• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

Dalam dokumen SURANTA RAMSES TARIGAN / HK (Halaman 28-36)

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

Terhadap pelaku tindak pidana di bidang perpajakan berpotensi dapat merugikan keuangan negara, oleh sebab itu terhadap pelaku harus diupayakan pencegahan dan pemberantasannya melalui kebijakan-kebijakan pidana dan pemidanaan. Perlu adanya suatu pedoman pemidanaan untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana melalui undang-undang anti pencucian uang. Pedoman pemidanaan dimaksudkan Barda Nawawi Arief, sebagai jembatan untuk menginformasikan

prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatarbelakangi disusunnya konsep untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang lebih bersifat pidana dengan jenis sanksi yang bersifat tindakan.27

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti memandangnya pentingnya menginformasikan secara sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar

“sistem dua jalur” atau double track system. Menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.

28

Hukum pidana mengenal adanya sanksi pidana (straf) dan tindakan (maatregel).29 Bagian dari pemidanaan adalah penerapan sanksi pidana (straf) bukan tindakan (maatregel), akan tetapi menurut Jan Remmelink, terkadang penerapan tindakan (maatregel) dalam praktiknya sering juga menimbulkan penderitaan terhadap pelaku.30

27 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 119.

Salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk menjadikan efek jera pelaku tindak pidana. Pemidanaan dimaksud dalam hal ini adalah penerapan sanksi pidana (straf) terhadap pelaku tindak pidana perpajakan melalui undang-undang anti

28 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidana yang menyangkut pembuat undang-undang.

29 Muhammad Eka Putra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hal. 7.

30 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 458.

pencucian uang. Penerapan sanksi pidana dalam pemidanaan merupakan suatu penghukuman bagi pelaku agar menjadikan efek jera terhadap pelaku. Penerapan sanksi pidana menurut Jan Remmelink, lebih menitikberatkan pada perbuatan pembalasan atau penderitaan yang dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar pidana.31

Tujuan pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana selama ini selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan sanksi pidana tidak mengurangi terjadinya kejahatan, justru menambah kejahatan.

32

Teori retributif bersifat absolute yakni menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya.

Teori retributif dalam perkembangan kemudian menimbulkan masalah, sebab semakin diterapkannya sanksi pidana kepada pelaku, kejahatan itu justru meningkat. Muncul teori yang mengedepankan apa sebenarnya tujuan atau apa sebenarnya yang dicari dalam pemberian sanksi pidana. Teori semacam ini disebut teori relatif (teori tujuan) yang muncul sebagi protes terhadap teori retributif (absolute). Orientasi teori relatif pada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana yang mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan memperbaiki yang salah.

Munculnya teori-teori pemidanaan yang menekankan sanksi maupun tindakan dikenal dalam hukum pidana yaitu teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif (restorative).

33

31 Ibid.

32 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op. cit., hal. 93.

33 Ibid., hal. 95-97.

Perkembangan selanjutnya, muncul teori pengobatan (treatment) yang memandang bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan dimaksud adalah untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan (treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman yang didasarkan kepada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga dibutuhkan tindakan perawatan atau pengobatan.34

Teori tertib sosial (social defence) hadir sebagai jawaban dari pemidanaan yang bersifat tindakan. Aliran dalam teori ini dibagi dua yaitu aliran radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Aliran ini masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sedangkan aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dalam suatu sistem hukum.35

Teori restoratif (restorative) memandang pula adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara.

Orientasinya adalah pada upaya perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan bagian dari tindak pidana.

34 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 79.

35 Ibid., hal. 88-89.

Konstruksi pemikiran teori restoratif memandang perlindungan akan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.36

Skema di bawah ini menggambarkan teori-teori pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Teori retributif dan Treatment bersifat memaksa. Inilah teori pemidanan yang sering digunakan dalam aliran hukum positivistik murni, dimana terhadap pelaku tindak pidana diterapkan hukum pidana yang bersifat memaksa.

Teori relatif memfokuskan kepada pemidanaan yang bersifat mencegah tindak pidana misalnya UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang saat ini sudah mengenal istilah pencegahan. Selain itu juga mengenal istilah pemberantasan. Khusus pada teori social defence dan restoratif fokusnya adalah pemidanaan yang bersifat pemberantasan tindak pidana yang mementingkan terhadap perampasan aset hasil dari tindak pidana tersebut. Berikut ini digambarkan kerangka teori yang melandasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perpajakan melalui UU PPTPPU.

UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengenal istilah pencegahan dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang. Oleh sebab itu, pelaku tindak pidana di bidang perpajakan yang secara

36 Howard Zehr, The Little Book of Restorative Justice, (Pennsylvania: Intercourse, 2002), hal. 18.

bersamaan juga melakukan tindak pidana pencucian uang, menurut teori-teori di atas, dapat digunakan sebagai teori untuk memberikan efek jera dan antisipasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang. Sebab, kata “pencegahan” lebih menitikberatkan kepada kebijakan legislasi untuk mengantisipasi tindak pidana sebelum dilakukan oleh pelaku sedangkan kata “pemberantasan” titik beratnya berada pada kebijakan legislasi untuk menerapkan hukum pidana khususnya hukum anti pencucian uang.

1

Kerangka teori di atas digunakan untuk mewujudkan keadilan,37 walaupun keadilan itu bukan satu-satunya yang digunakan untuk mewujudkan tujuan hukum.

Karena dalam suatu negara hukum modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare state).38 Sektor hukum yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice) apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.39

Keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing (justice fairnes). Prinsip keadilan dirinci dalam bentuk pemenuhan hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties) dan pengaturan perbedaan ekonomi dan sosial sehingga akan terjadi kondisi yang tertib.

Oleh sebab itu, keadilan yang hilang mesti dikembalikan oleh hukum.40 Perdamaian manusia yang dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya.41 Hukum nasional dibuat selain untuk mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana pembaharuan kehidupan masyarakat, agar perubahan (pembangunan) itu dilakukan dengan teratur dan tertib.42

37 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975), hal. 20.

38 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun), hal. 2-3.

39 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

40 Ibid, hal. 94.

41 Lili Rasjidi, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”, dalam: Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif, Bandung, Vol. 1 No. 1, Tahun 2005, hal. 8.

42 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Cetakan IV, (Bandung: Putra A. Bardin, 2000), hal. 13.

2. Landasan Konsepsional

Digunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:

a. Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (Wajib Pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung.

b. Perpajakan adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

c. Tindak pidana di bidang perpajakan adalah perbuatan yang melanggar hukum di bidang perpajakan.

d. Pencegahan adalah suatu tindakan yang menyangkut kebijakan-kebijakan hukum yang bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan atau tindak pidana.

e. Pemberantasan adalah suatu tindakan yang menyangkut penerapan sanksi melalui kebijakan-kebijakan hukum bertujuan untuk menerapkan hukum yang ada kepada pelaku tindak pidana.

f. Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang

yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.43

g. Tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU PPTPPU.

Dalam dokumen SURANTA RAMSES TARIGAN / HK (Halaman 28-36)

Dokumen terkait