• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori perlindungan HAM, teori perampasan aset, teori kepentingan umum. Penggunaan ketiga teori ini sehubungan dengan perdebatan antara pro dan kontra, bahwa perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan dipandang sebagaian orang bertentangan dengan HAM.

Teori kepentingan umum untuk menganalisis apakah perampasan aset tersebut bertentangan dengan HAM atau tidak.

a. Teori perlindungan HAM

Kesadaran terhadap pentingnya perlindungan HAM bermula dari keinsyafan terhadap harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaan. Bahwa HAM itu sudah ada sejak manusia dikodratkan lahir ke dunia.23 Pemikiran dan perjuangan menegakkan perlindungan HAM yang telah dimulai sejak abad ke-17 terus berlanjut hingga kini, konsep pemikiran perlindungan terhadap korban merupakan bagian dari upaya perlindungan terhadap HAM.24

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa konsepsi negara hukum (rechtstaat) maupun konsepsi the rule of law, menempatkan dan menjunjung tinggi HAM sebagai salah satu ciri khas negara hukum, menjunjung tinggi the rule of law. Bagi suatu negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.25

Indonesia merupakan negara hukum. Segala tindakan aparatur negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar aturan hukum atau perundang-undangan, menjamin perlindungan HAM, adanya pembagian kekuasaan, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.26 Unsur-unsur ini harus saling berkaitan erat dan tidak boleh dipandang secara terpisah.27

23 Ramdhon Naning, Cita dan Citra Hak-HAM di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Program Penunjang Hukum Universitas Indonesia, 1990), hal. 8.

24 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Jakarta: Bayu Media, 2007), hal. 85.

25 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hal. 21.

26 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 29.

27 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 28.

Negara hukum mengakui dan melindungi HAM setiap individu. Tapi, jaminan terhadap HAM haruslah memperhatikan HAM yang lebih luas daripada HAM individu atau perseorangan maupun kelompok. HAM meliputi beragam aspek, mulai dari hak di bidang politik, hak hidup, hak berbicara, hak di bidang hukum, hak ekonomi, kesejahteraan, dan lain-lain. Di samping HAM individu atau perseorangan maupun kelompok, ada HAM yang lebih luas yaitu HAM seluruh rakyat Indonesia.

Negara pada mulanya tidak diperkenankan memasuki wilayah privasi setiap individu, tapi dengan berkembangnya pandangan fungsi sosial dari pada hak-hak itu sendiri, terutama dengan lahirnya konsep negara kesejahteraan (walfarestate), maka demi kepentingan umum atau kepentingan rakyat, negara diwajibkan mencampuri atau menerobos wilayah privasi setiap individu dalam konteks terbatas. Meskipun demikian negara tidak sebebas-bebasnya mencampuri urusan HAM privasi, melainkan haruslah mempertimbangkan keseimbangan antara HAM privasi dan HAM yang lebih luas.28

Universalitas HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem, yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Universalitas HAM tidak dapat lagi diterima berlaku secara umum, karena

28 Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti, 2009), hal. 19-20.

berdasarkan tempat, ruang, dan waktu, ada pembatasan hak dan kewajiban yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.29

Korban sebagai subjek hukum pemegang hak dan kewajiban, merupakan orang perseorangan atau suatu badan hukum, yang terkena dampak dari suatu tindak pidana. Korban dalam perkara korupsi adalah rakyat secara keseluruhan dan negara, sebab itulah tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan kerugian keuangan negara yang menjadi hak seluruh rakyat Indonesia, dan seharusnya diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.

UUHAM menegaskan hal yang sama tentang universalitas HAM sebagai hak dasar dan kodrati, universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Namun, selain HAM, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap manusia yang lain, antar individu di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.30

Pengaturan HAM di dalam suatu negara hukum, bukan berarti pengekangan terhadap individu atau suatu kelompok, namun pengaturan itu dimaksudkan oleh negara untuk melindungi kepentingan HAM di lain pihak yang lebih besar dan luas.

Instrumen negara untuk melindungi HAM yang lebih luas tersebut dapat digunakan konsep perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan atau NCB Asset Forfeiture.

29 Kurniawan Kunto Yuliarso & Nunung Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia:

Menuju Democratic Governances”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Vo.8, No.3, Maret 2005, hal 293-395.

30 Konsideran huruf b dan huruf c UU RI No.30/1999 Tentang HAM (UUHAM).

b. Teori perampasan aset

Ada tiga teori perampasan aset yang dapat diterapkan di dalam suatu negara dalam penanggulangan kejahatan, yaitu criminal forfeiture dan civil forfeiture. Dua instrumen hukum ini berbeda dalam merampas aset/harta hasil kejahatan. Criminal forfeiture menyangkut perampasan aset kejahatan mengikuti prosedur hukum pidana, sedangkan civil forfeiture menyangkut perampasan aset kejahatan berdasarkan prosedur perdata.

1) Criminal forfeiture

Criminal forfeiture atau penyitaan pidana dalam pandangan Stefan D.

Cassella, merupakan bagian dari hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa dalam kasus pidana.31 Criminal forfeiture mengandung konsep perampasan aset/harta sebagai hukuman dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara pidana. Selain menghukum yang bersalah (pelaku), perampasan aset/harta juga dilakukan jika aspek pidananya terbukti bersalah.32 Criminal forfeiture tidak dapat merampas aset/harta pemilik yang tidak terbukti bersalah secara pidana.33

Criminal forfeiture ditujukan kepada orang perorangan atau pribadi (in personam), yaitu menyasar pada terdakwa secara pribadi dituduh melakukan kejahatan dimana korbannya kehilangan harta benda (aset).34 Dengan menggunakan

31 Stefan D. Cassella (I), “Criminal Forfeiture Procedure in 2015: An Annual Survey of Developments in the Case Law”, Criminal Law Bulletin, Date: 8/22/2015, hal. 2.

32 Ibid.

33Avital Blanchard, “The Next Step in Interpreting Criminal Forfeiture”, Cardozo Law Review, Vol. 28, No.3, Tahun 2006, hal. 1428.

34 Ibid., hal. 1429.

persidangan pidana (criminal proceeding)35, jika terdakwa tidak dihukum karena kejahatan, maka harta (aset) korban tidak boleh disita/dirampas.36

Charles Doyle menjelaskan bahwa dalam criminal forfeiture terdapat tuntutan pidana yang bersamaan dilakukan dengan tuntutan terhadap perampasan aset (harta) kejahatan.37 Criminal forfeiture baru dapat dilakukan jika terdakwa telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan hanya boleh dilakukan terhadap harta/aset hasil dari kejahatan.38 Dari tuntutan pidana, pengadilan dapat memerintahkan perampasan terhadap harta/aset milik terdakwa sebagai gantinya atau dikenal substitute assets atau aset pengganti (vide: uang pengganti dalam UUPTPK).39

Criminal forfeiture menurut Lincoln Stone merupakan penjatuhan sanksi yang dikenakan kepada pemilik harta dengan alasan kesalahan pidana. Merupakan bagian integral dalam hukum pidana.40 Terbatas pada pemilik harta yang berkaitan dengan aktivitas ilegal dari pelaku kejahatan dan tidak mencapai harta/aset lain dari pelaku.41 Melindungi aset/harta milik pihak ketiga yang tidak bersalah (innocent owners).42

Menurut Michael Goldsmith dan Mark Jay Linderman, criminal forfeiture ditujukan langsung terhadap terdakwa dalam tuntutan pidana, kemudian baru

35 David Torrance, “Evidence of Character in Civil and Criminal Proceedings”, Yale Law Journal, Heinonline-12 Yale L.J. 352 1902-1903, hal. 357.

36 Charles Doyle, “Crime and Forfeiture”, Prepared for Member and Comttees of Congress in Congressional Research Service (CRS Report), Tanggal 22 January 2015, hal. 5.

37 Ibid., hal. 16.

38http://jdih.ppatk.go.id/wp-content/uploads/2014/08/NA-RUU-Perampasan-Aset.pdf, diakses tanggal 10 Agustus 2019.

39 Charles Doyle, Op. cit., hal. 15.

40 Lincoln Stone, “Criminal Forfeiture of Attorney's Fees under Rico and CCE”, Notre Dame Journal of Law, Ethics & Public Policy, Volume 2, Issue 2 Symposium on Criminal Justice, February 2014, hal. 541.

41 Ibid., hal. 553.

42 Avital Blanchard, Op. cit., hal. 1421.

dilakukan perampasan aset/harta.43 Menggunakan metode pendekatan hukum pidana atau tuntutan pidana terhadap orang untuk menyita suatu aset/harta. Tuntutan terhadap orang ditujukan kepada terdakwa.44

Criminal forfeiture menggunakan prinsip conviction based (CB). Untuk menjatuhkan hukuman terhadap seseorang haruslah berdasarkan keyakinan hakim melalui pemidanaan.45 Penuntut umum harus membuktikan terlebih dahulu terpenuhinya unsur-unsur delik pidananya seperti kesalahan (personal culpability) dan mens rea dari terdakwa sebelum dilakukan penyitaan aset/harta.46 Penuntut membuktikan kesalahan pidana terdakwa dengan standar pembuktian beyond reasonable doubt, yaitu, seseorang dapat dinyatakan bersalah harus berdasarkan bukti-bukti yang kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali.47

Criminal forfeiture memiliki kelemahan yaitu masih melindungi pemilik harta yang tidak terbukti bersalah secara pidana. Criminal forfeiture hanya memungkinkan perampasan terhadap harta terdakwa jika terdakwa terbukti bersalah. Criminal forfeiture tidak mampu menggunakan total perampasan jika hanya menggunakan undang-undang pidana. Aset/harta yang ada kaitannya (tercemar) dengan kejahatan

43 Michael Goldsmith & Mark Jay Linderman, “Asset Forfeiture and Third Party Rights: The Need For Further Law Reform”, Duke Law Journal, Vol. 1989: 1254, hal. 1260.

44 Scott Jones, “Forfeiture and Restitution in the Federal CriminalSystem: The Conflict of Victims Rights and Government Interests”, American University Criminal Law Brief, Vol. 6, No. 2, Tahun 2010, hal. 28.

45 Reda Manthovani & R. Narendra Jatna, Op. cit., hal. 74.

46 Tood Bernet, Op. cit.,, hal. 88.

47 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-atmasasmita-, diakses tanggal 10 Agustus 2019, Artikel, Romli Atmasasmita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik”, Dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 14 Desember 2009.

pelaku tidak dapat dirampas jika aspek pidananya tidak terbukti, dan masih melindungi aset/harta milik pihak ketiga (innocent owners).48

2) Civil forfeiture

Civil forfeiture atau perampasan perdata, menggunakan gugatan in rem, yaitu suatu tindakan hukum untuk melawan aset/harta (property) itu sendiri, bukan terhadap individu (in personam), misalnya, Negara vs. $100.000. NCB civil forfeiture adalah tindakan hukum yang terpisah dari proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset/harta (property) tersebut tercemar (ternodai) oleh suatu tindak pidana.49 Harta/aset menjadi dasar perampasannya, sekalipun unsur pidana belum sepenuhnya terbukti secara sah dinyatakan bersalah oleh hakim pengadilan.

Civil forfeiture dapat menjawab kelemahan di dalam criminal forfeiture. Jika menerapkan criminal forfeiture kemungkinan tidak bisa memperoleh harta/aset yang dituntut akan kembali, karena kesalahan pidana dari pemilik merupakan komponen yang sangat penting untuk dilakukan perampasan aset. Jika menggunakan civil forfeiture, meskipun pelaku tidak dinyatakan bersalah, harta yang terkait atau tercemar dengan kejahatan, tetap bisa dirampas.50

Civil forfeiture mencakup perampasan harta/aset terhadap pemilik yang tidak bersalah (innocent owners), sedangkan aset/harta dalam criminal forfeiture baru dapat dirampas bilamana pelaku (terdakwa) telah terbukti secara sah dan meyakinkan

48 Avital Blanchard, Op. cit., hal. 1420-1421.

49 Theodore S. Greenberg, dkk., Op. cit., hal. 104.

50 Avital Blanchard, Op. cit., hal. 1430.

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.51 Ini tidak mengharuskan penuntut umum membuktikan unsur-unsur kesalahan terdakwa, cukup dengan membuktikan adanya kemungkinan akibat atau dugaan bahwa aset/harta memiliki hubungan kuat dengan tindak pidana.52

Pembuktian dalam civil forfeiture cukup dengan membuktikan sebuah tindak pidana telah terjadi dan diduga kuat ada aset/harta telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana. Pemilik dari aset kemudian dapat membuktikan bahwa aset/harta tersebut bukan terkait, atau merupakan hasil, digunakan, atau berkaitan dengan tindak pidana.53 Perampasasn aset/harta dalam civil forfeiture bukan bagian dari perkara pidana, namun bagian dari perkara perdata melalui gugatan.54

3) Administrative forfeiture

Civil forfeiture di Amerika Serikat merupakan kelanjutan dari proses administrative forfeiture melalui pengumuman di media massa. Jika dari pengumuman oleh pemerintah yang hendak merampas aset/harta, kemudian ada pihak yang mengklaim aset/harta tersebut, maka negara mengajukan opsi yaitu civil

51 Ibid., hal. 1420.

52 Tood Bernet, Op. cit., hal. 94.

53 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2013), hal. 157.

54 Marwan Effendy, “Peran Kejaksaan Dalam Upaya Menyelamatkan Keuangan Negara dari Tindak Pidana Korupsi dan Kaitannya Dengan ruu Perampasan Aset”, Makalah Disampaikan pada acara Lokakarya: Penyelamatan Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Dephukham RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan IKA-Ul, di Hotel Sahid Jaya-Solo, Tanggal 18 Agustus 2009, hal. 10.

forfeiture atau criminal forfeiture. Sehingga ada tiga model perampasan di negara federal ini, yaitu criminal forfeiture, administrative forfeiture, dan civil forfeiture.55

NCB Asset Forfeiture merupakan salah satu prinsip dari civil forfeiture, yaitu tanpa memerlukan keyakinan hakim dalam putusan pengadilan. Inilah sebagai kelanjutan dari proses administrative forfeiture melalui pengumuman di media massa memungkinkan suatu aset/harta dapat dirampas oleh negara jika tidak ada pihak yang mengajukan bantahan atau klaim.56 Jadi, civil forfeiture dapat dilakukan melalui perampasan aset/harta berdasarkan administrative forfeiture (tanpa melalui putusan pengadilan),57 atau melalui gugatan perdata in rem (peradilan perdata).58

Tahap pertama adalah pengumuman di media massa kemudian ditindak lanjuti dengan perampasan aset/harta jika tidak ada pihak ketiga yang keberatan, inilah yang disebut dengan perampasan administratif (administrative forfeiture). Administrative forfeiture dilakukan tanpa harus melalui putusan pengadilan dan telah diterapkan di Amerika Serikat.59 Dengan NCB Asset Forfeiture, jika dari proses administrative forfeiture ada pihak mengajukan klaim, maka proses dilanjutkan ke tahap pengajuan gugatan perdata (in rem).60

55 Ibid.

56 Charles Doyle, Op. cit., hal. 2. Baca juga: Tood Bernet, Op. cit., hal. 92.

57 Marwan Effendy, “Peran Kejaksaan…Loc. cit.

58http://halamanhukum.blogspot.co.id/2009/08/asset-recovery.html, diakses tanggal 11 November 2020, Artikel, Lilik Mulyadi, “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003”, Dipublikasikan di blogspot.co.id, Tanggal 28 Agustus 2009.

59 Marwan Effendy, “Peran Kejaksaan…Loc. cit.

60 Ibid.

Criminal forfeiture menggunakan asas praduga tidak bersalah, sedangkan civil forfeiture menggunakan asas praduga bersalah.61 Diterapkannya civil forfeiture, tanpa harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan pelaku bersalah secara pidana sebagai konsekuensi dari bergesernya asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah pada kasus-kasus tertentu. Hal ini tidak hanya menegaskan harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang saja. Ini berarti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sekalipun sebagai batas toleransi untuk dinyatakan bersalah, tidak selalu menjadi pedoman.

c. Teori kepentingan umum

Teori kepentingan umum berkaitan dengan kemanfaatan umum dan kepentingan negara dalam rangka mewujudkan cita-cita negara dan kesejahteraan rakyat. Permasalahan penggunaan NCB Asset Forfeiture apakah melanggar HAM atau tidak, dapat dianalisis berdasarkan teori kemanfaatan kepentingan umum.

Teori kemanfaatan Jeremy Bentham, mengajarkan, “the greatest happiness of the greatest number”, suatu prinsip mengatakan kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar, dianggap sebagai kebenaran suci (sacred truth).62 Perbuatan yang baik (good) memberi manfaat kepada banyak orang. Perbuatan yang baik itu menyenangkan (pleasure) dan yang buruk (bad) menyakitkan (pain).63

61 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-hukum-asas-praduga-tak-bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-atmasasmita-, Loc. cit.

62 Lord Lioyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, (London: Stevens & Sons, 1972), hal. 153.

63 Atip Latipulhayat, “Kahzanah Jeremy Bentham”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2015, (ISSN 2460-1543 dan e-ISSN 2442-9325), hal. 416.

Kesenangan (pleasure) dan menyakitkan (pain) merupakan dua sumber kekuatan manusia.64 Dari kedua sumber ini menentukan apa yang harus kita lakukan,65 di satu sisi standar benar dan salah, di sisi lain rantai sebab dan akibat.66 Kebahagian dipahami sebagai keadaan yang ada di dalam kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk sepanjang dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan.67

Teori ini mengutamakan prinsip manfaat (the principle of utility) melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok atau dapat meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri.68 Jika dapat meningkatkan kebahagiaan kelompok terbanyak, maka tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan rakyat akan tercapai.69 Prinsip menghasilkan manfaat terbesar merupakan tujuan hukum yang diajarkannya.

Utilitarianisme menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari suatu tindakan lebih besar daripada jumlah yang tidak bermanfaat yang dihasilkan dari tindakan itu.70 Teori ini menginspirasi dan menjadi

64 Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, (Kitchener:

Batoche Books, 2000), hal. 14.

65 Lord Lioyd of Hampstead, Op. Cit., hal. 184.

66 Ibid.

67 Atip Latipulhayat, Op. Cit., hal. 416.

68 Lord Lioyd of Hampstead, Op. Cit., hal. 185.

69 Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27 No. 2, hal. 14.

70 Ian Saphiro, Asas Moral Dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta & Fredom Institusi, 2006), hal. 24.

fondasi gerakan perubahan philosophical radicalism,71 dan dapat digunakan untuk menguji dan mengevaluasi seluruh institusi dan kebijakan.72

Teori manfaat ini dapat dikaitkan dengan tujuan hukum dari perampasan aset/harta tanpa pemidanaan. Berdasarkan teori ini penerapan NCB Asset Forfeiture dan proses administrative forfeiture tidak melanggar HAM, tapi justru melindungi HAM yang lebih luas. Demi kepentingan umum atau kemanfaatan umum, aset/harta yang tak bertuan dan diduga kuat terkait (tercemar) dari suatu kejahatan harus dirampas oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Kepentingan negara (state interest) merupakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Roscoe Pound (1870-1964) mengajarkan law as a tool of social engineering.73 Hukum sebagai alat untuk merekayasa sosial (masyarakat).74 Teori ini dapat digunakan sebagai sarana perubahan,75 termasuk perbuahan hukum dalam rangka mewujudkan konsep hukum pembangunan nasional.76

Ada tiga macam etika menurut tujuannya yaitu demi kepentingan individu, demi kepentingan publik, dan demi kepentingan sosial. Tujuan untuk kepentingan

71 Bertrand Russell, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumtances From the Earliest Times to the Present Day, Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 1006.

72 K. Berten, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 418.

73 Malik, “Membaca Kembali Teori Hukum Pembangunan”, Epistema Institute, Vol. 2, Tahun 2012, hal. 34.

74 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal. 251.

75 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung:

Alumni, 2002), hal. 14.

76 Kuswardani, “Perlindungan Hukum Terhadap Kesejahteraan Anak Harmonisasi Undang-Undang”, The 2nd University Research Coloquium, 2015, ISSN 2407-9189, hal. 377.

sosial dimaksud sebagai pedoman pengadilan dalam penerapan hukum, sedangkan tujuan untuk kepentingan publik dimaksudkan untuk kepentingan negara.77 Dengan teori kepentingan negara paling tidak dapat diperoleh alasan pembenar untuk legitimasi perampasan aset tanpa pemidanaan untuk mencapai kemanfaatan umum dan kesejahteraan rakyat.

2. Landasan Konsepsi

Landasan konsepsi memuat istilah-istilah yang digunakan sebagai pedoman pemahaman dan untuk menghindari penafsiran yang keliru dari istilah-istilah yang digunakan, yaitu:

a. Perampasan aset adalah perampasan aset yang meliputi perspektif criminal forfeiture, civil forfeiture, dan administrative forfeiture, khususnya tanpa memerlukan putusan pengadilan dengan prinsip NCB Asset Forfeiture.78 b. Korupsi adalah kejahatan atau tindak pidana yang merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara.79

c. Perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan adalah suatu upaya perampasan aset/harta yang ada kaitannya atau tercemar (ternodai) dengan tindak pidana korupsi, tanpa melalui proses putusan hakim pengadilan pidana.80

d. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrati yang melekat pada setiap diri manusia, bersifat universal dan langgem, yang harus dilindungi, dihormati,

77 Malik, Loc. cit.

78 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 35.

79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).

80 Theodore S. Greenberg, dkk., Loc. cit.

dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam suatu negara hukum.81

e. Criminal forfeiture adalah perampasan aset/harta secara pidana, yaitu menggunakan mekanisme hukum pidana dalam melakukan perampasan aset/harta yang ada kaitannya dan/atau tercemar dengan kejahatan.82

f. Civil forfeiture adalah perampasan aset/harta secara perdata, yaitu menggunakan mekanisme hukum perdata dalam melakukan perampasan aset/harta yang ada kaitannya dan/atau tercemar dengan kejahatan.83

g. NCB Asset Forfeiture adalah suatu prinsip penghukuman yang tidak didasarkan pada keyakinan hakim pengadilan dalam memutuskan perkara.

Prinsip NCB ini sebagai kebalikan dari CB dalam hukum acara pidana yang menggunakan pembuktian berdasarkan keyakinan hakim.84

Dokumen terkait