• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

AMALIA YULIA NASTITI 137011101/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AMALIA YULIA NASTITI 137011101/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 26 Agustus 2016

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Sunarmi, SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum

4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

Nim : 137011101

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP

MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : AMALIA YULIA NASTITI Nim : 137011101

(6)

kelayakan terlebih dahulu terhadap objek jaminan fidusia yang diberikan oleh debitur. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia dilakukan pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan didaftarkan secara elektronik oleh notaris tersebut. Kreditur hanya memegang sertipikat jaminan fidusia dan dokumen- dokumen yang berkaitan dengan benda-benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut sebagai pengamanan apabila terjadi suatu hal dalam pelaksanaan perjanjian kredit dikemudian hari nanti. Debitur berhak menggunakan objek jaminan fidusia tersebut dan karena hal tersebut sering sekali terjadi bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia musnah akibat kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh debitur dalam penggunaanya. Hal ini jelas merugikan bank selaku kreditur yang tidak lagi mempunyai jaminan atas pemberian kredit yang dilakukannya. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank, bagaimanakah tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit bank, bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia.

Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum perjanjian kredit pada bank dan hukum jaminan fidusia berdasarkan UUP No. 10 Tahun 1998 dan UUJF No. 42 Tahun 1999.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengikatan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank didahului dengan dilaksanakannya pensurveian kelayakan, administrasi dan koleteral, pembuatan akta fidusia oleh notaris dan pendaftaranya secara elektronik dan penandatanganan perjanjian asuransi. Debitur pemberi jaminan fidusia wajib bertanggung jawab penuh kepada bank selaku kreditur terhadap musnahnya objek jaminan fidusia. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda jaminan fidusia adalah kreditur berhak menuntut ganti kerugian kepada debitur atas musnahnya benda jaminan fidusia tersebut dengan meminta debitur mengganti benda jaminan fidusia yang musnah tersebut dengan harta benda debitur yang senilai harganya.

Kata Kunci : Tanggung Jawab Debitur, Benda Jaminan Fidusia Dan Perjanjian Kredit Bank

(7)

collateral given by a debtor. In this type of contract it has to have a certificate drawn up by a Notary and is registered electronically by the Notary. The creditor only holds the certificate of fiduciary collateral and the other documents related to the object of fiduciary collateral in case something bad occurs in the future. The debtor has the right to use the object of fiduciary collateral because it is not uncommon that it is vanished because of their negligence of faults in using it. This incidence will of course harm the Bank as the creditor that does not have any collateral on the credit.

The research problems are how about the binding of fiduciary collateral in a credit contract, how about debtor’s liability for the fiduciary collateral which is vanished in a banking credit contract, and how about legal protection for the parties concerned in banking credit contract upon the disappearance of the object of fiduciary collateral.

The research used judicial normative and descriptive analytic methods by analyzing legal provisions in banking credit contract and fiduciary collateral law in UUP No. 10/1998 and UUJF No. 42/1999.

The result of the research showed that the binding of fiduciary collateral in a banking credit contract is preceded by a feasibility study, administration and collateral, fiduciary certificate by a Notary and its registration electronically, and the signing of insurance contract. Debtor has full liability to the Bank as the creditor for any harm in the object of fiduciary collateral. In this case, the creditor has the right to get compensation on any disappearance of the object of fiduciary collateral by asking debtor to compensate it with the same price of the disappeared object.

Keywords : Debtor, Liability, Object of Fiduciary Collateral, Banking Credit Contract

(8)

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “TANGGUNG JAWAB DEBITUR TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK”.

Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH, MS, CN., Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.

(9)

Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, yang telah membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

Hawarni, SE atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Kepada yang tersayang Ahmad Juara Putra, SH, M.Kn terima kasih atas dukungan, bantuan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2016 Penulis

Amalia Yulia Nastiti

(11)

Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 29 Juli 1991

Alamat : Jl. Bromo Komplek Bromo Bisnis Centre No. 4 Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 25 Tahun

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

II. PENDIDIKAN FORMAL 1. SD Negeri 060808 Medan 2. SPM Islam An-Nizam Medan 3. SMA Negeri 6 Medan

4. S1 Fakultas Hukum USU

5. S2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFSTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian... 13

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka Teori... 17

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 24

1. Sifat dan Jenis Penelitian... 24

2. Sumber Data... 25

3. Teknik dan Pengumpulan Data ... 26

4. Analisis Data ... 27

BAB II PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT BANK... 28

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit... 28

B. Pengertian Umum Tentang Fidusia Sebagai Lembaga Jaminan Benda Bergerak di dalam Perjanjian Kredit Bank... 43

C. Pengikatan Jaminan Fidusia Dalam Suatu Perjanjian Kredit Bank ... 63

(13)

B. Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Barang Agunan dalam

Perjanjian Kredit Pada Bank ... 91

C. Tanggung Jawab Debitur Benda Jaminan Fidusia Yang Musnah Dalam Perjanjian Kredit Bank ... 104

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK TERHADAP MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA... 111

A. Dasar Hukum Penyelesaian Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank ... 111

B. Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia ... 124

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA... 133

(14)

kelayakan terlebih dahulu terhadap objek jaminan fidusia yang diberikan oleh debitur. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia dilakukan pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan didaftarkan secara elektronik oleh notaris tersebut. Kreditur hanya memegang sertipikat jaminan fidusia dan dokumen- dokumen yang berkaitan dengan benda-benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tersebut sebagai pengamanan apabila terjadi suatu hal dalam pelaksanaan perjanjian kredit dikemudian hari nanti. Debitur berhak menggunakan objek jaminan fidusia tersebut dan karena hal tersebut sering sekali terjadi bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia musnah akibat kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh debitur dalam penggunaanya. Hal ini jelas merugikan bank selaku kreditur yang tidak lagi mempunyai jaminan atas pemberian kredit yang dilakukannya. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank, bagaimanakah tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit bank, bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia.

Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum perjanjian kredit pada bank dan hukum jaminan fidusia berdasarkan UUP No. 10 Tahun 1998 dan UUJF No. 42 Tahun 1999.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengikatan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank didahului dengan dilaksanakannya pensurveian kelayakan, administrasi dan koleteral, pembuatan akta fidusia oleh notaris dan pendaftaranya secara elektronik dan penandatanganan perjanjian asuransi. Debitur pemberi jaminan fidusia wajib bertanggung jawab penuh kepada bank selaku kreditur terhadap musnahnya objek jaminan fidusia. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda jaminan fidusia adalah kreditur berhak menuntut ganti kerugian kepada debitur atas musnahnya benda jaminan fidusia tersebut dengan meminta debitur mengganti benda jaminan fidusia yang musnah tersebut dengan harta benda debitur yang senilai harganya.

Kata Kunci : Tanggung Jawab Debitur, Benda Jaminan Fidusia Dan Perjanjian Kredit Bank

(15)

collateral given by a debtor. In this type of contract it has to have a certificate drawn up by a Notary and is registered electronically by the Notary. The creditor only holds the certificate of fiduciary collateral and the other documents related to the object of fiduciary collateral in case something bad occurs in the future. The debtor has the right to use the object of fiduciary collateral because it is not uncommon that it is vanished because of their negligence of faults in using it. This incidence will of course harm the Bank as the creditor that does not have any collateral on the credit.

The research problems are how about the binding of fiduciary collateral in a credit contract, how about debtor’s liability for the fiduciary collateral which is vanished in a banking credit contract, and how about legal protection for the parties concerned in banking credit contract upon the disappearance of the object of fiduciary collateral.

The research used judicial normative and descriptive analytic methods by analyzing legal provisions in banking credit contract and fiduciary collateral law in UUP No. 10/1998 and UUJF No. 42/1999.

The result of the research showed that the binding of fiduciary collateral in a banking credit contract is preceded by a feasibility study, administration and collateral, fiduciary certificate by a Notary and its registration electronically, and the signing of insurance contract. Debtor has full liability to the Bank as the creditor for any harm in the object of fiduciary collateral. In this case, the creditor has the right to get compensation on any disappearance of the object of fiduciary collateral by asking debtor to compensate it with the same price of the disappeared object.

Keywords : Debtor, Liability, Object of Fiduciary Collateral, Banking Credit Contract

(16)

A. Latar Belakang

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya.

Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada pada kekuasaannya. Pranata Jaminan Fidusia telah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat umum Romawi. Ada 2 (dua) bentuk Jaminan Fidusia yaitu jaminan fiducia cum creditore dan fiducia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio.1

Fiducia cum creditore adalah suatu penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur karena adanya hutang dari debitur tersebut dan penyerahan hak milik tersebut dilakukan berdasarkan asas kepercayaan sebagai jaminan hutang debitur tersebut. Sedangkan Fiducia cum amico adalah suatu penyerahan hak milik dari seseorang kepada orang lain berdasarkan kepercayaan untuk dititipkan sementara tanpa adanya hutang dari pemberi titipan tersebut. Fiducia cum amico disebut juga

1 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2007, hal. 6

(17)

dengan penitipan barang untuk sementara waktu. Pactum fiduciaea adalah perjanjian berdasarkan asas kepercayaan. In iure cessio maksudnya adalah perpindahan hak kepemilikan dari suatu benda yang pada awalnya merupakan penyerahan hak milik asas kepercayaan.2

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar dan juga bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atau hipotek sebagaimana dimaksud pada Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang Jis Pasal 1162 KUH Perdata.3

Pengertian fidusia juga dapat disimpulkan dari beberapa arti yang dijadikan sumber hukum Jaminan Fidusia (Keputusan HR. 21-6-1929) 29-10-1096), yaitu perjanjian dimana salah satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan hak milik atas benda bergerak sebagai jaminan, penyerahan hak milik dimaksud merupakan titel yang sempurna dari penyerahan bersifat abstrak. Dalam pelaksanaan yang terjadi di masyarakat timbulnya perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia pada umumnya

2Deny Lukman Hadi, Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia, Liberty, Yogyakarta, 2011, hal. 76

3Sri Soedewi Masjoen Sofyan, Hukum dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 40

(18)

berawal dari adanya perjanjian hutang-piutang antara kreditur dengan debitur dimana perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia itu bertujuan sebagai tindakan antisipasi bagi kreditur apabila ternyata debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutangnya sebagaimana yang telah termuat dan disepakati dalam perjanjian utang piutang tersebut. Adanya kewajiban menyerahkan sesuatu hak kebendaan barang bergerak kepada pihak lain, membuktikan bahwa perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijk).4 Tidak berbeda dengan jaminan kebendaan yang lain, Jaminan Fidusia lahir dari terwujudnya perjanjian utang piutang yang diikuti dengan perjanjian secara fidusia. Para sarjana pada umumnya menyepakati sifat perjanjian Jaminan Fidusia yang accesoir yang menginduk pada perjanjian utang piutang selaku perjanjian pokoknya. Namun demikian ada sebagian sarjana yang menyanggupi perjanjian tersebut sebagai perjanjian yang berdiri sendiri, sehingga lahir dan berakhirnya penyerahan hak milik secara fidusia harus melalui perbuatan hukum itu sendiri. Mengingat bentuknya, perjanjian fidusia lazimnya dituangkan dalam bentuk tertulis, bahkan tidak jarang dituangkan dalam akta notaris dengan tujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kreditur.

Perjanjian fidusia dilakukan secara tertulis dengan tujuan agar kreditur pemegang fidusia demi kepentingannya akan menuntut cara yang paling mudah untuk membuktikan adanya penyerahan jaminannya tersebut terhadap debitur. Hal paling

4Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Bandung, Alumni, 1993, hal. 92

(19)

penting lainnya dibuatnya perjanjian fidusia secara tertulis adalah untuk mengantisipasi hal-hal diluar dugaan dan diluar kekuasaan manusia seperti debitur meninggal dunia, sebelum kreditur memperoleh haknya. Tanpa akta Jaminan Fidusia yang sah akan sulit bagi kreditur untuk membuktikan hak-haknya terhadap ahli waris debitur.5

Menurut Pasal 5 ayat (1) UUJF No. 42 Tahun 1999 bahwa, “Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia”. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UUJF No. 42 Tahun 1999 terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 11 ayat (1) UUJF No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Benda dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”.

Pendaftaran akta fidusia dilakukan dengan melalui sistem online sebagaimana diatur di dalam Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa,

“Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik adalah pendaftaran Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh pemohon dengan mengisi aplikasi secara elektronik. Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik menyebutkan bahwa, “Pendaftaran fidusia secara elektronik meliputi a. pendaftaran permohonan jaminan fidusia, b.

5 Tiong Oey Hoey, Fudusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 47

(20)

pendaftaran perubahan Jaminan Fidusia dan c. penghapusan fidusia yang dilakukan melalui kios pelayanan pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik di seluruh kantor pendaftaran fidusia”. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam pembebanan benda yang diikat dengan Jaminan Fidusia maka pembebanan tersebut wajib dilaksanakan dengan menggunakan akta autentik notaris secara manual, sedangkan pendaftaran akta Jaminan Fidusia tersebut dilaksanakan secara online melalui sistem elektronik di kios-kios tempat pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik tersebut.

Dalam fidusia debitur melakukan penyerahan benda bergerak secara hak kepemilikan dimana debitur tetap menguasai barang jaminan tersebut. Mengenai penguasaan ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama bila yang difudisiakan adalah barang-barang inventaris maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar jaminan pinjam pakai dengan kreditur, yang kedua bila yang difudusiakan adalah barang-barang dagangan maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar konsinyasi (consignatie) atau penitipan.6

Dalam pelaksanaan pelaksanaannya di masyarakat pengikatan objek agunan dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia sering digunakan oleh bank maupun perusahaan-perusahaan pembiayaan kendaraann bermotor (mobil) dalam suatu perjanjian kredit. Pada prinsipnya dalam suatu perjanjian kredit baik oleh bank maupun oleh perusahaan pembiayaan, pengikatan objek agunan dengan

6 Gunadi Rahman, Pengertian Fidusia dan Pelaksanaannya dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Salemba IV, Jakarta, 2009, hal. 53

(21)

menggunakan lembaga Jaminan Fidusia adalah dengan tujuan mengamankan aset bank/perusahaan yang diberikan kepada debitur melalui suatu perjanjian kredit dari resiko debitur tidak mampu mengembalikan hutang-hutangnya kepada pihak bank atau perusahaan pembiayaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan pengikatan objek agunan dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir, dimana perjanjian kredit yang terlebih dahulu dilaksanakan sebagai perjanjian pokoknya.7

Di dalam dunia bank penyaluran kredit baik untuk kepentingan usaha maupun untuk kepentingan konsumtif dilaksanakan oleh bank kepada para nasabah peminjam dengan mewajibkan nasabah peminjam menyerahkan benda jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak kepada bank untuk diikat sebagai Jaminan Fidusia dalam hal pengamanan penyaluran kreditnya. Salah satu jaminan yang sering digunakan bank dalam suatu perjanjian kredit tersebut adalah penyerahan benda bergerak dengan melaksanakan pembebanan Jaminan Fidusia yang diikat melalui suatu akta notaris serta didaftarkan secara online sesuai ketentuan Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengamanan pemberian kredit tersebut sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Bank yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Perjanjian kredit

7Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 104

(22)

tidak ada pengaturannya apakah dilakukan secara tertulis atau lisan. Pada umumnya di dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit debitur yang mengajukan permohonan kredit kepada bank harus membuat permohonan kredit secara tertulis dan juga setelah kreditur tersebut telah disetujui oleh bank maka akan dilakukan perjanjian kredit juga dalam bentuk tertulis.

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian hutang piutang /pinjam meminjam uang antara bank selaku kreditur dan debitur pemberi jaminan fidusia. Dengan demikian perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari perjanjian pokok yang bergantung sepenuhnya terhadap perjanjian pokok. Apabila perjanjian pokok berakhir atau telah hapus maka perjanjian jaminan dengan sendirinya juga akan berakhir atau hapus.8

Barang-barang yang termasuk ke dalam benda bergerak yang dapat diikat dengan Jaminan Fidusia diantaranya adanya kendaraan bermotor, truck/alat-alat berat, peralatan kantor, emas, dan barang-barang berharga lainnya yang sifatnya bergerak (mobile). Perjanjian jaminan terhadap benda bergerak dalam suatu perjanjian kredit umumnya debitur sebagai pemilik jaminan tetap ingin mengusai bendanya untuk digunakan dalam menjalankan aktivitas dan kegiatan usahanya. Oleh karena itu menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan “Constitutum Prossesorium” (penyerahan kepemilihan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya).9

88 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 26

9Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 36

(23)

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang terjadi antara bank selaku kreditur dengan debitur pemberi Jaminan Fidusia dalam pelaksanaannya ada kalanya objek Jaminan Fidusia tersebut musnah karena sesuatu hal pada saat pelaksanaan perjanjian kredit antara bank selaku kreditur dan debitur pemberi Jaminan Fidusia masih berlangsung. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan bagi pihak bank karena objek jaminan yang seharusnya dijadikan pegangan bagi bank dalam pengamanan penyaluran kreditnya maupun dalam hal pengambilan pelunasan piutangnya apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia wanprestasi dalam melaksanakan pembayaran hutang-hutangnya kepada bank, tidak dapat lagi dieksekusi oleh pihak bank selaku kreditur karena telah musnah.

Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia pada umumnya di dalam klausul perjanjian kredit yang telah disepakati oleh pihak bank selaku kreditur dan debitur pemberi Jaminan Fidusia bank mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia untuk mengasuransikan benda Jaminan Fidusia tersebut terhadap pihak ketiga yaitu pihak asuransi. Kewajiban mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia adalah bertujuan untuk mengamankan objek Jaminan Fidusia tersebut dari resiko musnahnya benda Jaminan Fidusia akibat sesuatu hal yang diluar kekuasaan manusia (force majeure).

Syarat untuk mengasuransikan benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia tersebut sudah merupakan syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha agar kreditnya dapat disetujui oleh bank yang memberikan pinjaman/kredit.

(24)

Oleh karena itu dalam mengantisipasi kemungkinan rusak atau hilangnya barang yang dijadikan objek Jaminan Fidusia akibat bencana alam atau kesengajaan dari pihak debitur pemberi jaminan fidusia, maka pihak bank selaku kreditur mengatisipasinya dengan cara menambahkan atau menyertakan perjanjian asuransi atas benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit tersebut.

Perjanjian untuk mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit dilakukan saat pengikatan atau penandatanganan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak yakni pelaku usaha sebagai debitur pemberi Jaminan Fidusia dan bank sebagai kreditur pemegang sertipikat jaminan fidusia.10

Pihak bank sebagai kreditur menyerahkan sepenuhnya terhadap debitur untuk memilih perusahaan asuransi yang akan digunakan dalam mengasuransikan benda yang yang dijadikan objek Jaminan Fidusia pada perjanjian kredit tersebut. Namun ada kalanya pihak bank sebagai kreditur telah menetapkan perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia tersebut.

Tujuan diasuransikan benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia tersebut adalah untuk mengalihkan resiko kepada pihak ketiga yaitu pihak asuransi atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut. Dengan ditandatanganinya polis asuransi oleh debitur dan perusahaan asuransi dalam perjanjian asuransi, maka pihak debitur telah terikat untuk membayar sejumlah premi sedangkan pihak perusahaan asuransi

10HMN Purwo Sujipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid VIII (Asuransi), Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 27.

(25)

terikat untuk bertanggung jawab melakukan ganti rugi terhadap barang bergerak yang dijadikan objek Jaminan Fidusia apabila mengalami kerusakan atau musnah akibat bencana alam atau hal-hal yang diluar kekuasaan manusia (force majeure).11

Namun demikian ada juga musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan oleh kesalahan dari debitur atau debitur dengan sengaja menghilangkan objek jaminan fidusia sehingga bank selaku kreditur tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut dalam permasalahan dimana debitur pemberi Jaminan Fidusia melakukan kesalahan atau dengan sengaja mengakibatkan musnahnya Jaminan Fidusia sehingga tidak dapat lagi dieksekusi bank selaku kreditur. Apabila hal tersebut terbukti dalam penyelidikan pihak asuransi maka pihak asuransi tidak akan melakukan ganti rugi terhadap objek jaminan fidusia yang telah diasuransikan tersebut. Tanggung jawab terhadap penggantian objek jaminan fidusia tersebut sepenuhnya berada di tangan debitur pemberi jaminan fidusia.

Dalam hal ini debitur wajib mengganti objek jaminan fidusia dengan nilai yang sama dengan objek jaminan fidusia yang telah musnah sebelumnya tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam musnahnya objek jaminan fidusia dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu :

1. Musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan bukan karena kesalahan dari debitur pemberi jaminan fidusia atau diluar kekuasaan pemberi Jaminan Fidusia (force majeure).

11Salim Abas, Dasar-dasar Perasuransian, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 63

(26)

2. Musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan karena kesalahan sepenuhnya dari debitur pemberi Jaminan Fidusia atau debitur pemberi jaminan fidusia dengan sengaja memusnahkan atau menghilangkan objek jaminan fidusia tersebut sehingga tidak dapat lagi dieksekusi oleh bank selaku kreditur pemegang jaminan fidusia.

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur sebagai berikut :

(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia.

(2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu pada huruf (b) yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan. Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya kekaburan pengaturan tentang indikator musnahnya Jaminan Fidusia dan lebih lanjut juga terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia. Dengan demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan adanya kekaburan

(27)

norma (Vague van Normen) terhadap tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit bank.12

Apabila pada saat pelaksanaan perjanjian kredit antara debitur pemberi Jaminan Fidusia dan bank selaku kreditur masih berlangsung, sedangkan objek Jaminan Fidusia yang dijaminkan dalam perjanjian kredit tersebut telah musnah, maka sesuai ketentuan yang telah termuat baik dalam perjanjian kredit maupun dalam perjanjian polis asuransi maka pihak yang menanggung resiko atas musnahnya benda Jaminan Fidusia tersebut adalah pihak perusahaan asuransi. Meskipun dalam UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak diatur secara tegas dan jelas tentang akibat hukum apabila benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia musnah karena hal-hal yang berada di luar kekuasaan manusia.

UUJF No. 42 Tahun 1999 khususnya pada Pasal 25 hanya mengatur tentang hapusnya Jaminan Fidusia apabila hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia dan musnahnya benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian dapat dikatakan Jaminan Fidusia akan hapus apabila benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia telah musnah namun demikian ketentuan Pasal 25 ayat (2) UUJF No. 42 Tahun 1999 mengatur secara jelas bahwa musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun objek Jaminan Fidusia telah musnah yang mengakibatkan hapusnya Jaminan Fidusia

12 Hartoni Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 2010, hal. 18

(28)

namun debitur pemberi Jaminan Fidusia tetap memiliki hak untuk menuntut pihak asuransi mengganti kerugian atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut didasarkan kepada perjanjian asuransi yang telah dilaksanakan oleh pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan pihak perusahaan asuransi tersebut. Oleh karena itu musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak menghapus klaim asuransi terhadap perusahaan asuransi yang menjadi hak dari debitur pemberi Jaminan Fidusia atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank?

2. Bagaimanakah tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit bank?

3. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank

(29)

2. Untuk mengetahui tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit bank

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atas kegunaan baik secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan pembebanan Jaminan Fidusia serta pendaftarannya serta bagaimana pertanggung jawaban dan perlindungan hukum terhadap para pihak berkaitan dengan musnahnya objek Jaminan Fidusia secara khusus dalam suatu perjanjian kredit bank.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Bank dalam mengantisipasi apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit dan bagaimana pertanggung jawaban debitur serta perlindungan hukum bagi para pihak tersebut dalam perjanjian kredit bank;

b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi para praktisi bank dalam melaksanakan perjanjian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia dimana objek

(30)

Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit tersebut berlangsung;

c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-poin atau modul-modul pembelajaran dan penelitian ini dan diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pasca Sarjana universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan dengan judul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” belum pernah dilakukan, namun demikian terdapat beberapa judul yang membahas tentang perjanjian tanpa agunan, antara lain oleh:

1. Kemala Atika Hayati, 097011042/MKn, dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia Terhadap Eksekusi Yang Diumumkan Oleh Kreditor Lain Atas Debitor Yang Dinyatakan Pailit”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimanakah kedudukan benda Jaminan Fidusia dengan pailitnya pemberi fidusia pada Bank CIMB Niaga?

(31)

b. Bagaimana kedudukan penerima fidusia (kreditur) pemegang Jaminan Fidusia yang pemberi fidusianya pailit pada Bank CIMB Niaga?

c. Bagaimana eksekusi benda jaminan yang memberi fidusianya pailit pada Bank CIMB Niaga?

2. Mirza Prima Kusumaningayu NIM. 127011166 /M.Kn dengan dengan judul tesis,

“Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1607 K/PID.SUS/2012)”

Pemasalahan yang dibahas

a. Bagaimana kriteria penilaian kreditur terhadap debitur yang dipandang layak dalam suatu perjanjian kredit mobil yang diikat dengan jaminan fidusia?

b. Bagaimana status hukum objek Jaminan Fidusia yang dirampas/disita oleh negara melalui suatu putusan pengadilan berkaitan dengan kasus tindak pidana pencucian uang dalam hal debitur tidak mampu membayar hutangnya?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur penerima Jaminan Fidusia terhadap objek Jaminan Fidusia yang disita oleh negara melalui putusan pengadilan berkaitan dengan kasus tindak pidana pencucian uang?

3. Martinus Tjipto, NIM. 077011079/MKn, dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Perjanjian Fidusia Secara Di Bawah Tangan (Penelitian Pada PT Olympindo Multi Finance Cabang Medan Dan PT ORIX Indonesia Finance Cabang Medan)”.

(32)

Pemasalahan yang dibahas

a. Apakah faktor-faktor penyebab lembaga pembiayaan melakukan perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?

b. Bagaimana kedudukan hukum perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan jika terjadi wanprestasi?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.13 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa

13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

14Lexy Molloeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35

(33)

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum iitu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hukum antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15

Hukum pada hakikatnya adalah bersifat abstrak meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret. Dalam suatu perjanjian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dan debitur pemberi jainan fidusia pada prinsipnya agar kedua belah pihak memperoleh kepastian hukum atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya. Pihak bank selaku kreditur pemegang sertipikat Jaminan Fidusia memperoleh kepastian hukum dalam hal mengamankan aset yang berupa penyaluran dana yang dilakukannya terhadap debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan adanya pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia tersebut akan sepenuhnya berada di tangan penguasaan pihak bank selaku kreditur apabila dikemudian hari ternyata debitur pemberi hak tanggungan wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya kepada bank selaku kreditur tersebut.

Disamping itu pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia juga memperoleh kepastian hukum atas hak dan kewajibannya dalam suatu perjanjian kredit dengan

15Meter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 158

(34)

pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Pihak bank selaku kreditur akan melakukan eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya dan pihak bank selaku kreditur memiliki hak untuk mengambil pelunasan atas piutangnya kepada debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan melakukan penjualan melalui lelang atas objek Jaminan Fidusia tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan objek Jaminan Fidusia tersebut maka sisa penjualan tersebut wajib dikembalikan kepada debitur pemberi jaminan fidusia.

Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia untuk memberikan perlindungan hukum kepada bank selaku kreditur atas objek Jaminan Fidusia tersebut maka bank selaku kreditur mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) dengan tujuan melaksanakan pengalihan resiko dari pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia maupun pihak bank selaku kreditur kepada pihak asuransi apabila dikemudian hari objek Jaminan Fidusia tersebut musnah akibat sesuatu hal yang berada disuatu kekuasaan manusia. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut ternyata dikemudian hari musnah akibat sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia maka pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia memiliki kepastian hukum untuk menuntut (mengklaim) perusahaan asuransi dalam hal mengganti kerugian atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.16

Pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang diatur di dalam UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang hal

16Sri Rezeky Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 34

(35)

yang menyangkut musnahnya benda yang telah diikat dengan jaminan fidusia. UUJF No. 42 Tahun 1999 hanya mengatur tentang hapusnya perjanjian Jaminan Fidusia apabila hutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia tersebut telah lunas, hak atas Jaminan Fidusia dilepaskan oleh penerima fidusia atau benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah. Dalam hal ini UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bila benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit musnah, akan tetapi musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak menghilangkan hak untuk menuntut klaim asuransi terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun objek Jaminan Fidusia tersebut telah musnah namun pihak pemberi Jaminan Fidusia yang telah melakukan perjanjian asuransi terhadap objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi tetap memiliki hak untuk menuntut / mengklaim asuransi yang telah disepakati dan telah ditandatangani debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan pihak perusahaan asuransi tersebut.17 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepastian hukum atas musnahnya benda Jaminan Fidusia terhadap perlindungan hukum bagi pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia adalah debitur dapat melakukan tuntutan / klaim terhadap perusahaan asuransi untuk mengganti kerugian atas nilai ekonomi objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut. Apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia tidak dapat lagi melunasi kewajibannya terhadap bank selaku kreditur maka pelaksanaan klaim / tuntutan ganti rugi atas objek Jaminan Fidusia

17Salim Abas, Dasar-dasar Perasuransian, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 63

(36)

yang telah musnah tersebut dilakukan oleh debitur pemberi Jaminan Fidusia atas nama bank selaku kreditur, atau bank selaku kreditur juga berhak melakukan klaim / tuntutan atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut kepada perusahaan asuransi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam polis asuransi tersebut.

Peristiwa musnahnya objek Jaminan Fidusia yang diakibatkan sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia tersebut akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum atas siapa yang bertanggung jawab terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut. Namun demikian dengan dilaksanakannya perjanjian asuransi terhadap objek jaminan fidusia, maka dalam hal ini telah terjadi pengalihan resiko dari pihak pemberi Jaminan Fidusia dan pihak bank selaku kreditur terhadap pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dikemudian hari pada saat perjanjian kredit masih berlangsung, maka kepastian pertanggung jawaban terhadap penggantian rugi atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut telah dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai perusahaan penanggung ganti rugi atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.18

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pertanggung jawaban terhadap musnahnya objek jaminan fidusia, namun dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang dilaksanakan oleh bank dalam upaya mengamankan

18 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. hal. 125

(37)

objek Jaminan Fidusia tersebut dan memberikan kepastian hukum atas pertanggung jawaban musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut maka pihak bank sesuai dengan ketentuan peraturan tentang perjanjian kredit maka pihak bank mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia tersebut untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) agar kepastian siapa yang bertanggung jawab atas musnahnya benda Jaminan Fidusia tersebut menjadi jelas dengan dialilhkannya resiko kerugian terhadap pihak ketiga yaitu pihak perusahaan asuransi.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational defenition.19 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Tanggung jawab adalah suatu keadaan dimana seseorang harus bertanggung jawab dalam hal terjadinya kerugian terhadap orang lain yang diakibatkan adanya unsur kesalahan oleh dirinya maupun semua orang, hewan dan benda lainnya yang berada dalam pengawasan dan perlindungannya.

19Sutan Reny Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia¸Jakarta, 1993, hal. 10

(38)

2. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain yang pada umumnya menerima sesuatu dari pihak lain (kreditur) yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang.

3. Kreditur adalah pihak (perorangan maupun kelompok organisasi, perusahaan) yang memiliki piutang kepada pihak lain yang disebut dengan debitur dalam bentuk benda atau uang dalam suatu perjanjian dimana diperjanjikan bahwa pihak yang berhutang tersebut akan mengembalikan hutangnya kepada pihak yang berpiutang (kreditur) dalam waktu tertentu sebagaimana termuat dalam perjanjian tersebut.

4. Musnah adalah suatu keadaan dimana suatu benda yang pada mulanya dapat kelihatan atau berwujud atau dapat digunakan dengan baik menjadi hilang / lenyap atau tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana mestinya.

5. Objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang dapat berupa mobil, sepeda motor, alat-alat kantor yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia melalui suatu akta otentik notariil dan telah didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia adalah suatu perjanjian pengikatan barang bergerak sebagai objek Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dengan menggunakan akta notaris dimana pemberi fidusia adalah konsumen selaku debitur dan penerima fidusia adalah perusahaan pembiayaan selaku kreditur dengan tujuan sebagai jaminan hutang dan

(39)

jaminan pelunasan hutang debitur apabila debitur tak mampu membayar hutangnya.

7. Perjanjian kredit adalah suatu kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dalam bentuk akta di bawah tangan maupun autentik mengenai perjanjian pinjam meminjam sejumlah dana antara bank selaku kreditur dan debitur dimana di dalam perjanjian tersebut termuat suatu ketentuan hak dan kewajiban masing-masing pihak yakni penyaluran dana oleh bank selaku kreditur kepada debitur dan juga pembayaran pinjaman tersebut oleh debitur dalam jangka waktu tertentu dengan pengembalian secara angsuran hingga pinjaman tersebut lunas dibayar oleh debitur.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.20

Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum jaminan fidusia, ketentuan tentang perjanjian kreit

20Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, ANDI, Yogyakarta, 2000, hal. 4

(40)

bank dengan Jaminan Fidusia dimana objek Jaminan Fidusia tersebut musnah pada masa perjanjian kredit tersebut berlangsung, dimana debitur pemberi Jaminan Fidusia wajib bertanggung jawab secara terbatas apabila musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut disebabkan karena kesalahan, kelalaianatau kekurang hati-hatian dari debitur pemberi Jaminan Fidusia dalam menjaga objek Jaminan Fidusia tersebut.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan analisa terhadap hal-hal yang bersifat umum (deduktif) untuk kemudian disimpulkan ke dalam hal-hal yang bersifat khusus induktif.21

2. Sumber Data

Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum perjanjian pada umumnya dan hukum Jaminan Fidusia pada khususnya serta ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pengaturan hukum musnahnya objek Jaminan Fidusia pada saat

21Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rienika Cipta, Jakarta, 2008, hal 27.

(41)

perjanjian kredit tersebut berlangsung dimana debitur memiliki tanggung jawab terbatas atas musnahnya Jaminan Fidusia tersebut. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah UUJF No. 42 Tahun 1999, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank, KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah hukum tentang hukum jaminan perjanjian pada umumnya dan hukum Jaminan Fidusia pada umumnya, serta ketentuan hukum lainnya yang berkaitan dengan pengaturan pertanggung jawaban debitur secara terbatas terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia dalam masa perjanjian kredit sebagaimana termuat di dalam KUH Perdata.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.22

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.23

22Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, 2010, hal 16.

23Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal.8.

(42)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.24Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.25 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyediliki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data yang ada baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula yaitu mengenai tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode deduktif, yaitu melakukan penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

24Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106.

25SoerJono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal 25.

(43)

BAB II

PENGIKATAN JAMINAN FIDUSIA DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT BANK

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit (credit / loan agreement) merupakan salah satu perjanjian yang dilakukan antara bank dengan pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah nasabahnya. Di Indonesia perjanjian kredit sebenarnya dapat dipersamakan dengan perjanjian hutang piutang. Perbedaannya istilah perjanjian kredit umumnya dipakai oleh bank sebagai kreditur, sedangkan perjanjian hutang piutang umumnya dipakai oleh masyarakat dan tidak terkait dengan bank. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank menyebutkan bahwa, “kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perjanjian kredit dapat diartikan sebagai perjanjian pinjam meminjam antara bank sebagai kreditur dengan pihak lain sebagai debitur yang mewajibkan debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Perjanjian kredit dapat juga ditinjau dari subjek hukumnya yaitu sisi kreditur maupun debitur. Dari sisi kreditur perjanjian kredit dapat dilakukan antara dua kreditur dengan satu debitur, yang disebut dengan kredit indikasi. Dari sisi debtiur subjek hukumnya dapat berstatus hukum (korporasi) maupun perorangan. Semua

(44)

pemberian kredit pada hakekatnya merupakan perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 -1969 KUH Perdata. Menurut Pasal 1754 KUH Perdata perjanjian pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa di dalam suatu perjanjian kredit hubungan hukum para pihak berlaku ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan yang termuat di dalam BAB XIII KUH Perdata mengenai pinjam meminjam. Pasal 1759 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “Dalam perjanjian kredit, kreditur tidak boleh meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian”. Pasal 1763 KUH Perdata menyebutkan bahwa,

“Debitur yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang ditentukan”.

Di dalam ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata disebutkan bahwa, “Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dalam suatu nama khusus, harus tunduk pada peraturan – peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan Bab II KUH Perdata tentang Hukum Perikatan”.

Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam berbagai ketentuan peraturan yang berupa surat edaran, antara lain:

(45)

1. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb/1996;

dan

2. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/Pemb/1996 tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

Dalam ketentuan itu tidak ditemukan pengertian perjanjian kredit. Namun, dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank, telah ditentukan pengertian perjanjian kredit. Perjanjian kredit adalah: ”Persetujuan dan atau kesepakatan yang dibuat bersama antara kreditur dan debitur atas sejumlah kredit dengan kondisi yang telah diperjanjikan, hal mana pihak debitur wajib untuk mengembalikan kredit yang telah diterima dalam jangka waktu tertentu disertai bunga dan biaya-biaya yang disepakati”.

Unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit menurut Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank adalah :

1. Adanya persetujuan dan/atau kesepakatan;

2. Dibuat bersama antara kreditur dan debitur;

3. Adanya kewajiban debitur.

Kewajiban debitur adalah:

1. Mengembalikan kredit yang telah diterimanya;

2. Membayar bunga; dan 3. Biaya-biaya lainnya.

(46)

Perjanjian kredit merupakan dasar kewenangan bank untuk dapat mengendalikan penggunaan kredit oleh nasabah. Menyangkut pemberian kreditnya, bank sangat berkepentingan dengan hal-hal yang menyangkut hak-hak bank dan kewajiban-kewajiban nasabah, baik pada saat sebelum kredit diberikan, selama kredit diberikan, dan setelah kredit jatuh tempo. Di dalam perjanjian kredit kepentingan-kepentingan bank yang demikian itu tetap terjaga. Namun meskipun demikian, diharapkan hak-hak dan kepentingan nasabah sebagai pihak penerima kredit seyogyanya juga harus diberikan perhatian, dalam konteks perjanjian kredit dimaksud.

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari.

Untuk itu setiap transaksi apapun seyogyanya dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti, termasuk perjanjian kredit.26

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang bank.

Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan

26Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 75

(47)

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain.

Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian.

Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.

Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.

03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan keputusan- keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur, sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit.

Dalam pelaksanan bank ada 2 (dua) bentuk perjanjian kredit, yaitu : 1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat di antara mereka (bank dan nasabah), tanpa Notaris.

(48)

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan, artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan. Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit, formulir perjanjian kredit yang isinya sudah disiapkan Bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon Debitur untuk diketahui dan dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian kredit tersebut. Syarat-syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah diperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon Debitur.27

Calon Debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau sukarela harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit.

Seandainya calon Debitur melakukan protes atau tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit maka Kreditur tidak akan menerima protes tersebut karena isi perjanjian memang sudah disiapkan dalam bentuk cetakan oleh lembaga Bank itu sehingga bagi petugas Bank pun tidak bisa menanggapi usulan calon Debitur. Calon Debitur menyetujui atau menyepakati isi perjanjian kredit karena calon Debitur dalam posisi yang sangat membutuhkan kredit

27R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.ke-II, Pembimbing Masa, Jakarta, 2010, hal 50 .

(49)

(posisi lemah) sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit calon Debitur dapat menyetujui.

Perjanjian kredit bank yang hanya dibuat secara di bawah tangan dalam beberapa hal mengandung kelemahan. Adapun kelemahannya adalah :

a. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitur, yang pada akhirnya akan diambil tindakan hukum melalui proses peradilan, maka apabila debitur yang bersangkutan menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan hukum perjanjian kredit yang telah dibuat tersebut.

Dalam Pasal 1877 KUH Perdata disebutkan bahwa jika seorang memungkiri tulisan atau tanda tangannya, hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka pengadilan.

b. Bahwa oleh karena perjanjian ini dibuat hanya oleh para pihak, dimana formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka bukan tidak mungkin terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan pengikatan kredit/pemberian bank garansi. Bahkan, bukan tidak mungkin, atas dasar pelayanan,masih dalam bentuk blangko/kosong.28

Kelemahan-kelemahan ini pada akhirnya akan merugikan bank jika suatu saat berperkara dengan nasabahnya. Oleh sebab itu, pembuatan perjanjian kredit bank yang selama ini banyak dipraktekkan kalangan bank, perlu untuk ditinjau kembali, terutama bila melihat sisi-sisi kelemahannya tersebut.

2. Perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta Otentik (Akta Notaris)

28Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung , 2008, hal 17

(50)

Yang dimaksud dengan perjanjian kredit Notaris, adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam pelaksanaan semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh Bank kemudian diberikan kepada Notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang Notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.

Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja. kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu Kreditur atau lebih dari satu Bank). Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. Apabila suatu akta otentik diajukan sebagai alat bukti didepan Hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut, maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan nilai daya serap klasikal dan ketuntasan belajar klasikal pada kegiatan pembelajaran siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai kaidah bahasa Bali sebagai rujukan Dapat menggunakan konfiks dalam pembentukan keilmuan yang mendukung mata pelajaran

Tabel 2.. Hasil survei pada tabel 2 juga memperlihatkan bahwa cakupan semua jenis imunisasi berdasarkan survei menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan laporan rutin. Hal

Pelayanan kesehatan yang ada pada waktu itu adalah klinik umum, klinik spesialis (bedah, kandungan, penyakit dalam dan kesehatan anak), klinik gigi, instalasi gawat darurat,

[r]

Rekapitulasi Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2014-20171. Sumber: Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten Bangka Tengah,

Gambar 5. Struktur Model Dinamis Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat Bagian Barat.. Pada struktur produksi dan konsumsi daging menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi

Karena pengukuran hanya diterapkan pada bagian produksi dengan indikator kinerja seperti efisiensi mesin dan efisiensi total, sedangkan untuk penilaian fleksibilitas di