• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA TESIS OLEH TEUKU ISRA MUNTAHAR / HK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA TESIS OLEH TEUKU ISRA MUNTAHAR / HK"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH

TEUKU ISRA MUNTAHAR 167005132 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

TEUKU ISRA MUNTAHAR 167005132 / HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

Telah Lulus Diuji pada Tanggal 30 November 2020

PANITIA PENGUJI

Ketua : 1. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.H.

Anggota: 2. Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum 3. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum.

4. Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum.

SURAT PERNYATAAN

(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : TEUKU ISRA MUNTAHAR

Nim : 167005132

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI

MANUSIA

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagiat, apa bila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia di beri sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang Membuat Pernyataan

TEUKU ISRA MUNTAHAR

ABSTRAK

(6)

Perampasan aset tanpa pemidanaan (NCB Asset Forfeiture) menjadi perhatian utama komunitas global dalam menanggulangi kejahatan termasuk korupsi. Sudah banyak negara mengadopsi ini untuk berbagai bentuk kejahatan. NCB ini dapat memulihkan aset yang tercemar kejahatan secara efektif, namun mendapat tantangan atas dasar HAM. Penelitian normatif ini membahas permasalahan tentang regulasi perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan, penerapannya dalam perampasan aset korupsi, dan hubungannya dengan HAM.

Hasil penelitian menyimpulkan. Pertama, regulasi NCB belum diatur secara khusus. UUPTPK masih menganut criminal forfeiture, bergantung pada kesalahan pidana, hanya berlaku untuk pelaku yang meninggal dunia, tidak berlaku jika kesalahan pidana tidak terbukti, tidak dapat merampas aset tak bertuan dan aset pihak ketiga. Kedua, penerapan NCB sangat efektif untuk mengembalikan aset kepada korban dan terus berkembang pesat di negara-negara common law seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia, Irlandia, Swiss, Filipina, Afrika Selatan, dan lain-lain.

Dalam civil law masih dipertentangkan, seperti di Indonesia belum memiliki undang- undangnya. Ketiga, NCB sejalan dan tidak bertentangan dengan HAM. Sesuai konstitusi (Pasal 28H ayat 4 dan Pasal 28G ayat 1 UUD RI Tahun 1945), Pasal 29 ayat (2) DUHAM/UDHR, Pasal 70 dan Pasal 29 ayat (1) UUHAM, Keputusan Komisi HAM Eropa 1986, Keputusan ICJ 1959, dan pendapat para ahli hukum, negara berwenang menguasai aset ilegal atau tercemar korupsi. Prinsip praduga bersalah ditujukan kepada aset itu sendiri, sedangkan prinsip praduga tidak bersalah ditujukan kepada pelaku. Juga tidak bertentangan dengan prinsip ne bis in idem karena antara gugatan perdata dan tuntutan pidana merupakan dua hal yang berbeda, tidak dapat dipandang sebagai satu perkara yang sama. Selama penerapan NCB masih diberi kesempatan kepada pihak ketiga untuk membantah dan tidak dilakukan sewenang-wenang maka tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan HAM.

Diharapkan agar NCB diatur dalam UUPTPK, memperbaiki regulasi MLA untuk masalah perdata, memperbaiki dan mengundangkan segera RUU Perampasan Aset, sehingga aset yang berada di luar negeri dapat dipulihkan tanpa pemidanaan.

Juga dapat mengatasi kendala pemulihan aset yang berada di pihak ketiga, aset tak bertuan, pelakunya buronan atau meninggal dunia. Agar penerapan ini dilakukan ekstra hati-hati karena rentan dengan pelanggaran HAM. Untuk menghindari ini maka harus didukung dengan bukti-bukti kuat dan tak terbantahkan. Jika ada pihak yang mengklaim, maka harus diberi kesempatan untuk membuktikan klaimnya melalui gugatan perdata secara fair dan objektif.

Kata kunci : Perampasan, aset, tanpa pemidanaan, korupsi, gugatan perdata, tuntutan pidana, kerugian negara, praduga tidak bersalah, praduga bersalah, ne bis in idem, hak asasi manusia, korban (negara dan rakyat), pihak ketiga yang tidak bersalah, perlindungan sosial, dan kesejahteraan sosial.

ABSTRACT

(7)

NCB Asset Forfeiture has become the main concern of the global community in tackling crime, including corruption. Many countries have adopted this for various forms of crime. This NCB can effectively recover assets tainted with crime, but faced challenges on the basis of human rights. This normative research discusses problems regarding NCB regulations, its application in seizure of corruption assets, and its relationship with human rights.

The research results concluded. First, NCB regulations have not been specifically regulated. UUPTPK still adheres to criminal forfeiture, depending on criminal error, only applies to perpetrators who died, does not apply if the criminal error is not proven, cannot confiscate unmanned assets and assets of innocent owners. Second, the application of NCB is very effective in returning assets to victims and continues to grow rapidly in common law countries such as the United Kingdom, the United States, Australia, Ireland, Switzerland, the Philippines, South Africa, and others. In civil law it is still contested, as in Indonesia, it does not have a law. Third, NCB is in line with and not against human rights. In accordance with the constitution (Article 28H paragraph 4 and Article 28G paragraph 1 of the 1945 Indonesian Constitution), Article 29 paragraph (2) DUHAM / UDHR, Article 70 and Article 29 paragraph (1) UUHAM, European Commission on Human Rights Decree 1986, ICJ Decree 1959, and the opinion of legal experts, the state has the authority to control illegal assets or is tainted by corruption. The presumption of guilt principle applies to the assets themselves, while the principle of presumption of innocence is addressed to the perpetrator. This also does not contradict the principle of ne bis in idem because civil suit and criminal prosecution are two different things, cannot be viewed as one and the same thing. As long as the application of NCB is still given the opportunity to the Innocent owners to argue and it is not done arbitrarily, it remains constitutional and does not contradict human rights.

It is hoped that NCB is regulated in the UUPTPK, improve MLA regulations for civil matters, correcting and promulgating the Asset Confiscation Bill, so that the assets are located abroad can be recovered without conviction. It can also overcome the constraints on asset recovery in innocent owners, unauthorized assets, the perpetrator is fugitive or has died. So that this application is extra prudent because it is vulnerable to human rights violations. To avoid this, it must be supported by strong and irrefutable evidence. If a party claims, then he must be given the opportunity to prove his claim through a civil lawsuit fairly and objectively.

Keywords : Confiscation, assets, without conviction, corruption, civil action, criminal charges, state loss, presumption of innocence, presumption of guilt, ne bis in idem, human rights, victims (state and people), innocent owners, social defense, and social welfare.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulillah saya ucapkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya masih memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (MH) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penelitian yang berjudul

”Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”

ini membahas permasalahan dalam regulasi perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan, penerapannya dan hubungannya dengan HAM, dan telah dinyatakan lulus ujian yudisium pada tanggal 30 November 2020.

Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, saya mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum., Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum.

4. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.H., Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi, masukan, pembimbingan, dan arahan selama perkuliahan hingga saat penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., Anggota Komisi / Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

6. Seluruh Bapak / Ibu dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan hukum yang bermanfaat selama perkuliahaan.

7. Seluruh Staf / Pegawai Adminstrasi yang telah banyak membantu segala urusan administratif dan memberikan informasi mengenai studi.

(9)

8. Ayah Teuku Iskandar S.E., M.S., dan Ibunda (Nyayak) Cut Nurhayati yang tersayang dan tercinta, dukungan moril dan materiil, bimbingan, do’a yang tak henti-hentinya agar saya menjadi anak yang terbaik dan sukses. Semoga Ayah dan Nyayak tetap sehat selalu dan dalam lindungan Allah.

9. Papa dan mama yang tersayang dan tercinta Dr. H. Muhammad Yusni, S.H., M.H., dan Hj. Sofiani SP., yang tiada hentinya selalu memberikan dukungan moril maupun materil, bimbingan, do’a dan nasehat yang tak terhingga, semoga papa dan mama sehat-sehat selalu dan dalam lindungan Allah.

10. Istri tercinta Dwi Rahmawati, S.H., M.H., yang selalu hadir menemani di kala suka maupun duka, menjadi motivator, pembimbing ke arah yang lebih baik, dan selalu sabar menghadapi segala keadaan apapun yang terjadi.

11. Anak ku tersayang Cut Adeeva Shakilla dan Cut Andhyra Salwa yang selalu menimbulkan semangat hidup saya dan sekaligus memotivasi ku sehingga studi ini dapat terselesaikan.

12. Teman-teman kuliah seperjuangan yang tak terlupakan, suka dan duka dalam studi memberikan warna tersendiri dan semangat untuk sampai di penghujung studi ini. Tak lupa pula buat rekan-rekan kantor di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan Kejaksaan Negeri Medan selalu memberi semangat untuk dapat menyelesaikan studi ini agar menjadi lebih baik dalam penguasaan ilmu hukum dan professional dalam menjalankan tugas kedinasan.

Mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi semua orang, menambah, dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan hukum. Mudah-mudahan pula saya mampu mewujudkan karya ini untuk menjawab permasalahan penerapan NCB Asset Forfeiture dalam memulihkan aset negara yang dicuri oleh para koruptor. Mohon maaf atas ketidaksempurnaan ini, kepada semua pihak diharapkan saran dan kritik untuk perbaikan ke depan.

Medan, 30 November 2020 Penulis

Teuku Isra Muntahar

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Teuku Isra Muntahar

Tampat & Tgl Lahir : Malang, 11 April 1986 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Usia : 34 tahun

Status : Menikah

Alamat : Kompleks Taman Setiabudi Indah I Blok SS-76 E-mail : teukuisramuntahar@gmail.com

II. Pendidikan

1. SD Negeri 69 Banda Aceh (Tamat dan berijazah tahun 1998).

2. MTs Jeumala Amal Pidie Jaya (Tamat dan berijazah tahun 2001).

3. SMA Negeri 3 Banda Aceh (Tamat dan berijazah tahun 2004).

4. Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala Banda Aceh (2005-2011).

5. Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2016-2020).

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi... 14

1. Kerangka Teori... 14

a. Teori perlindungan HAM ... 15

b. Teori perampasan aset ... 18

c. Teori kepentingan umum ... 24

2. Landasan Konsepsi... 27

G. Metode Penelitian... 28

1. Jenis Penelitian ... 29

2. Sumber Data ... 30

3. Sifat Penelitian ... 31

(12)

4. Pendekatan ... 32

5. Teknik Pengumpulan Data ... 32

6. Analisis Data ... 33

BAB II : REGULASI PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN ... 35

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan (NCB Asset Forfeiture) Sebagai Instrumen Baru Dalam Mengembalian Kerugian Negara ... 35

B. Pengaturan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 .. 55

C. Pengaturan Bantuan Hukum Timbal Balik Memudahkan Upaya Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Antar Lintas Batas Negara . 64 D. Regulasi Yang Mengatur Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Di Indonesia ... 72

BAB III : PENERAPAN PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN ... 78

A. Beberapa Negara Yang Mengadopsi NCB Asset Forfeiture Dalam Regulasi Nasionalnya ... 78

1. Australia ... 78

2. Irlandia ... 80

3. Filipina ... 82

B. Contoh Kasus Penerapan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (NCB Asset Forfeiture) Di Amerika Serikat ... 84

(13)

C. Contoh Kasus Penerapan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan

(NCB Asset Forfeiture) Di Indonesia ... 94

BAB IV : PERAMPASAN ASET KORUPSI TANPA PEMIDANAAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA... 104

A. Tujuan Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Untuk Perlindungan Hak-Hak Sosial Yang Lebih Luas ... 104

B. Perampasan In Rem Dalam RUU Perampasan Aset Mirip Dengan NCB Asset Forfeiture ... 112

C. Negara dan Rakyat Merupakan Korban Tindak Pidana Korupsi ... 120

D. Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ... 128

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

A. Kesimpulan... 143

B. Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perampasan aset hasil kejahatan tanpa pemidanaan merupakan perhatian utama dari komunitas global dalam menanggulangi kejahatan keuangan. Instrumen ini menjadi salah satu kaidah yang diatur dalam United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003. Negara-negara pihak diharapkan dapat memaksimalkan upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa pemidanaan ini.1

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sedang digagas oleh Negara Republik Indonesia (RI) berharap pemulihan aset hasil kejahatan dapat efektif dan optimal. Namun beberapa tantangan yang harus dihadapi diantaranya terkait dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas penggunaan instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan dianggap tidak adil.2

Peramppasan aset tanpa pemidanaan dalam civil forfeiture mengenal prinsip Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture merupakan instrumen hukum perdata yang untuk merampas aset/hasil tanpa melalui jalur tuntutan pidana.3 Gagasan perampasan aset tanpa pemidanaan ini telah lama dalam rancangan dan hingga kini

1https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/tantangan-penerapan-perampasan-aset-tanpa- tuntutan-pidana-non-conviction-based-asset-forfeiture-dalam-ruu-perampasan-aset-di-indonesia, diakses tanggal 16 Mei 2019, Artikel, Refki Saputra, “Tantangan Penerapan Perampasan Aset tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) dalam RUU Perampasan Aset di Indonesia”, Dipublikasikan di Website acch.kpk.go.id, Tanggal 16 Juni 2017.

2 Ibid.

3 Tood Bernet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesnes Law Review Fall, 2001, hal. 46 dan hal. 91-92.

(15)

belum diundangkan. Masalah politis dan perdebatan HAM syarat dalam RUU ini antara pro dan kontra saling tarik-menarik.

Argumentasi yang digunakan oleh mereka yang kontra adalah membenturkan NCB Asset Forfeiture dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sehingga mereka berpendapat NCB Asset Forfeiture bertentangan dengan HAM. Oleh sebab itulah, argumentasi di dalam penelitian ini berupaya untuk membahas ini apakah perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB Asset Forfeiture tersebut bertentangan dengan HAM.

NCB Assets Forfeiture memang diakui rentan dengan pelanggaran HAM, dan dianggap sebahagian orang tidak adil, namun tetap dilaksanakan. Seperti Amerika Serikat tetap mempertahankan NCB Assets Forfeiture untuk hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi wewenang kepada pemerintah federal untuk menyita kapal. Supreme Court mendukung penggunaan NCB Assets Forfeiture dalam kasus Palmyra di tahun 1827. Pengadilan menolak argumen pengacara pemilik kapal yang mengatakan penyitaan kapal kliennya adalah ilegal karena tanpa putusan pidana yang menyatakan pemiliknya bersalah. Kasus inilah yang menjadi dasar yurisprudensi pertama penggunaan NCB Assets Forfeiture secara global.4

Terdapat tiga metode perampasan aset di negara common law yaitu criminal forfeiture, admnistrative forfeiture, dan civil forfeiture. Criminal forfeiture adalah perampasan aset yang dilakukan melalui peradilan pidana dan perampasan aset baru dapat dilakukan jika terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana.

4 Ibid.

(16)

Administrative forfeiture adalah mekanisme perampasan aset yang mengizinkan negara untuk melakukan perampasan aset tanpa melibatkan lembaga yudisial.5

Civil forfeiture adalah perampasan aset yang menggunakan prinsip gugatan perdata (in rem) terhadap aset bukan terhadap pelaku tindak pidana atau disebut juga dengan prinsip NCB Asset Forfeiture, sehingga aset dapat dirampas meskipun proses peradilan pidana terhadap pelaku belum selesai.6 Prinsipnya ini merampas aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau dengan sumber penambahan kekayaan seseorang dimana ia tidak dapat membuktikan asal-usul perolehan aset secara sah, maka aset tersebut harus dirampas.7

Jika perampasan aset tanpa pemidanaan atau civil forfeiture atau NCB Asset Forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, maka instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan ini tidak memerlukan banyak persyaratan dan karenanya instrumen ini lebih menarik untuk diterapkan, lebih menguntungkan negara dalam rangka perlindungan korban (negara dan rakyat).8

5 Yunus Husein, “Penjelasan Hukum Tentang Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan (Puslitbangkumdil) Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan United States Agency International Development (USAID), hal. 15.

6 Ibid.

7 Ramelan & Tim Penyusun, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2012), hal. 170.

8 Sudarto, “Mekanisme Perampasan Aset Dengan Menggunakan Non Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS, Vol. V, No. 1 (Januari-Juni 2017), hal. 111.

(17)

NCB Asset Forfeiture alat untuk merampas aset kejahatan tanpa melalui jalur pidana.9 Penghukuman dijatuhkan tidak berdasarkan keyakinan atas kesalahan melalui pembuktian jalur pidana (tanpa pemidanaan), atau kebalikan dari Conviction Based (CB).10 Sementara prinsip CB telah dianut di dalam Pasal 183 KUHAP yang menegaskan dalam penjatuhan pidana harus didasarkan pada keyakinan hakim.11

Prinsip CB sudah dikenal dalam hukum pidana Indonesia, yaitu perampasan aset kejahatan harus melalui jalur hukum pidana (criminal forfeiture) terhadap orangnya (in personam). Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghukuman terhadap pribadi terdakwa. Jika terdakwa dinyatakan bersalah baru kemudian merampas aset / menyita harta terdakwa yang berkaitan erat dengan suatu kejahatan.12

Perampasan aset dengan prinsip CB menaruh harapan kepada jaksa penuntut untuk untuk meyakinkan (conviction) hakim terlebih dahulu membuktikan kesalahan pidana terdakwa atas tindak pidana yang dilakukan. Jika kesalahan pidana yang dituntut kepada terdakwa tidak terbukti dalam persidangan, maka perampasan terhadap aset/harta milik dan/atau ada kaitannya dengan kejahatan yang dituntut kepada terdakwa tidak bisa dilakukan.13

9 Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray, Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, (Washington DC: The Wolrd Bank, 2009), hal. 13.

10 Reda Manthovani & R. Narendra Jatna, Rezim Anti Pencucian Uang dan Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia, (Jakarta: Malibu, 2012), hal. 74.

11 Pasal 183 KUHAP, menentukan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

12 Reda Manthovani & R. Narendra Jatna, Loc. cit.

13 Ibid.

(18)

Model NCB Asset Forfeiture tidak demikian halnya, tapi menggunakan gugatan perdata terhadap aset (in rem), atau penyitaan terhadap aset secara perdata tanpa mengikuti jalur pidana. Penyitaan dilakukan terhadap aset, bukan terhadap orang atau pelakunya.14 Setiap tindakan pelaku dalam proses pidana, dipisahkan dengan proses perdata dan cukup dengan bukti bahwa terhadap suatu harta (properti) tersebut tercemar (ternodai) oleh kejahatan yang dituntut.15

Dengan kata “non” di dalam NCB Asset Forfeiture berarti meniadakan atau tidak menggunakan prinsip CB. Oleh karena instrumen ini menggunakan hukum perdata atau tanpa pemidanaan untuk merampas aset yang berkaitan dengan kejahatan terdakwa, atau tanpa proses pidana yang harus berdasarkan keyakinan hakim pengadilan, maka istilah ini disebut dengan NCB Asset Forfeiture.16

Urgensi penggunaan NCB Asset Forfeiture ini karena melihat fakta seringnya para koruptor melarikan diri (kabur/buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, gila, meninggal dunia atau bahkan diputus bebas melalui proses criminal forfeiture, padahal berdasarkan perhitungan dari instansi yang berwenang, nyata-nyata telah terjadi kerugian keuangan negara. Perampasan aset tanpa pemidanaan ini merupakan alternatif efektif perampasan aset untuk mengembalikan kerugian negara dalam rangka melindungi korban (negara dan masyarakat).

14 The European Union & The Council of Europe, Impact Study on Civil Forfeiture, (Belgrade: Dosije Studio, 2013), hal. 7, 8, 9, 13, 15, 83.

15 Ramelan & Tim Penyusun, Op. cit., hal. 37-38.

16 David Fredriek Albert Porajow, Non-Conviction Based Asset Forfeiture Sebagai Alternatif Memperoleh Kembali Kekayaan Negara Yang Hilang Karena Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perekonomian Negara, (Jakarta: FHUI, 2013), hal. 6.

(19)

Ketentuan yang berlaku selama ini di Indonesia tak lain merupakan instrumen criminal forfeiture, baik di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) maupun menurut UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), terhadap suatu aset hanya dapat dirampas jika penuntut umum dapat meyakinkan hakim pengadilan dan membuktikan kesalahan pidana si terdakwa, barulah kemudian dilakukan perampasan aset. Inilah model perampasan aset dalam criminal forfeiture.

Perampasan aset dalam konteks criminal forfeiture sangat tergantung kepada terbukti atau tidaknya kesalahan pidana seorang terdakwa. Jika terbukti bersalah, barulah perampasan aset dilakukan.17 Jika tidak terbukti bersalah, perampasan aset tidak boleh dilakukan meskipun secara materiil telah nyata-nyata ada kerugian keuangan negara. NCB Asset Forfeiture merupakan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan dalam perampasan aset tindak pidana korupsi.

Permasalahan yang menjadi tantangan Indonesia dalam perampasan aset korupsi itu seperti dalam hal tersangka tidak ditemukan, tersangka melarikan diri, tersangka atau tedakwa menjadi gila, tidak terdapat ahli waris atau ahli waris tidak ditemukan untuk dilakukan gugatan perdata, sedangkan kerugian keuangan negara nyata adanya, dan aset tersebut juga tidak diletakkan dalam sita pidana. Permasalahan

17 Adnan Topan Husodo, “Catatan Kritis Atas Usaha Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Legislasi, Vol. 7, No.4, Desember 2010, hal. 20.

(20)

hukum yang masih belum tersentuh ini tidak dapat diselesaikan melalui instrumen criminal forfeiture, sebab prosesnya in personam yang melekat pada diri pelaku.18

Terhadap permasalahan yang ditemukan di dalam criminal forfeiture, maka alternatif perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB Asset Forfeiture merupakan solusi. Terkait dengan perdebatan isu HAM antar pro dan kontra, justru dengan NCB Asset Forfeiture dapat lebih melindungi HAM yang lebih luas, negara dan korban, atau kepentingan seluruh rakyat Indonesia dalam rangka memenuhi sile ke-5 Pancasila, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, kemanfaatan umum dan kesejahteraan rakyat. Sedangkan dalam instrumen criminal forfeiture hanya berfokus melindungi hak asasi terdakwa.

NCB Asset Forfeiture dinilai sebagian kalangan dapat menimbulkan konflik penerapan dalam kaitannya dengan HAM, terutama tentang hak milik, dianggap bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan hak terdakwa untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya di muka persidangan (non-self incrimination).19

Pasal 18 ayat (1) UU RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM (UUHAM) menentukan setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan. Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHAM ini menganut asas praduga tidak bersalah.

18 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 7.

19 Ibid.

(21)

Jika menerapkan perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB Asset Forfeiture, maka terhadap harta/aset seseorang yang melakukan kejahatan dan memiliki kaitan/tercemar dengan kejahatan harus menerapkan asas praduga bersalah.

Para pendukung yang menolak juga mendasari pada Pasal 19 ayat (1) UUHAM, yang menentukan bahwa tiada suatu perlanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.

Selain hak hidup dan kebebasan, hak milik merupakan hak fundamental yang harus dilindungi dan dihormati. Harta kepemilikan sebagai hak dasar seseorang yang harus dilindungi negara. Jika dilanggar, maka telah terjadi pelanggaran HAM. Dalam prinsip ini harus ditekankan bahwa seseorang tidak dapat dipidana hanya karena kecurigaan memiliki harta benda dan memintanya untuk menjelaskan di muka persidangan bahwa harta tersebut didapatkan dengan cara yang sah.20

Argumentasi yang diajukan oleh para pendukung NCB Asset Forfeiture tidak bertentangan dengan HAM didasarkan pada justifikasi perlindungan hukum terhadap korban (negara dan rakyat), atau kepentingan umum, atau kepentingan yang lebih luas daripada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kepentingan umum merupakan suatu tuntutan yang harus diutamakan perlindungannya daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, jika suatu harta/aset yang ditemukan ada kaitanya (tercemar) dengan kejahatan, maka sangat logis untuk menerapkan asas praduga bersalah terhadap aset yang ada kaitan dengan kejahatan.

20 Yunus Husein, “Penjelasan…, Loc. cit.

(22)

Perlu diketahui bahwa tujuan hukum dibuat seharusnya dipikirkan bagaimana cara agar dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat, dengan cara membatasinya, karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan pihak tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan di lain pihak. Ada tiga kepentingan manusia yang harus dilindungi yaitu kepentingan umum (public interest), kepentingan masyarakat (social interest), dan kepentingan individu (private interest).21

Perlindungan terhadap kepentingan umum merupakan tugas negara, menyangkut aspek yang cukup luas, antara lain menyangkut aspek ekonomi, kesejahteraan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, dan lain-lain.

Perlindungan terhadap kepentingan individu meliputi perlindungan terhadap hak-hak privasi, harta, integritas fisik, kemerdekaan kehendak, reputasi, jaminan rahasia- rahasia pribadi, kemerdekaan untuk menjalankan agama, dan lain-lain.22

Jika suatu kejahatan biasa tentu ditanggulangi dengan cara yang biasa, namun ketika berhadapan dengan suatu kejahatan luar biasa dan merugikan keuangan negara atau merugikan hak seluruh rakyat Indonesia akibat korupsi yang semakin meningkat, maka upaya penanggulangannya harus luar biasa (extra ordinary), salah satunya adalah dengan mengenyampingkan HAM pribadi karena dengan NCB Asset Forfeiture yang mengesampingkan HAM pribadi dapat lebih memberi nilai yang

21 Salim, H.S. & Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 266.

22 Ibid., hal. 267-268.

(23)

bermanfaat (utility) bagi kepentingan umum seluruh rakyat Indonesia atas aset-aset yang telah dikembalikan kepada negara.

Justifikasi sosiologis dapat dikaji dari perspektif ketentuan UUPTPK yaitu untuk mengakomodasi aspirasi rakyat dalam memberantas korupsi, karena pihak yang menjadi korban korupsi itu pada hakikatnya adalah negara dan seluruh rakyat, sebab keuangan negara berasal dari rakyat itu sendiri melalui pungutan pajak. Oleh karena itulah penanggulangan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan penggunaan NCB Asset Forfeiture, dengan tetap menjunjung tinggi HAM pelaku dan mendahulukan kepentingan rakyat yang lebih luas.

Perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan dalam penelitian ini merupakan isu yang menarik dari proses berfikir dan praktik yang dikhususkan pada aspek perdata dan administratif, bukan menyangkut aspek pidana. Tujuannya agar aset-aset yang dicuri, yang tercemar atau berkaitan dengan kejahatan, dapat kembali kepada negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat melalui pembangunan nasional. Sehingga justifikasi pembenaran atas pelanggaran HAM tersebut belum dapat diterima secara mutlak.

Perdebatan seputar penggunaan instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB Asset Forfeiture atau civil forfeiture ini di dalam regulasi perampasan aset di Indonesia, apakah melanggar HAM atau tidak, menjadi tema isu utama yang akan diangkat dan dibahas di dalam penelitian ini. Sehingga dipilih dan diajukan judul tesis, yaitu ”Perampasan Aset Korupsi Tanpa Pemidanaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, untuk memberikan justifikasi ilmiah terhadap perdebatan tersebut.

(24)

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini terkait dengan gambaran yang telah disinggung di dalam latar belakang tersebut di atas, adalah:

1. Bagaimanakah regulasi yang mengatur tentang perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan di Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan di berbagai negara dan di Indonesia?

3. Bagaimanakah perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan dalam perspektif hak asasi manusia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian tentang kebijakan hukum perampasan aset korupsi tanpa putusan pengadilan dalam perspektif HAM ini dilakukan adalah:

1. Untuk mengetahui dan mamahami regulasi yang mengatur tentang perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan di Indonesia?

2. Untuk mengetahui dan memahami penerapan perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan di berbagai negara dan di Indonesia?

3. Untuk mengetahui dan menganalisis perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan dalam perspektif hak asasi manusia?

(25)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna bagi semua elemen, baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, bermanfaat dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam penanggulangan korupsi di Indonesia. Bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutanya, memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, dan berkontribusi dalam penanggulangan korupsi di masa yang akan datang.

2. Secara praktis, bermanfaat bagi negara, legislator (eksekutif dan legislatif), aparat penegak hukum meliputi polisi, jaksa, KPK, pengacara, hakim, dan masyarakat. Bagi legislator menjadi bahan pertimbangan ke depan untuk lebih mementingkan kemanfaatan umum dan kesejahteraan rakyat dari upaya penanggulangan korupsi. Bagi pemerintah dimaksud agar dapat mendesain, mengubah konsep dan metode klasik yang hanya mengandalkan sarana perampasan aset/harta melalui instrumen criminal forfeiture dalam menanggulangi korupsi. Upaya perampasan aset tanpa pemidanaan lebih efektif untuk mengatasi para koruptor melarikan diri (kabur/buronan), sakit dibuat-buat, gila, meninggal dunia, atau bahkan diputus bebas melalui proses criminal forfeiture. Manfaat bagi masyarakat adalah dapat meningkatkan kesadaran hukum pentingnya bersikap jujur dan adil tanpa harus terlibat dalam Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN).

(26)

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) dan juga menelusuri (searching) originalisasi penelitian melalui situs- situs resmi perguruan tinggi di internet, ditemukan beberapa hasil penelitian atau karya ilmiah yang menulis tentang tindak pidana korupsi, antara lain:

1. Buku, atas nama Muhammad Yusuf, dengan judul “Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Buku ini merupakan hasil dari disertasinya yang telah lulus dalam Sidang Terbuka Program Doktor di Universitas Padjadjaran. Fokus kajian buku ini adalah membahas secara umum tentang perampasan aset tanpa tuntutan pidana berdasarkan UNCAC 2003 yaitu NCB Asset Forfeiture. Dalam buku tersebut, tidak memberikan argumentasi ilmiah dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM.

2. Disertasi, atas nama Japansen Sinaga, dengan judul “Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Pendekatan Non Penal Dalam Rangka Perlindungan Hukum Terhadap Korban”. Lulusan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2016. Fokus kajian disertasinya tentang civil forfeiture sebagai pendekatan non penal dalam penanggulangan korupsi termasuk membahas NCB Asset Forfeiture. Tapi, tidak membahas korelasi NCB Asset Forfeiture dengan pelanggaran HAM.

Penelusuran kepustakaan dilakukan agar penelitian ini terhindar dari perilaku- perilaku plagiat (duplikasi) terhadap hasil karya ilmiah milik orang lain. Berdasarkan hasil penelusuran terhadap judul dan rumusan masalah penelitian terdahulu, tidak

(27)

ditemukan judul maupun materi pembahasan yang sama dengan penelitian ini.

Penelitian ini berfokus pada benturannya dengan HAM, mengkaji benturan prinsip NCB Asset Forfeiture dengan HAM secara mendalam dikaitkan dengan HAM yang lebih luas berdasarkan teori kemanfaatan umum, teori kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan perbedaan itu, dapat dikatakan bahwa penelitian ini sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu asas kejujuran, rasional, objektif, terbuka, dan sesuai implikasi etis dari suatu prosedur menemukan kebenaran ilmiah secara bertanggung jawab. Oleh sebab itu, penelitian ini baru pertama kali dilakukan dan memiliki keaslian (original), tidak plagiat (duplikat) dari hasil karya ilmiah milik orang lain atau milik lembaga lain, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah di hadapan publik.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori perlindungan HAM, teori perampasan aset, teori kepentingan umum. Penggunaan ketiga teori ini sehubungan dengan perdebatan antara pro dan kontra, bahwa perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan dipandang sebagaian orang bertentangan dengan HAM.

Teori kepentingan umum untuk menganalisis apakah perampasan aset tersebut bertentangan dengan HAM atau tidak.

(28)

a. Teori perlindungan HAM

Kesadaran terhadap pentingnya perlindungan HAM bermula dari keinsyafan terhadap harga diri, harkat, dan martabat kemanusiaan. Bahwa HAM itu sudah ada sejak manusia dikodratkan lahir ke dunia.23 Pemikiran dan perjuangan menegakkan perlindungan HAM yang telah dimulai sejak abad ke-17 terus berlanjut hingga kini, konsep pemikiran perlindungan terhadap korban merupakan bagian dari upaya perlindungan terhadap HAM.24

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa konsepsi negara hukum (rechtstaat) maupun konsepsi the rule of law, menempatkan dan menjunjung tinggi HAM sebagai salah satu ciri khas negara hukum, menjunjung tinggi the rule of law. Bagi suatu negara demokrasi, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan.25

Indonesia merupakan negara hukum. Segala tindakan aparatur negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar aturan hukum atau perundang- undangan, menjamin perlindungan HAM, adanya pembagian kekuasaan, adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.26 Unsur-unsur ini harus saling berkaitan erat dan tidak boleh dipandang secara terpisah.27

23 Ramdhon Naning, Cita dan Citra Hak-HAM di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Program Penunjang Hukum Universitas Indonesia, 1990), hal. 8.

24 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan, (Jakarta: Bayu Media, 2007), hal. 85.

25 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hal. 21.

26 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 29.

27 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 28.

(29)

Negara hukum mengakui dan melindungi HAM setiap individu. Tapi, jaminan terhadap HAM haruslah memperhatikan HAM yang lebih luas daripada HAM individu atau perseorangan maupun kelompok. HAM meliputi beragam aspek, mulai dari hak di bidang politik, hak hidup, hak berbicara, hak di bidang hukum, hak ekonomi, kesejahteraan, dan lain-lain. Di samping HAM individu atau perseorangan maupun kelompok, ada HAM yang lebih luas yaitu HAM seluruh rakyat Indonesia.

Negara pada mulanya tidak diperkenankan memasuki wilayah privasi setiap individu, tapi dengan berkembangnya pandangan fungsi sosial dari pada hak-hak itu sendiri, terutama dengan lahirnya konsep negara kesejahteraan (walfarestate), maka demi kepentingan umum atau kepentingan rakyat, negara diwajibkan mencampuri atau menerobos wilayah privasi setiap individu dalam konteks terbatas. Meskipun demikian negara tidak sebebas-bebasnya mencampuri urusan HAM privasi, melainkan haruslah mempertimbangkan keseimbangan antara HAM privasi dan HAM yang lebih luas.28

Universalitas HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem, yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Universalitas HAM tidak dapat lagi diterima berlaku secara umum, karena

28 Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti, 2009), hal. 19-20.

(30)

berdasarkan tempat, ruang, dan waktu, ada pembatasan hak dan kewajiban yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.29

Korban sebagai subjek hukum pemegang hak dan kewajiban, merupakan orang perseorangan atau suatu badan hukum, yang terkena dampak dari suatu tindak pidana. Korban dalam perkara korupsi adalah rakyat secara keseluruhan dan negara, sebab itulah tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan kerugian keuangan negara yang menjadi hak seluruh rakyat Indonesia, dan seharusnya diperuntukkan sebesar- besarnya bagi kemakmuran atau kesejahteraan rakyat.

UUHAM menegaskan hal yang sama tentang universalitas HAM sebagai hak dasar dan kodrati, universal dan langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Namun, selain HAM, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap manusia yang lain, antar individu di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.30

Pengaturan HAM di dalam suatu negara hukum, bukan berarti pengekangan terhadap individu atau suatu kelompok, namun pengaturan itu dimaksudkan oleh negara untuk melindungi kepentingan HAM di lain pihak yang lebih besar dan luas.

Instrumen negara untuk melindungi HAM yang lebih luas tersebut dapat digunakan konsep perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan atau NCB Asset Forfeiture.

29 Kurniawan Kunto Yuliarso & Nunung Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia:

Menuju Democratic Governances”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Vo.8, No.3, Maret 2005, hal 293-395.

30 Konsideran huruf b dan huruf c UU RI No.30/1999 Tentang HAM (UUHAM).

(31)

b. Teori perampasan aset

Ada tiga teori perampasan aset yang dapat diterapkan di dalam suatu negara dalam penanggulangan kejahatan, yaitu criminal forfeiture dan civil forfeiture. Dua instrumen hukum ini berbeda dalam merampas aset/harta hasil kejahatan. Criminal forfeiture menyangkut perampasan aset kejahatan mengikuti prosedur hukum pidana, sedangkan civil forfeiture menyangkut perampasan aset kejahatan berdasarkan prosedur perdata.

1) Criminal forfeiture

Criminal forfeiture atau penyitaan pidana dalam pandangan Stefan D.

Cassella, merupakan bagian dari hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa dalam kasus pidana.31 Criminal forfeiture mengandung konsep perampasan aset/harta sebagai hukuman dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara pidana. Selain menghukum yang bersalah (pelaku), perampasan aset/harta juga dilakukan jika aspek pidananya terbukti bersalah.32 Criminal forfeiture tidak dapat merampas aset/harta pemilik yang tidak terbukti bersalah secara pidana.33

Criminal forfeiture ditujukan kepada orang perorangan atau pribadi (in personam), yaitu menyasar pada terdakwa secara pribadi dituduh melakukan kejahatan dimana korbannya kehilangan harta benda (aset).34 Dengan menggunakan

31 Stefan D. Cassella (I), “Criminal Forfeiture Procedure in 2015: An Annual Survey of Developments in the Case Law”, Criminal Law Bulletin, Date: 8/22/2015, hal. 2.

32 Ibid.

33Avital Blanchard, “The Next Step in Interpreting Criminal Forfeiture”, Cardozo Law Review, Vol. 28, No.3, Tahun 2006, hal. 1428.

34 Ibid., hal. 1429.

(32)

persidangan pidana (criminal proceeding)35, jika terdakwa tidak dihukum karena kejahatan, maka harta (aset) korban tidak boleh disita/dirampas.36

Charles Doyle menjelaskan bahwa dalam criminal forfeiture terdapat tuntutan pidana yang bersamaan dilakukan dengan tuntutan terhadap perampasan aset (harta) kejahatan.37 Criminal forfeiture baru dapat dilakukan jika terdakwa telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan hanya boleh dilakukan terhadap harta/aset hasil dari kejahatan.38 Dari tuntutan pidana, pengadilan dapat memerintahkan perampasan terhadap harta/aset milik terdakwa sebagai gantinya atau dikenal substitute assets atau aset pengganti (vide: uang pengganti dalam UUPTPK).39

Criminal forfeiture menurut Lincoln Stone merupakan penjatuhan sanksi yang dikenakan kepada pemilik harta dengan alasan kesalahan pidana. Merupakan bagian integral dalam hukum pidana.40 Terbatas pada pemilik harta yang berkaitan dengan aktivitas ilegal dari pelaku kejahatan dan tidak mencapai harta/aset lain dari pelaku.41 Melindungi aset/harta milik pihak ketiga yang tidak bersalah (innocent owners).42

Menurut Michael Goldsmith dan Mark Jay Linderman, criminal forfeiture ditujukan langsung terhadap terdakwa dalam tuntutan pidana, kemudian baru

35 David Torrance, “Evidence of Character in Civil and Criminal Proceedings”, Yale Law Journal, Heinonline-12 Yale L.J. 352 1902-1903, hal. 357.

36 Charles Doyle, “Crime and Forfeiture”, Prepared for Member and Comttees of Congress in Congressional Research Service (CRS Report), Tanggal 22 January 2015, hal. 5.

37 Ibid., hal. 16.

38http://jdih.ppatk.go.id/wp-content/uploads/2014/08/NA-RUU-Perampasan-Aset.pdf, diakses tanggal 10 Agustus 2019.

39 Charles Doyle, Op. cit., hal. 15.

40 Lincoln Stone, “Criminal Forfeiture of Attorney's Fees under Rico and CCE”, Notre Dame Journal of Law, Ethics & Public Policy, Volume 2, Issue 2 Symposium on Criminal Justice, February 2014, hal. 541.

41 Ibid., hal. 553.

42 Avital Blanchard, Op. cit., hal. 1421.

(33)

dilakukan perampasan aset/harta.43 Menggunakan metode pendekatan hukum pidana atau tuntutan pidana terhadap orang untuk menyita suatu aset/harta. Tuntutan terhadap orang ditujukan kepada terdakwa.44

Criminal forfeiture menggunakan prinsip conviction based (CB). Untuk menjatuhkan hukuman terhadap seseorang haruslah berdasarkan keyakinan hakim melalui pemidanaan.45 Penuntut umum harus membuktikan terlebih dahulu terpenuhinya unsur-unsur delik pidananya seperti kesalahan (personal culpability) dan mens rea dari terdakwa sebelum dilakukan penyitaan aset/harta.46 Penuntut membuktikan kesalahan pidana terdakwa dengan standar pembuktian beyond reasonable doubt, yaitu, seseorang dapat dinyatakan bersalah harus berdasarkan bukti-bukti yang kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali.47

Criminal forfeiture memiliki kelemahan yaitu masih melindungi pemilik harta yang tidak terbukti bersalah secara pidana. Criminal forfeiture hanya memungkinkan perampasan terhadap harta terdakwa jika terdakwa terbukti bersalah. Criminal forfeiture tidak mampu menggunakan total perampasan jika hanya menggunakan undang-undang pidana. Aset/harta yang ada kaitannya (tercemar) dengan kejahatan

43 Michael Goldsmith & Mark Jay Linderman, “Asset Forfeiture and Third Party Rights: The Need For Further Law Reform”, Duke Law Journal, Vol. 1989: 1254, hal. 1260.

44 Scott Jones, “Forfeiture and Restitution in the Federal CriminalSystem: The Conflict of Victims Rights and Government Interests”, American University Criminal Law Brief, Vol. 6, No. 2, Tahun 2010, hal. 28.

45 Reda Manthovani & R. Narendra Jatna, Op. cit., hal. 74.

46 Tood Bernet, Op. cit.,, hal. 88.

47http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-hukum-asas-praduga-tak- bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-atmasasmita-, diakses tanggal 10 Agustus 2019, Artikel, Romli Atmasasmita, “Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik”, Dipublikasikan di website hukumonline, Tanggal 14 Desember 2009.

(34)

pelaku tidak dapat dirampas jika aspek pidananya tidak terbukti, dan masih melindungi aset/harta milik pihak ketiga (innocent owners).48

2) Civil forfeiture

Civil forfeiture atau perampasan perdata, menggunakan gugatan in rem, yaitu suatu tindakan hukum untuk melawan aset/harta (property) itu sendiri, bukan terhadap individu (in personam), misalnya, Negara vs. $100.000. NCB civil forfeiture adalah tindakan hukum yang terpisah dari proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu aset/harta (property) tersebut tercemar (ternodai) oleh suatu tindak pidana.49 Harta/aset menjadi dasar perampasannya, sekalipun unsur pidana belum sepenuhnya terbukti secara sah dinyatakan bersalah oleh hakim pengadilan.

Civil forfeiture dapat menjawab kelemahan di dalam criminal forfeiture. Jika menerapkan criminal forfeiture kemungkinan tidak bisa memperoleh harta/aset yang dituntut akan kembali, karena kesalahan pidana dari pemilik merupakan komponen yang sangat penting untuk dilakukan perampasan aset. Jika menggunakan civil forfeiture, meskipun pelaku tidak dinyatakan bersalah, harta yang terkait atau tercemar dengan kejahatan, tetap bisa dirampas.50

Civil forfeiture mencakup perampasan harta/aset terhadap pemilik yang tidak bersalah (innocent owners), sedangkan aset/harta dalam criminal forfeiture baru dapat dirampas bilamana pelaku (terdakwa) telah terbukti secara sah dan meyakinkan

48 Avital Blanchard, Op. cit., hal. 1420-1421.

49 Theodore S. Greenberg, dkk., Op. cit., hal. 104.

50 Avital Blanchard, Op. cit., hal. 1430.

(35)

bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.51 Ini tidak mengharuskan penuntut umum membuktikan unsur-unsur kesalahan terdakwa, cukup dengan membuktikan adanya kemungkinan akibat atau dugaan bahwa aset/harta memiliki hubungan kuat dengan tindak pidana.52

Pembuktian dalam civil forfeiture cukup dengan membuktikan sebuah tindak pidana telah terjadi dan diduga kuat ada aset/harta telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana. Pemilik dari aset kemudian dapat membuktikan bahwa aset/harta tersebut bukan terkait, atau merupakan hasil, digunakan, atau berkaitan dengan tindak pidana.53 Perampasasn aset/harta dalam civil forfeiture bukan bagian dari perkara pidana, namun bagian dari perkara perdata melalui gugatan.54

3) Administrative forfeiture

Civil forfeiture di Amerika Serikat merupakan kelanjutan dari proses administrative forfeiture melalui pengumuman di media massa. Jika dari pengumuman oleh pemerintah yang hendak merampas aset/harta, kemudian ada pihak yang mengklaim aset/harta tersebut, maka negara mengajukan opsi yaitu civil

51 Ibid., hal. 1420.

52 Tood Bernet, Op. cit., hal. 94.

53 Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor, Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2013), hal. 157.

54 Marwan Effendy, “Peran Kejaksaan Dalam Upaya Menyelamatkan Keuangan Negara dari Tindak Pidana Korupsi dan Kaitannya Dengan ruu Perampasan Aset”, Makalah Disampaikan pada acara Lokakarya: Penyelamatan Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Dephukham RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan IKA-Ul, di Hotel Sahid Jaya-Solo, Tanggal 18 Agustus 2009, hal. 10.

(36)

forfeiture atau criminal forfeiture. Sehingga ada tiga model perampasan di negara federal ini, yaitu criminal forfeiture, administrative forfeiture, dan civil forfeiture.55

NCB Asset Forfeiture merupakan salah satu prinsip dari civil forfeiture, yaitu tanpa memerlukan keyakinan hakim dalam putusan pengadilan. Inilah sebagai kelanjutan dari proses administrative forfeiture melalui pengumuman di media massa memungkinkan suatu aset/harta dapat dirampas oleh negara jika tidak ada pihak yang mengajukan bantahan atau klaim.56 Jadi, civil forfeiture dapat dilakukan melalui perampasan aset/harta berdasarkan administrative forfeiture (tanpa melalui putusan pengadilan),57 atau melalui gugatan perdata in rem (peradilan perdata).58

Tahap pertama adalah pengumuman di media massa kemudian ditindak lanjuti dengan perampasan aset/harta jika tidak ada pihak ketiga yang keberatan, inilah yang disebut dengan perampasan administratif (administrative forfeiture). Administrative forfeiture dilakukan tanpa harus melalui putusan pengadilan dan telah diterapkan di Amerika Serikat.59 Dengan NCB Asset Forfeiture, jika dari proses administrative forfeiture ada pihak mengajukan klaim, maka proses dilanjutkan ke tahap pengajuan gugatan perdata (in rem).60

55 Ibid.

56 Charles Doyle, Op. cit., hal. 2. Baca juga: Tood Bernet, Op. cit., hal. 92.

57 Marwan Effendy, “Peran Kejaksaan…Loc. cit.

58http://halamanhukum.blogspot.co.id/2009/08/asset-recovery.html, diakses tanggal 11 November 2020, Artikel, Lilik Mulyadi, “Pengembalian Aset (Asset Recovery) Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Korupsi Indonesia Pasca Konvensi PBB Anti Korupsi 2003”, Dipublikasikan di blogspot.co.id, Tanggal 28 Agustus 2009.

59 Marwan Effendy, “Peran Kejaksaan…Loc. cit.

60 Ibid.

(37)

Criminal forfeiture menggunakan asas praduga tidak bersalah, sedangkan civil forfeiture menggunakan asas praduga bersalah.61 Diterapkannya civil forfeiture, tanpa harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan pelaku bersalah secara pidana sebagai konsekuensi dari bergesernya asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah pada kasus-kasus tertentu. Hal ini tidak hanya menegaskan harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang saja. Ini berarti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sekalipun sebagai batas toleransi untuk dinyatakan bersalah, tidak selalu menjadi pedoman.

c. Teori kepentingan umum

Teori kepentingan umum berkaitan dengan kemanfaatan umum dan kepentingan negara dalam rangka mewujudkan cita-cita negara dan kesejahteraan rakyat. Permasalahan penggunaan NCB Asset Forfeiture apakah melanggar HAM atau tidak, dapat dianalisis berdasarkan teori kemanfaatan kepentingan umum.

Teori kemanfaatan Jeremy Bentham, mengajarkan, “the greatest happiness of the greatest number”, suatu prinsip mengatakan kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar, dianggap sebagai kebenaran suci (sacred truth).62 Perbuatan yang baik (good) memberi manfaat kepada banyak orang. Perbuatan yang baik itu menyenangkan (pleasure) dan yang buruk (bad) menyakitkan (pain).63

61http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b25f96c2ed41/logika-hukum-asas-praduga-tak- bersalah-reaksi-atas-paradigma-individualistik-br-oleh-romli-atmasasmita-, Loc. cit.

62 Lord Lioyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, (London: Stevens & Sons, 1972), hal. 153.

63 Atip Latipulhayat, “Kahzanah Jeremy Bentham”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2015, (ISSN 2460-1543 dan e-ISSN 2442-9325), hal. 416.

(38)

Kesenangan (pleasure) dan menyakitkan (pain) merupakan dua sumber kekuatan manusia.64 Dari kedua sumber ini menentukan apa yang harus kita lakukan,65 di satu sisi standar benar dan salah, di sisi lain rantai sebab dan akibat.66 Kebahagian dipahami sebagai keadaan yang ada di dalam kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk sepanjang dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan.67

Teori ini mengutamakan prinsip manfaat (the principle of utility) melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok atau dapat meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri.68 Jika dapat meningkatkan kebahagiaan kelompok terbanyak, maka tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan rakyat akan tercapai.69 Prinsip menghasilkan manfaat terbesar merupakan tujuan hukum yang diajarkannya.

Utilitarianisme menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari suatu tindakan lebih besar daripada jumlah yang tidak bermanfaat yang dihasilkan dari tindakan itu.70 Teori ini menginspirasi dan menjadi

64 Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, (Kitchener:

Batoche Books, 2000), hal. 14.

65 Lord Lioyd of Hampstead, Op. Cit., hal. 184.

66 Ibid.

67 Atip Latipulhayat, Op. Cit., hal. 416.

68 Lord Lioyd of Hampstead, Op. Cit., hal. 185.

69 Johannes Ibrahim, ”Penerapan Single Presence Policy dan Dampaknya Bagi Perbankan Nasional”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27 No. 2, hal. 14.

70 Ian Saphiro, Asas Moral Dalam Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta & Fredom Institusi, 2006), hal. 24.

(39)

fondasi gerakan perubahan philosophical radicalism,71 dan dapat digunakan untuk menguji dan mengevaluasi seluruh institusi dan kebijakan.72

Teori manfaat ini dapat dikaitkan dengan tujuan hukum dari perampasan aset/harta tanpa pemidanaan. Berdasarkan teori ini penerapan NCB Asset Forfeiture dan proses administrative forfeiture tidak melanggar HAM, tapi justru melindungi HAM yang lebih luas. Demi kepentingan umum atau kemanfaatan umum, aset/harta yang tak bertuan dan diduga kuat terkait (tercemar) dari suatu kejahatan harus dirampas oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Kepentingan negara (state interest) merupakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Roscoe Pound (1870-1964) mengajarkan law as a tool of social engineering.73 Hukum sebagai alat untuk merekayasa sosial (masyarakat).74 Teori ini dapat digunakan sebagai sarana perubahan,75 termasuk perbuahan hukum dalam rangka mewujudkan konsep hukum pembangunan nasional.76

Ada tiga macam etika menurut tujuannya yaitu demi kepentingan individu, demi kepentingan publik, dan demi kepentingan sosial. Tujuan untuk kepentingan

71 Bertrand Russell, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumtances From the Earliest Times to the Present Day, Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq, Sejarah Filsafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 1006.

72 K. Berten, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisus, 2000), hal. 418.

73 Malik, “Membaca Kembali Teori Hukum Pembangunan”, Epistema Institute, Vol. 2, Tahun 2012, hal. 34.

74 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal. 251.

75 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung:

Alumni, 2002), hal. 14.

76 Kuswardani, “Perlindungan Hukum Terhadap Kesejahteraan Anak Harmonisasi Undang- Undang”, The 2nd University Research Coloquium, 2015, ISSN 2407-9189, hal. 377.

(40)

sosial dimaksud sebagai pedoman pengadilan dalam penerapan hukum, sedangkan tujuan untuk kepentingan publik dimaksudkan untuk kepentingan negara.77 Dengan teori kepentingan negara paling tidak dapat diperoleh alasan pembenar untuk legitimasi perampasan aset tanpa pemidanaan untuk mencapai kemanfaatan umum dan kesejahteraan rakyat.

2. Landasan Konsepsi

Landasan konsepsi memuat istilah-istilah yang digunakan sebagai pedoman pemahaman dan untuk menghindari penafsiran yang keliru dari istilah-istilah yang digunakan, yaitu:

a. Perampasan aset adalah perampasan aset yang meliputi perspektif criminal forfeiture, civil forfeiture, dan administrative forfeiture, khususnya tanpa memerlukan putusan pengadilan dengan prinsip NCB Asset Forfeiture.78 b. Korupsi adalah kejahatan atau tindak pidana yang merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara.79

c. Perampasan aset korupsi tanpa pemidanaan adalah suatu upaya perampasan aset/harta yang ada kaitannya atau tercemar (ternodai) dengan tindak pidana korupsi, tanpa melalui proses putusan hakim pengadilan pidana.80

d. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrati yang melekat pada setiap diri manusia, bersifat universal dan langgem, yang harus dilindungi, dihormati,

77 Malik, Loc. cit.

78 Yunus Husein, “Penjelasan…, Op. cit., hal. 35.

79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).

80 Theodore S. Greenberg, dkk., Loc. cit.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji faktor penyebab terjadinya perbedaan pengaturan barang impor dalam keadaan baru sebagaimana adanya undang-undang dan

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah Bertempat tinggal di wilayah Kelurahan Genuksari Kecamatan Genuk Kota Semarang, lansia yang berumur > 60 tahun,

Untuk membantu peserta didik mengembangkan keahlian, mereka harus menginternalisasi pengetahuan atau kemampuan baru dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang baru

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

dan difahami tanpa perlu pengulangan dalam berbagai perbahasan yang ada dari berbagai pendapat tersebut. Sayyid Abdurrahman Ba’lawi menyusun kitab ini secara

hukum dalam memperoleh organ gigi manusia untuk kepentingan Pendidikan. Masyarakat mengetahui adanya hukum yang mengatur tentang jual beli organ. untuk kepentingan pendidikan.

Iz toga vizualnom inspekcijom podataka moˇ zemo do- biti ideju o tome za koje se vrijednosti kovarijate izgladivaˇ c ne´ ce ponaˇsati najbolje u smislu pristranosti i u kojem smjeru

Untuk mendapatkan lokasi dan masa yang tepat untuk melaksanakan aktiviti pencegahan dan pengawalan penyakit DD dan DDB, faktor-aktor ruangan yang berkaitan dengan pembiakan nyamuk