• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Mengenal Budaya Masyarakat di Lahan Gambut

B. Kemiskinan dan Ketidakberdayaan

5. Kerentanan

Pelaku usaha di pedesaan, terutama petani pada umumnya, melakukan usaha secara subsisten dan belum mengembangkan budaya memupuk modal. Pada musim-musim panen, mereka kerap mengalami surplus produksi. Namun, sebagian besar masih dihabiskan untuk membeli aset-aset yang tidak produktif dan berpesta (temuan di beberapa lokasi). Mereka hampir selalu kesulitan modal setiap kali akan mengawali proses produksi. Hanya 6,6% pendapatan yang dialokasikan kembali untuk modal usaha, sedangkan sisanya untuk konsumsi dan membeli aset non produktif (Danarti et al, 2001). Mereka juga jarang menjual hasil produksinya ke pasar. Bukan hanya karena jauh dari pasar, melainkan karena kebiasaan menyimpan hasil produksi untuk konsumsi sendiri. Akibatnya, perputaran modal menjadi terbatas.

Dalam kondisi subsisten, petani tidak memiliki “pengaman”, sehingga rentan terhadap gejolak yang terjadi dalam hidupnya. Ketika sakit berat, mereka tidak memiliki tabungan yang cukup untuk berobat. Ketika gagal panen secara massal, desa menjadi rawan pangan. Jika hal ini terjadi berulang, masyarakat menjadi semakin tidak berdaya dan kemiskinan pun semakin dalam.

Pertanyaannya, mengapa orang miskin cenderung menghabiskan pendapatannya untuk keperluan konsumtif dan tidak melakukan akumulasi modal? Benarkah mereka sama sekali tidak memiliki potensi pendapatan yang dapat ditabung? Ternyata tingkat kesadaran masyarakat untuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk kegiatan produktif masih sangat rendah. Mereka tidak menyadari bahwa pola pengeluaran semacam itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kondisinya terus terpuruk dan terkungkung dalam belenggu kemiskinan. Pengalaman beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti Bina Swadaya, PINBUK (Pusat Inkubator Usaha Kecil), dan WI-IP (Wetlands International-Indonesia Programme), membuktikan, apabila masyarakat miskin telah menyadari adanya kesalahan dalam pola konsumsinya, ternyata mereka pun mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk ditabung.

Kotak 3

Potret Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sepanjang Sungai Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah

[Catatan Alue Dohong, Sabirin dan Lilia, 2004]

Mantangai adalah satu nama sungai di Kabupaten Kapuas, yang dulunya merupakan salah satu lumbung ikan yang mensuplai kebutuhan penduduk di Kabupaten Kapuas dan sekitarnya. Sungai yang panjangnya mencapai ± 64 km,. dapat di telusuri selama ± 3 - 4 jam perjalanan dengan menggunakan klotok (perahu kecil memakai mesin berkapasitas 5-10 orang).

Penduduk yang bermukim di sepanjang Sungai Mantangai umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Kehidupan mereka sepenuhnya tergantung pada sumber ikan yang terdapat di sungai tersebut. Hampir 82% nelayan sungai Mantangai ternyata hanya memiliki latar belakang pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar dan Tamat Sekolah Dasar. Mereka yang berhasil menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat tidak lebih dari 9% dan sekitar 9% lainnya diketahui tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Tingkat pengetahuan para nelayan terhadap teknik budi daya ikan menetap ternyata juga sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Padahal mereka sangat berkeinginan untuk melakukan kegiatan budidaya menetap dan berharap ada pihak lain yang peduli dan mendengarkan keluhan mereka. Rendahnya tingkat pendidikan para nelayan diperkirakan karena beberapa faktor antara lain (1) minimnya penghasilan dari menangkap ikan sehingga tidak cukup uang untuk menyekolahkan anaknya; (2) akses ke sarana pendidikan yang relatif sulit; dan (3) persepsi yang keliru dari para nelayan terhadap pentingnya pendidikan.

Pola penyebaran pemukiman nelayan umumnya bekelompok di sepanjang Sungai Mantangai. Sebagai contoh adalah kelompok Mantangai Hilir, Jayanti, Danau Uju, Gajah dan Danau Telo dengan total penduduk sebanyak 22 keluarga atau 60 jiwa. Kondisi fisik perumahan mereka umumnya terbilang sangat sederhana dengan bahan utama dari kayu tidak tahan lama dan beratap daun rumbia. Beberapa rumah bahkan beratap plastik dan hanya satu unit rumah yang beratap seng. Rumah para nelayan berukuran rata-rata 4 x 4 meter (16 m2) dengan luas tanah berkisar antara 20-25 m2, kendati sebetulnya para nelayan memiliki keleluasaan untuk membangun rumah di sepanjang alur Sungai Mantangai. Usia rumah nelayan tidak lebih dari 5 tahun dan setelah itu harus dilakukan perbaikan. Dari wawancara diperoleh informasi sekitar 68% bangunan rumah nelayan yang ada berumur 4-6 tahun dan sisanya berusia 1-3 tahun serta tidak diketemukan rumah yang secara fisik berusia diatas 7 tahun.

Usaha menangkap ikan di Sungai Mantangai ternyata dilakukan secara turun temurun oleh para nelayan. Hampir seluruh nelayan memiliki dan menggunakan perahu tanpa mesin (jukung) atau bermesin (kelotok) dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sementara itu alat tangkap yang digunakan para nelayan umumnya alat tangkap tradisional seperti tampirai, bubu (kawat dan bambu), rengge, rawai, pancing/banjur, pangilar, kabam, dan haup. Sedangkan jenis ikan yang dominan tertangkap antara lain tampahas (tapah), tahoman (toman), kerandang, kakapar (kapar), miau, tabakang, dan baung

Pendapatan nelayan ternyata sangat fluktuatif dan tergantung pada kondisi musim. Penangkapan ikan umumnya dilakukan pada akhir musim kemarau hingga awal musim hujan yakni antara bulan September hingga Januari. Hasil tangkapan pada musim banjir ikan umumnya mencapai 2 atau 3 kali lipat dibandingkan pada musim-musim biasa. Pada musim biasa nelayan hanya mampu memperoleh hasil tangkapan rata-rata 30 kg per bulan atau senilai Rp. 300.000,-/bulan, sedangkan pada musim banjir ikan rata-rata mereka dapat memperoleh 70 kg per bulan dengan harga rata-rata Rp. 9.000,- per kg. Dengan demikian, penghasilan per bulan setiap nelayan, pada musim ikan mencapai Rp. 630.000,-.

Hasil tangkapan ikan rata-rata pada tahun tahun 2003 adalah sebanyak 562 kg/nelayan. Jumlah ini kalau dikonversi (dijual) setara dengan Rp.5.210.000,-. Berarti perolehan rata-rata tiap bulan sebanyak 46,8 kg atau Rp.434.167,-. Kalau dihitung secara kasar, jumlah penghasilan kotor rata-rata per bulan rumah tangga nelayan adalah sebesar Rp. 434.167,-. Sedangkan pendapatan dari usaha dan kegiatan lain sama sekali tidak ada. Pendapatan para nelayan sebagian besar (50%) untuk membeli kebutuhan pokok yang bersifat subsisten berupa pangan sedangkan sebagian kecil sisanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan papan dan pembelian alat tangkap.

Pola pemasaran hasil ikan tangkapan umumnya bersifat lokalistik yaitu dijual ke pasar Desa Mantangai dengan jarak tempuh antara 30 – 64 km atau ke desa-desa lain di sekitarnya. Pemasaran lain adalah kepada pedagang pengumpul yang juga menetap sebagai nelayan setempat. Selisih harga jual antara pedagang pengumpul dengan harga di pasar Desa Mantangai berkisar antara Rp. 1.000-Rp. 3.000/kg.

C. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN

Dalam dokumen Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut (Halaman 67-70)

Dokumen terkait