• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selain dengan cara gadai, ada jalan lain yang bisa digunakan, yaitu akad bagi hasil, atau yang sering disebut muzara'ah atau musagah.

Dalam hal ini, para petani yang tidak punya sawah bisa bekerja sama dengan orang yang punya lahan sawah. Sawah itu lalu digarap oleh petani. Setelah panen, hasilnya bisa dibagi dua dengan adil, sesuai kesepakatan awal.

& Sewa Lahan &

Cara lain adalah dengan sewa lahan. Petani boleh menyewa lahan sawah kepada pemilik sawah untuk sekian lama, dan dia membayar sewanya di awal.

Atas pembayaran sewa tersebut, petani berhak

menanaminya sekehendak hatinya, serta tentunya berhak pula mengambil hasil panennya, seberapa pun besarnya.

Tidak ada istilah bagi hasil panen, karena sawah telah disewa penuh untuk sekian tahun dan telah dibayar biaya sewanya. Apakah panen berhasil atau tidak, tidak ada pengaruhnya dalam masalah bayar sewa.

Wallahu a'lam bishshawab.

& Tanya: $

Bagaimana hukumnya orang yang menggadaikan sawah dengan uang? Misalnya seperti ini:

A - Pemilik Sawah

B - Orang yang memiliki uang

A sedang butuh uang dalam jumlah besar, namun dia hanya memiliki sawah yang tidak seberapa luas. A ingin menggadaikan sawahnya kepada B dengan ketentuan:

a) A dapat uang dari B yang jumlahnya memang tidak sesuai dengan luas sawah. Jumlah uang lebih besar daripada harga sawah.

b) B berhak menggarap sawah A dan hasilnya untuk B.

c) Ketika waktu kesepakatan gadai selesai, A harus mengembalikan uang yang besarnya sama dengan yang dipinjamkan B kepada A. Hak garap sawah B pun tidak ada lagi, artinya hak sawah dikembalikan kepada A.

d) Kalau ternyata A tidak punya uang saat kesepakatan gadai habis, kesepakatan gadai

88 / Fikih Sehari-Hari

diperpanjang lagi sampai A memiliki uang untuk mengambil barang gadaiannya (sawahnya).

Bagaimana hukum gadai seperti ini?

& Jawab: $

Dalam hukum gadai atau rahn, para ulama memiliki beberapa hukum yang disepakati dan beberapa bagian lain yang tidak disepakati.

Para ulama sepakat akad gadai adalah akad istitsag atau jaminan atas kepercayaan kedua belah pihak, bukan akad untuk mendapat keuntungan atau bersifat komersial. Karena itu, orang yang sedang memberikan pinjaman uang dan menerima titipan harta gadai tidak boleh memanfaatkan harta itu. Dalam kasus pihak yang berutang dan menitipkan hartanya sebagai jaminan memberi izin dan memperbolehkan hartanya

dimanfaatkan pihak pemberi dan penerima jaminan, para ulama mengutarakan pendapat yang berbeda-beda.

1. Pendapat Mayoritas Ulama Selain Hanafiyah Umumnya, para ulama selain ulama Hanafiyah mengharamkan pihak yang dititipi harta gadai untuk memanfatkan harta gadai yang sedang dititipkan oleh pemiliknya—dengan izin pemilik ataupun tanpa izinnya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw.

Rasulullah saw. bersabda,”"Semua pinjaman yang melahirkan manfaat, hukumnya riba. "

Kalau menggunakan pendapat mayoritas ulama—Al- Malikiyah, Asy-Syafi'iyah, dan Al-Hanabilah—sawah orang yang berutang uang dengan menggadaikan sawahnya tidak boleh diambil manfaatnya. Artinya,

sawah itu tidak boleh ditanami atau dipetik hasilnya oleh pihak yang menerima gadai, baik dengan izin pemilik sawah ataupun tanpa izinnya.

N . Pendapat Hanafiyah

Menurut pendapat kalangan mazhab Al-Hanafiyah, hukumnya boleh, selama ada izin dari pemilik harta yang digadaikan itu.

Landasan syariat atas kebolehannya adalah logika kepemilikan. Bila orang yang memiliki harta sudah memperbolehkannya, hukumnya halal. Bukankah yang berhak untuk mengambil manfaat adalah pemilik harta? Kalau pemilik harta sudah memberi izin, kenapa pula harus dilarang?

Dengan demikian, pertanyaan Anda sudah terjawab. Ada ulama yang memperbolehkan sawah itu untuk digarap pihak yang meminjamkah uang, namun umumnya ulama mengharamkannya.

Kalau kita mengikuti pendapat ulama kalangan Al-Hanafiyah, hukum sistem gadai sawah seperti ini boleh dan tetap berlaku selama salah satu pihak belum membatalkannya. Akan menjadi batal saat pemilik sawah tidak mengizinkan sawahnya digarap.

Wallahu a'lam bishshawab.

& Tanya:

Apakah praktik pegadaian dibenarkan secara hukum syariat? Kalau dibenarkan, bagaimana bentuknya?

Mohon dijelaskan juga mengenai prinsip pegadaian yang dibenarkan dalam Islam.

90 / Fikih Sehari-Hari

& Jawab: $

Dalam istilah fikih, gadai dikenal dengan sebutan ar-rahn.

— Para ahli fikih sepakat memperbolehkan praktik gadai, asalkan tidak terdapat praktik yang dilarang, seperti riba atau penipuan. Pada masa Rasulullah saw., praktik rahn pernah dilakukan. Kita dapati banyak riwayat tentang hal itu dan salah satunya adalah hadis berikut.

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.

-HR. Bukhari dan Muslim

Dulu orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutupi biaya pemeliharaan.

“Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya.... Kepada orang yang naik, ia harus mengeluarkan biaya perawatannya.”

—HR. Jamaah kecuali Muslim dan Nasa'i, Bukhari no.

2329, kitab ar-Rahn

Dari kedua hadis di atas kita simpulkan bahwa Rasullulah saw. mengizinkan kita melakukan praktik gadai, bahkan kita diperbolehkan mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan sebagai penutup biaya pemeliharaan. Biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariat, sehingga gadai atau rahn menjadi produk keuangan syariat yang cukup menjanjikan.

Secara teknis, gadai syariat dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri seperti Perum Pegadaian, perusahaan

swasta, perusahaan pemerintah, atau merupakan bagian . dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.

Praktik gadai syariat sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir. Pegadaian kini tidak lagi dipandang sebagai solusi bagi masyarakat kalangan bawah saja, namun juga bagi pengusaha yang ingin mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.

Sebagai contoh, produser film dakwah

membutuhkan biaya untuk memproduksi filmnya. Dia bisa menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar puluhan juta rupiah. Setelah filmnya laku dan bayaran sudah diterima, secepatnya ia tebus mobil yang digadaikannya. Bisnis jalan, produksi jalan, dan likuiditas pun lancar.