• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori 1. Signaling Theory 1.Signaling Theory

Teori signalling mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikanpetunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan (Brigham dan Houston, 2001 dalam Ferina dkk). Teori sinyal menjelaskan bahwa pemberian sinyal dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Asimetri informasi adalah suatu kondisi dimana terdapat ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak penyedia informasi (manajemen) dengan pihak penerima informasi (pemegang saham dan

stakeholder). Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang

akan datang dibanding dengan pemegang saham dan stakeholder lainnya, termasuk regulator.

2. Likuiditas

Likuiditas adalah kemampuan suatu bank melunasi kewajiban-kewajiban keuangan yang segera dapat dicairkan atau yang sudah jatuh tempo. Secara lebih spesifik likuiditas ialah kesanggupan bank menyediakan alat-alat lancar guna membayar kembali titipan yang jatuh tempo dan memberikan pinjaman (loan) kepada masyarakat yang memerlukan (Simorangkir, 2000). Likuiditas perusahaan dapat diukur dan diketahui dengan menggunakan, yaitu diantaranya Quick ratio,

Cash ratio dan Loan to deposit ratio (LDR). Financing to Deposit Ratio (FDR) yaitu suatu rasio keuangan yang menunjukkan perbandingan antara total pembiayaan yang diberikan terhadap total dana pihak ketiga yang dihimpun.

Rasio likuiditas yang biasa digunakan dalam dunia perbankan Syariah diukur dari Financing to Deposit Ratio (FDR). Besarnya rasio tersebut mengikuti perkembangan perekonomian nasional, sehingga sulit untuk menentukan berapa tingkat likuiditas yang ideal untuk suatu bank.

Financing to Deposit Ratio (FDR) perbankan Syariah yang melebihi batas akan menjadi ancaman serius bagi likuiditas bank syariah itu sendiri. Pembiayaan yang diberikan adalah keseluruhan pembiayaan yang diberikan kepada pihak ketiga, tidak termasuk pembiayaan kepada

bank lain. Sedangkan total dana pihak ketiga merupakan total penghimpunan dana dari masyarakat yang dikumpulkan oleh bank berupa giro, tabungan, dan deposito berjangka.

Menurut Muhammad (2005:265) besarnya nilai FDR suatu bank dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:

Batas FDR yang ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993, besarnya Financing to Deposit Ratio yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tidak boleh melebihi 110%. Yang berarti bank boleh memberikan kredit atau pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun asalkan tidak melebihi 110%.

3. Dana Pihak Ketiga (DPK)

Dana Pihak Ketiga merupakan sumber dana bank yang dihimpun dari masyarakat berupa simpanan giro, tabungan atupun deposito (Budisantoso, 2014). Kegiatan penyaluran atau penempatan dana tersebut dapat berupa pemberian kredit atau pembiayan dalam prinsip syariah kepada masyarakat, pembelian surat-surat berharga dalam rangka memperkuat likuiditas bank, penyertaan ke badan usaha lain maupun penempatan sebagi alat-alat likuid. Dana-dana yang dihimpun dari masyarakat (DPK) ternyata merupakan sumber dana terbesar yang paling diandalkan oleh bank bisa mencapai 80% - 90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank.

Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bank sering disebut funding. Kegiatan funding juga dilakukan bank syariah, melalui penciptaan produk-produk yang dikeluarkan oleh perbankan syariah untuk menarik minat masyarakat dalam menanamkan dananya di bank syariah. Pada umumnya produk simpanan yang ada di perbankan syariah antara lain: rekening giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah. (Prihatiningsih, 2012). Rumus untuk mengetahui besaran Dana Pihak Ketiga menurut Kasmir (2010: 67) yaitu :

DPK = Giro + Deposito + Tabungan 4. Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio kinerja keuangan bank sebagai indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva berisiko (Prihatiningsih, 2012).

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah perbandingan rasio tersebut antara rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko dan sesuai ketentuan pemerintah (Kasmir, 2014). CAR juga digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank guna menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan. CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko (Dendawijaya,

2000:120). Menurut SE BI No.9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Menurut Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank (2006) modal yang digunakan untuk menghitung besarnya Capital Adequacy Ratio

terdiri dari modal inti, modal pelengkap, dan modal tambahan. Sedangkan ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum terdiri atas ATMR risiko kredit, ATMR risiko operasional, dan ATMR risiko pasar (Ramadhani, 2016).

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha serta menampung kemungkinan risiko kerugian yang diakibatkan dalam operasional bank. Semakin besar rasio tersebut akan semakin baik posisi modal. Besarnya CAR dalam suatu bank telah ditentukan sebesar 8% merupakan standar dari Bank for International Settlement.

5. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan rasio yang menunjukkan besaran perbandingan antara beban atau biaya operasional terhadap pendapatan operasional suatu perusahaan pada periode tertentu (Riyadi, 2006). BOPO telah menjadi salah satu rasio yang perubahan nilainya sangat diperhatikan terutama

bagi sektor perbankan mengingat salah satu kriteria penentuan tingkat kesehatan bank oleh Bank Indonesia adalah besaran rasio ini.

Rasio biaya operasional adalah perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional, dengan rumus sebagai berikut :

Nilai rasio BOPO yang ideal berada antara 50-75% sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, semakin rendah BOPO semakin efisien bank tersebut dalam menekan biaya operasionalnya, Bank yang nilai rasio BOPO-nya tinggi menunjukkan bahwa bank tersebut tidak beroperasi dengan efisien karena tingginya nilai dari rasio ini memperlihatkan besarnya jumlah biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh pihak bank untuk memperoleh pendapatan operasional. Disamping itu, jumlah biaya operasional yang besar akan memperkecil jumlah laba yang akan diperoleh karena biaya atau beban operasional bertindak sebagai faktor pengurang dalam laporan laba rugi. Sebaliknya jika semakin efisien bank dalam mengelola rasio ini maka keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar.

BOPO merupakan upaya bank untuk meminimalkan resiko operasional, yang merupakan ketidakpastian mengenai kegiatan usaha bank. Resiko operasional berasal dari kerugian operasional bila terjadi penurunan keuntungan yang dipengaruhi oleh struktur biaya operasional

bank, dan kemungkinan terjadinya kegagalan atas jasa- jasa dan produk-produk yang ditawarkan (Ghozali, 2013).

Dokumen terkait