• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A. Telaah Pustaka

B. Kerangka Teoritik

1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Menurutensiklopedia Islam, bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah Islam (Sumar’in, 2012:49).

Berdasarkan UU Pokok Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya Undang-Undang RI nomor 10 Tahun 1998 maka jenis perbankan berdasarkan fungsinya terdiri dari:

a. Bank Umum

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang

diberikan dalam umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri (cabang). Bank umum sering disebut bank komersil.

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dalam kegiatannya BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan atau jasa bank umum.

Menurut Kasmir (2004:5) dilihat dari segi cara menentukan harga, baik harga jual maupun harga jual maupun harga beli terbagi dalam 2 kelompok yaitu:

a. Bank yang berdasarkan prinsip konvensional

Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional yaitu menetapkan bunga sebagai harga, untuk produk simpanan seperti giro, tabungan, deposito. Demikian pula harga untuk produk pinjaman (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Untuk jasa lainnya menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau persentase tertentu.

b. Bank yang berdasarkan prinsip syariah (Islam)

Bagi bank yang berprinsip syariah dalam penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank berdasarkan prinsip konvensional. Bank berdasarkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Dalam penentuan harga atau mencari keuntungan bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah adalah:

1. Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil(Mudharabah);

2. Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal(Musyarakah); 3. Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan

(Murabahah);

4. Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni(Ijarah); dan 5. Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang

yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain(IMBT).

Sedangkan penetuan biaya-biaya jasa bank lainnya bagi bank yang berprinsip syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah bunga adalahriba.

Menurut Karim (2010:37) didalam Islam istilah bunga sama dengan istilah riba. Riba didalam bank konvensional adalah Riba Nasi’ah, yang artinya adalah riba (tambahan) yang timbul akibat hutang, piutang yang

tidak memenuhi kriteria untung bersama risiko (Al Ghunmu Bil Ghurmi)

dan hasil usaha muncul bersama biaya(al kharaj bi dhaman).

Larangan Islam akan praktek riba bermuara pada ketentuan Al-Qur’an melarang manusia mempraktekkan riba. Pada tahap awal, Al-Qur’an menolak anggapan orangJahiliyah yang mengidentifikasiriba sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selanjutnya Al-Qur’an mendudukkan

riba sebagai perbuatan buruk dan diancam keras oleh Allah SWT. Pada tahap berikutnya, Al-Qur’an melarang praktek riba. Hanya saja, pada tahap ini keharamanriba dalam Al-Qur’an masih dikaitkan dengan sifat tambahan yang berlipat ganda. Akhirnya secara tegas Al-Qur’an melarang seluruh ancaman bentuk tambahan yang diambil dari pinjaman (riba). Ketentuan Al-Qur’an terkait dengan riba ini dipandang sebagai hanya terkait dengan hutang piutang atau masyhur dengan sebutan riba jahiliyah. Karenanya, keharaman riba jahiliyah dianggap sebagai keputusan hukum yang bersifat absolut (Hasanet. al., 2008:103).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menjelasan kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah

penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; dan e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak

lainnya.

Menurut UU No 21 tahun 2008 pasal 1 ayat (1) perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Dalam pasal 1 ayat (7) UU nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah disebutkan bahwa Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dalam pasal 1 ayat (12), menyebutkan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang (UU) Perbankan No 7 tahun 1992, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah lembaga keuangan yang

menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (4) no 10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, Bank Perkreditan Rakyat Syariah dapat didefinisikan sebagai sebuah lembaga keuangan sebagaimana Bank Perkreditan Rakyat yang konvensional, yang operasionalnya memakai prinsip-prinsip syariah.

Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah telah dijelaskan dalam pasal 21 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah meliputi:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

1. Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan

2. Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah

atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. b. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau

musyarakah;

3. Pembiayaan berdasarkan akadqardh;

4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentukIjarah Muntahiya Bittamlik; dan

5. Pengambil alihan utang berdasarkan akadhawalah.

c. Menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad

mudharabah dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;

d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS;

e. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

Larangan kegiatan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dijelaskan pada pasal 25 dilarang:

a. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah;

b. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;

c. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia;

d. Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah;

e. Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan

f. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

2. Pembiayaan

Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

1. Jenis-jenis Pembiayaan menurut Kasmir (2013, 91-92) dapat dilihat dari berbagai segi antara lain:

a. Dilihat dari segi kegunaan: 1. Pembiayaan Investasi

Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek atau pabrik baru atau untuk keperluan rehabilitasi.

2. Pembiayaan Modal Kerja

Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasinya. Sebagai contoh pembiayaan modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengn proses produksi.

b. Dilihat dari Segi Tujuan Pembiayaan: 1. Pembiayaan Produktif

Pembiayaan yang digunakan untuk peningkatan usaha, produksi dan investasi. Pembiayaan ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa.

2. Pembiayaan Konsumtif

Pembiayaan yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam pembiayaan ini tidak ada pertambahan barang atau jasa yang dihasilkan, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha.

3. Pembiayaan Perdagangan

Pembiayaan yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Pembiayaan ini sering diberikan kepada supplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar.

c. Dilihat dari segi jangka waktu: 1. Pembiayaan jangka pendek

Merupakan pembiayaan yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja.

2. Pembiayaan jangka menengah

Jangka waktu pembiayaan berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun, biasanya untuk investasi.

3. Pembiayaan jangka panjang

Merupakan pembiayaan yang masa pengembaliannya paling panjang. Pembiayaan jangka panjang waktu pengembaliannya di atas 3 tahun atau 5 tahun. Biasanya pembiayaan ini untuk investasi jangka panjang seperti manufaktur, konsumtif dan pembiayaan perumahan.

d. Dilihat dari Segi Jaminan 1. Pembiayaan dengan jaminan

Pembiayaan yang diberikan dengan suatu jaminan, jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. Artinya setiap pembiayaan yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan si calon debitur.

2. Pembiayaan tanpa jaminan

Merupakan pembiayaan yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Pembiayaan jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter secara loyalitas atas nama baik calon debitur selama ini.

3. Murabahah a. Pengertian

Menurut Asytuti Rinda, Santoso, Khoiruddin, Hakim, Bahjatulloh (2011:283) secara etimologimurabahah berasal dari kata kerjarabiha

-yarbahu yang bermakna untung. Sedangkan secara terminologi fiqh,

murabahah adalah bentuk jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan barang dan keuntungan margin yang ditentukan. Murabahah

adalah bentuk jual beli yang secara khusus masuk dalam bagian macam jual beli atau ba’i. Dimana jual beli atau ba’i adalah proses transaksi (ijab dan qobul) atas perpindahan harta dengan harta yang sesuai dengan syariah.

Murabahah adalah menjual dengan harga asal atau harga pokok ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. Dalam prinsip

murabahah ini bank membiayai pembelian barang yang diperlukan nasabah dengan sistem pembayaran kemudian. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara bank membeli atau memberi surat kuasa kepada nasabah untuk membelikan barang yang diperlukan atas nama bank. Selanjutnya pada saat yang sama bank menjual barang tersebut kepada

nasabah dengan harga pokok ditambah sejumlah keuntungan ataumark up untuk dibayar oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan (Martono, 2002:100).

Pembiayaan murabahah telah diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam Fatwa tersebut disebutkan ketentuan umummurabahah meliputi:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas

riba;

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam; 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang

yang telah disepakati kualifikasinya;

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebasriba;

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang; 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah

(pemesan) dengan harga jual senilai harga plus keuntungan. Dalam kaitan ini bank harus memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan;

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati;

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah; dan

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.

Aturan yang dikenakan kepada nasabah murabahah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No 04/DSN-MUI/IV/2000. adalah sebagai berikut:

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atauaset kepada bank;

2. Jika bank menerima permohonan tersebut ia harus membeli terlebih dahuluaset yang dipesannya secara sah dengan pedagang; 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan

nasabah harus menerima (membelinya) sesuai dengan perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli;

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesan;

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah; dan

7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka:

a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga; dan

b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

b. Dasar Hukum

 Al-Qur’an

1. QS. An-Nisaa :29

 

 ...

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.

2. QS: Al-Baqarah: 275

...  ...

Dan Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

 Hadist

Dari Shaleh bin suhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum

dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (H.R

Ibnu Majah).

 Ijma’:

Umat Islam telah berkonsensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian mudahlah bagi setiap individu utnuk memenuhi kebutuhannya.

c. Rukun dan Syarat

Menurut Sudirman, Mansyur, Sulhan, Zubair dan al-Hakim (2008:159) rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Dalam fiqh Islam, transaksi terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut para ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:

1. Para pihak yang membuat transaksi; 2. Pernyataan kehendak para pihak; 3. Objek transaksi; dan

4. Tujuan transaksi.

Dalam literatur fiqh Islam telah disebutkan bahwa syarat yang dapat membentuk sebuah transaksi dalam praktik mualamah dapat dikategorikan menjadi delapan syarat yaitu:

1. Tamyis;

2. Berbilang Pihak; 3. Persesuaianijab qobul; 4. Kesatuan majelis transaksi;

5. Objek transaksi dapat diserah terimakan; 6. Objek transaksi dapat ditentukan;

7. Objek transaksi dapat ditransaksikan; dan

8. Tujuan transaksi tidak bertentangan dengansyara’. 4. Analisis Terhadap Kelayakan Suatu Pembiayaan

Menurut Kasmir (2008:110-111) analisis kelayakan pembiayaan adalah suatu kegiatan penelitian secara mendalam terhadap suatu usaha untuk mengetahui layak atau tidaknya usaha tersebut dijalankan dan menentukan seberapa besar keuntungan atau kerugian yang akan timbul dari usaha tersebut. Pembiayaan yang diberikan kepada suatu usaha merupakan sumber pendapatan besar dalam operasional lembaga keuangan. Namun selain dapat mendatangkan keuntungan, pembiayaan juga mengandung tingkat resiko yang bervariasi dan dapat mengganggu likuiditas lembaga keuangan tersebut.

a. Prinsip-prinsip Pemberian Pembiayaan

Menurut Abdul (2008:196-198) dalam melakukan penilaian kriteria-kriteria serta aspek penilaian tetap sama. Begitu pula dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan sudah menjadi standar penilaian setiap bank. Biasanya kriteria penilaian nasabah yang harus dilakukan oleh bank untuk

mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisis 5C dan 7P.

Prinsip analisis pembiayaan oleh calon nasabah 5C adalah: 1. Character atau Watak (calon) nasabah

Dilihat dari kejujuran lewat investigasi yang dilakukan oleh Maker, keadaan lingkungan keluarga (calon) nasabah, dan riwayat peminjaman yang telah lalu (apabila pernah melakukan pembiayaan). Selain itu hal yang terpenting yang harus diperhatikan adalah adanya unsur kemauan dari (calon) nasabah untuk melunasi pembiayaan yang diberikan oleh lembaga keuangan atau lembaga pembiayaan syariah yang bersangkutan.

Menurut Zulkifli (2003: 145) untuk memperkuat data character dapat dilakukan hal-hal:

a. BI (Bank Indonesia)Checking,

Bi Checking dilakukan untuk mengetahui riwayat pembiayaan yang telah diterima oleh nasabah berikut status nasabah yang diterapkan oleh BI. Tunggakan pinjaman nasabah di bank lain juga memberikan indikasi yang buruk terhadap karakter nasabah.

b. BankChecking

Bank Checking dilakukan secara personal antara sesama Officer

bank, baik dari bank yang sama maupun bank yang berbeda. Biasanya setiap Officer memiliki pengalaman tersendiri dalam berhubungan dengan calon nasabah. Tunggakan pinjaman di bank

lain juga memberikan indikasi yang buruk terhadap karakter nasabah.

c. Trade Checking

Analisa dilakukan terhadap usaha-usaha sejenis, pesaing, pemasok, dan konsumen. Pengalaman kemitraan semua pihak terkait pasti meninggalkan kesan tersendiri yang dapat memberikan indikasi tentang karakter calon nasabah, terutama masalah keuangan seperti cara pembayaran.

2. Capital atau Modal (calon) nasabah

Dalam modal ini yang dilihat adalah jumlah dana yang diperlukannya atau menjalankan kegiatan usahanya. Dengan kata lain, (calon) nasabah dalam mengajukan permohonan pembiayaan pun harus memiliki setidaknya uang muka untuk membuka rekening yang akan digunakan sebagai cara pelunasan pembiayaan nantinya.

3. Capacity atau Kemampuan (calon) nasabah.

Kemampuan (calon) nasabah untuk melunasi pembiayaan yang diberikan oleh LKS, dilihat dari usaha (calon) nasabah yang menjadi sumber pelunasan pembiayaan dimaksud. Disini pihak bank harus benar-benar memperhitungkan aspek-aspek yang ada antara lain: aspek hukum, pemasaran, keuangan, manajemen, dan analisis mengenai dampak lingkungan.

4. Condition atau Kondisi Ekonomi Makro

Melihat faktor-faktor luar (ekonomi makro) yang mungkin terjadi dan dapat mempengaruhi kegiatan usaha calon nasabah yang menjadi sumber pelunasan dari pembiayaan Bank/LKS (Lembaga Keuangan Syari’ah) yang diberikan kepadanya.

5. Collateral atau agunan (calon) nasabah

Dalam hal pembiayaan murabahah yang dijadikan sebagi agunan adalah obyek dari pembiayaan murabahah itu sendiri. Namun apabila dari obyek pembiayaan murabahah tersebut dirasa tidak dapat mencukupi pembiayaan, maka bank dapat meminta barang lain untuk dijadikan agunan tambahan. Nilai dari agunan itu sendiri harus dapat menutupi jumlah dari pembiayaan yang dimohon oleh calon nasabah. Menurut Kasmir (2008:110-111) penilaian pembiayaan dengan metode analisis 7P adalah:

1. Personality

Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi masalah. 2. Party

Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari bank.

3. Purpose

Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil pembiayaan, termasuk jenis pembiayaan yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan pembiayaan dapat bermacam-macam.

4. Prospect

Yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan datang menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospect

atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas pembiayaan yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi, tetapi juga nasabah.

5. Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan pembiayaan yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian pembiayaan.

Semakin banyak sumber penghasilan debitur, akan semakin baik. Dengan demikian, jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh sektor lainnya.

6. Profitability

Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba.Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan pembiayaan yang akan diperoleh.

7. Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi.

b. Aspek-aspek dalam Penilaian Pembiayaan

Disamping menggunakan 5C dan 7P, maka penilaian suatu pembiayaan layak atau tidak untuk diberikan pembiayaan dapat dilakukan dengan menilai seluruh aspek yang ada. Penilaian dengan seluruh aspek yang ada dikenal dengan nama studi kelayakan bisnis Islam. Penilaian dengan model ini biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai

Dokumen terkait