• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Pajak

Dalam dokumen SURANTA RAMSES TARIGAN / HK (Halaman 40-48)

BAB I : PENDAHULUAN

A. Tindak Pidana Pajak

Terdapat berbagai perbedaan penafsiran tentang pengertian pajak.52

Para ahli di bidang perpajakan memberikan pengertian pajak yang berbeda-beda namun perberbeda-bedaan itu tidak terlalu prinsipal dan tidak mengaburkan makna yang

Secara umum pajak diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya digunakan dalam hal pembiayaan pengeluaran umum pemerintah yang balas jasanya tidak secara langsung diberikan kepada pembayarnya (Wajib Pajak) dan pelaksanaannya dapat dipaksakan. Balas jasa dalam hal ini diberikan kepada seluruh masyarakat seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, pembangunan sarana-sarana umum masyarakat, dan sebagainya.

52 Zainul Pelly, Pengantar Hukum Pajak, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1994), hal. 1. Chairuddin Syah Nasution, “Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia Periode 1990-2000”, Artikel dalam Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 7, No. 2 Juni 2003, hal. 63. Istilah pajak dalam Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa baku yang sudah menjadi bahasa rakyat yang berurat berakar dalam sehari-hari. Istilah pajak baru muncul pada abad XIX di Jawa pada saat pulau Jawa dikuasai Pemerintah Inggris tahun 1811-1814 yang pada waktu itu diadakan pungutan landrente oleh Thomas Stafford Rafflles. Penduduk menamakan pembayaran landrente itu pajag atau duwit pajag atau pajag diartikan jumlah uang yang tetap pada setiap tahunnya harus dibayar dalam jumlah yang sama. Ada pula versi yang mengatakan istilah pajak itu bermula dari istilah bahasa Belanda yaitu pacht yang berarti sewa tanah yang harus dibayar oleh penduduk pada zaman kolonial Belanda hingga rakyat terbiasa menyebutnya pajag.

Isitilah pajak yang modern saat ini disebut dengan fiskal.

terkandung di dalamnya. Beberapa sarjana memberikan pengertian pajak sebagai berikut:53

a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. mengatakan: Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara (peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah), berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan imbalan (tegen prestatie) yang secara langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.

b. Drs. B. Boediono mengatakan: Pajak adalah suatu iuran penduduk (rakyat) kepada negara yang berdasarkan undang-undang dapat dipaksakan dimana pembayarannya tidak mendapat imbalan secara langsung yang ditunjuk oleh negara yang gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubung tugas negara harus menyelenggarakan pemerintahan.

c. Prof. Dr. P.J.A. Adriani mengatakan: Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk pembiayaan pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Soeparman Soemahamidjaja mendefinisikan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.54

Tampak dari beberapa pengertian pajak di atas penting dipahami bahwa pajak merupakan iuran rakyat kepada negara. Maksud iuran di sini adalah suatu kewajiban rakyat untuk mengalihkan kekayaannya ke dalam kas negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, seperti biaya pengeluaran rutin dan biaya pembangunan. Pengeluaran rutin dimaksud termasuk pengeluaran negara berupa

53 Ibid, hal. 25-26.

54 Muahmmad Djaja Sadli, Pembaharuan Hukum Pajak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 23-25.

pembiayaan sehari-hari atau pengeluaran rumah tangga negara seperti administrasi penggajian para pegawai pemerintah. Termasuk biaya pembangunan misalnya pengeluaran negara yang khusus ditujukan untuk pembayaran pembangunan negara seperti pembuatan jalan-jalan raya, irigasi, rumah sekolah, puskesmas, dan lain-lain.

Pajak tidak dapat ditunjuk kontra prestasi langsung secara indvidual. Kontra prestasi yang dimaksud di sini bahwa seseorang Wajib Pajak yang telah membayar pajak, tidak dapat ditunjuk kontra prestasi tertentu kepadanya atau imbalannya tidak secara langsung diberikan kepada mereka yang membayar pajak melainkan disampaikan secara umum, sehingga orang yang tidak membayar pajak juga menikmati hasil pembayaran tersebut.55

Pajak dapat pula dipaksakan dalam artian bahwa apabila hutang-hutang pajak tidak dibayar oleh Wajib Pajak, maka hutang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan paksaan dan sita. Mengenai hal “paksaan” ini Soeparman Soemahamidjaja mengatakan terlalu berlebihan kiranya kalau kasus mengenai pajak ditekankan pentingnya “paksaan” itu, seakan-akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya oleh sebabnya lebih tepat hanya cukup dikatakannya saja bahwa pajak adalah “iuran wajib” tidak perlu diberi tambahan yang dipaksakan.56

55 Ibid.

Pajak pada hakikatnya dipungut dengan bantuan dan kerja sama dengan Wajib Pajak berdasarkan kesadaran sehingga unsur “paksaan” dapat dihindari.

56 Soeparman Soemahamidjaja, dalam Zainul Pelly, Ibid, hal. 27.

Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menegaskan pula adanya paksaan demikian: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam memungut pajak dapat dipaksakan apabila terjadi penunggakan oleh Wajib Pajak namun paksaan dimaksud di sini diperhalus dalam UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yaitu dengan mempergunakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.57

Surat Paksa berkepala kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menurut Pasal 7 angka 1 UU No.19 Tahun 2000 mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat Paksa yang memberikan kekuatan eksekutorial dan memberi kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dimaksudkan bertujuan agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak. Kedudukannya sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.

57 Pasal 1 angka 12 UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Berdasarkan pengertian-pengertian pajak yang disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa unsur-unsur pajak adalah:

a. Iuran rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak adalah negara dan iuran tersebut berupa uang (bukan barang atau jasa);

b. Ketentuan pajak berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh penyelenggara negara dan pemerintahan;

c. Tanpa jasa timbal balik dan kontra prestasi dari negara atau yang secara langsung dapat ditunjuk; dan

d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yaitu pembiayaan negara yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Secara umum jenis-jenis pajak yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dibagi menjadi:

a. Pajak Penghasilan (PPh);

b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN);

c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);

d. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan e. Pajak Lainnya.

Menurut Prabowo berdasarkan penerimaannya pajak dibedakan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan

atau dilimpahkan kepada orang lain seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).58

4. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pajak

Penghindaran pajak terjadi karena adanya kesepakatan antara Wajib Pajak dengan petugas pajak yang dapat mengakibatkan Pajak Kurang Bayar. Apabila terdapat Pajak Kurang Bayar menurut ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Setelah jangka waktu 5 (lima) tahun, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%

(empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, Wajib Pajak dapat dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam hal ini ada indikasi untuk menghindari pembayaran pajak. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (5) UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Penghindaran pajak dapat dianalisis dalam kerangka hubungan antara pemerintah sebagai prinsipal yang berupaya untuk memfasilitasi Wajib Pajak dengan berbagai insentif agar mereka membayar pajak yang seharusnya dibayar.

Penghindaran pajak terjadi terutama dari adanya kolaborasi antara Wajib Pajak dalam kegiatan transaksi misalnya terjadinya penghindaran Pajak Penghasilan yang

58 Prabowo, dalam Chairuddn Syah Nasution, Op. cit, hal. 64.

merupakan interaksi antara Wajib Pajak dan pemerintah. Penghindaran Pajak Penghasilan terjadi adanya dua belah pihak yang bekerja sama. Demikian juga pajak-pajak seperti Pajak Penjualan, cukai bisa terjadi penghindaran oleh para Wajib Pajak disebabkan adanya kolaborasi.

Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfully) dan penggelapan pajak dapat dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada setiap sistem pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi.59

Penggelapan pajak melalui pemalsuan (fraud) di bidang perpajakan terjadi baik dilakukan oleh orang pribadi atau orang-orang yang bekerja di badan hukum atas kerja sama antara Wajib Pajak dan petugas pajak dengan tujuan untuk memperkaya diri. Oleh banyak negara pemalsuan dan penipuan di bidang pajak termasuk dalam kategori pelanggaran atau tindak kriminal biasa.

Kriminalisasi atas perbuatan pemalsuan dokumen pajak terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) huruf f UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ditegaskan “Setiap orang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya”. Apabila pemalsuan itu dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara

59 Susno Duaji, Selayang Pandang dan Kejahatan Asal, (Bandung: Books Trade Center, 2009), hal. 14.

paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Tindak pidana pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan pajak ini selain akan merugikan negara, juga sebagai korbannya adalah masyarakat umum karena kerugian itu baik dalam bentuk uang, barang maupun pelayanan. Sehingga pemalsuan dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan menurut UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Menurut Rukiah Komariah dan Ali Purwito, beberapa contoh dari pemalsuan yang terjadi di bidang perpajakan, antara lain seperti di bawah ini:60

1. Wajib Pajak malas atau tidak menyimpan dengan baik arsip pajak penghasilan;

2. Orang yang dipekerjakan tidak dapat menyimpan dengan baik semua penerimaan/pendapatan yang diterima (dalam hal-hal tertentu transaksi dilakukan secara lisan);

3. Dengan sengaja mengarsipkan Pajak Penghasilan di bawah jumlah yang sebenarnya;

4. Melaporkan secara tidak benar orang yang menjadi tanggungan dalam SPT PPh Orang Pribadi;

5. Membuat klaim palsu atas restitusi;

6. Menyiapkan dokumen, buku dan salinan-salinan yang jumlahnya di bawah pendapatan yang sebenarnya dan melaporkan jumlah yang lebih tinggi biaya-biaya yang telah dikeluarkan;

7. Tidak membayar cukai atas importasi hasil tembakau atau barang kena cukai lainnya (hanya Bea Masuk, PPn/PPnBM);

8. Mengoperasikan usaha tanpa mendaftarkan sebagai badan hukum;

9. Pembayaran upah berbentuk tunai kepada karyawan dengan maksud menghindarkan pajak with holding.

60 Rukiah Komariah dan Ali Purwito, Pengadilan Pajak, Proses Banding Pajak, Pabean dan Cukai, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2006), hal. 21.

Tindak pidana di bidang perpajakan adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam UU KUP. Sebagian kalangan berpendapat bahwa tindak pidana yang dilakukan dalam perpajakan dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara termasuk dalam tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya, sebagian jaksa menuntut perkara pidana dalam bidang perpajakan dengan pidana korupsi seperti kasus PT. Galunggung Mega Sakti di PN Bandung. Sebaliknya ada pula jaksa yang menuntut perkara serupa, tetapi dengan pidana pajak, misalnya kasus PT. Mega Radilam Mandiri di PN Cibinong.61

Dalam dokumen SURANTA RAMSES TARIGAN / HK (Halaman 40-48)

Dokumen terkait