• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suku Melayu dan Kubu di Jambi

Dalam dokumen Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut (Halaman 52-57)

Bab 2. Mengenal Budaya Masyarakat di Lahan Gambut

B. Suku Melayu dan Kubu di Jambi

Sejak ratusan tahun yang lalu, daerah Jambi telah dihuni oleh Suku Kerinci, Suku Melayu, dan suku Kubu (sering disebut sebagai suku Anak Dalam). Suku Kerinci diperkirakan telah mendiami Jambi sejak 10.000-2.000 SM. Suku Melayu yang berasal dari ras Mongoloid, diperkirakan masuk wilayah pantai dan pedalaman Jambi sejak 2000–500 SM. Mereka mendiami dataran rendah sepanjang daerah aliran Sungai Batanghari bagian hilir. Suku Kubu yang juga berasal dari ras Mongoloid mendiami sepanjang daerah aliran Sungai Batanghari mulai dari pedalaman Jambi. Mereka memiliki sistem nilai budaya yang khas dan berbeda dengan suku lain.

1. Suku Melayu Jambi

Suku Melayu Jambi umumnya tinggal di dataran rendah sepanjang Sungai Batanghari yang terbentang dari Kabupaten Tanjung Jabung, Batanghari, hingga Bungo Tebo. Mereka membentuk dusun-dusun yang letaknya agak berjauhan, dengan rumah-rumah yang dibangun di pinggiran sungai besar atau kecil.

Sungai merupakan sumberdaya yang sangat vital bagi orang Melayu Jambi. Transportasi utama orang Melayu pedesaan adalah melalui sungai, meskipun sekarang sebagian sudah menggunakan jalan darat. Sungai juga merupakan sumber air, tempat untuk mandi, cuci, dan membuang kotoran.

Orang Melayu Jambi umumnya beragama Islam dengan memegang prinsip “adat menurun, syarak mendaki, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Artinya, segala ketentuan yang mengatur kehidupan dalam masyarakat berasal dari budaya nenek moyang dan bersumber dari ajaran-ajaran agama yaitu Alquran dan Hadits (Sitanggang et al, 1983). Prinsip keturunan yang digunakan oleh orang Melayu Jambi adalah prinsip bilateral dengan menempatkan faktor keluarga batih sebagai dasar perhitungan hubungan kekeluargaan. Karena itu, seorang individu selalu memiliki hubungan kekerabatan dari pihak ibu maupun bapak. Mereka mengenal sistem kekerabatan tersebut dengan istilah “sanak”, yaitu keturunan hingga generasi ketiga. Kelompok inilah yang biasanya saling

membantu kalau ada hal-hal penting dalam keluarga seperti perkawinan, kematian, dan lain-lain.

Stratifikasi sosial didasarkan pada prinsip perbedaan usia. Perbedaan umur membawa perbedaan hak dan kewajiban, terutama dalam rangkaian upacara adat. Stratifikasi sosial dapat dikatakan tidak konkret, meskipun kadang-kadang segolongan orang-orang tertentu dianggap memiliki kedudukan yang tinggi. Yang biasanya menjadi dasar ukuran adalah pendidikan, harta, dan jabatan. Seorang kepala desa di kalangan orang Melayu disebut sebagai “datuk”. Ia relatif dijadikan panutan oleh masyarakat.

Mata pencaharian utama orang Melayu Jambi adalah menangkap ikan, bertani, dan mencari hasil hutan. Musim baik untuk menangkap ikan adalah musim kemarau. Dalam waktu yang bersamaan, mereka harus menanam padi. Guna mempercepat proses penanaman padi, mereka membentuk sistem gotong royong yang disebut “pelarian”. Istilah tersebut berasal dari kata “ari” atau “hari”. Artinya, setiap anggota kelompok kerja akan memperoleh bantuan tenaga kerja dalam waktu 1 hari dari anggota lainnya secara bergiliran. Pekerjaan-pekerjaan yang digotongroyongkan antara lain membabat dan membersihkan semak, mengolah tanah, dan panen. Banyaknya anggota dalam kelompok berkisar antara 5-15 orang. Makanan untuk orang yang bekerja disediakan oleh petani tuan rumah.

Selain gotong royong dalam bertani, mereka juga mengenal sistem gotong royong dalam membuat rumah yang disebut “tegak rumah”. Kegiatannya antara lain menggali lubang untuk menanam tiang dan menegakkan tiang. Sedangkan pekerjaan lanjutannya dilakukan sendiri oleh pemilik rumah dengan dibantu oleh kerabat dekat atau diupahkan pada pekerja (tukang atau buruh bangunan).

2. Suku Kubu

Suku Anak Dalam atau sering disebut Suku Kubu dipandang oleh pemerintah sebagai “Komunitas Adat Terpencil” (KAT). Dalam kesehariannya, mereka sering disebut sebagai “Orang Rimbo”. Pemerintah mendefinisikan KAT sebagai komunitas masyarakat yang hidupnya

secara berkelompok dalam kesatuan-kesatuan (unit) sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar di dalam hutan dan pinggiran sungai, serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, dan politik dari pemerintah (SK Mensos RI No. 60/HUK/1988). Saat ini suku Anak Dalam yang belum dimukimkan oleh pemerintah diperkirakan sebanyak 2.120 keluarga tersebar di 5 kabupaten, 13 kecamatan, dan 49 lokasi. Di Kabupaten Batanghari terdapat sekitar 780 keluarga yang tersebar di 21 lokasi, Kabupaten Muaro Jambi sebanyak 678 keluarga tersebar di 13 lokasi, Kabupaten Tebo sebanyak 175 keluarga tersebar di 3 lokasi, Kabupaten Sorolangun sebanyak 387 keluarga tersebar di 9 lokasi, dan Kabupaten Merangin sebanyak 100 keluarga yang tersebar di 3 lokasi (Dinas Sosial Jambi, 2004).

Sistem sosial masyarakat Suku Anak Dalam dipimpin oleh kepala dusun yang sekaligus berperan sebagai kepala adat dan dukun. Mereka menggunakan Bahasa Melayu dalam berkomunikasi sehari-hari. Hidupnya semula “melangun” (berpindah-pindah) dan sepenuhnya menggantungkan hidup pada kekayaan hutan dan sungai. Sebagian dari mereka, sekarang sudah hidup menetap dalam lokasi yang dibangun oleh Dinas Sosial. Rumah sebagai tempat tinggal Suku Anak Dalam dibangun seadanya dari bahan yang diperoleh di hutan. Ukurannya sangat bervariasi, tergantung dari banyaknya anggota keluarga yang akan tinggal. Semakin banyak anggota keluarga, semakin besar pula rumah yang mereka bangun dan begitu pula sebaliknya. Rumah yang dibangun tidak menjadi tempat tinggal untuk selamanya, tergantung pada alam dan iklim yang dapat menopang kehidupan mereka. Mereka akan pindah apabila terjadi musibah seperti anggota keluarga yang meninggal dunia, sakit, atau sejenisnya, yang membawa ketidakbahagiaan di lokasi yang mereka tempati itu. Mereka akan pergi melangun atau berpindah ke lokasi lain di sekitar kawasan hutan dengan harapan akan membawa kebahagiaan.

Di daerah aslinya, Suku Anak Dalam masih berjalan kaki untuk menuju suatu lokasi atau berpindah ke lokasi lain. Bahkan untuk berkunjung ke tempat keluarga di luar pemukiman, mereka juga berjalan kaki, meskipun jaraknya jauh (antara 3 hari sampai 1 minggu perjalanan). Namun pola kehidupan tersebut tidak dipandang sebagai suatu hal yang mengurangi

kebahagiaan dan keakraban mereka. Perjalanan tersebut justru berpotensi menambah wawasan mereka dalam mencari lahan apabila suatu saat harus berpindah meninggalkan lahan yang ditempati saat ini.

Kelembagaan sosial Suku Anak Dalam umumnya diatur oleh hukum-hukum adat yang berlaku di lingkungan mereka dan dipatuhi dengan baik. Mereka hidup berkelompok dan dipimpin oleh seorang “tumenggung”. Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain, namun harus mempunyai keyakinan siapa tumenggungnya. Berganti-ganti kelompok tidaklah mudah, karena terdapat hukum yang mengaturnya. Pemilihan pemimpin didasarkan atas pengajuan anggota masyarakat.

Mata pencaharian Suku Anak Dalam umumnya bersifat tradisional. Mereka hidup secara berpindah-pindah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagian besar waktunya dihabiskan di hutan untuk berburu, mencari madu, atau rotan. Sebagian lagi mencari ikan di sungai atau menyadap getah di kebun karet. Pekerjaan menebas semak untuk membuka lahan dilakukan oleh laki-laki, sedangkan perempuan membersihkan dan membakar hasil tebasan. Di daerah asalnya, Suku Anak Dalam belum mengenal mata uang. Mereka menggunakan sistem barter untuk keperluan hidupnya. Dan karena minimnya pengetahuan, ada kalanya nilai yang mereka terima jauh lebih kecil daripada yang mereka tukarkan. Kepemilikan lahan di kalangan Suku Anak Dalam merupakan warisan dari tanah ulayat yang telah turun-temurun mereka garap. Pengalihan lahan kepada orang lain harus memperoleh persetujuan ketua adat. Pada dasarnya mereka juga sudah melakukan kerja sama yang baik antara yang satu dengan lainnya. Ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya dalam membuka lahan pertanian atau merawas dengan melibatkan orang-orang tertentu yang mengetahui tanda-tanda alam. Bentuk gotong royong dan solidaritas dilaksanakan bilamana ada 1 keluarga tertimpa musibah atau mengadakan acara selamatan, atau sejenisnya. Mereka bekerja bersama-sama untuk memberikan bantuan kepada keluarga yang terkena musibah atau yang mengadakan selamatan dengan cara mengumpulkan barang-barang yang ada pada mereka untuk dijual atau ditukar dengan barang lain sesuai dengan kebutuhan.

Suku Anak Dalam di daerah asalnya belum mengenal pendidikan formal. Pendidikan non formal dapat dilihat dari peran orang tua dalam mengasuh anaknya. Biasanya anak laki-laki selalu ikut orang tua laki-laki kemanapun pergi kecuali ke tempat yang jauh, sedangkan anak perempuan mengikuti ibunya kemanapun pergi. Tujuannya agar anak dapat melihat dan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tuanya.

Kepercayaan mereka terhadap alam gaib yang disebut “Dewo-dewo” masih sangat kuat. Dalam kepercayaan ini, setiap pekerjaan harus dikaitkan dengan kondisi alam dan iklim. Misalnya, untuk membuka lahan pertanian yang pertama sekali dilakukan adalah menanyakan kepada paranormal (dukun), apakah lahan yang akan digarap dapat dijadikan lahan pertanian atau tidak. Bila paranormal mengatakan tidak bisa, maka kegiatan tersebut tidak jadi dilakukan. Begitu pula sebaliknya. Menurut mereka, lahan yang ada penghuninya (ghaib) tidak boleh diganggu atau dibuka. Bila ketentuan ini dilanggar, akan timbul malapetaka dalam kehidupannya sampai kepada anak-buyutnya.

Pengetahuan tentang kesehatan Suku Anak Dalam di pemukiman lama masih sangat minim. Mereka masih menggunakan cara-cara tradisional untuk mengobati segala jenis penyakit. Pengobatan tradisional merupakan tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka dengan perantaraan dukun. Pengobatan beberapa jenis penyakit, seperti demam, hanya dilakukan dengan menggunakan ramuan-ramuan yang terbuat dari akar, batang, kulit batang, daun, bunga, dan buah tertentu yang banyak terdapat di sekitar permukiman. Untuk beberapa penyakit parah, mereka mengadakan upacara tradisional “besale” dengan bantuan paranormal. Sebagian dari Suku Anak Dalam sudah dimukimkan oleh pemerintah melalui program yang diselenggaran oleh Dinas Sosial atau Dinas Transmigrasi. Di tempatnya yang baru, mereka memperoleh lahan, rumah, serta 1 unit fasilitas MCK untuk 5 keluarga. Selain itu, mereka juga memperoleh bahan makanan berupa beras, minyak tanah, minyak goreng, ikan asin, pakaian, obat-obatan, bibit pertanian, ternak, alat-alat pertanian, dan alat-alat rumah tangga selama masih dalam pembinaan. Mereka juga memperoleh bimbingan berupa penyuluhan sosial, budaya, maupun dalam hal pengembangan usaha dan bercocok tanam. Sarana pendidikan umumnya juga dibangun di pemukiman baru.

Mata pencaharian Suku Anak Dalam di pemukiman baru umumnya mengalami perubahan. Beberapa pola tradisional yang selama ini mereka anut sudah mulai ditinggalkan. Mereka tidak lagi sepenuhnya mencari nafkah di dalam hutan, melainkan telah mengenal teknologi budidaya dengan mengelola lahan perkebunan dan lahan usaha pertanian. Mereka sudah mengelola kebun karet sendiri dan menjadi buruh di kebun karet orang lain. Beternak ayam, itik, kambing, dan bercocok tanam (palawija, buah-buahan, ubi-ubian), dan bebalok (mencari kayu) juga mereka lakukan. Mereka sudah menjalani kehidupan seperti masyarakat yang sudah maju di sekitar permukiman baru. Namun, aktivitas memancing dan berburu masih dilakukan.

Perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi di pemukiman baru suku Anak Dalam telah menunjukkan kemajuan berarti. Mereka sudah mulai terlibat dalam hubungan sosial di luar komunitasnya dan mulai mengenal sistem perniagaan (pasar), nilai mata uang, serta politik. Pendidikan formal juga telah dikenal, sehingga sebagian sudah bisa membaca. Namun, sarana MCK (mandi-cuci-kakus) yang sehat belum dimanfaatkan dengan baik. Mereka masih memanfaatkan air sungai untuk berbagai aktivitas MCK. Air bersih biasanya diambil dari sumur atau mata air. Dalam proses kelahiran, orang Anak Dalam sudah mau datang ke bidan terdekat di sekitar lokasi (Danarti dkk, 2004).

Dalam dokumen Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut (Halaman 52-57)

Dokumen terkait