• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

B. Kerangka Teori

Kerangka teoritik adalah pedoman dalam mencari data atau informasi yag terkait dengan permasalahan atau yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Adapun kerangka teorinya adalah sebagai berikut:

1. Pengertian Pendekatan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologi pendekatan berarti; proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat, dan sebagainya). Secara terminologi diartikan usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yg diteliti, metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.

Pendekatan (approach), menurut T. Raka Joni (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 4) menunjukan cara umum dalam

memandang permasalahan atau objek kajian, sehingga berdampak, atau menimbulkan suatu hasil. Dapat juga dikatakan bahwa pendekatan itu adalah alat atau media untuk melihat sebuah objek dari dengan cara tertentu, yang kemudian akan menghasilkan sebuah kesimpulan.

Pendekatan adalah suatu proses untuk mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan, menyeleksi problema-problema, menemukan persyaratan-persyaratan untuk dicari solusinya, memilih alternatif-alternatif pemecahan, mendapatkan metode dan alat-alat serta mengimplementasikannya. Hasil dari itu semua kemudian di evaluasi serta melakukan revisi yang diperlukan terhadap sebagian atau seluruh sistem yang telah diciptakan sehingga kebutuhan-kebutuhan dapat dipenuhi dengan sebaik mungkin (Uhbiyati, 1999:154).

Istilah pendekatan dalam pendidikan atau dunia pembelajaran adalah sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach ) (Hatimah, 2001).

2. Pengertian Humanistik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara bahasa

Humanistik, berasal dari kata „human‟ yang artinya bersifat manusiawi

(sifat yang berbeda antara manuusia dengan malaikat, hewan dan jin);

„humanis‟ yang artinya, orang yg mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan sesama umat manusia, penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting,

penganut humanism; dan menjadi „humanistis‟ bersifat kemanusiaan: menanamkan watak ke dalam jiwa anak didik merupakan kewajiban dari profesi seorang guru.

Menurut Franzs Magnis-Suseno, secara umum, humanisme berarti martabat (dignity) dan nilai (value) dari setiap manusia dan setiap upaya untuk melakukan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik atau non fisik) (Hanafi et al., 2007:209).

Berdasarkan sejarah Humansime mendapatkan pengakuan pada abad ke-14, ciri khas dari humanisme adalah keberagamaan yang inklusif . model kedua yaitu Neo Humanisme berkembang pada abad ke-18, konsep humanisme dipandang memiliki kesamaan dengan konsep Yunani kuno tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis. Pada abad ke-19 dan seterusnya humanisme dipandang sebagai prilaku sosial politik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan

lembaga-lembaga politik dan hukum yag sesuai dengan ide tentang martabat kemanusiaan. (Hanafi et al., 2007:210).

Filsafat humanisme yang berkembang selama Renaissance di Eropa dan Reformasi Protestan yang di dasarkan pada keyakinan bahwa individu-individu mengontrol nasib mereka sendiri melalui aplikasi kecerdasan dan pembelajaran mereka (Sadulloh, 2015: 173).

Renaisans pada abad ke-6 dimaknai sebagai kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi. Pelopor-pelopornya disebut “humanis”,

yang berarti pelajar dan pemuja peradaban Yunani-Romawi pra Kristen bertolak belakang dengan pelajar dan penekun teologi Kristen Barat. Renaisans dimulai dari Italia dan merupakan gerakan sekelompok kecil sarjana dan seniman yang didukung oleh pelindungan-pelindungan liberalnya, khususnya Medici dan paus-paus yang humanis (Husaini et al., 2013:7).

F.C.S. Schiller (1863-1937), seorang filosof humanis modern dan penulis makalah “Humanism”, dalam Encyclopedia of Religion and Ethics, menyatakan bahwa humanisme modern merupakan kebagkitan kembali secara sadar pemikiran relativisme Protagoras yang sangat krusial yang terkandung dalam pernyataannya bahwa setiap manusia adalah standar dan ukuran segala sesuatu. Apabila terjadi perbedaan opini diantara mereka dalam suatu masalah, maka

tidak ada apa yang disebut “kebenaran objektif”, sehingga tidak boleh dikatakan yang satu benar dan yang satu salah. Pernyataan ini disebut

sebagai hakikat relativisme dan penolakan atau pengingkaran terhadap eksistensi suatu hakikat dan kebenaran (absolut) (Thoha, 2007: 51).

Akhir dari perkembangan pribadi manusisa adalah mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagikehidupan dirinya dan lingkungannya. Belajar menurut pandangan humanistik merupakan fungsi dari keseluruhan pribadi manusia, yang melibatkan faktor intelektual dan emosional, motivasi belajar harus datang dari dalam diri anak itu sendiri. Proses belajar mengajar pentingnya hubungan interpersonal, menerima siswa sebagai seorang pribadi yang memiliki kemampuan, dan peran guru sebagai partisipan dalam proses belajar bersama.

Abu Ammar berpendapat banyak yang salah dengan mendefinisikan istilah humanisme, orang selama ini sering mendefinisikan bahwa yang disebut dengan humanisme adalah sebuah prinsip yang baik, mengajarkan perdamaian, kecintaan, persaudaraan dan pertolongan kepada sesama manusia yang membutuhkan (Ammar, 2012: 243-245). Dalam hal ini Abu Ammar mendefinisikan humanisme ini secara keumumannya, ia beranggapan bahwa humanisme yang dicetuskan oleh para filosof adalah cara berpikir yang hanya mengemukakan konsep perikemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya tujuan.

Dalam karyanya yang berjudul Menjadi Ahli Tauhid di Akhir Zaman ( kajian tuntas strategi umat Islam menghadapi konspirasi global thaghut internasional). Dalam bukunya tersebut diuraikan ada lima pasal manifesto humanisme, yaitu:

Pertama: Humanisme religious memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan.

Kedua: Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dariproses yang berkelanjutan.

Ketiga: Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad harus ditolak.

Keempat: Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh antropologi dan sejarah, merupaka produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut.

Kelima: kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deisme, modernism, dan beberapa macam “pemikiran baru”.

3. Definisi Pendidikan

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberi awalannya “pe” dan akhiran “an” mengandung arti perbuatan (hal, cara

dan sebagainya). Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu pedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan, dan juga sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan (Wiyani, 2012: 81).

Romawi memandang pendidikan sebagai “educare”, yaitu

mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan

sebagai “Erzichung” yang setara dengan educare, yakni

membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang anak. (Hatimah, 2001)

Pendidikan juga sebagai upaya sadar dan terencana yang dilakukan oleh guru untuk mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal. Potensi tersebut mencakup potensi jasmani dan rohani, sehingga melalui pendidikan seorang peserta didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan dapat mengoptimalkan perkembangan rohaninya agar dengan totalitas pertumbuhan fisik dan perkembangan psikisnya secara serasi dan harmoni. Dengan demikian

pendidikan harus menjadi sarana untuk membentuk pribadi yang berkarakter tidak hanya bisa lulus dan mendapatkan nilai sertifikasi yang memuaskan namun juga bisa mencetak peserta didik yang berkarakter, peserta didik yang memiliki kepribadian yang santun dan beradab.

Pendidikan merupakan proses terus menerus dalam kehidupan manusia dari mulai usia 0 (nol), menuju manusia sempurna (dewasa). Bahkan pendidikan itu dimulai ketika memilih calon isteri sebagai media untuk menanam benih (keturunan) yang berkualitas baik (Rahman, 2012: 2054).

Dalam filsafat pendidikan Islam, pendidikan sebagai proses untuk membentuk jati diri manusia sebagai wujud dari penjelmaan fungsional khalifah dan „abd, untuk mengembangkan pengetahuan konseptual dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini didasarkan kesadaran komitmen yang tinggi pada moralitas.

Pendidikan menurut al-Ghazali dapat dilihat dari kutipan nya sebagai berikut:

“Sesungguhnya pencapaian dari ilmu pengetahuan adalah

mendekatkan diri kepada Allah Tuhan semesta alam dan menghubungkannya dengan derajat para malaikat dan berhampiran

atau sejajar dengan malaikat yang tinggi…” (al-Ghazali, t.th: 22). Pendidikan Islam secara aksiologi keilmuan tidak melakukan pemilahan-pemilahan antara aspek logika, etika dan estetika. Semua dimensi ini merupakan suatu bingkai keutuhan yang bertujuan untuk membangun manusia seutuhnya sebagai khalifah dimuka bumi.

Pendidikan Islam pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk pribadi seseorang agar dapat memahami, mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi. Dapat menyadari morlitas sebagai manifestasi imannya kepada Tuhan (dimensi kehambaan Tuhan), kemudian dapat mewujudkannya dalam perbuatan dan karya kesalihan (dimensi ahli tauhid), umtuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan Islam sebagai proses pembebasan dari kebodohan, kemiskinan dan kekufuran pada hakikatnya memerlukan metode dan instrument yang sesuai, tidak cukup hanya mengadopsi

konsep barat ataupun timur (Ma‟arifet al., 2003: 27-29). 4. Konsep Humanistik dalam Islam

Dalam tubuh Islam sendiri terjadi dua kubu dalam perkembangan filsafat, ada kubu dengan filsafat yang sifatnya rasionalis, kaum filosof menghendaki adanya pendidikan rasional, yang mementingkan pengembangnan akal pikiran. Para filosof ini beranggapan bahwa akal adalah satu-satunya alat untuk mendapatkan kebenaran. Kebenaran yang sebenarnya adalah yang masuk akal (rasional). Oleh karena itu tujuan pendidikan menurut para filosof ini adalah mengembangkan daya rasional secara maksimal.

Filsafat yang lain adalah filsafat sufistik, filasafat yang menggabungkan antara potensi akal denga wahyu, atau bisa juga dikenal dengan istilah filsafat Islam. Dalam cara menempatkan kedudukan al-Qur`an ada perbedaan, dari golongan ahl al-Sunnah

mengatakan bahwa al-Qur`an itu adalah kalam Allah, sedangkan ahl al-Kalam meletakan al-Qur`an itu sebagai makhluk. Ahl al-Sunnah menempatkan al-Qur`an sebagai Kalam Allah karena al-Qur`an ini

merupakan kalam azali, sehingga menimbulkan sikap ta‟dzim

terhadap al-Qur`an maka sikap yang muncul ketika seorang ahl al-Sunnah ini terhadap al-Qur`an terkesan berlebihan.

Berbeda dengan ahl al-Kalam, yang menganggap al-Qur`an itu bukan azali, yang azali menurut ahli ini hanyalah Allah, sehingga al-Qur`an yang disampaikan kepada Muhammad adalah makhluk yang bisa dipelajari secara keseluruhannya. Bukan lagi menjadi hal yang tabu, dengan demikian akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan dunia ilmu pengetahuan.

Al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok pemikir sufistik yang banyak menaruh perhatian terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Sebagaimana dikemukakan oleh H.M. Arifin, dalam pendidikan Imam Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme, yaitu pendidikan itu lebih ditekankan terhadap anak didik. Seorang anak itu tergantung kepada orang tua dan dirinya sendiri, karena pada dasarnya seorang anak itu bersih, suci, murni laksana permata yang amat berharga. (Nata, 2001: 161-162) Sebagaimana pesan Rasulallah saw;

ىىِ ِا َ ِ َ ُ ىْ َ ىِ ِا َ ِ َ ُُ ىْ َ ىِ ِا َ ِ َ ُُ ىُا َ َُ َفَ ىِ َ ْ ِلْا ى َ َ ىُ َاْ ُُ ىٍ ْ ُاْ َ ى ُ

ُ

م ىا ر

َ

Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orag tuanya lah yang menjadikan anak itu penganut Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Muslim).

Hadis yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali menunjukkan bagaimana seseorang itu mampu merubah kepribadian anak didik tergantung dari cara dia mengajarkan. Seorang akan mampu mencetak generasi yang unggul jika cara atau pendekatan yang digunakan juga tepat dengan kemampuan setiap siswa.

Imam Al-Ghazali adalah yang sangat berperan aktif dalam merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, al-Ghazali juga menjelasakan bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seorang manusia yang sudah melalui tahapan pembelajaran aka mengetahui posisi atau eksistensinnya sebagai manusia, apa peran sesungguhnya yang harus dimainkan. (Nata, 2001: 161)

ىِن ُ ُبْعَُيِاىَِإىَساِْْ َ ىنِ ْا ىُتْقَ َخى َ َ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56).

Sifat manusia memang seharusnya ketika telah mencapai ma‟rifahnya dalam ranah ilmu pengetahuan, semakin mengetahui

posisinya sebagai makhluk, dan konsekuensi yang harus dilakukannya. Cerminan dari ayat tersebut adalah bagaimana seorang

manusia itu bisa lebih juhud lagi dan qana‟ah terhadap apa yang telah Allah berikan kepadanya.

Sisi kemanusian (human) yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali bukan pada aspek hawa nafsunya, atau hasrat ingin tahu yang harus dicapai berdasar insting hewani manusia. Tetapi lebih kepada manusia itu tahu secara mendalam tujuan manusa itu Allah ciptakan dan tindakan apa yang harus dilakukan, sehingga dengan demikian dia akan mampu mencapai derajat ahsan at-Taqwîm (sebaik-baik penciptaan). Manusia yang berilmu menurut pendapat Al-Ghazali, tidak akan mengedepankan kehidupan dunia karena mengetahui bahwa tidak ada yang kekal dalam kehidupan dunia ini, sehingga semakin tinggi derajat ilmu yang dimiliki oleh seseorang maka dia akan semakin tawadlu` bukan malah menjadi congkak apalagi malah mengingkari perintah Allah.

Dalam hal pendidikan Al-Ghazali juga merumuskan bagaimana pendekatan yang harus dilakukan oleh seorang pendidik diantaranya yang sesuai dengan pendekatan humanistik yaitu:

a. Guru harus mengajarkan pelajaran sesuai dengan kemampuan intelektualnyadan daya tangkap anak didiknya.

b. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa peserta didiknya sehingga selain tidak akan salah dalam menerapka metode pendidikan juga secara emosiaonal, hubungan antara pendidik dengan peserta didik akan terjalin dengan baik.

Korelasi pendekatan Humanistik dari konsep pendidikan yang diterapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah bagaimana dunia pendidikan yang diperankan secara total oleh guru da siswa harus sejalan dengan fitrah kemanusiaannya sebagai seorang hamba, bukan hanya menjadikan pendidikan itu sebagai salah satu cara untuk mencapai kepopularitasan atau sekedar untuk mencari upah dan penghargaan, yang kesemuanya itu hanya berorientasi pada kehidupan dunia saja. Sedangkan pada dasarnya manusia dengan kemampuan akal yang dibimbing oleh wahyu (Al-Qu`an) mengetahui bahwa hakikat dari kehidupan ini hanya sementara dan akan ada kehidupan yang jauh lebih kekal dan hari itu hari manusia akan menuai hasil dari apa yang dia kerjakan di dunia.

Humanisme yang di bawah Islam dan dipropagandakannya serta dipertahankannya bukanlah humanisme sekular, melainkan apa yang bisa disebut “tauḥῑdic humanism” (humanisme tauḥῑdi). Humanisme yang dibawa oleh Islam adalah manusia dengan pengalaman-pengalaman historisnya sepanjang zaman, dengan menjadi tauhid sebagai yang paling sentral dalam kehidupan. Kepedulian Islam dengan sistem kemanusiaan dengan begitu tertata dengan sangat tertib, hubungan manusia dengan sesamanya (dikenal dengan istilah HAM), kelayakan hidup dan kebahagian manusia di dunia dan akhirat. (Thoha, 2007: 232-233).

Agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Agama secara umum memiliki peran dan fungsi di masyarakat (Hakim dan Mubarok, 2011: 7). Dengan demikian pendekatan humanistik dalam Islam diberikan ruang selama tidak menyinggung persoalan tauhid atau akidah agama Islam itu sendiri.

5. Humanistik dalam pendidikan Islam

Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana yang dilakukan oleh guru untuk mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara optimal. Potensi ini mencakup potensi jasmani dan rohani sehingga melalui pendidikan seorang peserta didik dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisiknya agar memiliki kesiapan untuk melakukan tugas-tugas perkembangannya dan dapat mengoptimalkan perkembangan rohaninya agar dengan totalitas pertumbuhan fisik dan perkembangan psikisnya secara serasi dan harmoni (Wiyani, 2012: 1).

Dibentuknya sebuah lembaga pendidikan agar manusia mencapai derajat yang selaras dengan naluriah kemanusiaannya. banyak kasus yang terjadi, dimana manusia bingung dengan perannya sendiri, tujuan hidupnya, dan untuk apa manusia itu diciptakan. Terjadinya pembunuhan, peleceha seksual yang terjadi dilembaga pendidikan khususnya adalah bukti bahwa pendidikan saat ini masih

belum mencapai tujuan sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1994.

Peserta didik bukan sebatas kaset kosong, yang hanya menjadi objek dalam menerima asupan tanpa diberi ruang untuk menentukan mana file yang harus ditolak atau diterima. Dalam Islam masalah pendidik telah banyak dibahas termasuk bagaimana seorang pendidik memberikan pendidikannya kepada peserta didiknya.

Menurut Al-Attas manusia adalah binatang rasional, hal itu menyatu dalam terma „aql. Kemudian muncullah istilah “al-hayawān

al-nātiq”, yang artinya; “Manusia adalah hewan yang bisa berbicara”,

sebagai bentuk realitas ekspresi dari „aql manusia itu sendiri. „Aql

sendiri adalah suatu sifat dalam yang mengikat dan menyimpulkan objek-objek ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana kata-kata (Badaruddin, 2007: 19-20).

Manusia adalah hewan yang mempunyai „aql, berdasarkan penuturan al-Attas tadi, sehingga dalam pendidikan Islam potensi besar yang dimiliki oleh manusia itu harus dikembangkan. Manusia dengan

„aql nya itu harus menjadi makhluk yang ekpresif bukan menjadi mahluk yang pasif. Manusia harus menjadi mahluk yang rasional dan juga religus. Dalam pendidikan Islam kedudukan „aql sepadan dengan qalb (hati). Manusia harus bisa menselaraskan potensi „aql dan qalb, sehingga rasionalitas yang dikembangkan tidak lantas menjadikan manusia lupa kepada Tuhan yang menciptakannya.

Pendekatan Humanistik dalam Islam berbeda dengan Humanistik yang dibawa oleh humanism barat. Hal ini sama seperti filsafat Islam yang juga berbeda pendekatannya dengan Filsafat barat. Dalam pendekatan humanistik Islam, selain akal juga ada bimbingan wahyu Allah sebagai filter yang harus digunakan. Karena Islam memberikan keluasan dalam berpikir namun juga ada batasan yang tidak bisa akal sembarangan menafsirkan. Karena Islam memilik konsep Humanistik yang berbeda dan dalam hal ini otoritas manusia sejalan dengan ketauhidan yang dimilikinya. Saat pendekatan humanistik ini dirumuskan maka saat itu juga konsep ketauhidan akan menjadi barometer sejauh mana manusia itu merasionalitaskan nilai manusia itu sendiri, tanpa harus menghilangkan unsur tauhid yang dimilikinya.

Rasulallah sering memberikan contoh dalam memberikan pengajaran kepada para sahabat dan umat Islam ketika itu. Seperti pada hadis dari Anas bin Malik, Rasulallau saw bersabda,

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw tentang waktu

shalat subuh, beliau bersabda kepadanya, “shalatlah bersama kami besok!” maka Nabi melakukannya pada waktu ghalas (gelap di akhir

malam), dan pada hari yang kedua beliau mengakhirkannya hingga

wakti isfar (sudah terag) kemudian bertanya, “mana laki-laki yang

bertanya tentang waktu shalat itu?”. Laki-laki tersebut berkata saya

wahai Nabi Allah”. Nabi saw bersabda, bukan kah kamu telah menghadirinya bersama kami kemarin dan hari ini?”. Dia berkata “Ya benar”. Beliau bersabda, “di antara kedua waktu itu adalah

waktunya”.

Berdasarkan pada hadis tersebut Rasulallah sangat memberikan keluasan kepada para sahabatnya untuk bertanya ketika ada

permasalahan yang belum difahami. Hal ini merupakan bentuk pengajaran yag bersifat interaktif, sehingga ada proses timbal balik yang sanga kondusif anatara pendidik dan peserta didik. Memberikan ruang berpikir kepada peserta didik agar dengan cermat memahami letak kekurangan dan kesalahan saat proses pendidikan di sampaikan. Dalam hadis tersebut, sahabat yang bertanya sebelumnya telah diberikan pelajaran tentang waktu shalat subuh, hanya saja dia tidak memperhatikan sibuk membicarakan hal yang lain dengan sahabatnya yang lain. Oleh karena itu, ketika dia bertanya lagi masalah yang sudah Rasul sampaikan Rasulallah tidak langsung menjelaska namun mendiamkan dan menyuruhnya untuk memahami secara seksama melalui praktik yang akan lebih mudah dipahaminya dan diperhatikan dengan seksama (Jamaluddin, 2013: 108).

Senada dengan itu, al-Ghazali juga menuturkan bahwa dalam memberikan pengajaran harus dengan cara yang lemah lembut, terutama kepada orang yang tidak tau sama sekali akibat dan hukum dari perbuatannya itu. Al-Ghazali mencontohkan seperti para pelaku

bid‟ah (melakukan perbuatan dalam ranah ibadah wajib yang tidak

dicontohkan oleh Nabi) yang tidak mengetahui bahwa yang

dilakukannya adalah prilaku bid‟ah, maka dalam memberi tahukan bahwa itu adalah bid‟ah haruslah dengan cara yang santun, bukan

menegurnya langsung dengan perkataan yang membuatnya malu dan sakit hati (Ihsan dan Ihsan, 1998: 238-239).

Ahmad Dahlan, tokoh yang dikenal sebagai pendiri organisasi terbesar dan tertua di Indosia yaitu Muhammadiyah berpandangan bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu menurutnya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Bukan dengan pendidikan yang hanya turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman (Nata, 2005: 102).

Ahmad Dahlan dengan jelas mengatakan bahwa pendidikan itu harus disesuaikan dengan kondisi siswa, baik secara personal maupun lingkungannya. Karena di zaman yang serba teknologi ini siswa dituntut untuk bisa mengoperasikan alat-alat teknologi terutama yang diperlukan dalam sarana pendidikan. Hal itu merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap pendidikan. Peserta didik selain harus diperatikan secara ruhaniyah dan jasmaniyah juga perlu diperhatikan fasilitas pendidikannya.

Dalam agama Islam pendidikan yang dikembangkan sangat komplek (multi approach), salah satu diantaranya adalah pendekatan scientific yang menitik beratkan bahwa manusia itu memiliki kemampuan menciptakan (kognitif), berkemauan (kognitif) dan merasa (emosional atau effektif). Pendidikan harus dapat mengembangkan

kemapuan analitis-sintetis dan reflektif dalam berfikir. Dalam

Dokumen terkait