nilai ekonomi objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut. Apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia tidak dapat lagi melunasi kewajibannya terhadap bank selaku kreditur maka pelaksanaan klaim / tuntutan ganti rugi atas objek Jaminan Fidusia

17Salim Abas, Dasar-dasar Perasuransian, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 63

yang telah musnah tersebut dilakukan oleh debitur pemberi Jaminan Fidusia atas nama bank selaku kreditur, atau bank selaku kreditur juga berhak melakukan klaim / tuntutan atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut kepada perusahaan asuransi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam polis asuransi tersebut.

Peristiwa musnahnya objek Jaminan Fidusia yang diakibatkan sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia tersebut akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum atas siapa yang bertanggung jawab terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut. Namun demikian dengan dilaksanakannya perjanjian asuransi terhadap objek jaminan fidusia, maka dalam hal ini telah terjadi pengalihan resiko dari pihak pemberi Jaminan Fidusia dan pihak bank selaku kreditur terhadap pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dikemudian hari pada saat perjanjian kredit masih berlangsung, maka kepastian pertanggung jawaban terhadap penggantian rugi atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut telah dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai perusahaan penanggung ganti rugi atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.18

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pertanggung jawaban terhadap musnahnya objek jaminan fidusia, namun dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang dilaksanakan oleh bank dalam upaya mengamankan

18 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. hal. 125

objek Jaminan Fidusia tersebut dan memberikan kepastian hukum atas pertanggung jawaban musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut maka pihak bank sesuai dengan ketentuan peraturan tentang perjanjian kredit maka pihak bank mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia tersebut untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) agar kepastian siapa yang bertanggung jawab atas musnahnya benda Jaminan Fidusia tersebut menjadi jelas dengan dialilhkannya resiko kerugian terhadap pihak ketiga yaitu pihak perusahaan asuransi.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational defenition.19 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Tanggung jawab adalah suatu keadaan dimana seseorang harus bertanggung jawab dalam hal terjadinya kerugian terhadap orang lain yang diakibatkan adanya unsur kesalahan oleh dirinya maupun semua orang, hewan dan benda lainnya yang berada dalam pengawasan dan perlindungannya.

19Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10

2. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain yang pada umumnya menerima sesuatu dari pihak lain (kreditur) yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang.

3. Kreditur adalah pihak (perorangan maupun kelompok organisasi, perusahaan) yang memiliki piutang kepada pihak lain yang disebut dengan debitur dalam bentuk benda atau uang dalam suatu perjanjian dimana diperjanjikan bahwa pihak yang berhutang tersebut akan mengembalikan hutangnya kepada pihak yang berpiutang (kreditur) dalam waktu tertentu sebagaimana termuat dalam perjanjian tersebut.

4. Musnah adalah suatu keadaan dimana suatu benda yang pada mulanya dapat kelihatan atau berwujud atau dapat digunakan dengan baik menjadi hilang / lenyap atau tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana mestinya.

5. Objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang dapat berupa mobil, sepeda motor, alat-alat kantor yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia melalui suatu akta otentik notariil dan telah didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia adalah suatu perjanjian pengikatan barang bergerak sebagai objek Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dengan menggunakan akta notaris dimana pemberi fidusia adalah konsumen selaku debitur dan penerima fidusia adalah perusahaan pembiayaan selaku kreditur dengan tujuan sebagai jaminan hutang dan

jaminan pelunasan hutang debitur apabila debitur tak mampu membayar hutangnya.

7. Perjanjian kredit adalah suatu kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dalam bentuk akta di bawah tangan maupun autentik mengenai perjanjian pinjam meminjam sejumlah dana antara bank selaku kreditur dan debitur dimana di dalam perjanjian tersebut termuat suatu ketentuan hak dan kewajiban masing-masing pihak yakni penyaluran dana oleh bank selaku kreditur kepada debitur dan juga pembayaran pinjaman tersebut oleh debitur dalam jangka waktu tertentu dengan pengembalian secara angsuran hingga pinjaman tersebut lunas dibayar oleh debitur.

Dokumen terkait