• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Kerangka Teori Penelitian

Kerangka teori penelitian ini meliputi mekanisme kerja aloksan dalam merusak sel beta pankreas sehingga menyebabkan kondisi diabetes pada hewan uji dan berhubungan dengan kemungkinan mekanisme kerja senyawa bioaktif yang terkandung dalam nano partikel daun temuru dan ekstrak daun temuru sebagai agen hipoglikemik serta aktivitas antioksidannya secara teori. Kerangka teori penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.

101

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Teori Penelitian

aloksan Sel β-pankreas

- Gangguan homeostatis kalsium intraseluler  konsentrasi insulin tinggi sangat cepat  sensitivitas insulin perifer terganggu

- Menghambat glukokinase

- Aloksan direduksi menjadi asam dialurat  pembentukan oksigen reaktif

 ROS meningkat (Gull, dkk., 2012;

Rohilla dan Ali, 2012; Yuriska, 2009)

GLUT 2

Nano partikel daun temuru dan ekstrak etanol daun temuru

Senyawa bioaktif antioksidan nano partikel daun temuru dan ekstrak

etanol daun temuru

kerusakan sel lambat

Mencegah komplikasi DM - Kadar kolesterol

total turun (Themburne dan Sakarkar, 2011)

Sekresi IGF-1 di hati (Matuputun, dkk., 2014

Transport

Alkaloid Flavonoid Saponin Tanin

Stimulasi dan Braydan Bray,

1999)

102 1.7 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan dengan preparasi serbuk daun temuru menjadi bentuk nanopartikel dan ekstrak dalam etanol. Nanopartikel dan ekstrak etanol dibuat dalam tiga dosis yang berbeda untuk selanjutnya diuji efek hipoglikemik, kadar kolesterol darah, dan aktivitas antioksidan. Hasil dari pengujian tersebut akan dibandingkan. Selanjutnya dilihat pengaruh pemberian nanopartikel dan ekstrak etanol daun temuru terhadap kadar glukosa darah (KGD) hewan uji, apakah ada pengaruh aktivitas antioksidan terhadap penurunan kadar glukosa darah (KGD) tikus DM dan apakah hiperkolesterolemia tikus dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan KGD tikus DM. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.2 Diagram Kerangka Pikir Penelitian Nano

glukosa tikus

Kadar

103

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.2 Diagram Kerangka Pikir Penelitian (lanjutan)

Serbuk Daun Temuru

Nanopartikel

Ekstrak Etanol

Karakteristik

larut dalam asam 6. Kadar sari larut

dalam air

7. Kadar sari larut dalam etanol.

104

Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.2 Diagram Kerangka Pikir Penelitian (lanjutan)

Aloksan

Ekstrak Etanol

Aktivitas

105 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman

Uraian tanaman meliputi habitat dan daerah tumbuh, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, morfologi tanaman, kandungan senyawa kimia, serta penggunaan tanaman.

2.1.1 Habitat dan daerah tumbuh

Temuru umumnya lebih dikenal sebagai daun kari (curry-leaf tree) termasuk dalam famili Rutaceae (Satyavati dkk., 1999). Tanaman ini banyak tumbuh di beberapa negara Asia Selatan, serta paling banyak ditemui hampir diseluruh wilayah India (Rahman, 2011). Di Indonesia daun temuru banyak terdapat di beberapa daerah di Sumatera seperti Aceh dan Medan. Daun ini banyak digunakan sebagai bahan rempah-rempah terutama sebagai bumbu pada berbagai jenis masakan dan juga digunakan untuk perawatan berbagai jenis penyakit pada sistem pengobatan tradisional (Shalini dan Puspha, 2013).

2.1.2 Sinonim

Nama lain Murraya koenigii (L.) Spreng adalah Chalcas koenigii (Mulherin, 1996). Bergera koenigii (L.) (Anonim, 2014).

2.1.3 Nama daerah

Nama Indonesia adalah Garupillai (Anonim, 1995). Di Indonesia Murraya koenigii (L.) Spreng dikenal sebagai Salam Koja, Daun Kari, Temuru. Salam koja (Jakarta), daun kari dan Temurui (Aceh), Tikusan (Jawa), Ki Becetah (Sunda), Sicerek (Minang Kabau) (Anonim, 2014).

106 2.1.4 Sistematika tumbuhan

Sistematika dari tumbuhan temuru adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae

Ordo : Sapindales Famili : Rutaceae

Genus : Murraya

Spesies : Murraya koenigii (L.) Spreng (Anonim, 2014).

2.1.5 Morfologi tanaman

Pohon kari/salam koja/temuru memiliki nama latin Murraya koenigii, merupakan jenis perdu atau pohon kecil (Anonim, 1995) dengan tinggi maksimal mencapai + 4 – 6 meter (Gill dan Sharma, 2014) atau 0,8 – 4 meter (Anonim, 1995) dan diameter batang maksimal + 40 cm (Gill dan Sharma, 2014). Daunnya berbentuk menyirip seperti daun belimbing, hanya saja berukuran lebih kecil dan berwarna hijau tua mengkilap. Bunganya putih kecil, berkelompok dan memiliki aroma yang harum. Kulit batang berwarna hitam dan berbulu halus, buah berbentuk bulat dan berwarna hitam dengan lebar buah 8-12 mm (Anonim, 1995). Daun temuru dapat dilihat pada Gambar 2.2.

107

Gambar 2.1 Daun temuru (Sumber: Anonim, 2014) 2.1.6 Kandungan kimia

Ekstrak air dan ekstrak etanol menunjukkan daun temuru memiliki kandungan karbohidrat, asam amino dan protein, fenol, sterol dan steroid, saponin, kuinon, alkaloid, flavanoid, tanin, dan minyak atsiri (Shalini dan Puspha, 2013; Katoch, dkk., 2012). Daun temuru mengandung polifenol (Sivakumar dan Meera, 2013). Ekstrak daun temuru dalam etanol menunjukkan adanya senyawa fitokimia alkaloid, saponin, tanin, dan fenol (Abubakar, dkk., 2014).

Kandungan alkaloid yang ditemukan pada daun temuru diantaranya mahanimbicine dan mahanimbine (Nagappan, dkk, 2011), selain pada daun, pada akar juga terdapat mahanimbina, girinimbina dan dua karbazol alkaloid baru isomahanimbina dan koenimbidina. Murrayanin, murrayafolin-A dan triterpen terdapat pada batang dan akar Murraya koenigii (Bakar, dkk., 2007).

2.1.7 Penggunaan tanaman

Murraya koenigii bukanlah tumbuhan asli Indonesia, tetapi tumbuhan ini berasal dari India yang dikenal sebagai daun kari (Lanjhiyana, dkk., 2011). Di

108

Indonesia, daun kari lebih dikenal dengan nama daun salam koja dan daun temuru (Anonim, 2014). Di India, daun kari dikenal sebagai rempah, kosmetik, dan sebagai obat tradisonal. Daunnya memiliki khasiat untuk menyuburkan rambut (Gill dan Sharma, 2014) dan memiliki efek anti-diabetic, antioxidant, antimicrobial, anti-inflammatory, dan manfaat lainnya (Singh, dkk., 2012;

Shrivastav dkk., 2013 ). Selain itu daun ini juga memiliki kandungan zat besi yang tinggi (Amin, dkk., 2013).

Beberapa penelitian telah menunjukkan daun temuru (Murraya koenigii (L.) Spreng) mempunyai banyak manfaat untuk pengobatan, diantaranya sebagai antibakteri (Vats, dkk., 2011; Kumar, 2013), immunostimulatory (Shah dan Juvekar, 2010), hepatoprotektif (Sathaye, dkk., 2012), antiinflamasi (Muthumani, dkk., 2009), antikanker (Muthumani, dkk., 2009), antioksidan (Gill dan Sharma, 2014; Sivakumar, dkk., 2013; Shalini dan Puspha, 2013; Smerq dan Mukta, 2011; Tembhurne dan Sakarkar, 2010), menurunkan LDL kolesterol (Themburne dan Sakarkar, 2010) dan antihiperglikemia (Tembhurne dan Sakarkar, 2012; Lhanjiyana, dkk., 2011; Chatterji, dkk., 2010; Tembhurne dan Sakarkar., 2009).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut yang sesuai (Ditjen POM, 2010). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang sesuai, tanpa pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 2000), apabila tidak menggunakan bahan

109

tumbuhan segar, maka bahan tumbuhan harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum dilakukan ekstraksi dan dihaluskan dengan derajat halus yang sesuai (Harborne, 1987).

Kandungan zat aktif dalam simplisia mempengaruhi pemilihan cairan penyari dan metode ekstraksi. Pemilihan cairan penyari dan metode ekstraksi yang tepat akan mempengaruhi kualitas ekstrak (Depkes RI, 1986).

Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pemilihan cairan penyari diantaranya, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap, dan tidak mudah terbakar, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan (Depkes RI, 1986). Untuk proses penyarian cairan penyari yang dapat digunakan adalah air, etanol, etanol-air (Depkes RI, 2000). Kapang dan kuman sulit tumbuh pada konsentrasi etanol di atas 20% dan tidak beracun, netral, absorbsinya baik.

Campuran cairan penyari etanol dan air bertujuan untuk meningkatkan penyarian (Depkes RI, 1986).

2.2.1 Metode ekstraksi

Pemilihan metode ekstraksi disesuaikan dengan kandungan zat aktif dalam bahan yang akan disari. Metode ekstraksi secara umum dibagi menjadi dua cara, yaitu cara dingin dan cara panas (Depkes RI, 2000).

a. Cara dingin

Cara dingin diantaranya adalah maserasi dan perkolasi.

i. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut melalui beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

110

(Depkes RI, 2000). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang bersifat lunak seperti daun dan bunga (Harborne, 1987), tetapi banyak juga yang menggunakan metode ini untuk menyari simplisia yang keras seperti akar dan korteks karena cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diperoleh.

Penyarian dengan cara maserasi memerlukan pengadukan agar konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia homogen. Pengadukan berfungsi untuk menjaga derajat perbedaan kosentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel (Ditjen POM, 2010).

ii. perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (Depkes RI, 2000).

b. Cara panas i. refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar.

111 ii. digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu umumnya pada temperatur 40 - 50ºC (Depkes RI, 2000).

iii. infusa

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90⁰C selama 15 menit. Pembuatan infus merupakan cara yang paling sederhana. Simplisia yang digunakan adalah dari bahan lunak seperti daun dan bunga. Infus dapat diminum panas atau dingin. Simplisia yang mengandung minyak atsiri harus menggunakan penutup pada pembuatan infus.

Perbedaan infusa dan dekok adalah pada waktu perebusan. Pembuatan dekok lebih lama daripada infus yaitu lebih dari atau sama dengan 30 menit, biasanya untuk menyari simplisia yang keras seperti batang (Ditjen POM, 2010).

iv. sokletasi

Sokletasi adalah penyarian simplisia dengan menggunakan alat sokletasi menggunakan pelarut organik yang selalu baru. Pelarut yang digunakan relatif konstan karena menggunakan pendingin balik (Depkes RI, 2000). Sokletasi digunakan untuk mengekstraksi tumbuhan kering seperti biji kering, akar, daun (Harborne, 1987).

2.3 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

112

atau kedua-duanya yang melibatkan hormon endokrin pankreas, antara lain insulin dan glukagon (Nugroho, 2006). Hiperglikemia kronik terkait dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012). Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β-Langerhans, kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). Kondisi hiperglikemia kronik akan berkembang menjadi Diabetes mellitus (Nugroho, 2006).

2.3.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Klasifikasi Diabetes mellitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu dan saat ini klasifikasi Diabetes mellitus lebih didasarkan pada etiologi penyakitnya (Depkes RI, 2005). DM umumnya diklasifikasikan menjadi 4 (empat) tipe yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan Pra-diabetes (Loranza, 2012).

a. Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga insulin dependent Diabetes mellitus (IDDM) (Ridwan, 2012) atau juvenil onset diabetes (Cosgrove, 2004).

Berdasarkan penyebabnya DM tipe 1 dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tipe imun (1A) yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas dan tipe nonimun (1B) disebut dengan DM idiopatik. Pada DM tipe 1B tidak terjadi proses imun sama sekali dan defisiensi insulin yang terjadi tidak diketahui penyebabnya (Kurniawan dan Surja, 2013; ADA, 2012; Anonim, 2009).

Diabetes mellitus tipe 1 ini merupakan diabetes yang jarang dan terjadi hanya pada 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan

113

produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun (ADA, 2012; Depkes RI, 2005). Secara patologi terlihat adanya peradangan pankreas (insulitis) yang ditandai dengan adanya infiltrasi makrofag dan limfosit T teraktivasi di sekitar dan di dalam sel islet, kadang dijumpai virus yang merusak sitoplasma sel (Yuriska, 2009). Virus tersebut diantaranya virus Cocksakie, Rubella, Herpes, dan lain sebagainya (Depkes RI, 2005). Kerusakan ini menyebabkan terbentuknya ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies) yang mengganggu produksi insulin (Yuriska, 2009).

ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan dalam darah hampir 90% penderita DM Tipe 1. Nilai normal ICCA dalam darah adalah 0,5-4%. ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1 (ADA, 2012; Depkes RI, 2005).

b. Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 disebut dengan non insulin dependent Diabetes mellitus (NIDDM) (Anonim, 2015), umumnya lebih bersifat genetik (Gustaviani, 2007: Depkes RI, 2005) dan pengaruh lingkungan seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang berat badan (Depkes RI, 2005). DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang penderitanya mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes (ADA, 2012), umumnya berusia di atas 45 tahun (Depkes RI, 2005).

Diabetes mellitus tipe 2 terjadi karena resistensi insulin (Rahman, 2011) yaitu sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal (Depkes RI, 2005). Resistensi insulin terjadi antara lain akibat obesitas (ADA,

114

2012), pola hidup kurang gerak, dan penuaan. Disamping resistensi insulin pada DM tipe 2 dapat juga terjadi gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan (Depkes RI, 2005). Keadaan lain yang berperan dalam DM tipe 2 adalah terjadinya disfungsi sel β-pankreas. Defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut (ADA, 2012), oleh sebab itu umumnya terapi tidak memerlukan insulin eksogen (ADA, 2012;

Depkes RI, 2005).

Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin, apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes RI, 2005).

c. Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan (ADA, 2012) dan biasanya berlangsung hanya sementara (Depkes RI, 2005). Penderita GDM kebanyakan memiliki homeostatis glukosa yang normal selama trimester pertama kehamilan dan mengalami defisiensi insulin relatif pada bulan keempat dan kelima. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan (Yuriska, 2009).

115

Penyebab Diabetes mellitus gestasional berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar esterogen yang menstimulasi pelepasan insulin yang berlebihan serta hormon pertumbuhan yang terus-menerus tinggi selama kehamilan yang mengakibatkan penurunan responsivitas seluler (Yuriska, 2009).

Diabetes mellitus gestasional dapat menyebabkan terjadi malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Wanita yang pernah menderita GDM memiliki risiko menderita Diabetes mellitus lebih besar di masa depan sehingga diperlukan kontrol metabolisme yang ketat untuk mengurangi risiko-risiko tersebut (Depkes RI, 2005).

d. Pra-diabetes

Pra-diabetes adalah kondisi kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Kondisi pra-diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun (Depkes RI, 2005).

2.3.2 Manifestasi klinik diabetes mellitus

Gejala khas pada penderita DM antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar) dengan atau tanpa keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (ADA, 2012).

Gejala umum pada DM Tipe I adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritis (gatal-gatal pada kulit). Penderita DM Tipe 2 umumnya hampir tidak ada gejala

116

dan umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).

2.3.3 Diagnostik diabetes mellitus

Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila ada keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, polifagia (Tembhurne dan Sakarkar, 2010) dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tersebut disertai hasil pemeriksaan Nilai A1C ≥6.5% (ADA, 2014). Kadar glukosa darah sewaktu lebih besar 11,1 mmol/L (≥200 mg/dl) dan atau hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 7,0 mmol/L (≥126 mg/dL) (ADA, 2014; Depkes RI, 2005). Dikatakan puasa jika tidak ada asupan kalori selama ≥8 jam (ADA, 2014).

Diagnosis untuk kelompok tanpa keluhan khas, pemeriksaan kadar glukosa darah dilakukan paling tidak dua kali pengukuran kadar gula darah sewaktu pada hari yang berbeda menghasilkan kadar abnormal tinggi (>200 mg/dL), kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan

>200 mg/dL (Depkes R.I, 2005).

2.3.4 Komplikasi diabetes mellitus

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita DM adalah hipoglikemia, hiperglikemia, komplikasi makrovaskular, dan komplikasi mikrovaskular.

Komplikasi makrovaskuler dapat berupa penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD) (Amin, 2013; Depkes RI, 2005).

117

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.

Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati (Thembhurne dan Sakarkar, 2010; Depkes RI, 2005).

Hiperglikemia merangsang pelepasan radikal bebas terutama ROS (reactive oxygen species) sehingga memicu terjadinya stres oksidatif. Akibat dari oksidasi yang meningkat pada diabetes menyebabkan berkurangnya kemampuan sel beta untuk mensekresi insulin dan meningkatnya produksi asam lemak dalam darah (lipotoxycity). Hiperglikemia pada DM tipe 2 hampir selalu disertai dengan hiperlipidemia (Manaf, 2009). Antioksidan dapat mengatasi stres oksidatif dan mencegahan komplikasi klinis Diabetes mellitus (Dialetta, 2006).

2.3.5 Pengobatan diabetes mellitus 2.3.5.1 Terapi insulin

Insulin merupakan terapi bagi penderita DM tipe 1, karena sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita DM tipe 1 rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Oleh karena itu sebagai penggantinya penderita DM tipe 1 diberikan insulin eksogen (Depkes RI, 2005).

Insulin membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Selain itu, insulin berperan dalam pengelolaan diabetes ketoasidosis dan memiliki peran penting dalam pengobatan hiperglikemik, koma nonketosis. Pada semua kasus,

118

tujuannya tidak hanya untuk menormalkan glukosa darah tetapi juga semua aspek metabolisme (Yuriska, 2009).

2.3.5.2 Obat hipoglikemik oral (OHO)

Obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi tiga golongan (Depkes RI, 2005) yaitu:

a. meningkatkan sekresi insulin, yaitu golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin).

b. meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin yaitu golongan biguanida dan tiazolidindion.

c. inhibitor katabolisme karbohidrat, yaitu inhibitor α-glukosidase.

2.3.5.2.1 Sulfonilurea

Sulfonilurea adalah salah satu golongan obat DM yang telah lama digunakan. Derivat sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel β pulau Langerhans untuk meningkatkan sekresi insulin (ADA, 2015; Anonim, 2009).

Obat golongan ini tidak bermanfaat bagi penderita DM tipe 1, karena sel β pulau langerhans penderita DM tipe 1 sudah rusak, sehingga tidak dapat memproduksi insulin. Golongan ini dapat menurunkan A1C sampai dengan sebesar 1-2%

(Depkes RI, 2005). Obat golongan ini juga bekerja dengan cara menutup kanal KATP pada sel β-pankreas (ADA, 2015).

Generasi pertama sulfonilurea adalah klorpropamid, tolbutamid, dan tolazamid (Anonim, 2009). Generasi kedua dari golongan ini adalah glibenklamida, glipizida, gliklazida, glimepirida (ADA, 2015). Efek samping golongan sulfonilurea dapat berupa gangguan saluran cerna. Dosis yang tidak

119

tepat dan diet ketat dapat menyebabkan hipoglikemia, berat badan meningkat (ADA, 2015).

2.3.5.2.2 Glinide (meglitinida dan turunan fenilalanin)

Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonylurea yaitu meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas dan menutup kanal K (ADA, 2015; Anonim, 2009), tetapi efek samping hipoglikemik dari obat golongan ini lebih jarang terjadi daripada golongan sulfonilurea, diduga karena masa paruhnya yang lebih pendek daripada sulfonilurea (Anonim, 2009).

Senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini umumnya dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya. Golongan ini dapat merunkan A1C sampai dengan sebesar 1,5%

(Depkes RI, 2005).

2.3.5.2.3 Biguanida

Metformin adalah satu-satunya obat golongan biguanida yang tersedia (Depkes RI, 2005). Metformin merupakan terapi pilihan pertama untuk penderita DM tanpa komplikasi (ADA, 2015). Obat golongan ini mengaktifkan AMP kinase dan bekerja langsung pada hati, menurunkan produksi glukosa hati (menurunkan

“hepatic glucose output”) (ADA, 2015) dan hampir tidak pernah menyebabkan hipoglikemia (Depkes RI, 2005). Golongan ini mengganggu saluran pencernaan seperti diare, defisiensi vitamin B12, hipoksia, dan dehidrasi (ADA, 2015). Obat golongan biguanida mempunyai kelebihan dibanding obat golongan sulfonilurea yaitu tidak menyebabkan kenaikan berat badan (Anonim, 2009).

120 2.3.5.2.4 Tiazolidindion (TZD)

Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin (ADA, 2015) dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin (Depkes RI, 2005). Senyawa-senyawa TZD juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis (Depkes RI, 2005).

Obat golongan ini menyebabkan penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (ADA, 2015).

2.3.5.2.5 Inhibitor DPP-4

Inhibitor DPP-4 merupakan obat baru dalam terapi DM tipe 2. Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat aktivitas DPP-4 dan meningkatkan aktivitas incretins postprandial. Dengan demikian sekresi insulin meningkat dan sekresi glukagon menurun. Incretins merupakan peptida yang disekresi usus halus akibat adanya makanan. Terdapat 2 jenis incretins yaitu GLP-1 (Glucagon Like Peptide -1) dan GIP (Glucose Dependent Insulinotropic Peptide). Namun peran GIP dalam metabolisme glukosa lebih sedikit (ADA, 2015).

2.3.5.2.6 Penghambat enzim α-glukosidase

Enzim α-glukosidase (maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) (Depkes RI, 2005) merupakan enzim karbohidrolase yang bekerja mengkatalisis pelepasan α-glukosa (Loranza, 2012). Enzim ini berperan pada konversi karbohidrat menjadi glukosa, menghidrolisis oligosakarida pada dinding usus halus (Yuliastuti, 2011). Glukosa yang dilepas akan diabsorbsi pada lumen usus

121

dan masuk ke sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia post prandial (Loranza, 2012).

Obat golongan penghambat enzim α-glukosidase bekerja dengan cara menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus (ADA, 2015). Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat memperlambat laju karbohidrat yang diabsorpsi dari saluran pencernaan (ADA, 2015; Yuriska, 2009), menunda penguraian oligosakarida dan disakarida menjadi monosakarida (Loranza, 2012), sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita DM (Depkes RI, 2005).

Obat penghambat enzim α-glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya dengan dosis awal 50 mg dan dapat dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari secara peroral, efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu (Depkes RI, 2005). Pemberian obat ini bersama makanan berserat seperti mengandung polisakarida akan meningkatkan efektivitasnya (Anonim,

Obat penghambat enzim α-glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya dengan dosis awal 50 mg dan dapat dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari secara peroral, efektif bagi penderita dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu (Depkes RI, 2005). Pemberian obat ini bersama makanan berserat seperti mengandung polisakarida akan meningkatkan efektivitasnya (Anonim,

Dokumen terkait