• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kerangka Konsep

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1.0 Riwayat Hidup Peneliti (Curriculum Vitae) 67

2.0 Ethical Clearance 68

3.0 Surat Ijin Penelitian 69

4.0 Kuesioner SERVQUAL 70

5.0 Lembar penjelasan penelitian 73

6.0 Lembar persetujuan 74

7.0 Data Induk 75

8.0 Hasil analisis 77

8.1 Frekuensi karakteristik sampel 77

8.2 Frekuensi sampel berdasarkan jenis kelamin 77

8.3 Frekuensi sampel berdasarkan usia 77

8.4 Frekuensi sampel berdasarkan status sipil 77 8.5 Frekuensi sampel berdasarkan pendidikan terakhir 78 8.6 Frekuensi sampel berdasarkan pekerjaan 78 8.7 Rata-rata nilai kesenjangan setiap butir pertanyaan 79 8.8 Frekuensi sampel berdasarkan tingkap kepuasan 80 8.9 Rata-rata Nilai Kesenjangan dari setiap Dimensi Pelayanan 80 9.0 Uji korelasi Pearson pada setiap dimensi pelayanan terhadap

tingkat kepuasan pasien keseluruhan

ABSTRAK

Diabetes mellitus adalah penyakit tidak menular yang prevalensinya di Indonesia diprediksi meningkat dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta orang pada tahun 2030 menurut WHO. Ternyata selain pengobatan dan upaya dari pelayanan kesehatan, kepatuhan pasien juga penting dalam upaya mengobati dan menanggulangi penyakit. Oleh karena itu, untuk memastikan kepatuhan pasien, adalah penting untuk mengevaluasi tingkat kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Kepuasan pasien kemudiannya mengarah kepada kepatuhan pasien.

Penelitian ini termasuk penelitian survei tipe analitik. Sebanyak 70 orang pasien diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung menjadi sampel penelitian dengan metode simple random sampling. Tingkat kepuasan masing-masing pasien terhadap kualitas pelayanan dianalisa dengan menggunakan kuesioner terstruktur SERVQUAL yang membagikan kualitas pelayanan kepada 5 yaitu Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurance dan Empathy. Hubungan masing-masing dimensi tersebut dengan tingkat kepuasan juga dianalisa menggunakan metode analisa korelasi Pearson.

Hasil menunjukkan 35 orang (50,0%) puas, 33 orang (47,1%) kurang puas dan 2 orang (2,9%) sangat puas terhadap pelayanan di klinik tersebut. Selain itu, rata-rata pasien didapatkan paling puas terhadap dimensi Responsiveness dan paling kurang puas terhadap dimensi Tangibles. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa dimensi Assurance paling kuat (Nilai korelasi : 0,902) berhubungan dengan tingkat kepuasan pasien.

Diharapkan Klinik Diabetes Puskesmas Sering dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai pedoman dan patokan untuk perbaikan di masa depan. Kata kunci : Diabetes mellitus, Kualitas Pelayanan, Kepuasan Pasien, SERVQUAL

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a non-communicable disease with its prevalence that is predicted to increase from 8.4 million in the year 2000 to 21.3 million people in the year 2030 according to WHO. It is proven that in addition to treatment and efforts from the health care providers; patient compliance also plays a big role in treating and controlling a disease. Hence, to ensure patient compliance, it is important to evaluate the satisfaction of patients towards the quality of service provided by the health care provider. Patient satisfaction then leads to their compliance.

This study is an analytic survey study where 70 diabetic patients of the Diabetic Clinic in Puskesmas Sering of Medan Tembung sub-district is taken as sample by simple random sampling. The satisfaction of each and every patients are analyzed using the structured questionnaire by SERVQUAL which divides service quality into 5 dimensions; Tangibles, Reliability, Responsiveness, Assurance and Empathy. The relationship between each of these dimensions toward patient satisfaction is also analyzed using the Pearson correlation test.

The results show that 35 patients (50,0%) are satisfied, 22 patients (47,1%) are less satisfied and 2 patients (2,9%) are very satisfied towards the health care services provided. Most patients are also found to be most satisfied towards the Responsiveness dimension and least satisfied towards the Tangibles dimension. The correlation test shows that the Assurance dimension has the strongest relationship with the patient satisfaction.

The results of this study can be used by the management as a benchmark or a reference for improvements to ensure a better service can be provided in the future

.

Keywords : Diabetes mellitus, Service Quality, Patient Satisfaction, SERVQUAL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara nomor enam penyumbang terbesar prevalensi Diabetes Melitus (DM) di dunia. Dari prevalensi penduduk berusia 20 – 79 tahun di dunia yang menderita DM sebanyak 371 juta orang, 7,6 juta daripadanya berasal dari Indonesia. Prevalensi ini diprediksi akan meningkat menjadi 11,8 juta pada tahun 2030 (IDF, 2012). WHO memprediksi peningkatan prevalensi DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta orang pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2 -3 kali lipat pada tahun 20-30.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menemukan prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun diperkotaan 5,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Tambahan pula, prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) pada penduduk usia lebih dari 15 tahun di perkotaan adalah sebanyak 10,2% (Riskesdas, 2007).

Proporsi prevalensi DM di Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 5,3% dari total prevalensi DM nasional dan proporsi prevalensi TGT di Provinsi Sumatera Utara pula adalah sebanyak 11,3% dari total prevalensi TGT nasional (Riskesdas 2007). Ini berarti sekitar 2,6 juta penduduk di Provinsi Sumatera Utara berada dalam kategori TGT dan mempunyai kemungkinan untuk konversi menjadi DM Tipe-2.

Didapati 4 – 9% orang dengan intoleransi glukosa (Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu) akan menjadi diabetes setiap tahun. DM Tipe-2 membebankan kesehatan penderitanya secara langsung. Antara lain komplikasi dari DM Tipe-2 adalah seperti hiperkoagulasi, hipertensi, penyakit jantung koroner, neuropati perifer, dan kelainan pembuluh darah (PERKENI, 2011). Sekitar 40-50% orang dengan Prediabetes akan menderita Diabetes Tipe-2 bersama komplikasi penyakit kardiovaskuler dan komplikasi

mikrovaskuler dalam jangka waktu 10 tahun (IDF). Menurut Boden-Albala (2008), risiko untuk mendapat stroke bertambah dua kali lipat pada penderita Diabetes. Icks (2009) menyatakan bahwa Diabetes adalah penyebab utama gagal ginjal pada populasi di negara-negara maju dan membangun. Selain itu, lebih dari setengah amputasi ekstremitas bawah non-traumatik adalah diakibatkan oleh Diabetes. Diabetes juga adalah salah satu penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan di negara-negara maju (Resnikoff, 2004). Tambahan pula, risiko seseorang mendapat tuberkulosis bertambah tiga kali lipat pada penderita Diabetes (Jeon CY, 2008). Estimasi jumlah mortalitas akibat DM di Indonesia pada tahun 2012 adalah sebanyak 155.465 orang penduduk (IDF, 2012).

Selain beban kesehatan, Diabetes juga memberi kesan terhadap ekonomi di mana Sistem Kesehatan Nasional harus menampung perbelanjaan untuk penyakit Diabetes yang mencakupi kira-kira 11,6% daripada seluruh perbelanjaan pelayanan kesehatan di dunia pada 2010. Di samping itu, Diabetes juga membebankan penderitanya dan keluarganya dari segi keuangan. Besarnya beban ini tergantung status ekonominya dan juga pengendalian asuransi di suatu negara tertentu (IDF, 2009).

Pada tahap sosial pula, Diabetes menyebabkan kurangnya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena kehilangan hari kerja, terbatasnya kegiatan sehari-hari, produktivitas di tempat kerja yang berkurang, kematian dan juga cacat akibat diabetes. Beban ekonomi terbesar adalah akibat nilai uang yang berhubungan dengan disabilitas, kematian atau komplikasi DM itu sendiri. Untung, beban ekonomi akibat Diabetes bisa dikurangi dengan implementasi intervensi yang tidak mahal, dan hemat biaya (IDF, 2009).

Transisi dari Prediabetes ke DM Tipe-2 ini bisa dielakkan. Menurut WHO (2009), kebanyakan faktor risiko dari Non-Communicable Diseases (NCD) seperti Diabetes Tipe-2 bisa dicegah. Faktor-faktor risiko NCD sering berupa modifiable behavioural risk factors seperti penggunaan tembakau, inaktivitas fisik, diet tidak sehat dan konsumsi alcohol. Akan tetapi, pencegahan DM Tipe-2 menjadi sulit karena kriteria prediabetes hanya didasarkan pada pemeriksaan kadar glukosa. Tambahan pula, fase prediabetes tidak menimbulkan apa-apa tanda atau gejala

(Caballero dkk, 2007). Ini berarti upaya pelayanan kesehatan melakukan deteksi dini serta pengobatan sangat penting dilakukan terhadap golongan yang berisiko seperti mereka dengan riwayat diabetes dalam keluarga, penyakit kardiovaskuler, overweight atau obese, hipertensi dan lain-lain (Manaf, 2007).

Kepatuhan pasien terhadap pengobatan merupakan salah satu faktor yang bisa membantu terhadap keberhasilan upaya penanggulangan suatu penyakit. Kepatuhan pasien ini pula tergantung tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang didapatkannya (Dubina, O’Neill dan Feldman, 2009). Sejajar dengan pernyataan tersebut, Basuki (2009) mengatakan bahwa kepuasan pasien pada gilirannya akan meningkatkan kepatuhan terhadap rencana terapi atau tindakan yang akan dilaksanakan. Laksono (2008) mendukung penyataan tersebut dengan mengatakan puas tidaknya pengalaman seseorang mendapatkan pelayanan kesehatan sangat menentukan apakah seseorang itu akan menggunakan pelayanan itu lagi atau tidak.

Menurut Negi (2009) dalam Daniel (2010), kualitas pelayanan berhubungan erat dan juga mempengaruhi terhadap kepuasan pelanggan. Sejajar dengan itu, tingkat kepuasan pelanggan itu dikatakan tergantung kepada tingkat mutu pelayanan yang diberikan oleh penyedia layanan (Saravanan & Rao, 2007). Mutu pelayanan yang tinggi akan mengarah kepada kepuasan pelanggan yang baik (Parasuraman, Zeithamel dan Berry, 1985). Kualitas pelayanan bisa dibagi kepada 5 dimensi yaitu keandalan (reliability), jaminan (assurance), bukti wujud (tangibles), empati (empathy) dan daya tanggap (responsiveness). Dimensi-dimensi ini digunakan sebagai kriteria yang dinilai untuk pelbagai jenis pelayanan, tidak terhad untuk pelayanan kesehatan sahaja (Parasuraman, Zeithamel dan Berry, 1988).

Mengingat kembali bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Maka semua pihak, baik masyarakat mau pun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan (PERKENI, 2011). Puskesmas Sering merupakan puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes mellitus di Kota Medan. Klinik diabetes melitus tersebut

didirikan pada tanggal 30 Mei 2008 dan sejak itu telah memberi pelayanan kesehatan terhadap masyarakat terutamanya mereka yang dari kecamatan Medan Tembung. Dengan itu, penelitian ini terfokus kepada Puskesmas Sering mengingat lokasi penelitian yang merupakan bagian dari Kota Medan. Sehingga dengan diadakannnya penelitian di wilayah kerja Puskesmas Sering ini akan memberikan gambaran tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pelayanan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung dan bagaimana cara mereka memandang klinik diabetes melitus tersebut sehingga upaya tindakan preventif dan rehabilitatif terhadap masyarakat menjadi lebih efektif.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka maka dapat dikemukakan bahwa perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Analisis Tingkat Kepuasan Pasien DM terhadap Pelayanan Kesehatan di Klinik Diabetes Puskesmas Sering. di Klinik untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan di Klinik Diabetes, Puskesmas Sering.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien DM terhadap pelayanan kesehatan di Klinik Diabetes Puskesmas Sering.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik pasien di Klinik Diabetes Puskesmas Sering. 2. Mengetahui tingkat kepuasan pasien terhadap masing-masing dimensi

mutu pelayanan keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminnan (assurance), empati (empathy), dan bukti fisik (tangibles) pelayanan kesehatan di Klinik Diabetes Puskesmas Sering.

3. Menjelaskan hubungan antara masing-masing dimensi mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien di Klinik Diabetes Puskesmas Sering.

1.4Manfaat Penelitian

1. Sebagai input atau bahan masukan kepada Klinik Diabetes Puskesmas Sering dan juga Dinas Kesehatan Kota Medan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat seiring dengan Upaya Kesehatan Masyarakat yaitu subsistem dari Sistem Kesehatan Nasional.

2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti atau pembaca ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pelanggan dan kualitas pelayanan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes

2.1.1 Definisi Diabetes

Diabetes melitus, atau hanya diabetes, adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi mampu untuk memproduksi insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang disintesis oleh pankreas, yang berperan untuk membantu glukosa untuk masuk ke dalam sel-sel tubuh dari aliran darah. Semua makanan karbohidrat dipecah menjadi glukosa dalam darah.

Ketidakmampuan untuk memproduksi insulin atau menggunakannya secara efektif menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Kondisi ini dalam jangka panjang bisa merusakkan tubuh dan menyebabkan kegagalan organ dan jaringan (IDF, 2013)

2.1.2 Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus

Tabel 2.1 Klasifikasi etiologis Diabete Mellitus

Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut

- Autoimun - Idiopatik

Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan

resistansi insulin desertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain - Defek genetik fungsi beta

- Penyakit eksokrin pankreas - Endokrinopati

- Karena obat atau zat kimia - Infeksi

- Sebab imunologi yang jarang - Sindrom genetik lain yang

berkaitan dengan DM Diabetes melitus gestasional

Sumber : PERKENI, 2011

2.1.3 Diagnosis Diabetes

Menurut PERKENI (2011), Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Keluhan klasik DM ada seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain pula berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau 2. glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Tabel 2.2 Kriteria diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL.

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan wawktu makan terakhir ATAU

2. Gejala klasik DM +

Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU

3. Kadar gula plasma 2 jam TTGO ≥200mg/dL

TTGO yang dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

Sumber : Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2, 2011.

2.1.4 Pengertian Prediabetes

Seorang dalam fase prediabetes mempunyai kadar gula darah yang lebih tinggi dari normal tapi tidak mencapai tahap diagnosa diabetes. Dalam kata lain, kadar gula darahnya di antara batas normal dan batas di mana kita katakan seseorang itu mengalami diabetes. Apabila tidak dilakukan perubahan gaya hidup kepada yang lebih sehat maka sekitar 15 – 30% dari golongan prediabetes ini akan menjadi golongan diabetik dalam jangka waktu 5 tahun ke depan (Centers for Disease Control and Prevention). Menurut Caballero (2007), prediabetes adalah satu kondisi di mana tubuh menjadi resistan terhadap efek insulin yang kemudian menyebabkan glukosa tidak ditranspor keluar dari aliran darah seperti normal. Hal ini apabila berlanjutan akan meningkatkan risiko seseorang mendapatkan penyakit jantung, stroke dan juga diabetes tipe 2.

Normal Prediabetes Diabetes KGD Puasa (mg/dL) 70 – 99 100 – 125 >126 OGTT (mg/dL) <140 140 – 199 >200 Sumber : Caballero, 2007

2.1.5 Pencegahan Diabetes Tipe-2

Kemungkinan golongan prediabetes menderita diabetes tipe 2 ke depan adalah 5 – 15 kali lipat lebih besar daripada golongan dengan kadar glukosa darah normal. Seseorang yang mengambil langkah untuk mencegah diabetes tipe 2 juga mencegah kemungkinan terjadi komplikasi diabetes seperti penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal, gangguan visual, kerusakan saraf, dan masalah kesehatan lainnya. Adalah penting untuk mengetahui awal jika seseorang itu menderita prediabetes atau diabetes tipe 2, karena penanganan dini dapat mencegah komplikasi serius tadi (Center for Disease Control and Prevention). Gambar 2.1 Algoritma pencegahan DM Tipe-2

Upaya mencegah ini sejajar dengan Pencegahan Primer dari diabetes tipe-2 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Tipe tipe-2 (tipe-2011). Pencegahan primer ini ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat diabetes dan juga kelompok intoleransi glukosa. Menurut sumber yang sama, faktor risiko diabetes dibagi dua yaitu yang tidak bisa domodifikasi dan yang bisa dimodifikasi.

Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : - Ras dan etnik

- Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)

- Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan diabetes - Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat

pernah menderita Diabetes Gestasional

- Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : - Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m²) - Kurangnya aktivitas fisik

- Hipertensi (> 140/90mmHg)

- Dislipidemia (HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL)

- Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan diabetes tipe 2.

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

- Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin

- Penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki

riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung coroner (PJK), atau Peripheral Arterial Disease (PAD)

Menurut konsensus tersebut lagi intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pmeriksaan OGTT setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini

- Glukosa darah puasa antara 100 – 125mg/dL

- Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (OGTT) antara 140 – 199mg/dL.

Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain :

1. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena diabetes tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5 – 10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.

2. Diet sehat.

a. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.

b. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.

c. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.

3. Latihan jasmani

a. Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.

b. Latihan jasmani yang dianjurkan:

i. Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobic sedang (mencapat 50 – 70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapat denyut jantung >70% maksimal) Latihan jasmani dibagi menjadi 3 – 4 kali aktivitas/minggu

4. Menghentikan merokok. Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intolerasi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2.

Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan perubahan gaya hidup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan latihan jasmani yang cukup dan teratur. Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya diabetes tiper 2 dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan. Penurunan berat badan sebesar 5 – 10% disertai dengan latihan jasmani teratur mampu mengurangi risiko timbulnya diabetes tipe 2 sebesar 58%. Sedangkan penggunaan obat (seperti metformin, tiazolidindion, acarbose) hanya mampu menurunkan risiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut untuk penanganan intoleransi glukosa masih menjadi kontroversi. Bila disertai dengan obesitas, hipertensi, dan dislipidemia, dilakukan pengedalian berat badan, tekanan darah dan profil lemak sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan.

Selain itu, penyuluhan juga ditujukan kepada perencanaan kebijakan kesehatan agar memahami dampak sosioekonomi penyakit ini dan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer.

Pencegahan sekunder pula adalah upaya mencegah timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Pencegahan sekunder dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyuluhan tetap memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menujuk perilaku yang sehat. Contoh penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyangdang diabetes. Selain pengobatan terhadap kadar glukosa darah yang tnggi, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet juga penting dalam usaha menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada pasien diabetes.

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok peyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin. Sebagai contoh, aspirin dosis rendah dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Upaya ini memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antara disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

2.1.6 Pengelolaan Diabetes Tipe-2

Dokumen terkait