• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja a. Tinjauan Umum pengertian tentang Pekerja

Seperti yang kita ketahui dalam dunia kerja terdapat banyak istilah untuk pekerja, seperti: buruh, karyawan, atau pegawai. Namun semua istilah tersebut memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu: orang yang bekerja pada orang lain dan mendapat upah sebagai imbalan (Darwin Prins; 2000 : 20). Namun kali ini penulis hanya membahas beberapa istilah, antara lain.

(1) Pekerja

Istilah buruh sangat umum dan terkenal dalam bidang perburuhan sejak zaman belanda, karena peraturan perundang-undangan yang lama menggunakan istilah buruh. Pada zaman belanda yang dimaksud dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan pekerjaan kasar, orang-orang ini disebut sebagai “Blue Collar”, sedangkan yang melakukan pekerjaan di kantor pemerintahan atau swasta disebut sebagai “White Collar”. Perbedaan yang membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah Belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang-orang pribumi.

Pengertian buruh berbeda dengan pengertian pegawai negeri meskipun keduanya termasuk pengertian tenaga kerja. Adapun beda buruh dengan pegawai negeri dapat diketahui segi hukumnya maupun dari segi peraturan perundangan yang mengaturnya.

Bagi buruh, hubungan hukum antar buruh dengan majikan berdasrkan hubungan hukum keperdataan, artinya hubungan hukum tersebut harus dibuat antara dua pihak yang mempunyai kedudukan perdata. Bagi pegawai negeri, hubungan hukum antara pegawai negeri dengan pemerintah berdasarkan hukum publik.

Dalam hal tertentu yang tercakup dalam pengertian pekerja atau buruh diperluas. dalam hal kecelakaan kerja, dalam Undang-undang No.3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga kerja pasal 5 ayat (2), ditentukan bahwa, termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja ialah :

(a) Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun yang tidak;

(b) Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan;

(c) Narapidana yang dipekerjakan perusahaan.

Dalam pasal 1 angka 14 Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Naional, memberikan pengertian : “Setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain”.

Dalam pasal 1 huruf d Undang-undang No. 7 tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, memberikan pengertian bahwa buruh adalah: “Tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan dengan menerima upah”.

Untuk melengkapi pengertian atau perumusan buruh ini, perlu dikemukakan Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang nomor 13 tahun 2003 ini , meskipun dikatakan sebagai sumber utama hukum Ketenagakerjaan

negara Indonesia, ternyata tidak memberikan perumusan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan Buruh.

Istilah pekerja secara yuridis baru ditemukan dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membedakannya dengan pengertian tenaga kerja. Dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Tenaga kerja adalah : “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”. Dari pengertian ini jelaslah bahwa pengertian tenaga kerja sangat luas yakni mencakup semua penduduk dalam usia kerja dalam UU No.13 Tahun 2003 minimal berumur 14 tahun. Dari pasal 1 angka 2 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 dapat disimpulkan bahwa buruh adalah : “setiap orang yang melakukan pekerjaan yang dilakukan dalam hubungan kerja yang bertujuan untuk menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”. Kalimat “didalam hubungan kerja” perlu digaris bawahi karena disinilah letak kuncinya apakah orang itu tenaga kerja atau buruh. Orang itu disebut buruh apabila dia telah melakukan hubungan kerja dengan majikan. Kalau tidak maka dia hanyalah “tenaga kerja”, belum termasuk buruh. Jadi disini tenaga kerja lebih luas daripada buruh, sebab buruh merupakan bagian dari tenag kerja. Tetapi dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan walaupun perumusannya agak berlain-lainan tentang pengertian pekerja, pada

dasarnya memuat unsur yang sama, yaitu : seseorang yang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Jadi pekerja pengertiannya sama dengan kata buruh.

(2) Pengusaha

Sebelum istilah pengusaha ada, maka istilah majikan yang digunakan untuk menyebut mereka para pengusaha yang mempekerjakan dan membayar buruh. Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan itu tidak sesuai dengan konsep di dalam Hubungan Industrial, karena bila kita mendengar kata majikan, maka yang terlintas di dalam pikiran kita adalah orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk menekan buruh agar selalu menurut kepadanya, padahal antara buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama. Karena itu lebih tepat jika disebut dengan Pengusaha.

Sehubungan dengan hal tersebut, perundang-undangan yang lahir kemudian seperti UU No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasioanal.

Undang-undang No. 7 tahun 1981 pasal 1 huruf b memberikan pengertian sebagai berikut :

(a) Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan sesuatu perusahaan milik sendiri;

(b) Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

(c) Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia, mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.

Dalam pasal 1 angka 15 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasioanal, memberikan pengertian Pemberi kerja adalah : “Orang perseorangan atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya”.

Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, pengertian pengusaha adalah sebagai berikut :

(a) Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

(b) Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

(c) Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di indonesia dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah indonesia.

Sedangkan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, pengusaha adalah :

(a) Orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;

(b) Orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;

(c) Orang atau badan hukum yang indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang diwakili berkedudukan di luar indonesia.

Adapun yang dimaksud dengan perusahaan dapat dilihat pada pasal 1 huruf a Undang-undang No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berbunyi :

“Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan buruh dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Negara.

Dalam pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 memberikan definisi tentang perusahaan adalah : “ Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak milik orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja atau buruh dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjukkan pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau orangnya.

Sedangkan pengertian perusahaan dalam pasal 1 angka 6 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah :

(a) setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

(b) usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjukkan pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau orangnya.

Jadi bisa dikatakan bahwa istilah pengusaha adalah yang paling tepat dan pantas digunakan karena memberikan gambaran

adanya hak dan kewajiban yang seimbang antara pihak yang saling berkait, sehingga tercipta hubungan kerja yang tepat.

b. Pengertian Umum Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (1) Pengertian Jaminan sosial Tenaga Kerja

Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tyenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja,sakit,hamil,bersalin,hari tua, dan meninggal dunia. ( Zulaini Wahab,2001:143 )

Melihat pengertian tersebut perlindungan dalam jaminan sosial tenaga kerja terbagi 2 (Dua), yaitu:

(a) Perlindungan bagi pekerja dalam bentuk santunan berupa uang jaminan (kecelakaan kerja, kematian dan jaminan hari tua).

(b) Perlindungan bagi pekerja berupa pelayanan kesehatan, jaminan pemeliharaan kesehatan.

Pemerintah didalam menjamin perlindungan bagi tenaga kerja membuat program, yang disebut program jaminan sosial tenaga kerja (Program Jamsostek). Program Jamsostek diadakan untuk memberikan perlindungan dasar bagi tenaga kerja guna menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia dalam mengatasi resiko-resiko yang timbul didalam hubungan kerja (Endank Rohani, 2002:40). (“Every employer has a set of responsibilities to their employees to ensure their environment is safe, and the risk of an accident at work is minimal. This not only protects their workers, but prevents work accident claims being filed against them.:) ,( Jurnal Rekayasa Sipil, Vol 1, No 1 (2008)

Pengertian jaminan sosial tenaga kerja menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek menyebutkan bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia

(2) Pengaturan Jamsotek

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek. Undang-undang ini memuat pengaturan tentang penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja, program jamsostek, iuran, besarnya jaminan dan tata cara pembayaran, badan penyelenggara, serta ketentuan pidana. Landasan penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja diatur dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1992, yaitu Pasal 3 ayat (1) dan (2) sebagai berikut :

Ayat (1) : “Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program kepada jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi. Ayat (2) : “Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja”.

Pada hakekatnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, program jaminan sosial tenaga kerja memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jadi pokok utama dari tujuan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek)

adalah untuk mencapai tujuan sosial dengan memberikan ketenangan kerja bagi buruh/karyawan yang merupakan pelaksana pembangunan melalui perlindungan terhadap terganggunya arus penerima penghasilan.

Ruang lingkup atau bentuk program jaminan sosial tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi :

1) Jaminan Kecelakaan Kerja; 2) Jaminan Kematian;

3) Jaminan Hari Tua;

4) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Berdasarkan hal tersebut diatas penjelasan satu persatu mengenai bentuk program jaminan kecelakaan kerja yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja.

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan kecelakaan kerja sebagai kecelakaan fisik atau penyakit sebagai akibat dari kerja dan tidak karena kesengajaan yang menimbulkan ketidak mampuan bekerja untuk sementara atau tetap atau kematian ( Sendjun Manulang, 1982:86 ).

Sedangkan yang dimaksud dengan kecelakaan kerja menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 dapat dilihat dalam Pasal 1 butir (6) adalah : “Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubungan dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui”.

Kecelakaan kerja yang terjadi dalam perjalanan berangkat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang sama dilalui atau wajar dilalui, juga meliputi penyakit yang timbul karena hubungan kerja yaitu dikatakan sebagai penyakit yang mempunyai akibat langsung bagi pekerja maka dianggap sebagai penyakit yang timbul karena akibat hubungan kerja.

Adapun jaminan yang diberikan terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan kerja menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 adalah :

a) Biaya pengangkutan;

b) Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan; c) Biaya rehabilitasi;

Santunan berupa uang yang meliputi : santunan sementara tidak mampu bekerja; santunan cacad sebagian untuk selama-lamanya; santunan cacad total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental; santunan kematian.

Selama tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, pengusaha tetap membayar upah tenaga kerja yang bersangkutan, sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang dialami diterima oleh semua pihak.

(3) Kewajiban PT. Jamsostek Bagi Perusahaan

Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek jo. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja terhadap resiko sosial-ekonomi yang menimpa tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan baik berupa kecelakaan kerja, sakit, hari tua, maupun meninggal dunia.

Penyelenggaraan program Jamsostek bersifat wajib dan dilaksanakan dengan sistem asuransi sosial untuk menjamin hak-hak peserta dan kewajiban lainnya dari badan penyelenggara dengan tidak meninggalkan watak sosialnya (Zulaini Wahab, 2001:146).

Ciri-ciri dasar dari masing-masing program tersebut, dapat disimpulkan bahwa program-program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKC), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah termasuk program asuransi, sedangkan program Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan suatu bentuk program dana pensiun yang menjanjikan manfaat pensiun bagi pesertanya (Zulaini Wahab, 2001:146).

Program Jamsostek diselenggarakan oleh negara,tetapi pelaksanaanya dilakukan oleh Badan Penyelenggara yang ditunjuk. Dalam hal ini Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan melimpahkan tugas dan wewenang penyelenggara program tersebut kepada Badan Penyelenggara yang ditunjuk.

PT. Jamsostek merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempunyai 2 (dua) kewajiban bagi perusahaan, yaitu: 1) Mengadministrasikan kepesertaan Jaminan Hari Tua (JHT) dan

menginvestasikan dana iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

2) Bertindak sebagai perusahaan asuransi jiwa yang mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKC), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan(JPK) (Zulaini Wahab, 2001:147).

Walupun PT Jamsostek bertindak sebagai perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dikemukakan diatas, namun PT Jaaamsostek tidak tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. (Zulaini Wahab, 2001:147).

Adapun kewajiban dasar PT. Jamsostek bagi pekerja adalah sebagai berikut:

1) Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya.

2) Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbang tenaga dan pikirannya kepada perusahaan tempatnya bekerja (Lalu Husni, 2005:153).

Oleh karena itu PT Jamsostek mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus meminta belas kasih orang lain bila dalam hubungan kerja terjadi resiko-resiko seperti kecelakan kerja, sakit, hari tua dan lainnya (Lalu Husni, 2005:154).

(4) Besar/Bentuk dan Tata Cara Pembayaran dan Pelayanan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

a) Pengertian

Kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja merupakan resiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan yang diakibatkan oleh adanya resiko - resiko sosial seperti kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan kerja. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24% s/d 1,74% sesuai kelompok jenis usaha.

b) Manfaat

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami

kecelakaan pada saat dimulai berangkat bekerja sampai tiba kembali dirumah atau menderita penyakit akibat hubungan kerja. Iuran untuk program JKK ini sepenuhnya dibayarkan oleh perusahaan. Perincian besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha sebagaimana tercantum pada iuran.

Iuran JKK :

1. Kelompok I : 0.24 % dari upah sebulan; 2. Kelompok II : 0.54 % dari upah sebulan; 3. Kelompok III : 0.89 % dari upah sebulan; 4. Kelompok IV : 1.27 % dari upah sebulan; 5. Kelompok V : 1.74 % dari upah sebulan; *) sesuai dengan PP Nomor 76 tahun 2007 Tata Cara Pengajuan Jaminan:

1. Apabila terjadi kecelakaan kerja pengusaha wajib mengisi form jamsostek 3 (laporan kecelakaan tahap I) dan mengirimkan kepada PT. Jamsostek (persero) tidak lebih dari 2x24 Jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan.

2. Setelah tenaga kerja dinyatakan sembuh / meninggal dunia oleh dokter yang merawat, pengusaha wajib mengisi form 3a (laporan kecelakaan tahap II) dan dikirim kepada PT. Jamsostek (persero) tidak lebih dari 2X 24 jam sejak tenaga kerja dinyatakan sembuh/meninggal. Selanjutnya PT. Jamsostek (persero) akan menghitung dan membayar santunan dan ganti rugi kecelakaan kerja yang menjadi hak tenaga kerja/ahliwaris.

3. Form Jamsostek 3a berfungsi sebagai pengajuan permintaan pembayaran jaminan disertai bukti-bukti:

b) Surat keterangan dokter yang merawat dalam bentuk form Jamsostek 3b atau 3c.

c) Kwitansi biaya pengobatan dan perawatan serta kwitansi pengangkutan

(5) Hambatan Dalam Keikutsertaan Program Jamsostek

Pelita VI diperkirakan bahwa pertumbuhan jumlah tenaga kerja mencapai sekitar 12 juta orang. Dengan kata lain setiap tahun bertambah 2.5 juta tenaga kerja. Kalau pertambahan jumlah peserta program Jamsostek di bawah angka pertumbuhan tenaga kerja maka PT. Jamsostek akan mengalami kemunduran, tidak mampu menyeimbangkan jumlah peserta dengan jumlah pertumbuhan tenaga kerja. Untuk itu pihak PT. Jamsostek pada awal Pelita VI menargetkan kepesertaan tenaga kerja rata-rata 25% (2 juta orang setahun), sehingga diharapkan akhir Pelita VI terdapat 20 juta tenaga kerja yang ikut dalam program Jamsostek. Pemenuhan target yang di tetapkan tersebut di atas bukan hal yang mudah dan tentunya akan mengalami hambatan-hambatan yang lebih kompleks lagi dalam pelaksanaannya. Beberapa hambatan dalam menjaring kepesertaan program jamsostek yang dihadapi saat ini, antara lain adalah sebagai berikut:

1) Kurangnya kesadaran dan tanggung jawab pihak pengusaha/kontraktor/pemborong untuk mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program Jamsostek.

2) Masih banyak tenaga kerja yang belum mengetahui bahwa program Jamsostek merupakan haknya untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pengetahuan mereka dan sekitar 78% tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan rendah (SLTP dan SD).

3) Kepesertaan program , jamsostek selama ini ada 3 macam yang dikenal dengan istilah Peserta Daftar Sebagian (PDS), yaitu : a) hanya sebagian tenaga kerja diikut sertakan.

b) Tidak semua dari program jamsostek diikut sertakan.

c) Kepesertaan yang tidak membayar penuh iuran (iuran tidak dibayar berdasarkan upah yang diterima sebulan melainkan berdasarkan upah pokok saja).

4) Beratnya beban yang ditanggung pengusaha untuk membayar iuran JKK, JHT JKM dan JPK yang besarnya masing - masing sekitar 0.24 - 1.74%, 3.70%, 0.30% dan 3-6% dari upah sebulan, sehingga secara langsung menambah biaya produksi (varible cost). Tidak mengherankan pada bulan Juli 1994 tercatat 20.326 perusahaan yang menunggak dengan total iuran yang belum dibayar sebesar Rp. 73 milyar.

5) Kesulitan keuangan (financial) perusahaan akibat pemenuhan kebijakan pemerintah yaitu adanya kenaikan Upah Minimum Reginal (UMR) tenaga kerja terhitung mulai 1 April, 1995 dan di tambah lagi adanya kenaikan UMR sekitar 10.63 persen mulai 1 April 1996.

6) Meningkatnya jumlah perusahaan asuransi swasta yang menawarkan berbagai macam perlindungan yang sasarannya pada seluruh lapisan masyarakat, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini sudah ada perusahaan asuransi swasta asing yang mengembangkan bisnisnya di Indonesia.

Tindakan tegas terhadap pelanggar program Jamsostek, sudah saatnya pemerintah tidak lagi bersikap toleransi terhadap pelaksanaan UU Nomor3 tahun 1992. Ini berkaitan dengan tekad pemerintah meningkatkan perlindungan hukum dan kesejahteraan pekerja.

Dokumen terkait