BAB II. PENDEKATAN TEORI
2.5. Kerangka Teoritis
Berdasarkan tanaman yang diusahakan, para petani kakao di luar Jawa me- rupakan petani yang berorientasi pasar atau petani komersial karena produk yang mereka hasilkan merupakan produk untuk dijual sebagai bahan baku “industri hilir”, baik di pasar nasional maupun internasional. Namun disisi lain, pendapatan
41
Misalnya para petani lebih memilih menggunakan beberapa jenis bibit dari pada memilih satu jenis bibit paling unggul. Dalam hal ini, para petani akan mengesampingkan suatu pilihan yang meskipun berpotensi memberi hasil bersih lebih tinggi tetapi mengandung resiko kerugian yang membahayakan subsistensinya (Scott, 1989)
yang mereka peroleh dari kegiatan usahatani masih terfokus untuk mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Dengan kata lain, meskipun para petani yang berbasis usahatani kakao melakukan proses produksi komersial tetapi mereka sangat mungkin masih berada dalam kategori “peasant”. Dalam hal ini, para petani tersebut masih merupakan petani kecil (sempit) yang mengusahakan tanaman kakao sebagai usaha keluarga. Selain itu, walaupun mereka sudah terintegrasi dengan kehidupan ekonomi yang lebih luas (ekonomi global) tetapi sebagian besar dari mereka masih berada pada tingkat hidup yang belum beranjak jauh meninggalkan kondisi subsisten.
Apapun kondisinya, dalam menjalankan produksi pertanian para petani (ter- masuk petani kakao) akan berpijak pada “cara” produksi (ways of production) yang disebut moda produksi (mode of production). Sebagaimana dikemukakan Shanin (1990) sebuah moda produksi akan mencakup : 1) kekuatan/daya produksi (force of production) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan 2) hubungan sosial produksi (relation of production) yang akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Lebih lanjut, Russel (1989) menjelaskan bahwa kekuatan produksi terdiri dari “keterampilan pekerja” (mencakup kreativi- tas, ide, pengetahuan/teknologi, dan motivasi) serta “alat produksi” (means of production). Sementara itu, hubungan sosial produksi merupakan hubungan di antara para aktor dan mencakup: hubungan dalam pemilikan (property), hubungan kekuasaan (power) dan pengawasan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation), serta hubungan antar kelas masyarakat
Selama 25 tahun terakhir pengembangan usahatani kakao yang dilakukan para petani di luar Jawa berlangsung relatif cepat. Bahkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir perkembangannya sangat pesat. Tentunya, dalam kurun waktu ter- sebut secara bersamaan telah terjadi pertemuan antara moda produksi “kapitalis” yang datang dari luar komunitas petani (dari aras supra lokal atau wilayah pusat/ negara maju/center) dengan moda produksi “non-kapitalis” yang sebelumnya sudah tumbuh berkembang dalam komunitas petani (aras lokal atau wilayah pinggiran/periphery). Oleh sebab itu, dalam komunitas petani kakao di luar Jawa yang masih berada pada kategori peasant, proses transformasi moda produksi
sudah bergerak dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis, tetapi sangat mungkin proses tersebut terhenti pada “moda produksi transisional”. Bila realitas tersebut yang muncul, maka hasil penelitian Geertz pada tahun 50 an (Geertz, 1976) tentang petani luar Jawa yang “tradisional” dan hanya menerapkan moda produksi “non-kapitalis” sangat mungkin sudah tidak ada lagi.
Tidak terjadinya moda produksi kapitalis (penuh) pada komunitas petani berbasis usahatani kakao diduga berkaitan dengan kenyataan bahwa pada komu- nitas tersebut masih terdapat realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik yang mampu menahan laju perkembangan moda produksi kapitalis, misalnya masih kuatnya prinsip moral dan pengaturan sosial tradisional yang mempertahankan solidaritas lokal. Selain itu, akumulasi surplus yang terjadi di kalangan petani kakao yang berada di wilayah pedesaan luar Jawa (wilayah relatif terbelakang atau wilayah pinggiran) tidak cukup besar sehingga ketidaksetaraan kemampuan dalam penguasaan sumberdaya agraria relatif kurang tajam dan hubungan sosial produksi di antara anggota komunitas petani relatif kurang eksploitatif.
Menurut Russel (1989), moda produksi transisional yang hadir pada masya- rakat kontemporer di belahan dunia bukan Barat ternyata tidak seragam. Bebe- rapa bentuk moda produksi transisional yang bepotensi muncul adalah: 1) terdapat praktek beberapa moda produksi yang berlangsung secara bersamaan tetapi salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya (dominasi), 2) terdapat beberapa praktek moda produksi yang berbeda tetapi hadir secara berdampingan (co- existen), 3) di antara bagian wilayah masyarakat terdapat praktek moda produksi yang berbeda, 4) terdapat moda produksi baru yang ciri-cirinya merupakan gabungan ciri-ciri dari lebih satu moda produksi (hibridisasi). Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam komunitas petani kakao - yang juga berada di belahan dunia bukan Barat - sangat mungkin akan muncul salah satu dari bentuk moda produksi transisional tersebut atau tidak tertutup kemungkinan akan muncul bentuk moda produksi lain yang berbeda.
Dalam keadaan moda produksi yang dijalankan para petani kakao berupa moda produksi transisional, sangat mungkin posisi mereka merupakan sub- ordinasi dari pihak lain yang lebih kuat. Realitas ini sejalan dengan pendapat Shanin dalam Hashim (1988) bahwa transformasi komunitas petani (peasant)
yang menghasilkan produk untuk dijual menumbuhkan integrasi mereka pada ekonomi yang lebih luas, sehingga komunitas tersebut mempunyai ciri-ciri seba- gai berikut : posisi komunitas petani menjadi tidak rata karena menjadi tergantung pada hubungan dengan pusat pertukaran seperti jaringan pasar, pelabuhan komer- sial (yang merupakan bagian sistem kapitalis dunia), dan jaringan komunikasi. Akibatnya, sistem kapitalis dunia akan mengatur tata ekonomi dan sosial komuni- tas petani sehingga sistem produksi maupun struktur sosial komunitas petani men- jadi sub-ordinasi dari sistem produksi dan struktur sosial kapitalis.
Dalam proses produksi pertanian yang dilakukan petani, apapun bentuk moda produksinya, sumberdaya agraria tetap menjadi kekuatan produksi (force of production) penting karena di atas sumberdaya agraria itulah kegiatan produksi komoditas penghasil “surplus” dimulai dan kemudian sumberdaya agraria akan menjadi sumber penghasilan rumah tangga petani. Dengan kata lain, penguasaan sumberdaya agraria akan menjadi “basis kesejahteraan” keluarga petani. Oleh sebab itu, berlangsungnya transformasi moda produksi dan struktur agraria yang kemudian diikuti oleh diferensiasi sosial masyarakat agraris akan turut menentu- kan terjadinya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani karena transfor- masi dimaksud akan menentukan sejauhmana petani memiliki kontrol dalam penguasaan sumberdaya agraria. Dalam hal ini, konsep diferensiasi merujuk pada proses meningkatnya pelapisan petani sehingga dalam komunitas petani terjadi peningkatan spesialisasi dan peningkatan heterogenitas.
Berkembangnya moda produksi yang semakin kapitalis akan membangkit- kan transformasi struktur agraria dari penguasaan kolektif (collective ownship) menuju penguasaan perorangan (private ownship). Suatu perubahan dari “hak setiap orang” untuk memanfaatkan sumberdaya agraria menjadi “hanya sebagian orang” yang berhak memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya agraria sehingga kemudian terjadi diferensiasi penguasaan sumberdaya agraria. Proses transformasi struktur agraria akan semakin cepat bila realitas semakin dominannya penerapan moda produksi kapitalis berlangsung bersamaan dengan realitas lain berikut : meningkatnya tekanan agraris akibat sumberdaya agraria semakin langka (terkait bertambahnya jumlah penduduk); perubahan pengaturan penguasaan sumberdaya agraria; adanya kekuatan sosial tertentu dalam mengimplementasikan perubahan
pengaturan penguasaan sumberdaya agraria, dan dalam komunitas petani terjadi perbedaan kemampuan akumulasi surplus yang terjadi bersamaan dengan perbe- daan akses petani dalam penguasaan sumberdaya agraria.
Pada masyarakat agraris yang kehidupan anggotanya berbasis pada sumber- daya agraria, transformasi tersebut tentunya akan diikuti oleh diferensiasi sosial masyarakat agraris. Mengingat laju transformasi moda produksi tidak mencapai moda produksi kapitalis (penuh) dan berhenti pada moda produksi transisisional, maka transformasi struktur agraria pun sangat mungkin tidak mendorong diferen- siasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang terpolarisasi (masyarakat tani terkutub hanya dalam dua lapisan) tetapi menuju bentuk stratifikasi (masyarakat tani terbagi dalam banyak lapisan). Kenyataan ke arah mana diferensiasi sosial masyarakat agraris berjalan - apakah menuju bentuk struktur yang semakin terstratifikasi atau semakin terpolarisasi - masih harus dibuktikan di lapangan. Sebenarnya, arah diferensiasi tersebut secara kontekstual akan berkaitan dengan berbagai realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik lain yang berlangsung secara bersama-sama (pada aras lokal maupun aras supra lokal).
Berbagai realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik yang potensial mem- beri jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi adalah : masih berjalannya prinsip moral dan pengaturan sosial tradisional yang memberikan hak nafkah hidup dan sumber kekayaan pada semua warga komu- nitas agar mereka dapat memperoleh jaminan kesejahteraan; berjalannya sistem pemilikan sempit dimana tingkat kemampuan maksimal sebuah rumahtangga petani relatif terbatas; lebih dominannya penerapan pengaturan sosial pemilikan sementara melalui sistem bagi hasil dan sistem pewarisan yang dapat dibagi, petani tidak terpisah penuh dari alat produksi, hubungan sosial produksi antar aktor dalam komunitas petani tidak terlalu eksploitatif, dan kekuatan produksi sumberdaya agraria tidak dapat direproduksi seperti modal finansial pada industri. Sementara itu, berbagai realitas lingkungan/kekuatan sosial spesifik yang poten- sial memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris terpolarisasi adalah: adanya kesenjangan kemampuan modal finansial yang sangat ekstrim, masuknya para pemilik modal finansial dari luar komunitas (terutama dari kota),
lebih dominannya penerapan pengaturan sosial pemilikan sementara melalui sistem sewa.
Walaupun arah diferensiasi sosial masyarakat agraris sangat mungkin menuju bentuk stratifikasi atau polarisasi, tetapi kedua arah tersebut sama-sama memberi jalan pada munculnya diferensiasi kesejahteraan dalam komunitas petani. Dalam hal bentuk struktur sosial masyarakat agraris terpolarisasi, jumlah kaum tani yang kehilangan kontrol atas kekuatan produksi sumberdaya agraria akan sangat banyak dan kemudian mereka hanya menjadi buruh yang kehidupan- nya sangat tergantung pada pihak lain yang memiliki sumberdaya agraria. Kemudian, dalam hal bentuk struktur sosial masyarakat agraris terstratifikasi, meskipun tidak terjadi pengkutuban petani (menjadi petani kaya yang menguasai lahan dan buruh tani yang tidak menguasai lahan), tetapi dalam bentuk struktur tersebut proses pemiskinan petani dapat terjadi akibat proses “eksploitasi diri sendiri” di dalam komunitas petani (aras lokal) seperti terjadinya “involusi pertanian” maupun yang terjadi akibat proses “eksploitasi dari luar komunitas” (oleh aktor yang berada pada aras supra lokal terhadap komunitas petani di wilayah pinggiran seperti penetapan harga produk yang rendah dan/atau harga input yang tinggi). Hal ini sejalan pendapat Frank dalam Sanderson (2003) bahwa keterbelakangan dalam masyarakat pra-kapitalis terjadi karena mereka mengalami hubungan ekonomi dan politik dengan masyarakat kapitalis, sehingga surplus mengalir dari komunitas pra-kapitalis menuju komunitas kapitalis. Pada akhirnya realitas sosial tersebut selain akan mendorong terjadinya diferensiasi kesejah- teraan juga sangat mungkin menimbulkan “problema” kesejahteraan keluarga petani.
Pada dasarnya, kesejahteraan petani akan bertumpu pada sejauhmana para petani mempunyai kekuasaan atas “kekuatan produksi” sumberdaya agraria sehingga mereka memperoleh penghasilan yang memadai dan berkelanjutan untuk “memenuhi kelangsungan hidup” (survival) dan “membuat kehidupan yang lebih baik” (a better living). Seacara teoritis, manakala basis penghasilan petani masih bertumpu pada sumberdaya agraria, maka berkurangnya kontrol petani dalam penguasaan sumberdaya agraria akan menimbulkan berkurangnya besaran sumber penghasilan petani sehingga kemudian akan menyebabkan turunnya kesejahteraan
petani. Realitas tersebut akan semakin menonjol manakala sumber penghasilan alternatif non pertanian belum dapat menggantikan penghasilan dari sumberdaya agraria. Kemudian basis kesejahteraan petani yang bersumber dari penguasaan sumberdaya agraria dapat berlangsung melalui : 1) pengaturan sosial “penguasaan tetap”, dalam hal ini sumberdaya agraria yang diusahakan petani berperan sebagai “modal ekonomi”, atau 2) pengaturan sosial “penguasaan sementara” (seperti sistem sewa dan bagi hasil), dalam hal ini sumberdaya agraria yang diusahakan petani berperan sebagai “modal sosial”.
Sementara itu, istilah “problema” kesejahteraan petani merujuk pada istilah “bencana minimum” sebagaimana dikonsepkan oleh Scott (1989). Problema ini akan terjadi bila kekuasaan petani atas sumberdaya agraria tidak mampu mem- berikan penghasilan yang memadai atau yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (setara garis kemiskinan) sehingga pengurangan lebih lanjut akan menimbulkan malnutrisi dan kematian dini. Realitas dimaksud sangat potensial terjadi bila kontrol petani terhadap sumberdaya agraria semakin menurun sehing- ga luas sumberdaya agraria yang mereka kuasai dan mereka usahakan semakin sempit atau bahkan petani tersebut terlepas dari penguasaan sumberdaya agraria dan hanya menjadi buruh tani (tunakisma mutlak). Keadaan ini kemudian akan menyebabkan potensi penghasilan petani dari sumberdaya agraria semakin kecil dan/atau semakin tidak pasti.
Secara ringkas, Gambar 2.2. berikut menunjukkan alur kerangka pemikiran tentang “jalur utama” (jalur dominan) berlangsungnya transformasi moda produk- si dan struktur agraria yang berimplikasi pada diferensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani. Jalur utama ini dirumuskan untuk memudahkan pemahaman kerangka teoritis, meskipun dalam kenyataannya (di lapangan) antara perubahan realitas sosial yang satu dengan perubahan realitas sosial lainnya akan saling mempengaruhi (tidak satu arah).
Bertolak dari kesimpulan-kesimpulan teoritis yang diperoleh dalam tinjauan pustaka serta akumulasi data dan informasi lapangan, maka hipotesa utama dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “transformasi moda produksi dan struktur agraria yang berlangsung dalam komunitas petani kecil (berlahan sempit) yang berbasis usahatani komersial (kakao) berimplikasi pada diferensiasi sosial
dan kesejahteraan dalam komunitas petani”. Lebih lanjut, hipotesa utama tersebut dijabarkan dalam hipotesa yang lebih rinci, yaitu :
1. Komunitas petani kakao mengalami tekanan perubahan moda produksi dari moda produksi non-kapitalis menuju moda produksi kapitalis. Akan tetapi lajunya mendapat hambatan dari lingkungan/kekuatan sosial spesifik lokal yang memberi jalan pada praktek moda produksi non-kapitalis. Oleh sebab itu, dalam komunitas petani, moda produksi kapitalis hanya “merembes” pada aktivitas baru, terutama pada penyediaan modal non lahan serta pada proses penjualan hasil produksi. Akhirnya, pada komunitas petani muncul strategi “amphibian” dalam menjalankan praktek moda produksi. Dalam hal ini, para petani menjalankan praktek moda produksi non-kapitalis dan kapitalis secara bersamaan.
2. Bersamaan dengan itu, transformasi struktur agraria yang terjadi tidak menghasilkan diferensiasi sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi tetapi hanya menghasilkan diferensiasi sosial masyarakat agraris yang terstratifi- kasi yang disertai dengan semakin timpangnya luas pemilikan sumberdaya agraria di antara lapisan petani.
3. Berbagai mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris terstatifikasi masih dominan. Walaupun demikian, berbagai mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris terpo- larisasi telah muncul dan cenderung semakin menguat
4. Meskipun diferensiasi sosial masyarakat agraris yang terjadi tidak mengha- silkan bentuk polarisasi, perubahan tersebut tetap mendorong terjadinya diferen-siasi kesejahteraan komunitas petani.
5. Pengaman warga komunitas dari pengaruh kapitalis terjadi melalui penerap- an ikatan komunal yang mapan, sehingga muncul struktur kompleks yang dirajut oleh posisi sosial yang berbeda. Misalnya petani pemilik sekaligus penggarap dan/atau buruh tani.
6. Ikatan moral komunitas petani (ikatan kekerabatan, pewarisan, dan soli- daritas lokal) secara konstekstual berperan mendorong transformasi struktur agraria yang kemudian memberi jalan pada proses diferensiasi sosial masya- rakat agraris menuju bentuk struktur yang terstratifikasi.
7. Di antara komunitas petani yang memiliki latar belakang etnis berbeda ter- jadi perbedaan transformasi moda produksi dan struktur agraria serta dife- rensiasi sosial masyarakat agraris dan kesejahteraan dalam komunitas petani, meskipun semua komunitas dimaksud sama-sama menerapkan sistem per- tanian menetap pada jenis tanaman utama yang sama (kakao).
MODA PRODUKSI SUBSISTEN (SUBSISTENCE)
MODA PRODUKSI KAPITALIS
(CAPITALIST)
MODA PRODUKSI “TRANSISIONAL”
• Intervensi/fasilitasi aktor luar (pemerintah, swasta)
• Nilai ekonomi tanaman & orientasi pasar
• Ketidaksetaraan
DIFERENSIASI STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS • Pertumbuhan penduduk
• Keterbatasan sumberdaya lahan
• Perubahan pengaturan sosial (pranata) dalam penguasaan lahan
• Kekuatan sosial/kekuasaan dalam imlpementasi pranata penguasaan lahan
• Jumlah petani yang menguasai lahan sempit bertambah
• Terjadi pemiskinan petani (penurunan kesejahteraan petani)
• Kemampuan pertanian intensif rendah
• Peluang non farm rendah
Revolusi
Sebagian besar petani hanya mengontrol lahan yang sempit sehingga miskin
•Prinsip moral/pengaturan sosial tradisional masih kuat
•Hubungan sosial produksi dalam komunitas tidak terlalu eksploitatif
•Kekuatan produksi dalam usaha pertanian tidak dapat direproduksi
•Akumulasi dan perkembangan kapitalis yang tidak rata (pusat vs perypheri)
•Kemampuan modal finansial terbatas karena eksploitasi dari luar
POLARISASI STRATIFIKASI
• Ikatan moral/pranata tradisional masih kuat
• Sistem pemilikan sempit (tidak ekstrim)
• Pranata pemilikan sementara : bagi hasil
• Sistem pewarisan yang dapat dibagi
• Petani tdk terpisah penuh dari alat produksi
• Hubungan produksi kurang eksploitatif
• Tanah tidak dapat direproduksi
•Kesenjangan kemampuan modal financial sangat ekstrim
•Masuknya pemilik modal kuat dari luar komunitas
•Pranata pemilikan sementara : sewa
•Privatisasi pemilikan lahan dari kolektif ke pribadi
•Jumlah petani yang tidak menguasai lahan dan buruh tani bertambah
•Posisi petani yang tidak menguasai lahan dan buruh tani semakin lemah
•Peluang non farm rendah
Sebagian besar petani kehilangan kontrol atas lahan sehingga
miskin
STRUKTUR AGRARIA
• Perbedaan akses warga masyarakat terhadap sumberdaya lahan
• Perbedaan kemampuan akumulasi surplus
DIFERENSIASI KESEJAHTERAAN Æ PROBLEMA KESEJAHTERAAN