• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu unsur terpenting dalam penelitian yang memiliki peran sangat besar adalah teori. Menurut Neumen, seperti yang dikutip oleh Sugiono, teori adalah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antara variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.27 Dalam membahas permasalahan yang ada, penelitian ini menggunakan Teori Relativisme Budaya dan Teori Prinsip Pembedaan.

1.7.1 Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)

Relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Relativisme dapat dibahas dalam berbagai bidang. Kesamaan yang dimiliki oleh semua bentuk atau sub-bentuk relativisme adalah keyakinan bahwa sesuatu bersifat relatif terhadap prinsip tertentu dan

27

Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kwalitatif Dan R & D, Cv. Alfa Beta, Bandung, h.52

penolakan bahwa prinsip itu mutlak benar atau paling sahih.28 Perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang.29 Sehingga perbedaan yang terbentuk diantara budaya-budaya yang ada terjadi akibat adanya bentuk perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusia, dan kondisi lingkungan fisiknya.

Teori relativisme budaya (cultural relativist theory) memandang teori hak-hak kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural imperalism).30 Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya serta tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).31 Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya,

28

Mohammad A. Shomali, 2005, Relativisme Etika, Serambi, Jakarta, h.31

29

Koentjara Ningrat, 1974, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. h.56

30

Todung Mulya Lubis,1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of

Indonesia’s New Order, 1966-1990, Gramedia, Jakarta, h.19

31

karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Relativisme budaya menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya.32

1.7.2 Teori Prinsip Pembedaan (Distinction Principle Theory)

Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) terdapat beberapa prinsip. Salah satu prinsip yang penting dalam Hukum Humaniter Internasional adalah pembagian penduduk (warga negara) yang sedang berperang maupun yang sedang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata (armed conflict). Kombatan adalah golongan orang yang turut serta secara aktif dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan orang yang tidak turut serta dalam permusuhan.33 Di samping pembedaan secara subyek (yakni membedakan penduduk menjadi golongan kombatan dan penduduk sipil), prinsip pembedaan ini membedakan pula objek-objek yang berada di suatu negara yang bersengketa menjadi dua kategori, yaitu objek-objek sipil (civilian objects) dan sasaran-sasaran militer (military objectives).34

Dalam Daftar Aturan-aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan,35 bagian pertama menjelaskan mengenai Pembedaan antara Objek Sipil dan Sasaran Militer. Pada Aturan 7 disebutkan: "Pihak-pihak yang terlibat konflik harus setiap

32

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1998, Komunikasi Antarbudaya. Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 78

33

Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, h.73

34

Ibid

35

Mengenai Daftar Aturan-Aturan Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan ini, penulis kutip dalam bagian Lampiran tulisan Jean-Marie Henckaerts, Op.Cit., h.26-44

saat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. Penyerangan hanya boleh diarahkan kepada sasaran militer. Penyerangan tidak boleh diarahkan kepada objek sipil".

Dalam situasi konflik, pihak-pihak yang terlibat diwajibkan untuk membedakan antara objek-objek militer yang boleh diserang dan objek-objek sipil yang harus dilindungi. Mengenai pengertian tentang Objek Sipil dijelaskan dalam Aturan 9 yang menyebutkan: "Objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan sasaran militer". Sehingga objek sipil tersebut sama sekali tidak terkait dengan militer termasuk Benda Budaya. Penghormatan terhadap Benda Budaya sebagai objek sipil yang harus dilindungi ditegaskan juga dalam Aturan 38 yang terdiri dari poin (A) dan (B) yang menyebutkan:

"Masing-masing pihak yang terlibat konflik harus menghormati benda-benda budaya:

A. Dalam pelaksanaan operasi militer, kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk menghindari timbulnya kerusakan terhadap bangunan-bangunan yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, seni, ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap monumen-monumen bersejarah, kecuali jika bangunan-bangunan tersebut merupakan sasaran militer.

B. Benda-benda yang mempunyai arti sangat penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa tidak boleh dijadikan objek penyerangan, kecuali jika penyerangannya harus dilakukan demi kepentingan militer yang imperatif.

Sebagai Objek Sipil, para pihak yang berkonflik diwajibkan untuk melindunginya dari penghancuran, pencurian, penjarahan, dan setiap tindakan perusakan pada benda-benda budaya dan lembaga-lembaga lainnya yang didedikasikan untuk kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut dijelaskan dalam Aturan 40 yang berbunyi:

Masing-masing pihak yang berkonflik harus melindungi benda-benda budaya:

A.Merebut, menghancurkan, atau dengan sengaja merusak lembaga-lembaga yang didedikasikan untuk tujuan keagamaan, amal, pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monumen-monumen bersejarah, karya-karya seni, dan karya-karya ilmu pengetahuan adalah dilarang

B. Setiap tindakan pencurian, penjarahan, atau perebutan dan setiap tindakan perusakan yang diarahkan kepada benda-benda yang mempunyai nilai penting sebagai pusaka budaya setiap bangsa adalah dilarang.

1.8Metode Penelitian

Dokumen terkait